Resume Putusan MK - Menyatakan Menolak, Tidak Dapat Diterima


Warning: Undefined variable $file_pdf in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-resume.phtml on line 66
RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 21/PUU-XVI/2018 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2018 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2014 TENTANG MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA / 28-06-2018

Agus Mulyono Herlambang, dalam hal ini diwakili oleh Kuasa Hukumnya yaitu La Radi Eno, S.H., M.H.

Pasal 73 ayat (3) dan ayat (4) huruf a dan c, Pasal 122 huruf l, Pasal 245
ayat (1) UU MD3

Pasal 1 yat (2), Pasal 1 ayat (3), Pasal 19 ayat (1), Pasal 20A, Pasal 28D ayat
(1), Pasal 20A ayat (3), Pasal 24 ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28, Pasal
28C ayat (2) UUD NRI Tahun 1945

Perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan
Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap konstitusionalitas Pasal 73 ayat (3) dan ayat (4) huruf a
dan c, Pasal 122 huruf l, Pasal 245 ayat (1) UU MD3, Mahkamah
Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:


1) Menimbang bahwa setelah dicermati ternyata substansi
permohonan a quo telah diputus oleh Mahkamah, sebagaimana tertuang
dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 16/PUU-XVI/2018 bertanggal
28 Juni 2018 yang telah diucapkan sebelumnya, maka dalam
mempertimbangkan pokok permohonan a quo, Mahkamah harus terlebih
dahulu merujuk putusan dimaksud. Amar Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 16/PUU-XVI/2018 tersebut menyatakan:


Mengadili
1. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian;

2. Pasal 73 ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor
29, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6187)
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.


3. Pasal 122 huruf l Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 29, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 6187) bertentangan dengan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat.


4. Frasa “Pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota
DPR sehubungan dengan terjadinya tindak pidana yang tidak sehubungan
dengan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 harus
mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden” dalam Pasal 245 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2018 Nomor 29, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
6187) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat
sepanjang tidak dimaknai dalam konteks semata-mata pemanggilan dan
permintaan keterangan kepada angota Dewan Perwakilan Rakyat yang
diduga melakukan tindak pidana; sementara frasa “setelah mendapat
pertimbangan dari Mahkamah Kehormatan Dewan” dalam Pasal 245 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2018 Nomor 29, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
6187) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,
sehingga Pasal 245 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018
tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014
tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 29, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6187) selengkapnya
menjadi:

“Pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR yang
diduga melakukan tindak pidana yang tidak sehubungan dengan
pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 harus
mendapatkan persetujuan tertulis Presiden.”

5. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik
Indonesia;

6. Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya.

Oleh karena itu setelah merujuk Putusan Mahkamah Konstitusi diatas
terhadap dalil-dalil permohonan Pemohon yang berkaitan dengan
pengujian konstitusionalitas norma Pasal 73 ayat (3), ayat (4) huruf a dan
c, Pasal 122 huruf l UU MD3 telah ternyata merupakan bagian yang
dinyatakan inkonstitusional. Dengan kata lain terhadap norma Pasal
tersebut telah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat, sehingga dengan sendirinya telah
dinyatakan tidak berlaku lagi, maka permohonan Pemohon telah
kehilangan objek.

Sementara itu, terhadap Pasal 245 ayat (1) UU MD3, Mahkamah telah
memutuskan bahwa sepanjang frasa “Pemanggilan dan permintaan
keterangan kepada anggota DPR sehubungan dengan terjadinya tindak
pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 224 harus mendapatkan persetujuan tertulis dari
Presiden” telah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 secara
bersyarat dan tidak mempunyai kekuatan hukum emngikat sepanjang
tidak dimaknai dalam konteks semata-mata pemanggilan dan permintaan
keterangan kepada anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang diduga
melakukan tindak pidana, sehingga Pasal 245 ayat (1) UU MD3
selengkapnya menjadi, “Pemanggilan dan permintaan keterangan kepada
anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana yang tidak
sehubungan dengan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 224 harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden”. Dengan
deikian, pertimbangan Mahkamah dalam Putusan Nomor 16?PU-XVI/2018
tersebut mutatis mutandis berlaku terhadap dalil Pemohon mengenai
Pasal 245 ayat (1) UU MD3 dalam permohonan a quo sepanjang frasa
“Pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR
sehubungan dengan terjadinya tindak pidana yang tidak sehubungan
dengan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 harus
mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden” 2.
Adapun terhadap frasa “setelah mendapat pertimbangan dari Mahkamah
Kehormatan Dewan” dalam Pasal 245 ayat (1) UU MD3 telah dinyatakan
bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat [vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 16/PUU-XVI/2018,
bertanggal 28 Juni 2018], sehingga permohonan Pemohon berkenaan
dengan frasa “setelah mendapat pertimbangan dari Mahkamah
Kehormatan Dewan” dalam Pasal 245 ayat (1) UU MD3 telah kehilangan
objek.

2) Menimbang bahwa oleh karena permohonan a quo mengenai Pasal
73 ayat (3), ayat (4) huruf a dan c, Pasal 122 huruf l, dan Pasal 245 ayat
(1) UU MD3 sepanjang frasa “setelah mendapat pertimbangan dari
Mahkamah Kehormatan Dewan” dinyatakan kehilangan objek, sementara
itu Pasal 245 ayat (1) UU MD3 sepanjang frasa “Pemanggilan dan
permintaan keterangan kepada anggota DPR sehubungan dengan
terjadinya tindak pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan
tugas sebagimana dimaksud dalam Pasal 224 harus mendapatkan
persetujuan tertulis dari Presiden” telah dinyatakan mutatis mutandis
berlaku pertimbangan Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 16/PUU-XVI/2018, oleh karena itu terhadap pokok permohonan
Pemohon selebihnya tidak dipertimbangkan.