Alamsyah Panggabean
Pasal 1 angka 1 dan Pasal 1 angka 27 UU PEMILU
Pasal 1 ayat (2), Pasal 6A ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (2) UUD Tahun 1945
Perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan
Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI.
Bahwa terhadap pengujian Pasal 1 angka 1 dan Pasal 1 angka 27 UU Pemilu dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
1. Bahwa setelah membaca dengan saksama pemosisian norma yang dijadikan sebagai dasar pengujian konstitusionalitas Pasal 1 angka 1 dan Pasal 1 angka 27 UU 7/2017 tersebut, Mahkamah menjadi tidak bisa memahami mengapa Pemohon menggunakan norma Pasal 6 ayat (2) UUD 1945 sebelum perubahan sebagai dasar pengujian. Kesulitan Mahkamah tersebut tidak terlepas dari posisi atau keberadaan Pasal 6 ayat (2) UUD 1945 serta Pasal II dan Pasal III Aturan Peralihan sebelum perubahan tersebut yang telah kehilangan eksistensinya. Dalam hal ini, Pasal 6 ayat (2) UUD 1945 sebelum perubahan telah diubah menjadi Pasal 6 dan Pasal 6A UUD 1945 ketika dilakukan Perubahan Kedua tahun 2000 dan Perubahan Ketiga tahun 2001. Sementara itu, Pasal II dan Pasal III Aturan Peralihan UUD 1945 sebelum perubahan telah diubah sedemikian rupa dengan konstruksi dan rumusan yang berbeda pada Perubahan Keempat UUD 1945 tahun 2002. Dengan demikian, menggunakan Pasal 6 ayat (2) serta Pasal II dan Pasal III Aturan Peralihan UUD 1945 sebelum perubahan sebagai dasar pengujian konstitusionalitas Pasal 1 angka 1 dan Pasal 1 angka 27 UU 7/2017 menjadi tidak relevan karena materinya tidak berlaku lagi.
2. Bahwa selain dasar pengujian, dalam alasan mengajukan permohonan (posita atau fundamentum petendi), Pemohon tidak menjelaskan argumentasi menggunakan Pasal 1 ayat (2), Pasal 6A ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 sebagai dasar konstitusional pengujian Pasal 1 angka 1 dan Pasal 1 angka 27 UU 7/2017. Mahkamah semakin sulit memahami alasan permohonan ketika terpapar keinginan Pemohon untuk menjadi anggota Majelis Permuswaratan Rakyat (MPR) sehingga bisa mengusulkan perubahan Pasal 7 dan Pasal 22E ayat (1) UUD 1945. Kerumitan kian sulit dihindari karena Pemohon menilai MPR, pada dasarnya, adalah Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Terlepas dari keinginan Pemohon menjadi anggota MPR tersebut, berkenaan dengan tidak adanya penjelasan menggunakan norma dalam UUD 1945 sebagai dasar untuk pengujian, Mahkamah memaknai pasal pengujian tersebut hanyalah pajangan belaka tanpa menjelaskan dan mengaitkan dengan persoalan inkonstitusionalitas norma mempertahankan Pasal 1 angka 1 dan Pasal 1 angka 27 UU 7/2017 adalah bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2), Pasal 6A ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945.
3. Bahwa selanjutnya ihwal kaitan antara dasar mengajukan permohonan (posita atau fundamentum petendi) dengan hal-hal yang dimintakan untuk diputus oleh Mahkamah (petitum), permohonan a quo tidak menunjukkan ketersambungan antara kedua bagian tersebut dan di antara petitum terdapat saling bertentangan. Misalnya, Petitum Angka 2, Pemohon memohon frasa “bebas, rahasia, jujur, dan adil” dalam Pasal 1 angka 1 UU 7/2017 adalah bertentangan dengan Pasal 6A ayat (1) dan Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai “jujur dan adil”. Sementara itu, dalam Petitum Angka 3, Pemohon memohon Pasal 1 angka 1 UU 7/2017 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai frasa “bebas dan rahasia”.
Selanjutnya, tidak hanya petitum yang saling bertentangan, ihwal tidak terdapatnya ketersambungan atau keterkaitan antara dasar mengajukan permohonan dengan hal-hal yang dimintakan untuk diputus oleh Mahkamah, setidaknya, dapat dibaca dari Petitum Angka 4 yang meminta Mahkamah “memerintahkan pemungutan suara ulang untuk Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2019 di seluruh TPS Negara Republik Indonesia”. Bahkan, Petitum Angka 4 tersebut makin sulit untuk dipahami dengan adanya frasa “frasa dimaknai” namun tidak dinyatakan makna apa sesungguhnya yang dikehendaki oleh Pemohon.
4. Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian di atas, telah terang dan tidak terdapat keraguan bagi Mahkamah untuk menyatakan Pemohon tidak dapat menerangkan alasan yang menjadi dasar untuk menyatakan bahwa norma Pasal 1 angka 1 dan Pasal 1 angka 27 UU 7/2017 bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2), Pasal 6A ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 dan tidak jelasnya keterkaitan antara dasar mengajukan permohonan dengan hal- hal yang diminta untuk diputus Mahkamah, serta di antara petitum terdapat pertentangan, sehingga menyebabkan permohonan menjadi kabur (obscuur).
5. Menimbang bahwa oleh karena permohonan kabur (obscuur) maka permohonan Pemohon tidak dipertimbangkan lebih lanjut.
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430