Resume Putusan MK - Menyatakan Menolak, Tidak Dapat Diterima


Warning: Undefined variable $file_pdf in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-resume.phtml on line 66
RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 16/PUU-XVII/2019 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2014 TENTANG PERDAGANGAN / 28-11-2019

Reza Aldo Agusta

Pasal 4 ayat (2) huruf d UU Perdagangan

Pembukaan UUD NRI Tahun 1945, Pasal 28C ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 31 ayat (1), (2), (3), dan (4) UUD NRI Tahun 1945

Perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal & Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap permohonan pengujian pasal a quo, Mahkamah Konstitusi
memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

a. Bahwa Pemohon mendalilkan dengan berlakunya Pasal 4 ayat (2) huruf d UU 7/2014 menimbulkan ketidakpastian hukum, karena keseluruhan jasa pendidikan menjadi komoditas perdagangan dan Pasal 4 ayat (2) huruf d UU 7/2014 mengabaikan tujuan pendidikan karena tidak memberikan definisi dan ruang lingkup jasa pendidikan yang bisa diperdagangkan sehingga bertentangan dengan Alinea Keempat Pembukaan UUD 1945 dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Terhadap dalil Pemohon tersebut, sebagaimana pertimbangan Mahkamah dalam Paragraf [3.12], untuk memahami secara komprehensif pengertian jasa pendidikan dalam Pasal 4 ayat (2) huruf d UU 7/2014 tidaklah dapat dilepaskan dari UU 20/2003 dan UU 12/2012 yang pada prinsipnya menentukan penyelenggaraan pendidikan bersifat nirlaba yang artinya tidak mencari laba atau keuntungan. Andaipun terdapat sisa hasil usaha atas penyelenggaraan pendidikan tersebut harus dikembalikan atau diinvestasikan kembali ke perguruan tinggi yang bersangkutan untuk meningkatkan kapasitas dan/atau mutu layanan pendidikan. Dalam hal ini, sekalipun pendidikan disebut “komoditas” namun perdagangan jasa pendidikan di Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak untuk mencari keuntungan atau laba karena UU 20/2003 dan UU 12/2012 yang mengatur mengenai sistem pendidikan nasional telah menegaskan dengan jelas tanpa ada tafsir yang lain bahwa penyelenggaraan pendidikan bersifat nirlaba [vide Pasal 53 ayat (3) UU 20/2003, Pasal 60 ayat (2), Pasal 63 huruf c, dan Pasal 90 ayat (4) UU 12/2012]; Selain itu, meskipun dikategorikan sebagai “komoditas”, jasa
pendidikan tersebut tetap harus mengacu pada dan tidak boleh dilepaskan dari prinsip dasar upaya mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana ditegaskan dalam Pembukaan UUD 1945. Artinya, dimasukkannya jasa pendidikan sebagai jasa yang dapat diperdagangkan bukan berarti harus diperdagangkan. Negara tetap memiliki kekuasaan untuk menilai dan menentukan jasa pendidikan yang bagaimana yang dapat diperdagangkan tanpa melanggar Konstitusi.

b. Bahwa Pemohon mendalilkan Pasal 4 ayat (2) huruf d UU 7/2014 menjadikan jasa pendidikan sebagai komoditas perdagangan yang membuat pendidikan sebagai barang privat (private goods) sehingga berpotensi melepaskan tanggung jawab negara dalam memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional sehingga bertentangan dengan Pasal 31 ayat (2) dan ayat (4) UUD 1945. Terhadap dalil Pemohon tersebut, Mahkamah mempertimbangkan bahwa pendidikan dalam kaitannya dengan tanggung jawab pemerintah adalah tergolong public goods di mana negara tidak bisa melepas perannya untuk mengatur dan memberikan arah kebijakan sistem pendidikan nasional. Selain itu, sifat pendidikan yang harus bisa diakses oleh seluruh warga negara (accessible) merupakan alasan mengapa pendidikan tergolong sebagai public goods. Dalam hal ini, Mahkamah telah menegaskan pendiriannya sebagaimana tertuang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012/PUU-III/2005, bertanggal 19 Oktober 2005 halaman 58, yang menyatakan, “… Hak warga negara untuk mendapatkan pendidikan tidak hanya sebatas kewajiban negara untuk menghormati dan melindungi tetapi menjadi kewajiban negara untuk memenuhi hak warga negara tersebut. Karena demikian pentingnya pendidikan bagi bangsa Indonesia, menyebabkan pendidikan tidak hanya semata-mata ditetapkan sebagai hak warga negara saja, bahkan UUD
1945 memandang perlu untuk menjadikan pendidikan dasar sebagai kewajiban warga negara. Agar kewajiban warga negara dapat dipenuhi dengan baik maka UUD 1945, Pasal 31 ayat (2), mewajibkan kepada pemerintah untuk membiayainya.” Selain itu, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11-14-21-126 dan 136/PUU-VII/2009, bertanggal 30 Maret 2010, dipertimbangkan, “...sistem pendidikan nasional bukan semata hanya mengatur penyelenggaraan kesekolahan belaka. Bidangpendidikan terkait dengan hak asasi lain yaitu, hak untuk hidup dan mempertahankan kehidupannya, dan bagi anak, pendidikan merupakan bagian hak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang sejauh hidup tidak hanya dimaknai sebagai masih bisa bernafas, tetapi juga hak untuk mendapatkan kehidupan yang layak atau berkualitas sesuai nilai kemanusiaan yang adil dan beradab”.
Pertimbangan Mahkamah yang demikian semakin menunjukkan peran sentral negara dalam pendidikan tidak dapat dikurangi dan dialihkan. Pasal 4 ayat (2) huruf d UU 7/2014 yang menjadikan jasa pendidikan sebagai jasa yang dapat diperdagangkan, menurut Mahkamah tidak serta-merta membuat pendidikan dijadikan sebagai private goods;
Dengan adanya ketentuan yang memasukkan pendidikan ke dalam ruang lingkup jasa yang dapat diperdagangkan, tidak membuat pemerintah melepaskan diri dari tanggung jawabnya, karena sebagai jasa yang dapat diperdagangkan, jasa pendidikan penyelenggaraannya terikat dan tunduk dengan seluruh regulasi pendidikan nasional yang harus menjadi acuan dalam penyelenggaraannya. Sebagaimana dalam perdagangan barang atau jasa lainnya, negara dapat membuat perlindungan hukum atau proteksi dengan instrumen regulasi dalam
hal ini bidang kependidikan yang memberi pedoman dan panduan untuk menyelenggarakan pendidikan;

c. Bahwa selanjutnya Pemohon mendalilkan dengan berlakunya Pasal 4
ayat (2) huruf d UU 7/2014 maka terjadi dualisme sistem pendidikan di Indonesia yaitu berdasarkan rezim UU 20/2003 (Sisdiknas) dengan rezim UU 7/2014 (Perdagangan), yang memunculkan konflik antara tanggung jawab negara dalam bidang pendidikan dan perdagangan, sehingga bertentangan dengan Pasal 28C dan Pasal 31 ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945. Terhadap dalil Pemohon tersebut, Mahkamah berpendapat bahwa regulasi perdagangan dalam hal ini UU 7/2014
tidaklah berdiri sendiri, namun berkait erat dengan peraturan perundang-undangan lain, in casu UU 20/2003. Sebagai satu sistem pendidikan nasional seharusnya menjadi acuan dalam penyelenggaraan pendidikan nasional. Arah kebijakan pendidikan dan batasan-batasan yang digariskan dalam pengelolaan pendidikan nasional telah diatur secara komprehensif dalam UU 20/2003 beserta UU 12/2012 yang dilengkapi dengan peraturan pelaksana lainnya yang menjadi regulasi pendidikan nasional yang harus ditaati oleh siapapun yang berkepentingan dengan pendidikan nasional di Indonesia;
Sekalipun jasa pendidikan dapat diperdagangkan, namun pendidikan tidak tunduk pada rezim perdagangan sehingga tetap berada dalam rezim sistem pendidikan nasional dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam kaitan dengan jasa pendidikan, secara tegas Pasal 53 ayat (3) UU 20/2003 menyatakan bahwa badan hukum pendidikan berprinsip nirlaba dan dapat mengelola dana secara mandiri untuk memajukan satuan pendidikan. Dengan demikian, meskipun jasa pendidikan dapat diperdagangkan menurut Pasal 4 ayat (2) huruf d UU
7/2014 dalam penyelenggaraannya tetap harus tunduk pada prinsip-prinsip pengelolaan dalam sistem pendidikan nasional, khususnya prinsip nirlaba, sebagaimana diatur dalam UU 20/2003 dan UU 12/2012.
Sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional, Pasal 37 dan Pasal 38 UU 20/2003 telah menentukan pula kurikulum penyelenggaraan pendidikan, sehingga semua penyelanggara pendidikan, termasuk lembaga pendidikan asing yang menyelenggarakan pendidikan di Indonesia, kurikulum yang diajarkan harus disesuaikan dengan UU 20/2003 yang pada pokoknya kurikulum dimaksud memperhatikan peningkatan iman dan takwa, peningkatan akhlak mulia, peningkatan potensi, kecerdasan dan minat peserta didik, keragaman potensi daerah dan lingkungan, tuntutan pembangunan daerah dan nasional, tuntutan dunia kerja, perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni, agama, dinamika perkembangan global, dan persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan. Pengaturan kurikulum yang demikian dimaksudkan untuk mencapai tujuan pendidikan yang tidak hanya menyasar peningkatan pemahaman ilmu pengetahuan, namun juga membentuk karakter anak bangsa yang beriman, bertakwa dan berakhlak mulia;
Berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, menurut Mahkamah dalil-dalil Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.

d. Menimbang bahwa meskipun telah ternyata dalil-dalil Pemohon tidak beralasan menurut hukum namun oleh karena kedudukan hukum Pemohon belum dipertimbangkan oleh Mahkamah, sebagaimana disebutkan dalam Paragraf [3.6], selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan kedudukan hukum Pemohon sebagai berikut:

1. bahwa norma UU 7/2014 yang dimohonkan pengujian dalam Permohonan a quo adalah Pasal 4 ayat (2) huruf d UU 7/2014, yang selengkapnya menyatakan “Selain lingkup pengaturan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), juga diatur Jasa yang dapat diperdagangkan meliputi: ... d. Jasa Pendidikan”. Dengan berlakunya norma a quo Pemohon beranggapan telah mengalami kerugian spesifik (khusus)
dan aktual dalam bentuk tingginya harga penyelenggaraan jasa pendidikan tinggi, secara khusus di Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Secara faktual, Pemohon menerangkan bahwa sebagai bagian dari masyarakat kurang mampu tidak bisa langsung mengecap pendidikan tinggi karena Pemohon harus bekerja dan menabung selama 7 tahun baru bisa memiliki cukup uang untuk mendaftar ke Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Karena, biaya pendidikan di Universitas Atma Jaya Yogyakarta mengalami kenaikan signifikan dari tahun ke tahun [vide bukti P-9 dan bukti P- 10]. Kondisi ini menurut Pemohon merupakan pelanggaran terhadap hak atas pendidikan yang terjangkau yang dijamin dalam Pasal 28C ayat (1), Pasal 31 ayat (1) dan Pasal 31 ayat (3) UUD 1945;

2. bahwa menurut Pemohon, tingginya biaya pendidikan tinggi ini adalah akibat dari berlakunya Pasal 4 ayat (2) huruf d UU 7/2014 yang menjadikan seluruh bentuk jasa pendidikan, termasuk pendidikan tinggi, sebagai komoditas yang bisa diperdagangkan dengan tujuan untuk mencari keuntungan. Oleh karenanya menurut Pemohon, jika jasa pendidikan tidak menjadi komoditas perdagangan, niscaya kerugian konstitusional Pemohon tidak akan terjadi sebab pendidikan akan tetap menjadi public goods yang diselenggarakan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa;

3. bahwa setelah membaca secara saksama permohonan Pemohon, khususnya uraian Pemohon dalam menjelaskan kerugian hak konstitusionalnya dikaitkan dengan argumentasi Pemohon dalam pokok permohonannya, telah ternyata bahwa hingga Mahkamah tuntas memeriksa dan mempertimbangkan pokok permohonan tidak ditemukan korelasi perihal anggapan kerugian konstitusional yang menurut Pemohon diakibatkan oleh berlakunya norma pasal a quo. Kalaupun benar telah terjadi kenaikan biaya pendidikan yang dianggap tinggi oleh Pemohon, Mahkamah tidak menemukan bukti bahwa kenaikan biaya pendidikan tersebut disebabkan oleh berlakunya Pasal 4 ayat (2) huruf d UU 7/2014. Bahkan, Pemohon sendiri mengakui adanya kenaikan biaya pendidikan tidak
berpengaruh secara langsung terhadap Pemohon, terlebih-lebih perguruan tinggi Pemohon, in casu Universitas Atma Jaya, menyediakan skema beasiswa secara penuh untuk menyelesaikan pendidikan bagi Pemohon [vide perbaikan permohonan halaman 4].
Oleh karena itu, Mahkamah tidak menemukan adanya kerugian hak konstitusional Pemohon, baik aktual maupun potensial, sehingga Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon dalam permohonan a quo.

e. Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan di atas, telah ternyata Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon dalam Permohonan a quo. Andaipun kedudukan hukum demikian dimiliki, quod non, telah ternyata pula bahwa pokok permohonan tidak beralasan menurut hukum sehingga permohonan selebihnya tidak dipertimbangkan.