Anne Patricia Sutanto yang diwakili oleh Sari Agustin, Soesilowati Tanoedjaja, Arief Sunjaya, Denny Henry Samboh, Herry Supriyatna, dan Hendrik Setiawan, seluruhnya adalah para karyawan PT. Hollit Internasional
Pasal 56 huruf c UU PPHI
Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945
perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI.
Bahwa terhadap pengujian Pasal 56 huruf c UU PPHI dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.10] Menimbang bahwa setelah membaca secara saksama permohonan Pemohon beserta bukti-bukti yang diajukan, terhadap pokok permohonan Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.10.1] Bahwa sebelum mempertimbangkan pokok permohonan, terlebih dahulu Mahkamah akan mempertimbangkan Petitum nomor 2 yang memohon agar Pasal 56 UU PPHI konstitusional bersyarat “sepanjang dimaknai prosesnya termasuk upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa, berdasarkan hukum acara perdata umum yang berlaku di Negara Republik Indonesia”. Oleh karena pada perihal permohonan dan alasan permohonan hanya menjelaskan bahwa norma yang dimohonkan pengujian hanya Pasal 56 huruf c UU PPHI dan pada alasan permohonan sama sekali tidak terdapat pula argumentasi mengenai pertentangan norma antara Pasal 56 UU PPHI dengan UUD 1945. Dengan demikian, menurut Mahkamah Petitum nomor 2 tersebut adalah kabur;
Bahwa berkenaan dengan pengujian Pasal 56 huruf c UU PPHI, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.10.2] Bahwa ketentuan penyelesaian perselisihan hubungan industrial diawali dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan dan dianggap belum mampu mewujudkan perselisihan perburuhan secara cepat, tepat, adil, dan murah. Di samping proses penyelesaiannya agak rumit, putusannya pun tidak bersifat final, serta hanya mengatur penyelesaian perselisihan hak dan perselisihan kepentingan secara kolektif, sedangkan penyelesaian perselisihan hubungan industrial pekerja/buruh secara perorangan belum terakomodasi;
[3.10.3] Bahwa untuk mengatasi rumitnya tahapan dalam menyelesaikan perselisihan hubungan industrial maka lahirlah UU PPHI, yang salah satu sasaran pokok yang akan dicapai sebagaimana yang terdapat dalam penjelasan UU PPHI yaitu untuk menciptakan hubungan industrial yang harmonis antara pekerja dan pemberi kerja dalam memperjuangkan hak-haknya serta untuk mewujudkan penyelesaian perselisihan hubungan industrial secara cepat, tepat, adil dan murah. Diundangkannya undang-undang tersebut telah membawa perubahan besar dalam sistem penyelesaian perselisihan hubungan industrial yaitu lahirnya Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) yang selama ini dilakukan melalui lembaga Panitia Penyelsaian Perselisihan Perburuhan Daerah (P4D) dan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat (P4P), Veto Menteri/Banding ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan kasasi ke Mahkamah Agung menjadi sederhana melalui penyelesaian lewat PHI;
[3.10.4] Bahwa untuk menjamin penyelesaian yang cepat, tepat, adil dan murah, penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui Pengadilan Hubungan Industrial yang berada pada lingkungan peradilan umum dibatasi proses dan tahapannya dengan tidak membuka kesempatan untuk mengajukan upaya banding ke Pengadilan Tinggi. Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang menyangkut perselisihan hak dan perselisihan pemutusan hubungan kerja dapat dimintakan kasasi ke Mahkamah Agung. Adapun putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang menyangkut perselisihan kepentingan dan perselisihan antarserikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan merupakan putusan tingkat pertama dan terakhir yang tidak dapat dimintakan kasasi ke Mahkamah Agung [vide Penjelasan UU PPHI];
[3.10.5] Bahwa Pasal 79 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dan diubah untuk kedua kali menjadi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (UU MA) menyatakan,
Mahkamah Agung dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan apabila terdapat hal-hal yang belum cukup diatur dalam undang-undang ini.
Berdasarkan ketentuan di atas agar sejalan dengan asas penyelesaian perkara cepat, tepat, adil dan murah dalam perselisihan hubungan industrial, Mahkamah Agung mengeluarkan SEMA 3/2018 yang pada angka II. Rumusan Hukum Kamar Perdata, bagian B. Perdata Khusus mengenai Pengadilan Hubungan Industrial, angka 3 menyatakan,
Upaya hukum perkara Perselisihan Hubungan Industrial, Putusan Pengadilan Hubungan Industrial dalam perkara perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan merupakan putusan akhir dan bersifat tetap, sedangkan putusan mengenai perselisihan hak dan perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja dapat diajukan kasasi sebagai upaya hukum terakhir sesuai Pasal 56, Pasal 57, Pasal 109, dan Pasal 110 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Perselisihan Hubungan Industrial, sehingga dalam perkara Perselisihan Hubungan Industrial tidak ada upaya hukum Peninjauan Kembali;
[3.10.6] Bahwa ketentuan yang terdapat dalam Pasal 34 UU MA yang memungkinkan dilakukannya Peninjauan Kembali terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, namun tidak boleh diartikan bahwa setiap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan Peninjauan Kembali. Pengaturan dalam Pasal 34 UU MA tersebut adalah pengaturan yang bersifat umum (lex generalis) yang harus dimaknai bahwa Peninjauan Kembali hanya dapat dilakukan terhadap putusan yang telah berkekuatan hukum tetap sepanjang ketentuan umum tersebut tidak dikecualikan oleh ketentuan undang-undang yang bersifat khusus (lex specialis), baik karena sifat perkaranya maupun karena syarat-syarat yang ditentukan untuk dapat diajukannya Peninjauan Kembali. Dalam konteks demikian, Pasal 56 UU PPHI merupakan bentuk norma hukum spesialis dari Pasal 34 UU MA. Kekhususan demikian diberikan dengan pertimbangan agar penyelesaian perkara hubungan industrial ditujukan untuk menjamin terlaksananya asas cepat, tepat, adil, dan murah. Sehingga dengan meniadakan tahapan Peninjauan Kembali maka diharapkan tidak terganggunya proses produksi pada suatu perusahaan yang mempekerjakan karyawan.
Berdasarkan seluruh uraian di atas, telah ternyata bahwa sesungguhnya yang meniadakan upaya hukum Peninjauan Kembali bukanlah SEMA melainkan sifat perkara maupun syarat-syarat untuk dapat diajukannya Peninjauan Kembali yang diatur dalam undang-undang yang bersifat khusus. Dengan demikian, dalil Pemohon mengenai inkonstitusionalitas Pasal 56 huruf c UU PPHI adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.11] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berpendapat bahwa dalil Pemohon sepanjang berkenaan dengan Pasal 56 UU PPHI adalah kabur, sedangkan sepanjang berkenaan dengan Pasal 56 huruf c UU PPHI adalah tidak beralasan menurut hukum.
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430