Resume Putusan MK - Menyatakan Menolak, Tidak Dapat Diterima


Warning: Undefined variable $file_pdf in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-resume.phtml on line 66
INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak/Tidak Diterima Oleh Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 55/PUU-XVII/2019 PERIHAL PENGUJIAN PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PEMILIHAN UMUM, UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA MENJADI UNDANG-UNDANG, DAN UNDANGUNDANG NOMOR 10 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA MENJADI UNDANG-UNDANG TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 26-02-2020

Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)

Pasal 167 ayat (3), Pasal 347 ayat (1) UU 7/2017, Pasal 3 ayat (1) UU 8/2015, dan Pasal 201 ayat (7) serta Pasal 201 ayat (9) UU 10/2016

Pasal 1 ayat (2), Pasal 4 ayat (1), Pasal 22E ayat (1), Pasal 18 ayat (3) dan Pasal 18 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal & Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 167 ayat (3), Pasal 347 ayat (1) UU 7/2017, Pasal 3 ayat (1) UU 8/2015, dan Pasal 201 ayat (7) serta Pasal 201 ayat (9) UU 10/2016 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.15] Menimbang bahwa setelah memahami dengan saksama arah Pemilu Serentak yang konstitusional sebagaimana didalilkan Pemohon, Mahkamah akan mempertimbangkan substansi dalil Pemohon dengan tiga konstruksi dasar dengan merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 bertanggal 23 Januari 2013 yang pokoknya menyatakan penyelenggaraan Pemilu Serentak adalah konstitusional;

[3.15.1] Bahwa sebagaimana diuraikan dan dipertimbangkan di dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013, salah satu dasar penilaian perihal konstitusionalitas Pemilu Serentak adalah berdasarkan pada original intent UUD 1945;

Bahwa berkenaan dengan original intent, dalam pengertian dan makna yang lebih longgar, yaitu sekitar ide-ide yang dikemukakan dan berkembang selama masa pembahasan perubahan UUD 1945 terutama berkenaan dengan pemilihan umum, Mahkamah harus merujuk kembali ihwal bagaimana sesungguhnya ide-ide berkembang yang dikemukakan para pengubah UUD 1945 berkenaan dengan pemilihan umum, terutama pemilihan umum anggota legislatif dan pemilihan umum presiden dan wakil presiden. Penelusuran kembali diperlukan karena Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 yang menyatakan Pemilu Serentak konstitusional lebih menekankan pada pendapat yang pada pokoknya pelaksanaan pemilihan umum serentak terdapat 5 (lima) kotak suara, yang lebih dikenal dengan “Pemilihan Umum Lima Kotak”;

Bahwa setelah menelusuri kembali secara saksama risalah perubahan UUD 1945, mulai tahun 1999 hingga 2001, perihal ide-ide yang dikemukakan dan berkembang selama pembahasan perubahan UUD 1945, Mahkamah menemukan fakta sebagai berikut:

Pertama, bahwa pada pembukaan Rapat ke-3 sesi kedua Panitia Ad-Hoc (PAH) III Badan Pekerja (BP) Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), tanggal 9 Oktober 1999, dalam kapasitas sebagai pimpinan rapat, Slamet Effendy Yusuf menginventarisasi usulan yang masuk terkait dengan rencana perubahan Pasal 6 ayat (2) UUD 1945. Slamet Effendy Yusuf mencatat ada tiga alternatif usulan, yaitu: (1) Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh MPR dengan suara terbanyak; (2) Presiden dan Wakil Presiden dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum; dan (3) Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh MPR dengan suara terbanyak sesuai dengan hasil pemilihan umum [vide Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Buku V, hlm. 246];

Kedua, bahwa berbarengan dengan menguatnya ide atau gagasan untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden secara langsung, dalam Rapat ke-39 PAH I BP MPR, tanggal 6 Juni 2000, gagasan penyelenggaraan “pemilu secara serentak” telah muncul. Terkait dengan hal ini, A.M. Lutfi, juru bicara F-Reformasi mengusulkan bab dengan judul “Pemilihan Umum” yang terdiri dari lima ayat yang pada ayat (4)-nya menyatakan: “Pemilihan umum dilakukan secara bersamaan di seluruh Indonesia, serentak” [vide Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Buku V, hlm. 513]. Sementara itu, Hobbes Sinaga, juru bicara F-PDIP menyampaikan usul berkaitan dengan rumusan bab dan pasal perihal pemilihan umum. Dari delapan ayat yang diusulkan, satu di antaranya terkait dengan tata cara pelaksanaannya berkaitan dengan ayat (1), yaitu: untuk pelaksanaan kedaulatan rakyat dilakukan pemilihan umum yang jujur, adil, langsung, umum, bebas, dan rahasia, serentak di seluruh wilayah Republik Indonesia untuk memilih anggota DPR, DPRD, dan DPD [vide Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Buku V, hlm. 517]. Begitu pula F-KB, mengusulkan agar pemilu dilakukan secara serentak secara nasional maupun yang bersifat lokal, sebagai berikut:

Pertama, menyangkut wilayah dari pemilu. Bahwa adanya pemilihan umum yang dilaksanakan pada tingkat nasional atau dilakukan secara serentak secara nasional dan itu dilakukan dalam rangka memilih Presiden dan Wakil Presiden, anggota DPR, anggota DPD, anggota DPRD I atau DPRD II. Ini dilaksanakan secara nasional dan serentak dalam jangka waktu lima tahun sekali.
Ketiga, menyangkut prinsip pelaksanaan pemilu secara serentak yang bersifat nasional maupun yang bersifat lokal dilaksanakan dengan prinsip jujur, adil, langsung, umum, bebas, rahasia;
[vide Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Buku V, hlm. 521]

Ketiga, bahwa berkenaan dengan usulan-usulan serentak tersebut, juru bicara F-PBB, Hamdan Zoelva secara implisit berupaya untuk memisahkan jadwal penyelenggaraan pemilu tersebut dengan mempertegas pembedaan macammacam pemilu sebagai berikut:

Pertanyaannya, apakah semua pemilihan ini, namanya pemilihan umum yang harus dilaksanakan satu sekali dalam setahun serentak di seluruh Indonesia. Tentunya tidak mungkin lah seluruh pemilihan yang tadinya ada dalam bab-bab yang lain, dilakukan satu kali dan sekaligus dan serentak di seluruh Indonesia karena berbagai macam pemilihan itu.Oleh karena itu, pemilihan umum ini sangat berkaitan dengan masa jabatan dari pejabat yang akan dipilih.

Oleh karena itu, belum tentu seluruh pemilihan ini dilakukan sekaligus akan tetapi tergantung kepada berakhirnya masa jabatan atas jabatan yang akan kita pilih itu. Jadi, bisa jadi ada beberapa kali pemilihan dalam lima tahun itu. Ada pemilihan langsung gubernur, ada pemilihan langsung walikota, ada pemilihan DPR pusat yang mungkin bisa berbeda;
[vide Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Buku V, hlm. 523]

Keempat, bahwa perdebatan-perdebatan sekitar ide yang berkembang perihal pemilihan umum tersebut berujung dengan dirumuskannya draf Pasal 22E ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan:

Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah secara serentak di seluruh Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Draf tersebut dibahas dalam rapat sinkronisasi PAH I BP MPR tanggal 11 Juli 2000. Dalam hal ini, Slamet Effendy Yusuf, Wakil Ketua PAH I BP MPR sekaligus pimpinan rapat, bertanya kepada forum ihwal frasa “secara serentak” dalam draf tersebut. Ia mempertanyakan apakah penyelenggaraan pemilu pada saat DPR dipilih berarti secara serentak, DPD secara serentak serta DPRD secara serentak atau DPR, DPD, dan DPRD secara serentak?

Menanggapi pertanyaan Slamet Effendy Yusuf, Hamdan Zoelva meminta agar frasa “secara serentak” dihapuskan saja,
Saya usul mengenai pasal ini, dalam pemilihan itu kita ingatkan saja dengan pertimbangan bahwa biarlah kita atur apakah ini nanti bisa dilaksanakan secara serentak di seluruh Indonesia yang dipilih itu ataukah tidak, nanti kita atur saja dalam Undang-Undang Otonomi Daerah atau dalam undang-undang [vide Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Buku V, hlm 545-546];

Usulan yang disampaikan Hamdan Zoelva langsung ditindaklanjuti pimpinan rapat dengan mengundang peserta rapat untuk menyetujui secara aklamasi. Pada saat itu, peserta rapat menyambut ajakan itu dengan kata: “setuju” [vide Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Buku V, hlm 545-546];

Kelima, bahwa dalam Rapat Komisi A Sidang Tahunan MPR, pada tanggal 5 November 2001, anggota F-KKI, Tjetje Hidayat mempertanyakan ihwal alasan memasukkan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dalam pengertian general election, pimpinan rapat dan sekaligus wakil ketua PAH I BP MPR, Slamet Effendy Yusuf menjelaskan sebagai berikut:

Jadi memang begini, memang pada konsep ini, secara keseluruhan itu, Presiden nanti dalam pemilihan yang disebut langsung itu diadakan di dalam pemilihan umum yang diselenggarakan bareng-bareng ketika memilih DPR, DPD, kemudian DPRD, kemudian juga paket Presiden dan Wakil Presiden sehingga digambarkan nanti ada lima kotak. Jadi kotak untuk DPR RI, kotak untuk DPD, kotak untuk DPRD Provinsi, kotak untuk DPRD Kota atau Kabupaten, dan kotak untuk Presiden dan Wakil Presiden itu. Jadi gambarannya memang itu dan memang konsep ini menyebut pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dalam pemilihan umum [vide Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Buku V, hlm. 602].

Terkait dengan jawaban Slamet Effendy Yusuf tersebut, L.T. Soetanto dari F-KKI menginginkan dipisahkannya pemilihan umum dengan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, yang pada intinya menyatakan:

Kemudian menyangkut Pemilihan Umum, yaitu ayat (2), Kami tetap menginginkan supaya pemilihan Presiden dan Pemilihan Umum itu dipisahkan. Kemudian pemilihan Presiden itu dapat diikuti juga pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota [vide Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Buku V, hlm. 605-606];
Sementara itu, dari F-KB, Ali Masykur Musa mengajukan usulan alternatif, sebagai berikut:

.... Seyogianya memang pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dalam pasangan itu waktunya berbeda dengan pemilihan umum untuk memilih DPR, DPD, dan DPRD. Jadi, misalkan pemilihan umum untuk memilih para wakil rakyat di semua tingkatan. Wakil rakyat itu publik mengatakan ya DPR, ya DPRD. Apabila DPD sudah masuk wakil rakyat maka juga masuk DPD...

.... Berkaitan dengan apakah pemilihan Presiden dan Wakil Presiden sebagai rumpun pemilihan eksekutif, dibuat Bab tersendiri yang di situ ada Presiden, gubernur, bupati, walikota, dan sebagainya yang dipilih langsung oleh rakyat, maka bisa juga dibuat sebuah Bab tersendiri;
[vide Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Buku V, hlm. 606]

Tanggapan agak berbeda dikemukakan Nadjih Ahmad, dari F-PBB, yang intinya menghendaki pemilihan kepala daerah sebagai bagian dari pemilu. Terkait dengan penyelenggaraan pemilihan umum, Nadjih Ahmad menyatakan:

Kemudian yang idealnya untuk DPRD, itu bersama-sama pemilihannya dengan gubernur dan bupati. Di dalam Pasal mengenai Pemilihan Umum Ayat (2), belum tercantum masalah pemilihan gubernur dan pemilihan bupati. Saya kira kalau Presiden saja dipilih langsung, apalagi gubernur dan bupati [vide Naskah KomprehensifPerubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Buku V, hlm. 608];

Keenam, bahwa melacak perdebatan selama perubahan UUD 1945, terdapat banyak pandangan dan perdebatan perihal keserentakan pemilihan umum. Dalam hal ini, adalah benar penyelenggaraan Pemilu Serentak Lima Kotak menjadi salah satu gagasan yang muncul dari pengubah UUD 1945. Namun gagasan tersebut bukanlah satu-satunya yang berkembang ketika perubahan UUD 1945. Berdasarkan penelusuran rekaman pembahasan atau risalah perubahan UUD 1945 membuktikan terdapat banyak varian pemikiran perihal keserentakan penyelenggaraan pemilihan umum. Bahkan, para pengubah UUD 1945 sama sekali tidak membedakan rezim pemilhan. Di antara varian tersebut, yaitu: (1) Pemilihan umum, baik pemilihan anggota legislatif maupun pemilihan presiden dan wakil presiden, dilakukan secara bersamaan atau serentak di seluruh Indonesia; (2) Pemilihan umum serentak hanya untuk memilih anggota DPR, DPRD, dan DPD dilaksanakan di seluruh wilayah Republik Indonesia; (3) Pemilihan umum serentak secara nasional maupun serentak yang bersifat lokal; (4) Pemilihan umum serentak sesuai dengan berakhirnya masa jabatan yang akan dipilih, sehingga serentak dapat dilakukan beberapa kali dalam lima tahun itu, termasuk memilih langsung gubernur dan bupati/walikota; (5) Pemilihan umum serentak, namun penyelenggaraan keserentakannya diatur dengan undang-undang; (6) Penyelenggaraan pemilihan Presiden dan Pemilihan Umum dipisahkan. Kemudian pemilihan Presiden dapat diikuti juga dengan pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota; dan (7) Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden waktunya berbeda dengan pemilihan umum untuk memilih DPR, DPD, dan DPRD. Sementara itu, pemilihan rumpun eksekutif: Presiden dan Wakil Presiden, Gubernur, Bupati, Walikota, dan sebagainya dipilih langsung oleh rakyat;

Ketujuh, bahwa dengan uraian di atas, pertimbangan hukum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 yang menyatakan Pemilu Serentak adalah konstitusional merupakan pertimbangan yang memiliki dasar yang kuat pada saat pembahasan perubahan UUD 1945. Namun demikian, Pemilu Serentak Lima Kotak sebagai model penyelenggaraan pemilu serentak yang dikehendaki oleh UUD 1945 bukanlah satu-satunya gagasan yang berkembang dan diperdebatkan selama perubahan UUD 1945. Sebab, pengubah UUD 1945tidak begitu mempersoalkan apakah penyelenggaraan pemilu anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, dan anggota DPRD dilaksanakan serentak semuanya, serentak sebagian, digabungkan semua atau dipisah-pisah, sepanjang pilihan yang tersedia bermuara kepada penguatan sistem pemerintahan presidensial, pilihan pelaksanaan pemilu serentak yang demikian adalah tetap konstitusional;

[3.15.2] Bahwa sesuai dengan pertimbangan “sepanjang pilihan yang tersedia bermuara pada penguatan sistem pemerintahan presidensial” di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan model penyelenggaraan Pemilu Serentak yang dapat memperkuat sistem pemerintahan presidensial sesuai dengan kesepakatan para pengubah UUD 1945. Kerangka dasar untuk memperkuat sistem pemerintahan presidensial dalam desain Pemilu Serentak pun telah diuraikan dan dipertimbangkan dalam sub-Pertama Paragraf [3.17] Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 yang mengaitkannya dengan pilihan pengubah UUD 1945 untuk memperkuat sistem pemerintahan presidensial yang antara lain menyatakan:

Pertama, menurut Mahkamah penyelenggaraan Pilpres haruslah dikaitkan dengan rancang bangun sistem pemerintahan menurut UUD 1945, yaitu sistem pemerintahan presidensial. Salah satu di antara kesepakatan Badan Pekerja Majelis Permusyawaratan Rakyat saat melakukan pembahasan Perubahan UUD 1945 (1999-2002) adalah memperkuat sistem presidensial. Dalam sistem pemerintahan presidensial menurut UUD 1945, Presiden memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar. Presiden sebagai kepala negara dan lambang pemersatu bangsa.

Bahwa selain pertimbangan dalam Putusan tersebut, penyederhanaan partai politik merupakan salah satu cara memperkuat sistem pemerintahan presidensial. Bagi negara-negara yang sistem pemerintahan presidensialnya dibangun dengan sistem kepartaian majemuk (multipartai) yang tidak sederhana, penyederhanaan partai politik menjadi suatu keniscayaan. Terkait dengan strategi penyederhanaan partai politik dalam sistem pemerintahan presidensial Indonesia, pertimbangan hukum sub-Paragraf [3.13.7] angka 4 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-XV/2017, bertanggal 11 Januari 2018, di antaranya menyatakan:

…untuk memperketat persyaratan partai politik menjadi peserta Pemilu. Hal ini sejalan dengan desain konstitusi yang bermaksud menyederhanakan sistem kepartaian. Dalam batas penalaran yang wajar, dengan memperberat persyaratan yang harus dipenuhi partai politik untuk menjadi peserta Pemilu maka jumlah partai politik yang menjadi peserta Pemilu akan makin terbatas. Dengan pengetatan persyaratan tersebut, jumlah partai politik akan makin mendukung bekerjanya sistem pemerintahan presidensial sebagaimana yang dianut UUD 1945. Bagaimanapun, telah menjadi pengetahuan umum, baik secara doktriner dan maupun pengalaman empiris, sistem pemerintahan presidensial menjadi sulit bekerja optimal di tengah model sistem multipartai dengan jumlah yang tidak terkendali. Oleh karena itu, selalu dipersiapkan berbagai strategi (desain) untuk menyederhanakan jumlah partai politik terutama partai politik sebagai peserta Pemilu.

Sebagai bagian dari upaya memenuhi desain memperketat jumlah partai politik dimaksud, salah satu upaya mendasar yang harus dilakukan oleh penyelenggara Pemilu adalah memastikan semua partai politik yang dinyatakan menjadi peserta Pemilu memenuhi semua persyaratan yang dicantumkan dalam UU Pemilu. Misalnya, dalam soal kepengurusan untuk mencerminkan sifat nasional partai politik, UU Pemilu menyatakan bahwa partai politik menjadi peserta Pemilu harus (1) memiliki kepengurusan di seluruh provinsi; (2) minimal memiliki kepengurusan di 75% (tujuh puluh lima persen) jumlah kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan; dan (3) minimal memiliki kepengurusan di 50% (lima puluh persen) jumlah kecamatan di kabupaten/kota yang bersangkutan, penyelenggara Pemilu harus memastikan keterpenuhan syarat minimal kepengurusan tersebut tanpa melakukan pengecualian untuk tidak melakukan verifikasi di tingkat manapun, termasuk verifikasi keterpenuhan persentase kepengurusan di tingkat kecamatan.

Bahwa apabila dikaitkan pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 dengan pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-XV/2017 di atas, upaya penguatan sistem pemerintahan presidensial dengan cara menyederhanakan jumlah partai politik peserta pemilihan umum dapat dikatakan sebagai salah satu cara dari berbagai cara yang lazim dikenal dalam praktik sistem pemerintahan presidensial. Penyederhanaan partai politik diperlukan agar menjadi lebih mudah mengelola hubungan antara presiden (sebagai pemegang kekuasaan eksekutif) dengan pemegang kekuasaan legislatif. Dalam hal ini, jamak dimengerti, baik secara doktriner maupun praktik, semakin banyak jumlah partai politik yang berada di lembaga legislatif semakin sulit mengelola hubungan antara pemegang kekuasaan legislatif dengan pemegang kekuasaan eksekutif. Apalagi terjadi situasi di mana dukungan terhadap presiden dari lembaga legislatif diraih melalui koalisi sejumlah partai politik. Terkait dengan kondisi demikian, misalnya, penelitian Scott Mainwaring (1993) menyatakan bahwa the combination of presidentialism and multipartism is complicated by the difficulties of interparty coalition-building in presidential democracies. Kondisi yang dikemukakan Scott Mainwaring tersebut dapat diteropong dari praktik pemerintahan pasca-Pemilu 2004. Ketika itu, Susilo Bambang Yudhoyono terpilih sebagai presiden yang hanya didukung modal awal 7 (tujuh) persen suara Partai Demokrat hasil Pemilihan Umum Anggota DPR Tahun 2004 yang dilaksanakan lebih awal dan terpisah dengan pemilihan umum presiden dan wakil presiden. Karena fakta tersebut, untuk memperbesar dukungan politik di DPR, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memilih langkah yang lazimnya terjadi dalam praktik sistem pemerintahan presidensial sebagai minority president, yaitu merangkul 6 (enam) partai politik di luar Partai Demokrat;

Bahwa perbedaan dukungan antara partai politik yang meraih kursi terbanyak di lembaga perwakilan dengan minority president, selain melakukan desain seperti memperberat dan memperketat persyaratan bagi partai politik menjadi peserta pemilihan umum sebagaimana telah dipertimbangkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-XV/2017 di atas, mengatur keserentakan pelaksanaan pemilihan umum anggota legislatif dengan pemilihan umum presiden dan wakil presiden menjadi upaya strategis lainnya dalam memperkuat sistem pemerintahan presidensial. Secara teoritis, sejumlah hasil penelitian menujukkan bahwa pemilu serentak dianggap dapat memperkuat sistem pemerintahan presidensial karena dapat menjadikan jumlah partai politik lebih sederhana. Dalam hal ini, Matt Golder (2006) menyatakan:

Presidential elections are commonly thought to influence legislative fragmentation through a coattails effect where the fortunes of electoral parties are tied to the fate of their party’s presidential candidate.

The presidency is nearly always the most important electoral prize in a presidential regime. As a result, presidential candidates become the focus for the vast majority of national media attention and campaign contributions. This aspect of presidential campaigns generates incentives for legislative candidates to organize their campaigns around their party’s presidential candidate in the hope of benefiting from his or her organizational, financial, and media advantages.

Bahwa merujuk pandangan tersebut, pelaksanaan pemilihan umum serentak antara pemilihan presiden dan wakil presiden dengan pemilihan anggota legislatif tidak terlepas dari penilaian ihwal pemilihan presiden dan wakil presiden dianggap memengaruhi pemilihan legislatif melalui coattails effect karena nasib partai politik terkait dengan nasib calon presiden partai mereka. Dengan efek yang ditimbulkan tersebut, dukungan terhadap calon presiden cenderung memberikan keuntungan bagi kandidat legislatif karena pemilih cenderung akan memilih calon anggota legislatif yang berasal dari partai politik yang sama dengan calon presiden atau partai politik pendukung calon presiden. Terkait dengan efek tersebut, David Samuels (2000) menyatakan bahwa coattail effects dimaknai sebagai “the ability of a candidate at the top of the ticket to carry into office...his party’s candidates on the same ticket”. Pendapat David Samuels hendak menegaskan satu hal penting, yaitu kemampuan yang dimiliki calon presiden akan memberikan keuntungan bagi calon anggota legislatif dari partai politik yang sama dengan calon presiden atau dari partai politik yang memberikan dukungan kepada calon presiden yang sama. Dengan menggunakan pendapat tersebut, efek pemilihan umum anggota legislatif yang diselenggarakan serentak dengan pemilihan presiden dan wakil presiden, pemilih cenderung untuk memilih partai politik calon presiden/wakil presiden atau partai politik pendukung calon presiden/wakil presiden.

Bahwa terkait dengan pandangan di atas, secara doktriner pemilihan umum serentak merupakan solusi mengatasi keterbelahan hubungan antara pemegang kekuasaan eksekutif dan pemegang kekuasaan legislatif. Pemilu serentak adalah pemilihan umum anggota legislatif dan pemilihan umum presiden/wakil presiden yang diselenggarakan dalam waktu yang bersamaan. Karena itu, sebagaimana hasil kajian Mark Pyane dkk. (2002) menunjukkan, pemilihan umum serentak tidak hanya berhasil menyederhanakan sistem kepartaian di lembaga perwakilan, tetapi juga berkecenderungan terbentuknya pemerintahan kongruen karena pemilih yang memilih presiden dari partai politik atau didukung oleh partai politik tertentu akan memiliki kecenderungan memilih anggota legislatif dari partai politik presiden atau partai politik yang mendukung presiden;

[3.15.3] Bahwa setelah menelusuri original intent dan sejumlah doktriner yang didukung pengalaman empirik, selanjutnya Mahkamah akan menelusuri kembali makna “Pemilihan Umum Serentak” dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013. Dalam batas penalaran yang wajar, Putusan Mahkamah Konstitusi a quo dapat dikatakan mengubah sikap Mahkamah terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008, bertanggal 18 Februari 2009 yang pada pokoknya menyatakan pemilihan umum anggota lembaga perwakilan yang dilaksanakan lebih dulu dari pemilihan presiden dan wakil presiden sebagai sesuatu yang konstitusional. Karena pertimbangan hukum Mahkamah dalam Putusan Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008 tersebut, Pemilihan Umum 2009 dan Pemilihan Umum 2014 tetap diselenggarakan seperti Pemilihan Umum 2004, yaitu pemilihan umum anggota lembaga perwakilan (DPR, DPD, dan DPRD) diselenggarakan lebih dulu dibandingkan pemilihan umum presiden dan wakil presiden;

Bahwa dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013, praktik yang telah berlangsung sejak Pemilihan Umum 2004 tersebut diubah begitu rupa dengan cara menyerentakan pemilihan umum anggota lembaga perwakilan (DPR, DPD, dan DPRD) dengan pemilihan umum presiden dan wakil presiden. Dengan perubahan ini, pelaksanaan pemilihan umum yang konstitusional adalah tidak lagi dengan memisahkan penyelenggaraan pemilihan umum anggota legislatif dengan pemilihan umum presiden dan wakil presiden. Perubahan pendirian Mahkamah tersebut adalah sesuatu yang dapat dibenarkan sepanjang perubahan didasarkan pada alasan yang substansial. Berkenaan dengan kemungkinan untuk mengubah sikap atau pendirian dari putusan sebelumnya, misalnya, dalam pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 24/PUU-XVII/2019, Mahkamah menyatakan:

[3.18] Menimbang bahwa secara doktriner maupun praktik, dalam pengujian konstitusionalitas undang-undang, perubahan pendirian Mahkamah bukanlah sesuatu yang tanpa dasar. Hal demikian merupakan sesuatu yang lazim terjadi. Bahkan, misalnya, di Amerika Serikat yang berada dalam tradisi common law, yang sangat ketat menerapkan asas precedent atau stare decisis atau res judicata, pun telah menjadi praktik yang lumrah di mana pengadilan, khususnya Mahkamah Agung Amerika Serikat (yang sekaligus berfungsi sebagai Mahkamah Konstitusi), mengubah pendiriannya dalam soal-soal yang berkait dengan konstitusi (hlm. 63).
Sebagaimana dikemukakan dalam Paragraf [3.17] Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013, pertimbangan mendasar yang menyebabkan Mahkamah mengubah pendirian dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 51-52-59/PUUVI/2008 dikarenakan 4 (empat) alasan, yaitu: (1) kaitan antara sistem pemilihan umum dan pilihan sistem pemerintahan presidensial, (2) original intent dari pembentuk UUD 1945, (3) efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan pemilihan umum, serta (4) hak warga negara untuk memilih secara cerdas;

Bahwa sebagaimana diuraikan dalam sub-Paragraf [3.15.2] di atas, sekalipun terdapat empat alasan yang menyebabkan berubahnya pendirian Mahkamah dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008, dapat dikatakan inti atau substansi dari alasan-alasan tersebut lebih bertumpu pada upaya penguatan sistem pemerintahan presidensial sebagai sistem pemerintahan yang disepakati dalam Perubahan UUD 1945. Sebagaimana diuraikan pula dalam pertimbangan hukum sub-Paragraf [3.15.2] a quo, pilihan atau desain waktu penyelenggaraan pemilihan umum guna memilih anggota legislatif dengan pemilihan umum presiden dan wakil presiden menjadi titik krusial dalam rancang-bangun penguatan sistem pemerintahan presidensial;

Bahwa dalam konteks rancang-bangun tersebut, persoalan mendasar yang harus dikemukakan, bagaimana sesungguhnya desain waktu penyelenggaraan pemilihan umum untuk memilih anggota legislatif dengan pemilihan umum untuk memilih presiden dan wakil presiden. Terkait dengan persoalan tersebut, sekalipun Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUUXI/2013 telah menyatakan bahwa penyelenggaraan pemilihan umum yang konstitusional adalah pemilihan umum anggota legislatif diselenggarakan serentak dengan pemilihan umum presiden dan wakil presiden, namun Putusan a quo belum begitu tegas menentukan desain atau waktu keserentakan dimaksud. Bahkan, meski menggunakan original intent Pemilu Serentak Lima Kotak, apabila dibaca secara saksama kalimat demi kalimat terutama pertimbangan hukum halaman 82-85, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 hanya sekali menyebut pemilihan umum serentak yang penyelenggaraannya serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, dan DPRD dengan pemilihan umum presiden dan wakil presiden (hlm. 83). Sementara itu, penyebutan pemilihan umum serentak sebagai pemilihan presiden dan wakil presiden diselenggarakan serentak dengan pemilihan anggota lembaga perwakilan disebut sebanyak 8 (delapan) kali. Tidak hanya itu, ketika menggunakan penafsiran sistematis, “penyelenggaraannya serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, dan DPRD dengan pemilihan umum presiden dan wakil presiden” sebagaimana pemaknaan Pasal 22E ayat (2) dan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945, yang hanya disebut satu kali dalam Putusan a quo, penyebutan itupun muncul saat menjelaskan konteks Pemilu Serentak Lima Kotak sebagai salah satu original intent dalam Perubahan UUD 1945;

[3.16] Menimbang bahwa merujuk pada pertimbangan di atas, sebagai bagian dari penguatan sistem pemerintahan presidensial, pemilihan umum serentak dengan cara menyerentakan pemilihan umum anggota lembaga perwakilan (DPR, DPD, dan DPRD) dengan pemilihan umum presiden dan wakil presiden masih terbuka kemungkinan ditinjau dan ditata kembali. Peninjauan dan penataan demikian dapat dilakukan sepanjang tidak mengubah prinsip dasar keserentakan pemilihan umum dalam praktik sistem pemerintahan presidensial, yaitu tetap mempertahankan keserentakan pemilihan umum untuk memilih anggota lembaga perwakilan rakyat tingkat pusat (yaitu DPR dan DPD) dengan pemilihan presiden dan wakil presiden. Pertimbangan demikian, baik secara doktriner maupun praktik, didasarkan pada basis argumentasi bahwa keserentakan pemilihan umum untuk memilih anggota lembaga perwakilan rakyat di tingkat pusat dengan pemilihan umum presiden dan wakil presiden merupakan konsekuensi logis dari upaya penguatan sistem pemerintahan presidensial;
Bahwa setelah menelusuri kembali original intent perihal pemilihan umum serentak; keterkaitan antara pemilihan umum serentak dalam konteks penguatan sistem pemerintahan presidensial; dan menelusuri makna pemilihan umum serentak dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013, terdapat sejumlah pilihan model keserentakan pemilihan umum yang tetap dapat dinilai konstitusional berdasarkan UUD 1945, yaitu:
1. Pemilihan umum serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden, dan anggota DPRD;
2. Pemilihan umum serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden, Gubernur, dan Bupati/Walikota;
3. Pemilihan umum serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden, anggota DPRD, Gubernur, dan Bupati/Walikota;
4. Pemilihan umum serentak nasional untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden; dan beberapa waktu setelahnya dilaksanakan Pemilihan umum serentak lokal untuk memilih anggota DPRD Provinsi, anggota DPRD Kabupaten/Kota, pemilihan Gubernur, dan Bupati/Walikota;
5. Pemilihan umum serentak nasional untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden; dan beberapa waktu setelahnya dilaksanakan Pemilihan umum serentak provinsi untuk memilih anggota DPRD Provinsi dan memilih gubernur; dan kemudian beberapa waktu setelahnya dilaksanakan pemilihan umum serentak kabupaten/kota untuk memilih anggota DPRD Kabupaten/Kota dan memilih Bupati dan Walikota;
6. Pilihan-pilihan lainnya sepanjang tetap menjaga sifat keserentakan pemilihan umum untuk memilih anggota DPR, DPD, dan Presiden/Wakil Presiden;

Bahwa dengan tersedianya berbagai kemungkinan pelaksanaan pemilihan umum serentak sebagaimana dikemukakan di atas, penentuan model yang dipilih menjadi wilayah bagi pembentuk undang-undang untuk memutuskannya. Namun demikian, dalam memutuskan pilihan model atas keserentakan penyelenggaraan pemilihan umum, pembentuk undang-undang perlu mempertimbangkan beberapa hal, antara lain, yaitu: (1) pemilihan model yang berimplikasi terhadap perubahan undang-undang dilakukan dengan partisipasi semua kalangan yang memiliki perhatian atas penyelenggaraan pemilihan umum; (2) kemungkinan perubahan undang-undang terhadap pilihan model-model tersebut dilakukan lebih awal sehingga tersedia waktu untuk dilakukan simulasi sebelum perubahan tersebut benar-benar efektif dilaksanakan; (3) pembentuk undang-undang memperhitungkan dengan cermat semua implikasi teknis atas pilihan model yang tersedia sehingga pelaksanaannya tetap berada dalam batas penalaran yang wajar terutama untuk mewujudkan pemilihan umum yang berkualitas; (4) pilihan model selalu memperhitungkan kemudahan dan kesederhanaan bagi pemilih dalam melaksanakan hak untuk memilih sebagai wujud pelaksanaan kedaulatan rakyat; dan (5) tidak acap-kali mengubah model pemilihan langsung yang diselenggarakan secara serentak sehingga terbangun kepastian dan kemapanan pelaksanaan pemilihan umum;

[3.17] Menimbang bahwa setelah mempertimbangkan beberapa persoalan mendasar sebagaimana dituangkan dalam Paragraf [3.15] dan Paragraf [3.16] di atas, perihal dalil Pemohon pemaknaan sepanjang frasa “pemungutan suara dilaksanakan secara serentak” dalam Pasal 167 ayat (3) dan Pasal 347 ayat (1) UU 7/2017 bertentangan dengan UUD 1945, Mahkamah tidak berwenang menentukan model pemilihan serentak di antara varian pilihan model yang telah dipertimbangkan di bagian akhir Paragraf [3.16] di atas yang dinyatakan konstitusional sepanjang tetap menjaga sifat keserentakan dalam pemilihan umum memilih anggota DPR, DPD, dan Presiden dan Wakil Presiden. Oleh karena itu, dalil Pemohon perihal pemaknaan frasa “pemungutan suara dilaksanakan secara serentak” dalam Pasal 167 ayat (3) dan Pasal 347 ayat (1) UU 7/2017 bertentangan dengan UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum;

[3.18] Menimbang bahwa dengan telah dinyatakan bahwa Mahkamah tidak berwenang menentukan model pemilihan serentak di antara varian pilihan model yang telah dipertimbangkan di bagian akhir Paragraf [3.16] di atas yang dinyatakan konstitusional sepanjang tetap menjaga sifat keserentakan dalam pemilihan umum untuk memilih anggota DPR, DPD, dan Presiden dan Wakil Presiden maka dalil Pemohon perihal pemaknaan Pasal 3 ayat (1) UU 8/2015 serta persoalan konstitusionalitas Pasal 201 ayat (7) dan ayat (9) UU 10/2016 menjadi kehilangan relevansi untuk dipertimbangkan oleh Mahkamah. Oleh karena itu, dalil Pemohon berkenaan Pasal 3 ayat (1) UU 8/2015 serta Pasal 201 ayat (7) dan ayat (9) UU 10/2016 ini pun adalah tidak beralasan menurut hukum;