Faldo Maldini, Tsamara Amany, Dara Adinda Kesuma Nasution dan Cakra Yudi Putra yang diwakili oleh kuasa hukumnya yaitu Rian Ernest Tanudjaja, S.H., MPA., Kamarudin, S.H., Nasrullah, S.H., dan Pandu Satyahadi Putra, S.H., Advokat yang tergabung dalam Lembaga Bantuan Hukum Partai Solidaritas Indonesia (selanjutnya disebut Para Pemohon).
Pasal 7 ayat (2) huruf e UU Pilkada
Pasal 18 ayat (4), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (3), dan Pasal 28I ayat (2) UUD NRI Tahun 1945
perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal & Badan Keahlian DPR RI.
Bahwa terhadap konstitusionalitas Pasal 7 ayat (2) huruf e UU Pilkada, MK memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.10.1] Bahwa terkait dengan permohonan para Pemohon mengenai batas usia calon kepala daerah, Mahkamah telah pernah menyatakan pendiriannya sebagaimana tertuang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-V/2007 tanggal 27 November 2007. Dalam pertimbangan hukum putusan dimaksud, Mahkamah menyatakan, antara lain:
"........bahwa pemenuhan hak untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan bukan berarti negara tidak boleh mengatur dan menentukan syarat-syaratnya, sepanjang syarat-syarat demikian secara objektif memang merupakan kebutuhan yang dituntut oleh jabatan atau aktivitas pemerintahan yang bersangkutan dan tidak mengandung unsur diskriminasi. Dengan demikian yang menjadi pertanyaan sehubungan dengan permohonan a quo adalah apakah persyaratan usia minimum 30 tahun untuk menjadi kepala daerah atau wakil kepala daerah, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 58 huruf d UU Pemda, merupakan kebutuhan objektif bagi jabatan kepala daerah atau wakil kepala daerah. Dalam hubungan ini, Mahkamah menegaskan kembali bahwa jabatan maupun aktivitas pemerintahan itu banyak macam-ragamnya, sehingga kebutuhan dan ukuran yang menjadi tuntutannya pun berbeda-beda di antara bermacam-macam jabatan atau aktivitas 56 pemerintahan tersebut. Dalam kaitannya dengan kriteria usia, UUD 1945 tidak menentukan batasan usia minimum tertentu sebagai kriteria yang berlaku umum untuk semua jabatan atau aktivitas pemerintahan. Hal itu berarti, UUD 1945 menyerahkan penentuan batasan usia tersebut kepada pembentuk undang-undang untuk mengaturnya. Dengan kata lain, oleh UUD 1945 hal itu dianggap sebagai bagian dari kebijakan hukum (legal policy) pembentuk undang-undang. Oleh sebab itulah, persyaratan usia minimum untuk masing-masing jabatan atau aktivitas pemerintahan diatur secara berbeda-beda dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Misalnya, batas usia minimum untuk menjadi Hakim Konstitusi ditentukan 40 tahun [vide Pasal 16 Ayat (1) huruf c UU MK], batas usia minimum untuk menjadi Hakim Agung ditentukan 50 tahun [vide Pasal 7 Ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung], batas usia minimum untuk berhak memilih dalam pemilihan umum ditentukan 17 tahun atau sudah kawin atau sudah pernah kawin [vide Pasal 7 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden dan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah]. Mungkin saja batas usia minimum bagi keikutsertaan warga negara dalam jabatan atau kegiatan pemerintahan itu diubah sewaktu-waktu oleh pembentuk undang-undang sesuai dengan tuntutan kebutuhan perkembangan yang ada. Hal itu sepenuhnya merupakan kewenangan pembentuk undang-undang yang tidak dilarang. Bahkan, seandainya pun suatu undang-undang tidak mencantumkan syarat usia minimum (maupun maksimum) tertentu bagi warga negara untuk dapat mengisi suatu jabatan atau turut serta dalam kegiatan pemerintahan tertentu, melainkan menyerahkan pengaturannya kepada peraturan perundang-undangan di bawahnya, hal demikian pun merupakan kewenangan pembentuk undang-undang dan tidak bertentangan dengan UUD 1945." [vide putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-V/2007, tanggal 27 November 2007]
Bahwa dengan pertimbangan di atas telah jelas, dalam konteks permohonan a quo, perihal batas usia tidak terdapat persoalan konstitusional sebab, menurut Mahkamah, hal itu sepenuhnya merupakan kewenangan pembentuk undang-undang. Demikian pula halnya jika pembentuk undang-undang berpendapat bahwa untuk jabatan atau perbuatan hukum tertentu pembentuk undang-undang menentukan batas usia yang berbeda-beda dikarenakan perbedaan sifat jabatan atau perbuatan hukum itu, hal itu pun merupakan kewenangan pembentuk undang-undang. Bahkan, Mahkamah telah menegaskan pula, andaipun perihal batas usia itu tidak diatur dalam undang-undang melainkan diserahkan kepada peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang untuk mengaturnya, hal itu tidak bertentangan dengan UUD 1945. Dalam kaitannya dengan Permohonan a quo, pertanyaannya kemudian, apakah terdapat kebutuhan bagi Mahkamah untuk mengubah pendiriannya. Dalam hal ini Mahkamah berpendapat tidak terdapat alasan fundamental dalam perkembangan ketatanegaraan yang menyebabkan Mahkamah tak terhindarkan harus mengubah pendiriannya. Hal ini pun telah ditegaskan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-V/2007, sebagaimana dikutip di atas.
[3.10.2] Bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, walaupun norma yang dipersoalkan oleh para Pemohon diatur dalam undang-undang yang berbeda, substansi persoalannya atau isu hukumnya adalah sama dengan substansi persoalan atau isu hukum yang diputus dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-V/2007. Sebagaimana telah ditegaskan dalam sejumlah putusan Mahkamah, pada hakikatnya, pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 bukanlah pengujian apa yang tertulis di dalam pasal-pasal undang-undang (atau bagian tertentu dari suatu undang-undang) melainkan pengujian konstitusionalitas materi muatan norma yang terkandung dalam pasal-pasal atau bagian tertentu dari undang-undang yang diuji tersebut. Oleh karena itu, pertimbangan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-V/2007 mutatis mutandis berlaku pula untuk perkara para Pemohon a quo.
[3.10.3] Bahwa berdasarkan pertimbangan pada Sub-Paragraf [3.10.1] dan Sub-Paragraf [3.10.2] di atas, adalah tidak beralasan menurut hukum dalil para Pemohon yang menyatakan norma undang-undang dimohonkan pengujian dalam permohonan a quo yang mengatur batas usia calon kepala daerah tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan lain yang mengatur hal serupa, seperti usia bakal calon anggota legislatif dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum adalah 21 tahun dan batas usia seseorang yang dianggap dewasa dalam Pasal 330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah setelah 21 tahun. Juga tidak beralasan menurut hukum dalil para Pemohon yang menyatakan bahwa Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) Universal Declaration of Human Rights serta Pasal 25 dan Pasal 26 Undang Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights memberikan hak konstitusional bagi para Pemohon untuk diperlakukan sama dalam pemerintahan negara, sehingga batas usia 30 tahun bagi calon kepala daerah dalam undang-undang a quo justru merupakan pelanggaran terhadap hak- hak sipil dan politik rakyatnya. Tidak beralasan menurut hukum, sebab, pemenuhan hak atas persamaan perlakuan di hadapan hukum dan pemerintahan, yang dijamin oleh Konstitusi, dalam hubungannya dengan pengisian jabatan tertentu, bukan berarti meniadakan persyaratan atau pembatasan-pembatasan yang secara rasional memang dibutuhkan oleh jabatan itu. Pembatasan demikian sejalan dengan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945.
[3.11] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, Mahkamah berpendapat permohonan para Pemohon mengenai inkonstitusionalitas norma Pasal 7 ayat (2) huruf e UU Pilkada adalah tidak beralasan menurut hukum.
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430