Resume Putusan MK - Menyatakan Menolak, Tidak Dapat Diterima


Warning: Undefined variable $file_pdf in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-resume.phtml on line 66
RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 47/PUU-XVII/2019 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PEMILIHAN UMUM TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 23-10-2019

Syamsul Bachri Marasabessy dan Yoyo Effendi

Pasal 419 dan Pasal 420 UU Pemilu sepanjang frasa “daerah pemilihan”

Pasal 22E ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2) UUD Tahun 1945

Perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan
Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap permohonan pengujian pasal a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

1. Bahwa UU 7/2017 sebagai pelaksanaan Pasal 22E UUD 1945 pada saat disahkan sekaligus mengesahkan penentuan daerah pemilihan dan jumlah kursi setiap daerah pemilihan anggota DPR, DPRD Provinsi sebagaimana termaktub dalam Lampiran III dan Lampiran IV UU 7/2017 sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari UU 7/2017 a quo. Adapun proses penyusunan daerah pemilihan didasarkan pada data kependudukan yang telah dimuktahirkan dan data wilayah. Untuk daerah pemilihan anggota DPR ditentukan adalah provinsi/ kabupaten/kota, atau gabungan kabupaten/kota. Apabila penentuan ini tidak dapat diberlakukan maka penentuan daerah pemilihan menggunakan bagian kabupaten/ 28 kota. Adapun, daerah pemilihan anggota DPRD Provinsi adalah kabupaten/kota atau gabungan kabupaten/kota. Sementara itu, untuk daerah pemilihan anggota DPRD kabupaten/kota adalah kecamatan atau gabungan kecamatan [vide Pasal 189 ayat (1) dan Pasal 192 ayat (1) UU 7/2017]. Untuk setiap daerah pemilihan pun telah ditentukan jumlah kursi masing-masing jenis pemilihan. Jumlah kursi setiap daerah pemilihan anggota DPR paling sedikit 3 (tiga) kursi dan paling banyak 10 (sepuluh) kursi. Penentuan daerah pemilihan anggota DPR untuk Pemilu 2019 dilakukan dengan mengubah ketentuan daerah pemilihan pada Pemilu terakhir berdasarkan perubahan jumlah alokasi kursi, penataan daerah pemilihan, dan perkembangan data daerah pemilihan (vide Pasal 187 UU 7/2017). Sedangkan jumlah kursi setiap daerah pemilihan anggota DPRD provinsi dan anggota DPRD kabupaten/kota paling sedikit 3 (tiga) kursi dan paling banyak 12 (dua belas) kursi;

2. Bahwa dalam menyusun dan menentukan daerah pemilihan baik untuk pemilihan anggota DPR, DPRD Provinsi maupun DPRD Kabupaten/Kota harus mempertimbangkan prinsip-prinsip penentuan daerah pemilihan sebagaimana telah termaktub dalam UU 7/2017 yang pada intinya adalah: (1) prinsip kesetaraan nilai suara yang merupakan upaya untuk meningkatkan nilai suara (harga kursi) yang setara antara satu daerah pemilihan dan daerah pemilihan lainnya dengan prinsip satu orang-satu suara-satu nilai (one person, one vote, one value); (2) prinsip ketaatan pada sistem pemilu yang proporsional yakni mengutamakan jumlah kursi yang besar sehingga persentase jumlah kursi yang diperoleh setiap partai politik sesetara mungkin dengan persentase suara sah yang diperoleh; (3) prinsip proporsionalitas yakni dengan memerhatikan kursi antardaerah pemilihan agar tetap terjaga perimbangan alokasi kursi setiap daerah pemilihan; (4) prinsip integralitas wilayah yakni dengan memerhatikan beberapa provinsi, beberapa kabupaten/kota, atau kecamatan yang disusun menjadi satu daerah pemilihan untuk daerah perbatasan, dengan tetap memerhatikan keutuhan dan keterpaduan wilayah, serta mempertimbangkan kondisi geografis, sarana perhubungan, dan aspek kemudahan transportasi; (5) prinsip berada dalam cakupan wilayah yang sama yakni untuk penyusunan daerah pemilihan anggota DPRD Provinsi yang terbentuk dari satu, beberapa, dan/atau bagian kabupaten/kota maka seluruhnya harus tercakup dalam suatu daerah pemilihan anggota DPR. Sedangkan, untuk 29 penyusunan daerah pemilihan anggota DPRD Kabupaten/Kota yang terbentuk dari satu, beberapa, dan/atau bagian kecamatan maka seluruhnya tercakup dalam suatu daerah pemilihan anggota DPRD Provinsi; (6) prinsip kohesivitas yakni penyusunan daerah pemilihan harus memerhatikan sejarah, kondisi sosial budaya, adat istiadat, dan kelompok minoritas; dan (7) prinsip kesinambungan yakni dalam penyusunan daerah pemilihan harus memerhatikan daerah pemilihan yang sudah ada pada pemilu tahun sebelumnya, kecuali apabila alokasi kursi pada daerah pemilihan tersebut melebihi batasan maksimal alokasi kursi setiap daerah pemilihan atau apabila bertentangan dengan keenam prinsip lainnya yang telah ditentukan (vide Pasal 185 UU 7/2017).

3. Bahwa secara konstitusional, UUD 1945 tidak menentukan model pilihan sistem pemilu. Demikian pula, UUD 1945 pun tidak menentukan model sistem yang akan digunakan untuk menentukan harga sebuah kursi dalam suatu daerah pemilihan apakah akan menggunakan sistem Sainte Lague sebagaimana yang saat ini digunakan oleh UU 7/2017 atau sistem Hare Quote atau sistem yang lain. Penentuan terhadap sistem yang akan digunakan merupakan ranah pengaturan undang-undang sebagai pelaksanaan UUD 1945.

4. Menimbang bahwa para Pemohon mendalilkan mengalami perlakuan diskriminatif dikarenakan adanya sistem penentuan perolehan kursi legislatif sebagaimana diatur oleh norma Pasal 419 dan Pasal 420 UU 7/2017. Sebagaimana didalilkan para Pemohon, sistem tersebut menyebabkan tidak dilibatkannya suara para Pemohon dalam proses konversi suara menjadi kursi sehingga bertentangan dengan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan “Setiap orang bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu”.

Bahwa terhadap dalil para Pemohon tersebut, Mahkamah mempertimbangkan, sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, suatu ketentuan dapat dikatakan bersifat diskriminatif apabila terdapat pembedaan perlakuan terhadap hal yang sama dengan didasari pertimbangan ras, suku, agama, bahasa, warna kulit, jenis kelamin, status ekonomi, status sosial, atau keyakinan politik tertentu. 30 Setelah Mahkamah mencermati rumusan norma Pasal 419 dan Pasal 420 yang diajukan pengujiannya oleh para Pemohon, tidak terdapat ketentuan yang dapat ditafsirkan memperlakukan berbeda di antara peserta pemilihan umum dan antara para pemilih yang berhak memberikan suara. Dengan kata lain, ketentuan tersebut berlaku sama terhadap seluruh partai politik peserta pemilu tanpa melihat apakah partai politik besar atau kecil ataukah partai politik baru atau lama. Tidak ada ketentuan dalam norma a quo yang menyebabkan para Pemohon terhalangi haknya untuk memberikan suara dan tidak ada pula aturan yang memberikan perlakuan berbeda yang menyebabkan para Pemohon kehilangan haknya. Peraturan yang mengatur mekanisme pemilu pada dasarnya hanya wajib menjamin hak bagi pemilih untuk memberikan suaranya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, namun aturan tersebut tidak dapat memastikan Pemilih mendapatkan hasil yang diharapkan atau diinginkan karena pemilu pada dasarnya adalah proses kontestasi. Dengan demikian, menurut Mahkamah, norma Pasal 419 dan Pasal 420 tidak terbukti telah menimbulkan perlakuan yang bersifat diskriminatif sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 28I UUD 1945, sehingga dalil para Pemohon mengenai Pasal 419 dan Pasal 420 sepanjang mengenai frasa “daerah pemilihan” bertentangan dengan Pasal 28I UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum.

5. Menimbang bahwa selanjutnya berkenaan dengan anggapan para Pemohon ihwal mekanisme pembagian perolehan kursi dalam norma a quo bertentangan dengan asas jujur dan adil dalam Pemilu sebagaimana diatur Pasal 22E ayat (1) UUD 1945, Mahkamah berpendapat bahwa dalam hal ini, asas ‘jujur’ mengandung arti bahwa pemilihan umum harus dilaksanakan sesuai dengan aturan agar dapat memastikan setiap warga negara dapat menyalurkan hak pilihnya sesuai dengan kehendaknya untuk menentukan pilihan politiknya dalam pemilu. Dalam hal ini ketentuan yang berkaitan dengan pelaksanaan Pemilu termasuk di dalamnya tata cara penentuan perolehan kursi anggota legislatif telah diatur dalam UU 7/2017 di mana kewajiban penyelenggara dan peserta Pemilu adalah melaksanakan Pemilu berdasarkan undang-undang dimaksud. Artinya peserta Pemilu dan juga warga negara yang memiliki hak pilih telah mengetahui mengenai aturan tersebut, termasuk mengenai tata cara perolehan kursi. Justru menjadi tidak adil dan tidak jujur apabila aturan tersebut diubah setelah 31 dilaksanakan pemilu dan telah didapatkan hasil perolehan suara. Lagi pula, sebagaimana ditegaskan di atas, penentuan model sistem termasuk penentuan pembagian kursi merupakan ranah pengaturan undang-undang. Oleh karena itu, sepanjang tidak ada prinsip konstitusional yang dilanggar maka sistem yang ditentukan dalam undang-undang, in casu UU 7/2017, tidak dapat dikatakan bertentangan dengan UUD 1945. Oleh karena itu, dalil Pemohon mengenai Pasal 419 dan Pasal 420 sepanjang frasa “daerah pemilihan” UU 7/2017 bertentangan dengan asas pemilu dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum.

6. Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, permohonan para Pemohon berkenaan dengan norma dalam UU 7/2017 yang diajukan pengujian konstitusionalitasnya dalam permohonan a quo adalah tidak beralasan menurut hukum.