Arie Gumilar dan Dicky Firmansyah
Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU 31/1999
Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945
Perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI.
Bahwa terhadap pengujian Pasal 2 ayat (1), dan Pasal 3 UU Tipikor dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.12] Menimbang bahwa sebelum lebih jauh menjawab pertanyaan konstitusional dimaksud pada Paragraf [3.10], terlebih dahulu perlu ditegaskan tentang apa yang dimaksud dengan kepastian hukum terkait rumusan sebuah norma. Secara doktriner, perumusan norma memperhatikan susunannya yang disusun secara ringkas dan mudah dipahami. Dalam hal ini, susunan demikian dimaksudkan agar setiap rumusan undang-undang mudah dipahami atau tidak rumit. Dalam konteks itu, sebuah rumusan yang digunakan sepanjang memenuhi asas kejelasan dan mudah dipahami oleh orang awamsekalipun maka norma tersebut telah memenuhi syarat disebut sebagai norma yang baik. Pada saat yang sama, norma tersebut juga memenuhi asas untuk dikatakan mengandung kepastian hukum. Dengan demikian, sepanjang sebuah norma telah memberikan perlindungan bagi pencari keadilan dan rumusannya juga jelas dan sederhana maka norma tersebut dinilai telah memenuhi syarat mengandung kepastian hukum.
[3.13] Menimbang bahwa Pemohon memohonkan kepada Mahkamah agar frasa “setiap orang” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang frasa tersebut tidak dimaknai tidak termasuk pejabat/pegawai BUMN yang dengan itikad baik melaksanakan aksi korporasi demi tercapainya tujuan dari BUMN itu sendiri. Bahwa terhadap permohonan demikian, dalam kaitannya dengan makna atau arti dari frasa “setiap orang”, bagian Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor tidak menjelaskan lebih lanjut mengenai maksud frasa “setiap orang”. Ketika dihadapkan pada ketiadaan penjelasan demikian maka menurut Mahkamah arti atau makna frasa “setiap orang” harus merujuk pada frasa “setiap orang” yang lazim dipergunakan keseharian maupun dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Bahwa frasa “setiap orang” memiliki kesamaan arti dengan “seluruh orang”, di mana makna kata “setiap” atau“seluruh” sudah jelas dan menurut Mahkamah tidak perlu dijelaskan. Adapun arti/maksud kata “orang” menurut KBBI adalah “manusia (dalam arti khusus); manusia (ganti diri ketiga yang tidak tentu); dirinya sendiri; kata penggolong untuk manusia; anak buah (bawahan); rakyat (dari suatu negara); manusia yang berasal dari atau tinggal di suatu daerah (desa, kota, negara, dan sebagainya); suku bangsa; manusia lain; bukan diri sendiri; bukan kaum (golongan, kerabat) sendiri; karena (sebenarnya)”. Adapun makna “orang” dalam peraturan perundang-undangan meliputi dua kategori besar, yaitu orang sebagai manusia, dan orang sebagai badan hukum. Pengertian “orang” secara hukum, khususnya dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor, merujuk kepada subjek pelaku, atau subjek yang memiliki kemampuan untuk berpikir dan bertindak secara bebas yang memiliki potensi merugikan atau menimbulkan mala kepada pihak lain baik secara langsung maupun tidak langsung. Bahwa menurut Mahkamah pengertian “orang” demikian telah tepat terutama apabila dikaitkan dengan tujuan UU Tipikor untuk melindungi negara dari kerugian keuangan maupun perekonomian. Kerugian atau mala pada negara tidak hanya disebabkan oleh orang dalam pengertian biologis, yaitu manusia, melainkan kerugian dapat juga ditimbulkan oleh tindakan badan hukum sebagai entitas yang dapat berpikir dan bertindak secara bebas selayaknya manusia.
[3.14] Menimbang bahwa rumusan frasa “setiap orang” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor merupakan rumusan subjek atau pelaku tindak pidana atau delik. Sebagai bagian dari undang-undang yang bersifat khusus, UU Tipikor mengatur subjek delik yang dituju dengan rumusan “setiap orang” tersebut adalah setiap manusia secara person dan badan hukum atau korporasi. Jika dibandingkan dengan Belanda sebagai negara berasalnya hukum pidana yang berlaku di Indonesia saat ini, dalam Nederland Wetboek van Strafrecht (WvS), korporasi juga telah menjadi subjek delik dengan tetap menggunakan kata “Hij die” atau setiap orang. Bahwa frasa “setiap orang” dalam norma a quo sama sekali tidak mengandung ketidakjelasan karena subjek yang dituju juga pasti, yaitu perorangan dan badan hukum. Dengan kejelasan maksud tersebut, sesungguhnya hak para pencari keadilan tidak dirugikan dengan rumusan norma dimaksud. Justru sebaliknya, ketika frasa “setiap orang” dikecualikan bagi pejabat atau pegawai BUMN akan memicu ketidakpastian hukum. Ketidakpastian dimaksud disebabkan dalam peristiwa terjadinya delik sebagaimana yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor akan diberlakukan secara berbeda. Hal demikian tentunya akan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang mengamanatkan agar setiap orang diperlakukan sama di hadapan hukum (equality before the law).
Bahwa apabila frasa “setiap orang” sebagaimana termaktub dalam UU Tipikor dimaknai dengan dikecualikan bagi pejabat atau pegawai BUMN, hal demikian akan menimbulkan ketidakpastian dengan ketentuan yang diatur, misalnya, dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (UU 28/1999). Dalam hal ini, Penjelasan Pasal 2 angka 7 UU 28/1999 menyatakan:
Yang dimaksud dengan "pejabat lain yang memiliki fungsi strategis" adalah pejabat yang tugas dan wewenangnya di dalam melakukan penyelengga-raan negara rawan terhadap praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme, yang meliputi: 1. Direksi, Komisaris, dan pejabat struktural lainnya pada Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah; ...dst.
Bahwa berdasarkan Penjelasan Pasal 2 angka 7 UU 28/1999 di atas, pejabat yang dinilai rawan melakukan praktik korupsi, kolusi dan nepotisme di antaranya adalah direksi, komisaris dan pejabat struktural BUMN/BUMD. Jika pejabat/pegawai BUMN dikecualikan dari ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor maka dalam penerapannya akan terjadi ketidakpastian hukum dalam hubungannya dengan UU 28/1999.
Bahwa selanjutnya, frasa “setiap orang” merupakan rumusan subjek delik yang berlaku umum bagi semua subjek hukum. Rumusan norma yang berlaku umum merupakan standar perlakuan bagi semua orang (baik person maupun badan hukum) adalah sama di hadapan hukum. Dalam konteks itu, pengecualian terhadap subjek delik tertentu tidak dapat dilakukan karena akan melanggar prinsip equality before the law. Secara yuridis, pengecualian terhadap subjek delik hanya dapat dilakukan dalam penerapan delik yaitu terhadap orang yang perbuatannya tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya
[3.15] Menimbang bahwa terhadap dalil Pemohon ihwal frasa “setiap orang” juga dapat menjangkau direksi yang dengan iktikad baik melakukan aksi korporasi, hal tersebut sama sekali tidak berkaitan dengan ketidakpastian hukum yang ditimbulkan oleh frasa “setiap orang”. Sekalipun frasa “setiap orang” tidak dimaknai dikecualikan bagi pejabat/pegawai BUMN, tetap saja kepastian pejabat/pegawai BUMN telah terlindungi oleh ketentuan peraturan perundang-undang yang baik. Bahkan Pasal 97 ayat (5) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT) secara tegas memberikan perlindungan terhadap anggota direksi BUMN yang menjalankan kegiatan korporasi dengan itikad baik. Dalam Pasal 97 ayat (5) UU PT tersebut diatur bahwa anggota direksi tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian suatu perseroan, apabila dapat membuktikan bahwa: (a) kerugian itu bukan karena kesalahan atau kelalaiannya, (b) telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan, (c) tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian, dan (d) telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian itu. Artinya, sepanjang pejabat/pegawai BUMN menjalankan usaha korporasi dalam koridor yang ditentukan maka ia sama sekali tidak akan dikenai Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor.
[3.16] Menimbang bahwa Pemohon memohon agar makna “setiap orang” ditafsir oleh Mahkamah tidak termasuk pejabat/pegawai BUMN yang dengan itikad baik melaksanakan aksi korporasi demi tercapainya tujuan dari BUMN itu sendiri. Terhadap hal demikian, Mahkamah berpendapat makna yang dimohonkan Pemohon tidak perlu dicantumkan secara expressis verbis bersama-sama dengan frasa “setiap orang” karena sebenarnya terdapat proses peradilan, yang berujung pada vonis hakim, yang akan menilai perihal itikad baik dimaksud sesuai dengan Pasal 97 ayat (5) UU PT. Jika pejabat/pegawai BUMN tidak terbukti memiliki itikad buruk dalam tindakan/aksi korporasi yang merugikan keuangan atau perekonomian negara, tentu secara hukum pejabat/pegawai bersangkutan tidak akan dijatuhi pidana atas dakwaan merugikan keuangan atau perekonomian negara. Dengan kata lain, menurut Mahkamah, sifat “merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” tidak dapat begitu saja dijadikan dasar untuk memidana orang (baik orang perseorangan maupun korporasi) selama tidak dapat dibuktikan bahwa tindakan tersebut dilakukan dengan itikad buruk. Apalagi menurut Mahkamah, sebenarnya di dalam ketentuan yang dimohonkan pengujian a quo telah tersirat pengecualian pidana bagi pejabat/pegawai BUMN yang menjalankan tindakan/aksi korporasi dengan itikad baik. Hal demikian terdapat pada frasa “melawan hukum” pada Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor dan dalam frasa “dengan tujuan” pada Pasal 3 UU Tipikor. Bahkan rumusan Pasal 3 UU Tipikor dengan jelas memuat kata “menyalahgunakan”, yang tindakan “menyalahgunakan” ini tidak akan dapat terjadi tanpa adanya itikad buruk.
[3.17] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum tersebut di atas, Mahkamah menilai bahwa dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor sudah terkandung syarat bahwa setiap orang harus terbukti memiliki itikad buruk untuk dapat dipidana dengan ancaman merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Dengan demikian, permohonan Pemohon agar Mahkamah menyatakan frasa “setiap orang” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan segala akibat hukumnya secara bersyarat sepanjang frasa “setiap orang”dalam ketentuan dimaksud tidak dimaknai tidak termasuk Pejabat/Pegawai Badan Usaha Milik Negara yang dengan itikad baik melaksanakan aksi korporasi demi tercapainya tujuan dari Badan Usaha Milik Negara itu sendiri, adalah tidak beralasan menurut hukum;
[3.18] Menimbang bahwa permohonan Pemohon mengenai inkonstitusionalitas frasa “merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor berkait erat dengan frasa “setiap orang” dalam ketentuan yang sama, yang juga dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya oleh Pemohon. Kaitan demikian terletak pada siapa pihak yang dimaksud dalam frasa “setiap orang”,yang menurut Pemohon tidak seharusnya dipidana dengan alasan “merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”. “Setiap orang” yang dimaksudkan oleh Pemohon adalah pejabat/pegawai BUMN. Adapun mengenai konstitusionalitas frasa “setiap orang” yang tercantum dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor, telah dipertimbangkan Mahkamah pada Paragraf [3.13]sampai dengan Paragraf [3.17]di atas;
[3.19] Menimbang bahwa ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor menyatakan bahwa “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara,...”dan Pasal 3 UU Tipikor menyatakan bahwa “Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan,atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara,...”merupakan ancaman terhadap siapa saja yang melakukan tindak pidana yang merugikan keuangan negara karena perbuatan melawan hukum;
[3.20] Menimbang bahwa potensi kerugian keuangan negara acapkali menimbulkan persepsi telah terjadi kerugian negara yang mengarah pada dugaan korupsi.Padahal kondisi demikian sangat mungkin disebabkan karena negara melakukan penyertaan modal kepada entitas bisnis yang kemudian dalam perkembangannya entitas bisnis tersebut mengalami kerugian, sehingga modal penyertaan dari negara ikut berkurang atau habis;
[3.21] Menimbang bahwa perbedaan penilaian demikian terjadi karena penyertaan modal negara kepada BUMN berada pada irisan wilayah publik dan privat. Modal yang disertakan kepada BUMN pada dasarnya adalah kekayaan/perbendaharaan negara yang berada di dalam APBN, sehingga sudah sewajarnya,bahkan harus dikelola berdasarkan prinsip-prinsip pengelolaan kekayaan negara sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Namun di sisi lain, kekayaan negara yang disertakan sebagai modal usaha kepada persero maupun entitas bisnis lain pada kenyataannnya dikelola berdasarkan prinsip-prinsip bisnis, dan secara hukum persero dimaksud tunduk pada UU PT, UU BUMN, serta peraturan perundang-undangan lainnya yang mengatur kegiatan bisnis, yang berhulu pada asas-asas hukum perdata, antara lain asas kebebasan berkontrak. Dalam penalaran yang wajar, maka sangat mungkin bahwa kekayaan negara yang disertakan sebagai modal usaha persero akan berkurang dan/atau hilang manakala entitas bisnis yang mengelola modal tersebut mengalami kerugian. Rugi atau berkurangnya modal penyertaan dari negara demikian, menurut Mahkamah, memang dapat dipahami sebagai kesalahan perhitungan bisnis atau kesalahan dalam pengambilan keputusan bisnis. Namun kesalahan perhitungan atau kesalahan pengambilan keputusan bisnis demikian menurut Mahkamah adalah berbeda, dan tidak dapat disamakan, dengan kesalahan atau kelalaian sebagai salah satu unsur perbuatan pidana. Dengan demikian Mahkamah berpendapat bahwa, dalam kaitannya dengan norma UU Tipikor yang dimohonkan pengujian konstitusionalitas oleh Pemohon, kerugian BUMN akibat aktivitas bisnis tidak serta-merta mengakibatkan pengelolanya diancam pidana karena merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
[3.22] Menimbang bahwadi sisi lain, potensi kerugian demikian telah diantisipasi oleh dunia bisnis dengan menerapkan konsep business judgment rule bagi pengelola perusahaan, di mana diasumsikan pengelola perusahaan dalam pengambilan keputusan tidak melibatkan kepentingan pribadi, bertindak secara rasional, jujur, dan meyakini bahwa tindakannya adalah yang terbaik untuk perusahaan. Sehingga pengelola perusahaan tidak dapat dituntut secara hukum ketika tindakan atau keputusannya ternyata mengakibatkan kerugian bagi perusahaan. Konsep business judgment rule, atau yang setara dengan itu, telah diakomodir dalam UU 40/2007, yaitu dalam Pasal 97 yang selengkapnya mengatur sebagai berikut:
(1) Direksi bertanggung jawab atas pengurusan Perseroan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 ayat (1).
(2) Pengurusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib dilaksanakan setiap anggota Direksi dengan itikad baik dan penuhtanggung jawab.
(3) Setiap anggota Direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi atas kerugian Perseroan apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Dalam hal Direksi terdiri atas 2 (dua) anggota Direksi atau lebih, tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berlaku secara tanggung renteng bagi setiap anggota Direksi.
(5) Anggota Direksi tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian sebagaimana dimaksud padaayat (3) apabila dapat membuktikan:
a. kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya;
b. telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehatihatian untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan;
c. tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian; dan
d. telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut.
(6) Atas nama Perseroan, pemegang saham yang mewakili paling sedikit 1/10 (satu persepuluh) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara dapat mengajukan gugatan melalui pengadilan negeri terhadap anggota Direksi yang karena kesalahan atau kelalaiannya menimbulkan kerugian pada Perseroan
(7) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak mengurangi hak anggota Direksi lain dan/atau anggota Dewan Komisaris untuk mengajukan gugatan atas nama Perseroan.
Ketentuan Pasal 97 ayat (5) UU 40/2007 di atas dengan jelas mengatur bahwa anggota direksi tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian, apalagi dipidana karenanya, selama dapat membuktikan bahwa kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya; telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehatihatian untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan; tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian; dan telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut.
[3.23] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum tersebut di atas, menurut Mahkamah makna yang dimohonkan Pemohon untuk dilekatkan dengan frasa “Setiap orang” dan frasa “merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor telah sesuai dengan makna UU Tipikor, terutama Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 dalam kaitannya dengan BUMN, baik yang berbentuk persero, persero terbuka, maupun perusahaan umum. Dengan demikian Mahkamah berpendapat bahwa frasa “merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor sama sekali tidak mengandung ketidakpastian hukum sebagaimana didalilkan Pemohon. Sebab, khusus bagi pengelolaan keuangan negara yang dipisahkan dan dikelola oleh BUMN, pengelolaannya tunduk pada ketentuan pengelolaan perseroan dan/atau perseroan terbatas yang diatur dalam UU BUMN dan UU PT (in casu UU 40/2007). Tegasnya, sepanjang pengelolaan kegiatan korporasi dilakukan dengan itikad baik dan tidak terdapat moral hazard, maka apabila ada dugaan tindak pidana, proses penegakan hukumlah yang menilainya apakah pejabat/pegawai BUMN melakukan perbuatan melawan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor.
[3.24] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, dalil Pemohon perihal inkonstitusionalitas Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor sepanjang frasa “Setiap orang” tidak dimaknai sebagai “tidak termasuk Pejabat/ Pegawai Badan Usaha Milik Negara yang dengan itikad baik melaksanakan aksi korporasi demi tercapainya tujuan dari Badan Usaha Milik Negara itu sendiri”, serta sepanjang frasa “merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” tidak dimaknai “tidak termasuk Kerugian perusahaan akibat itikad baik melaksanakan aksi korporasi demi tercapainya tujuan dari Badan Usaha Milik Negara itu sendiri”, adalah tidak beralasan menurut hukum.
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430