Resume Putusan MK - Menyatakan Menolak, Tidak Dapat Diterima


Warning: Undefined variable $file_pdf in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-resume.phtml on line 66
RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 44/PUU-XVII/2019 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 23-10-2019

Andi alias Aket Bin Liu Kim Liong yang diwakili oleh kuasa hukumnya Janses E. Sihaloho, S.H., Riando Tambunan, S.H., B.P. Beni Dikty Sinaga, S.H., Anton Febrianto, S.H., Azis Purnayudha, S.H., Gelar Lenggang Permada, S.H., M.H., Arif Suherman, S.H., Imelda, S.H., dan Maria Wastu Pinandito, S.H., para Advokat dan Konsultan Hukum pada kantor hukum Sihaloho & Co. Law Firm

Pasal 132 ayat (1) UU Narkotika

Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945

Perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan
Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 132 ayat (1) UU Narkotika dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

1. Menimbang bahwa setelah mempertimbangkan hal-hal sebagaimana diuraikan pada Paragraf [3.10], selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan persoalan konstitusional dalam Permohonan a quo sebagai berikut:

1). Bahwa setelah membaca uraian dan argumentasi Permohonan Pemohon, sulit untuk tidak menyatakan bahwa dalam Permohonan a quo secara implisit terkandung maksud, atau setidak-tidaknya harapan, Pemohon agar Mahkamah memutus Permohonan a quo dengan langsung mengaitkannya dengan perkara konkret yang sedang dihadapi Pemohon. Hasil penalaran demikian menjadi lebih jelas ketika seluruh argumentasi Permohonan yang pada intinya lebih banyak menjelaskan atau menguraikan kasus yang telah dan sedang dihadapi Pemohon dihubungkan dengan petitum Permohonan a quo. Mahkamah tidak memiliki kewenangan demikian. Dalam pelaksanaan kewenangannya menguji undang-undang terhadap UUD 1945, bagi Mahkamah, uraian perihal kasus konkret demikian lebih banyak berguna sebagai bahan pertimbangan untuk menilai anggapan Pemohon ihwal ada atau tidaknya kerugian hak konstitusional yang dialami atau potensial dialami Pemohon guna menentukan ada atau tidaknya kedudukan hukum Pemohon, bukan sebagai argumentasi perihal inkonstitusionalnya norma undang-undang yang dimohonkan pengujian. Benar bahwa penjelasan mengenai kerugian hak konstitusional dalam rangka menentukan kedudukan hukum Pemohon acapkali berhimpitan dengan argumentasi mengenai pertentangan norma undang-undang yang dimohonkan pengujian dengan UUD 1945, namun penerimaan kedudukan hukum seseorang atau suatu pihak dalam permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 tidak serta-merta berarti terbuktinya pertentangan norma undang-undang yang dimohonkan pengujian tersebut dengan UUD 1945.

2). Bahwa sesungguhnya yang menjadi persoalan konstitusional dalam Permohonan a quo, apakah benar Pasal 132 ayat (1) UU Narkotika tidak memberikan kepastian hukum dan tidak adil (bukan hanya bagi Pemohon) sehingga harus dinyatakan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945? Atau, dengan rumusan yang lebih spesifik, apakah benar pemberian ancaman dan penjatuhan pidana yang sama bagi pelaku tindak pidana percobaan atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana narkotika dan prekursor narkotika dengan pelaku tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 114 UU Narkotika tidak memberi kepastian hukum dan tidak adil sehingga harus dinyatakan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Sepanjang berkenaan dengan kepastian hukum, Mahkamah berpendapat tidak terdapat persoalan ketidakpastian hukum dalam rumusan norma Pasal 132 ayat (1) UU Narkotika. Sebab, Pasal 132 ayat (1) UU Narkotika jelas merujuk kepada, antara lain, Pasal 114 UU Narkotika. Dengan telah jelasnya rujukan dimaksud maka persoalan pidana apa yang akan diterapkan oleh hakim terhadap pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 132 ayat (1) UU Narkotika sepenuhnya merupakan kewenangan dan penilaian hakim yang memutus kasus konkret yang sedang diadilinya sesuai dengan fakta-fakta yang ditemukan dalam persidangan. Mahkamah tidak berwenang mencampurinya.
Sementara itu, perihal apakah pemberian ancaman sanksi demikian adil atau tidak, Mahkamah berpendapat bahwa persoalan keadilan dalam konteks permohonan a quo tidak boleh dinilai semata-mata dipertimbangkan berdasarkan sudut pandang dan kepentingan Pemohon sebab yang diuji adalah norma undang-undang yang berlaku umum, bukan hanya berlaku bagi Pemohon. Oleh karena itu, kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara harus turut dipertimbangkan, lebih-lebih ketika undang-undang yang dimohonkan pengujian demikian besar dampaknya terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh sebab itu, pertama-tama Mahkamah akan mempertimbangkan Pasal 114 UU Narkotika yang dirujuk oleh Pasal 132 ayat (1) UU Narkotika dalam permohonan Pemohon. Pasal 114 UU Narkotika menyatakan:

(1). Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
(2). Dalam hal perbuatan menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, menyerahkan, atau menerima Narkotika Golongan I sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman beratnya 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 6 (enam) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).

Dengan mempertimbangkan secara saksama rumusan serta maksud yang termaktub dalam Pasal 114 UU Narkotika serta dengan senantiasa mengingat ancaman serta bahaya yang ditimbulkan oleh penyalahgunaan narkotika dan psikotropika sebagaimana telah dipertimbangkan pada Paragraf [3.10], Mahkamah berpendapat bahwa percobaan dan lebih-lebih permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 111, Pasal 112, Pasal 113, Pasal 114, Pasal 115, Pasal 116, Pasal 117, Pasal 118, Pasal 119, Pasal 120, Pasal 121, Pasal 122, Pasal 123, Pasal 124, Pasal 125, Pasal 126, dan Pasal 129 UU Narkotika tidak mengurangi, apalagi meniadakan, ancaman serta bahaya yang ditimbulkan oleh terjadinya penyalahgunaan narkotika dan psikotropika mengingat sifat “particularly serious” tindak pidana atau kejahatan narkotika dan psikotropika dimaksud. Dikatakan tidak mengurangi apalagi meniadakan, sebab, dalam hal percobaan, hal yang membedakannya dengan tindak pidana yang sempurna adalah bahwa pelaku percobaan tidak atau belum selesai melakukan perbuatannya dan penyebab tidak atau belum selesainya itu bukan karena keinginan pelaku melainkan karena faktor di luar diri pelaku – misalnya, dalam hal ini, karena pelaku telah ditangkap sebelum berhasil menyelesaikan perbuatannya. Sementara itu, permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 114 UU Narkotika, dalam batas penalaran yang wajar, tidak ada bedanya dengan perbuatan melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 UU Narkotika. Oleh karena itu, pemberlakuan ancaman pidana yang sama bagi pelaku tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 132 ayat (1) UU Narkotika dengan pelaku tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 114 UU Narkotika tidaklah tepat jika dikatakan tidak adil. Dilihat dari perspektif fungsi khusus hukum pidana, yaitu melindungi kepentingan hukum, tidak boleh dilupakan bahwa kepentingan hukum yang dilindungi oleh hukum pidana bukan semata-mata kepentingan hukum individu tetapi juga kepentingan hukum masyarakat dan kepentingan hukum negara. Tidak pula boleh dilupakan bahwa UU Narkotika, sebagaimana juga Konvensi Narkotika dan Psikotropika, adalah pada dasarnya menekankan pada fungsi pencegahan berkembang dan meluasnya kejahatan narkotika dan psikotropika. Fungsi demikian menuntut, salah satunya, pemberian ancaman sanksi yang keras dan tegas bagi pelaku kejahatan atau tindak pidana ini.

3). Bahwa, selain itu, petitum Pemohon (angka 2) menyatakan, “Menyatakan Pasal 132 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 143, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5062) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Republik Indonesia (sic!) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan segala akibat hukumnya secara bersyarat sepanjang kalimat (sic!) “Pidana Penjara yang sama sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal-Pasal tersebut.” Dimaknai diberlakukan hukuman maksimal yaitu hukum mati dan tidak diberlakukan pengurangan hukuman sebagai delik percobaan yang harus dikurangi 1/3 (sepertiga) hukumannya dari ketentuan pidana pokok sebagaimana diatur dalam Pasal 53 KUHP”.
Dengan rumusan petitum demikian, Pemohon bukan lagi sekadar meminta agar Mahkamah memberikan penafsiran terhadap norma undang-undang, in casu Pasal 132 ayat (1) UU Narkotika, melainkan merumuskan norma baru yang sesuai dengan kasus konkret yang sedang dihadapi Pemohon. Hal ini jelas tidak mungkin dilakukan oleh Mahkamah karena apabila petitum demikian dikabulkan, quod non, Mahkamah telah mengambil alih fungsi dan kewenangan pembentuk undang-undang (DPR bersama Presiden). Lagi pula, norma Pasal 114 UU Narkotika yang oleh Pemohon dijadikan bagian dari syarat untuk menyatakan pertentangan Pasal 132 ayat (1) UU Narkotika telah pernah diuji dan oleh Mahkamah dinyatakan tidak bertentangan dengan UUD 1945 [vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-XV/2017], sehingga sebagian dari alasan yang dijadikan syarat oleh Pemohon untuk membuktikan pertentangan Pasal 132 ayat (1) UU Narkotika dengan UUD 1945 telah ternyata tidak valid.

2. Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas,Mahkamah berpendapat,dalil Pemohon yang menyatakan Pasal 132 ayat (1) UU Narkotika bertentangan dengan UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum.