Habel Rumbiak, S.H, SpN dan Ivan Robert Kairupan, S.H, Advokat dan Konsultan Hukum pada Lembaga Bantuan Hukum Kamasan
Pasal 6 ayat (2) UU 21/2001
Pasal 27, Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (3) dan Pasal 28I ayat (2) UUD NRI Tahun 1945.
perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal & Badan Keahlian DPR RI.
Bahwa terhadap pengujian UU 21/2001 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.10] Menimbang bahwa setelah Mahkamah membaca dan memeriksa dengan saksama permohonan Pemohon dan bukti-bukti yang diajukan, masalah konstitusional dalam Permohonan a quo adalah berkenaan dengan kata “diangkat” dalam Pasal 6 ayat (2) UU 21/2001;
Untuk menjawab masalah konstitusional di atas, terlebih dahulu Mahkamah akan mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.10.1] Bahwa Pasal 18 ayat (1) UUD 1945 menyatakan, “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang”. Begitu pula, Pasal 18 ayat (2) UUD 1945 menyatakan, “Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan”. Selanjutnya, Pasal 18 ayat (3) UUD 1945 menyatakan, “Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum”. Selain itu, Pasal 18B ayat (1) UUD 1945 menyatakan, “Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang”. Salah satu pemerintahan daerah yang bersifat khusus sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 18B ayat (1) UUD 1945 tersebut adalah Provinsi Papua atau Provinsi Papua Barat;
[3.10.2] Bahwa status bersifat khusus untuk Provinsi Papua didasarkan kepada Bab IV huruf g angka 2 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IV/MPR/1999 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara Tahun 1999-2004, yang menyatakan mempertahankan integrasi bangsa dalam wadah NKRI dengan tetap menghargai kesetaraan dan keragaman sosial budaya, masyarakat Irian Jaya melalui penetapan daerah otonomi khusus yang diatur dengan undang-undang;
[3.10.3] Bahwa selanjutnya, dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah, yang antara lain menekankan tentang pentingnya segera merealisasikan Otonomi Khusus melalui penetapan suatu undang-undang otonomi khusus bagi Provinsi Irian Jaya dengan memerhatikan aspirasi masyarakat.
[3.10.4] Bahwa untuk melaksanakan amanat Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 serta Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IV/MPR/1999 dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IV/MPR/2000 sebagaimana dikemukakan dalam Sub-Paragraf [3.10.2] dan Sub-Paragraf [3.10.3] telah diberlakukan UU 21/2001 yang di dalam salah satu substansinya mengatur perihal DPRP sebagai salah satu bentuk kekhususan yang dimiliki oleh Provinsi Papua. Dalam hal ini, Pasal 5 ayat (1) UU 21/2001 menyatakan, “Pemerintahan Daerah Provinsi Papua terdiri atas DPRP sebagai badan legislatif, dan Pemerintah Provinsi sebagai badan eksekutif”. Berkenaan dengan DPRP, Pasal 6 ayat (2) UU 21/2001 menyatakan, “DPRP terdiri atas anggota yang dipilih dan diangkat berdasarkan peraturan perundang-undangan”;
[3.10.5] Bahwa berkenaan dengan frasa “berdasarkan peraturan perundang-undangan” dalam Pasal 6 ayat (2) UU 21/2001 a quo, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 116/PUU-VII/2009, tertanggal 1 Februari 2010, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.19] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan tersebut di atas, meskipun dalil-dalil para Pemohon beralasan hukum namun keberadaan pasal a quo tidak dapat secara serta-merta dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, karena hal demikian dapat menimbulkan kekosongan hukum. Oleh karena itu, menurut Mahkamah Pasal 6 ayat (2) UU 21/2001 sepanjang frasa “berdasarkan peraturan perundang-undangan” harus dinyatakan inkonstitusional kecuali frasa ”berdasarkan peraturan perundang-undangan” dalam pasal a quo diartikan “berdasarkan Peraturan Daerah Khusus”, karena jika tidak demikian dapat menimbulkan ketidakpastian hukum yang bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Berdasarkan pertimbangan hukum Putusan Mahkamah a quo, tata cara pengisian keanggotaan DPRP melalui mekanisme pengangkatan telah diatur dengan Peraturan Daerah Khusus, misalnya Peraturan Daerah Khusus Provinsi Papua Nomor 9 Tahun 2019 tentang Tata Cara Pengisian Keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat Papua yang Ditetapkan Melalui Mekanisme Pengangkatan Periode 2019-2024 dan Peraturan Daerah Khusus Provinsi Papua Barat Nomor 4 Tahun 2019 tentang Tata Cara Pengisian Keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat Papua Barat Melalui Mekanisme Pengangkatan;
[3.11] Menimbang bahwa Mahkamah menguraikan hal tersebut, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan dalil Permohonan Pemohon sebagai berikut:
Bahwa Pemohon mendalilkan kata “diangkat” pada Pasal 6 ayat (2) UU 21/2001 berpotensi bertentangan dengan UUD 1945 dan merugikan hak konstitusional masyarakat Papua, khususnya Pemohon, yang memiliki hak kedudukan yang sama dalam hukum dan pemerintahan. Selain itu menurut Pemohon pemilihan Anggota DPR Provinsi di Papua yang dilakukan melalui mekanisme pengangkatan sebagaimana ditentukan dalam Perdasus yang merupakan pelaksana dari ketentuan Pasal 6 ayat (2) UU 21/2001 mengurangi hak-hak konstitusional masyarakat Papua, sehingga Pasal a quo bertentangan dengan UUD 1945;
Terhadap dalil Pemohon tersebut, menurut Mahkamah, bahwa Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua pada dasarnya adalah pemberian kewenangan yang lebih luas bagi Provinsi dan rakyat Papua untuk mengatur dan mengurus diri sendiri di dalam kerangka NKRI. Kewenangan yang lebih luas berarti pula tanggung jawab yang lebih besar bagi Provinsi dan rakyat Papua untuk menyelenggarakan pemerintahan, termasuk dalam penentuan wakil-wakil rakyat Papua dalam Pemilu yang diselenggarakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kewenangan tersebut berarti pula kewenangan untuk memberdayakan masyarakat Papua, termasuk memberikan peran yang memadai bagi orang-orang asli Papua melalui para wakil adat, agama, dan kaum perempuan. Peran yang dilakukan adalah ikut serta merumuskan kebijakan daerah, menentukan strategi pembangunan dengan tetap menghargai kesetaraan dan keragaman kehidupan masyarakat Papua. Selain itu penjabaran dan pelaksanaan otonomi khusus di Provinsi dan Kabupaten/Kota dilakukan secara proporsional sesuai dengan jiwa dan semangat berbangsa dan bernegara yang hidup dalam niiai-nilai luhur masyarakat Papua, yang diatur dalam Peraturan Daerah Khusus dan Peraturan Daerah Provinsi. Peraturan Daerah Khusus dan/atau Peraturan Daerah Provinsi adalah Peraturan Daerah yang tidak boleh mengesampingkan peraturan perundang-undangan lain yang ada, termasuk dalam hal pemilihan dan pengangkatan Anggota DPR Provinsi Papua;
[3.12] Menimbang bahwa Pemohon mendalilkan frasa “diangkat” pada Pasal 6 ayat (2) UU 21/2001 bertentangan dengan UUD 1945 karena mekanisme pengangkatan yang diatur dalam Perdasus dilakukan tidak adil. Terhadap dalil Pemohon tersebut Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.12.1] Bahwa dalam Permohonannya, Pemohon mendalilkan, pengangkatan anggota DPRP dan DPRPB yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah merupakan tindakan penyimpangan terhadap demokrasi yang telah dianut dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia, menegasikan prinsip kedaulatan rakyat, menciptakan diskriminasi, ketidakadilan, dan berpotensi menimbulkan konflik.
Berkenaan dengan dalil dimaksud, Mahkamah perlu menjelaskan bahwa kata “diangkat” dalam Pasal 6 ayat (2) UU 21/2001 yang menyatakan, “DPRP terdiri atas anggota yang dipilih dan diangkat berdasarkan peraturan perundang-undangan”, apabila diletakkan dalam status otonomi khusus yang diberikan pada Papua (termasuk Papua Barat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua Menjadi Undang-Undang) adalah bagian dari pengakuan negara terhadap bentuk kekhususan daerah ini dalam bingkai NKRI. Pengakuan demikian sesuai dengan Penjelasan Umum UU 21/2001 yang menyatakan:
Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua pada dasarnya adalah pemberian kewenangan yang lebih luas bagi Provinsi dan rakyat Papua untuk mengatur dan mengurus diri sendiri di dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kewenangan yang lebih luas berarti pula tanggung jawab yang lebih besar bagi Provinsi dan rakyat Papua untuk menyelenggarakan pemerintahan dan mengatur pemanfaatan kekayaan alam di Provinsi Papua untuk sebesar-besamya bagi kemakmuran rakyat Papua sebagai bagian dari rakyat Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kewenangan ini berarti pula kewenangan untuk memberdayakan potensi sosial-budaya dan perekonomian masyarakat Papua, termasuk memberikan peran yang memadai bagi orang-orang asli Papua melalui para wakil adat, agama, dan kaum perempuan. Peran yang dilakukan adalah ikut serta merumuskan kebijakan daerah, menentukan strategi pembangunan dengan tetap menghargai kesetaraan dan keragaman kehidupan masyarakat Papua, melestarikan budaya serta lingkungan alam Papua, yang tercermin melalui perubahan nama Irian Jaya menjadi Papua, lambang daerah dalam bentuk bendera daerah dan lagu daerah sebagai bentuk aktualisasi jati diri rakyat Papua dan pengakuan terhadap eksistensi hak ulayat, adat, masyarakat adat, dan hukum adat.
Merujuk Penjelasan Umum dimaksud, pengisian Anggota DPRP melalui mekanisme “pengangkatan” sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (2) UU 21/2001 merupakan bagian dari upaya memberikan peran dan pengakuan yang lebih besar kepada orang asli Papua dalam penyelenggaraan pemerintahan termasuk dalam perumusan kebijakan di lembaga perwakilan, in casu, DPRP dan DPRPB;
Jikalau upaya memberikan peran dan pengakuan lebih besar melalui mekanisme pengangkatan tersebut diubah atau dimaknai “dipilih oleh masyarakat asli Papua”, sebagaimana dimohonkan oleh Pemohon, menurut Mahkamah tidak sejalan dengan semangat otonomi khusus sebagaimana diamanatkan UUD 1945;
[3.12.2] Bahwa selanjutnya berkenaan dengan dalil Pemohon yang menyatakan pengangkatan anggota DPRP, menimbulkan konflik, namun Gubernur Provinsi Papua menghendaki agar anggota DPRP yang diangkat yang berasal dari periode tahun 2014-2019 diteruskan saja untuk periode 2019-2024, sehingga meski ditolak oleh Kementerian Dalam Negeri, keinginan tersebut menunjukkan adanya upaya untuk melakukan penyimpangan terhadap demokrasi yang telah dianut dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Begitu pula, upaya menyimpangi praktik demokrasi tersebut pun terjadi di DPRPB, di mana salah seorang Ketua Majelis Rakyat Papua Provinsi Papua Barat ditunjuk dan menjadi anggota Panitia Seleksi;
Berkenaan dengan dalil tersebut, bahwa mekanisme pengangkatan dinilai telah menimbulkan konflik, menurut Mahkamah, seandainya adalah benar bahwa pengisian Anggota DPRP melalui mekanisme pengangkatan sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (2) UU 21/2001 telah menimbulkan konflik, hal demikian bukanlah merupakan persoalan konstitusionalitas norma a quo, melainkan merupakan penerapan atau implementasi norma;
Berkenaan dengan penerapan atau implementasi norma tersebut, kekhususan dalam pengisian Anggota DPR Provinsi, baik Provinsi Papua maupun Provinsi Papua Barat, melalui mekanisme pengangkatan yang dipilih oleh Panitia Seleksi merupakan upaya demokratis dalam pengisian anggota DPRP melalui mekanisme pengangkatan. Menurut Mahkamah, jikalau terdapat masalah, misalnya terkait dengan keberadaan anggota Panitia Seleksi yang mempunyai “tendensi atau kecenderungan memiliki kedekatan dengan partai politik”, hal demikian tidak terkait dengan konstitusionalitas kata “diangkat” dalam Pasal 6 ayat (2) UU 21/2001. Bahkan, sebagai implementasi dari Pasal 6 ayat (2) UU 21/2001 sesuai dengan pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi Nomor 116/PUU-VII/2009, pengaturan perihal komposisi keanggotaan Panitia Seleksi dapat disesuaikan tanpa perlu mempersoalkan konstitusionalitas kata “diangkat” dalam norma Pasal 6 ayat (2) UU 21/2001, misalnya dengan mempertimbangkan “keterwakilan perempuan” secara profesional dan juga mempertimbangkan “keterwakilan masyarakat adat” sesuai dengan “wilayah adat” di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat. Begitu pula untuk menjauhkan dari “tendensi atau kecenderungan memiliki kedekatan dengan partai politik”, anggota Panitia Seleksi tidak berasal dari unsur yang dapat dinilai berasal dari partai politik;
[3.12.3] Bahwa lebih jauh berkenaan dengan dalil Pemohon yang menyatakan kekacauan dalam mekanisme “pengangkatan” anggota DPR Provinsi yang ditentukan oleh Perdasus, baik Perdasus Papua maupun Perdasus Papua Barat menunjukkan adanya proses rekrutmen yang tidak fair dan tidak demokratis, sehingga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan asas-asas atau prinsip-prinsip Pemilu yang “langsung”, “umum”, “bebas”, “rahasia”, “jujur”, dan “adil” yang menjamin hak konstitusional masyarakat adat asli orang Papua.
Berkenaan dengan dalil Pemohon tersebut, sebagai bagian dari desain otonomi khusus Papua, keberadaan Perdasus merupakan karakteristik yang diberikan oleh UU 21/2001. Dalam hal ini, perihal substansi atau materi Perdasus bukanlah kewenangan Mahkamah untuk menilainya. Sementara itu, penilaian atau dalil yang menyatakan pengisian anggota DPRP dan DPRPB melalui mekanisme pengangkatan bertentangan dengan prinsip-prinsip Pemilu yang “langsung”, “umum”, “bebas”, “rahasia”, “jujur”, dan “adil”, menurut Mahkamah tidaklah tepat digunakan untuk menilai konstitusionalitas kata “diangkat” dalam norma Pasal 6 ayat (2) UU 21/2001. Karena, mekanisme pengangkatan memang tidak dimaksudkan penyelenggaraannya dilaksanakan melalui proses pemilihan langsung sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945. Apalagi Pasal 6 ayat (2) UU 21/2001 merupakan affirmative action terhadap masyarakat asli Papua dalam lembaga perwakilan di daerah, baik DPRP maupun DPRPB, dalam rangka mengambil kebijakan pemerintah Provinsi, baik Provinsi Papua maupun Provinsi Papua Barat;
Selain pertimbangan tersebut, perlu Mahkamah tegaskan, pengisian lembaga perwakilan melalui mekanisme pengangkatan yang dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada kelompok tertentu dalam masyarakat agar dapat dipastikan mereka memiliki wakil di lembaga perwakilan, mekanisme pengangkatan memang tidak sama dengan cara pemilihan yang dilakukan secara langsung oleh rakyat. Apabila diletakkan dalam konteks otonomi khusus Papua, mekanisme tersebut adalah merupakan wujud dari kekhususan Papua dan Papua Barat dan sekaligus untuk memberikan ruang yang lebih besar kepada orang asli Papua duduk di DPRP dan DPRPB. Jikalau logika Pemohon diikuti, kata “diangkat” dimaknai menjadi “dipilih oleh masyarakat asli Papua”, selain mengurangi karakter kekhususan Papua dan Papua Barat dalam bingkai NKRI, tindakan tersebut dapat mengurangi peluang orang asli Papua menjadi anggota DPRP dan DPRPB;
[3.13] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan di atas, menurut Mahkamah, dalil Permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430