Muhammad Helmi Kamal Lubis yang diwakili oleh kuasa hukumnya Ahmad Bay Lubis, S.H., M.H., Akmal Hidayat, S.H., S.Hi., M.H., dan Dedy Setyawan, S.H., Advokat pada Kantor Advokat Lubis-Agamas & Partners
Muhammad Helmi Kamal Lubis yang diwakili oleh kuasa hukumnya Ahmad Bay Lubis, S.H., M.H., Akmal Hidayat, S.H., S.Hi., M.H., dan Dedy Setyawan, S.H., Advokat pada Kantor Advokat Lubis-Agamas & Partners
dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945
Perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI
Bahwa terhadap pengujian Pasal 29 huruf a, Pasal 52 ayat (1) huruf a dan ayat (4) UU Dana Pensiun dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut :
1) Bahwa Dana Pensiun merupakan badan hukum yang menjalankan program yang menjanjikan manfaat pensiun dalam upaya memelihara kesinambungan penghasilan karyawan di hari tua melalui keikutsertaan karyawan dalam program pensiun berjangka panjang. Hingga saat ini pengaturan Dana Pensiun masih menggunakan UU Dana Pensiun di mana ihwal pembentukannya sebagaimana dinyatakan dalam Penjelasan Umum Undang-Undang a quo adalah untuk menggantikan Arbeidersfondsen Ordonnantie (Staatsblad Tahun 1926 Nomor 377) sekaligus mensinkronkan pengaturan dana pensiun yang selama ini bersifat sporadis karena terdapat dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang masih mengandung kelemahan dilihat dari aspek pengelolaan, kepengurusan dan/atau pengawasan, sehingga perlu dibentuk UU Dana Pensiun yang secara khusus mengatur program pensiun mulai dari pembentukan badan hukum, pengelolaan, pembinaan, dan pengawasannya.
Desain dana pensiun yang diatur dalam UU Dana Pensiun ada 2 (dua) jenis, yakni Dana Pensiun Pemberi Kerja (DPPK) dan Dana Pensiun Lembaga Keuangan (DPLK). Perbedaan kedua jenis dana pensiun ini didasarkan pada pembentukan dan kepesertaannya. Untuk jenis pertama, DPPK, adalah Dana Pensiun yang didirikan oleh orang atau badan hukum (selaku pendiri) yang mempekerjakan karyawan. Dana Pensiun yang diselenggarakan oleh pendiri ini berupa program pensiun manfaat pasti dan program pensiun iuran pasti untuk kepentingan sebagian atau seluruh karyawannya sebagai peserta Dana Pensiun. Didirikannya Dana Pensiun dimaksud akan menimbulkan kewajiban bagi pendiri sebagai pemberi kerja berupa iuran [vide Pasal 1 angka 2 UU Dana Pensiun].
Iuran DPPK tersebut dapat berupa iuran pemberi kerja dan iuran peserta atau iuran pemberi kerja saja [vide Pasal 15 UU Dana Pensiun]. Terkait dengan iuran pemberi kerja (pendiri) harus dibayarkan dengan cara mengangsur minimal sekali sebulan kecuali jika sudah ditentukan bahwa dalam peraturan Dana Pensiun berdasarkan keuntungan yang wajib disetor paling lama 120 hari sejak berakhirnya tahun buku pemberi kerja (pendiri Dana Pensiun). Sementara itu, jika Dana Pensiun menetapkan adanya iuran peserta maka pemberi kerja berkewajiban memungut iuran peserta tersebut setiap bulannya yang selanjutnya disetor ke Dana Pensiun paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya.
Pada prinsipnya kekayaan Dana Pensiun harus dijaga agar tetap berada pada tingkat yang sama dengan kewajibannya. Sesuai dengan prinsip kekayaan Dana Pensiun yang harus dijaga sehingga jika iuran peserta atau iuran pemberi kerja belum disetor sesuai dengan ketentuan hingga jatuh tempo dari waktu penyetoran maka hal demikian telah ditentukan sebagai hutang dari pemberi kerja yang dapat ditagih dan dikenakan bunga sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 17 ayat (3) huruf a UU Dana Pensiun.
Selanjutnya, untuk jenis kedua, DPLK, dibentuk atau didirikan oleh bank atau perusahaan asuransi jiwa (sebagai pendiri) yang hanya menyelenggarakan program pensiun iuran pasti bagi perorangan. Hal yang membedakan dengan DPPK adalah DPLK terbuka bagi perorangan baik pekerja/karyawan dari Pendiri DPLK, juga dapat dari pekerja/karyawan di luar itu. UU Dana Pensiun tidak mengatur lengkap DPLK seperti halnya DPPK sehingga tidak semua norma dalam UU Dana Pensiun berlaku bagi DPLK. Dalam hal ini, ketentuan Pasal 46 UU Dana Pensiun menentukan berbagai pengecualian untuk DPLK.
2) Bahwa dalam konteks pembinaan dan pengawasan, penting bagi Mahkamah menjelaskan terlebih dahulu bahwa dengan diberlakukannya UndangUndang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (UU 21/2011) terjadi perubahan desain pengawasan sektor lembaga jasa keuangan yang saat ini menjadi kewenangan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Termasuk dalam kaitan ini pengawasan terhadap Dana Pensiun yang ditentukan dalam Pasal 6 huruf c UU 21/2011 yang menyatakan bahwa OJK melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan di sektor Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya. Dengan berlakunya UU 21/2011 terjadi transisi dari Menteri Keuangan dan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke OJK. Dalam hal ini, Pasal 55 ayat (1) UU 21/2011 menyatakan, “Sejak tanggal 31 Desember 2012, fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal, Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya beralih dari Menteri Keuangan dan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke OJK”.
Meskipun berlaku UU 21/2011, UU Dana Pensiun tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan UU 21/2011 dan belum diganti dengan UU Dana Pensiun yang baru [vide Pasal 70 UU 21/2011]. Dengan demikian penyelenggaraan tata kelola Dana Pensiun selain harus berpedoman pada UU Dana Pensiun juga pada UU 21/2011 beserta peraturan pelaksanaannya agar terwujud Good Pension Fund Governance.
3) Menimbang bahwa setelah mempertimbangkan hal-hal sebagaimana diuraikan pada Paragraf [3.15] di atas, Mahkamah selanjutnya akan mempertimbangkan dalil Pemohon yang menyatakan bahwa Pasal 29 huruf a sepanjang tidak dimaknai “iuran pemberi kerja yang berbentuk BUMN bukan merupakan keuangan negara”; Pasal 52 ayat (1) huruf a sepanjang tidak dimaknai “audit terhadap laporan keuangan Dana Pensiun yang didirikan BUMN sah dan berkekuatan hukum jika dilakukan Akuntan Publik”; dan Pasal 52 ayat (4) sepanjang kata “dapat” tidak diubah maknanya menjadi “wajib” dalam UU Dana Pensiun bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945.
Berkenaan dengan dalil tersebut penting bagi Mahkamah menjelaskan bahwa Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 adalah norma hukum dasar yang menekankan segala sesuatu yang dijalankan di Indonesia harus berdasarkan atas hukum. Dengan demikian, dalam kaitan ini, pertimbangan Mahkamah pada Paragraf [3.15.1] di atas sudah menjelaskan bahwa UU Dana Pensiun merupakan undang-undang yang dibentuk untuk menggantikan peraturan masa Hindia Belanda, Arbeidersfondsen Ordonnantie (Staatsblad Tahun 1926 Nomor 377), yang sebelumnya digunakan sebagai dasar pembentukan Dana Pensiun serta sekaligus mensinkronkan pengaturan terkait dengan Dana Pensiun yang bersifat sporadis dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, alih-alih bertentangan, terbentuknya undang-undang yang khusus mengatur mengenai Dana Pensiun justru memberikan dasar hukum yang lebih kuat dan juga memberikan kepastian hukum bagi kegiatan pengelolaan program pension karyawan yang sudah berlangsung selama ini. Lagi pula, dalam uraian alasan-alasan permohonan (posita), Pemohon sama sekali tidak menjelaskan mengapa Pasal 52 ayat (1) huruf a UU Dana Pensiun bertentangan dengan negara hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 dan juga tidak menjelaskan mengapa tidak bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 jika dimaknai “audit terhadap laporan keuangan Dana Pensiun yang didirikan BUMN sah dan berkekuatan hukum jika dilakukan Akuntan Publik”. Sebagai norma yang memuat gagasan fundamental tentang negara hukum, Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 tidak mungkin ditafsirkan sekadar memenuhi kepentingan yang semata-mata bertolak dari peristiwa konkret yang tidak disertai argumentasi yang secara koheren menunjukkan bahwa peristiwa konkret tersebut bertentangan dengan hakikat dan substansi mendasar yang terkandung dalam gagasan negara hukum. Dalam hal ini, Mahkamah tidak boleh terjebak dengan peristiwa konkret dalam menilai konstitusionalitas atau inkonstitusionalitas suatu norma karena hal demikian dapat menghilangkan prinsip erga omnes keberlakuan suatu norma.
Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan di atas, dalil Pemohon sepanjang berkaitan dengan persoalan konstitusionalitas UU Dana Pensiun dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum.
4) Menimbang bahwa selanjutnya Pemohon mendalilkan Pasal 29 huruf a sepanjang tidak dimaknai “iuran pemberi kerja yang berbentuk BUMN bukan merupakan keuangan negara”; Pasal 52 ayat (1) huruf a sepanjang tidak dimaknai “audit terhadap laporan keuangan Dana Pensiun yang didirikan BUMN sah dan berkekuatan hukum jika dilakukan Akuntan Publik”; dan Pasal 52 ayat (4) sepanjang kata “dapat” tidak dimaknai menjadi “wajib” dalam UU Dana Pensiun bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945.
Terhadap dalil tersebut, Mahkamah akan mempertimbangkannya dengan terlebih dahulu mengutip Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 adalah norma Konstitusi yang menjamin hak konstitusional setiap warga negara atas kedudukan yang sama dalam hukum dan pemerintahan. Sementara itu, Pasal 29 huruf a, Pasal 52 ayat (1) huruf a dan ayat (4) UU Dana Pensiun adalah norma yang mengatur sumber kekayaan Dana Pensiun dan hal-hal yang terkait dengan pembinaan serta pengawasan yang dilakukan oleh Menteri Keuangan selaku pejabat negara yang diberikan kewenangan untuk itu. Artinya, norma tersebut tidak membuka peluang terjadinya penafsiran berbeda baik untuk DPPK maupun untuk DPLK, apalagi peluang untuk ditafsirkan sedemikian rupa sehingga melanggar hak konstitusional warga negara atas kedudukan yang sama dalam hukum dan pemerintahan. Bahkan, secara tekstual dan kontekstual, tidak ada relevansinya mempertentangkan antara Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 dengan Pasal 29 huruf a, Pasal 52 ayat (1) huruf a dan ayat (4) UU Dana Pensiun. Dengan demikian, dalil Pemohon a quo adalah tidak beralasan menurut hukum.
5) Menimbang bahwa Pemohon juga mendalilkan Pasal 29 huruf a sepanjang tidak dimaknai “iuran pemberi kerja yang berbentuk BUMN bukan merupakan keuangan negara”; Pasal 52 ayat (1) huruf a sepanjang tidak dimaknai “audit terhadap laporan keuangan Dana Pensiun yang didirikan BUMN sah dan berkekuatan hukum jika dilakukan Akuntan Publik”; dan Pasal 52 ayat (4) sepanjang kata “dapat” tidak diubah maknanya menjadi “wajib” dalam UU Dana Pensiun bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Terhadap dalil Pemohon a quo, setelah Mahkamah memeriksa secara saksama uraian alasan-alasan Pemohon (Posita), pada intinya permohonan Pemohon menyatakan bahwa norma Pasal 29 huruf a, Pasal 52 ayat (1) huruf a dan ayat (4) UU Dana Pensiun bersifat multitafsir. Oleh karena itu, terhadap dalil Pemohon tersebut, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
6) Bahwa Pemohon mendalilkan norma Pasal 29 huruf a UU Dana Pensiun multitafsir sehingga bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 di mana multitafsir demikian tidak akan terjadi apabila norma pasal a quo dimaknai “Iuran pemberi kerja yang berbentuk BUMN bukan merupakan keuangan negara”. Dalam kaitan ini Mahkamah terlebih dahulu akan mengutip kembali substansi Pasal 29 127 huruf a UU Dana Pensiun yang menyatakan bahwa Kekayaan Dana Pensiun dihimpun dari: a) Iuran pemberi kerja; b) Iuran peserta; c) Hasil investasi; d) Pengalihan dari Dana Pensiun lain.
Setelah membaca dan memahami secara saksama rumusan norma pasal a quo dan dikaitkan dengan alasan-alasan permohonan ternyata inti persoalannya sehingga Pemohon menganggap multitafsir adalah bermula dari pemahaman Pemohon mengenai pengertian kekayaan pendiri Dana Pensiun yang berasal dari BUMN merupakan kekayaan yang terpisah dengan kekayaan Dana Pensiun, karena menurut Pemohon iuran pemberi kerja (pendiri Dana Pensiun) yang berstatus sebagai BUMN yang disetorkan kepada Dana Pensiun bukanlah bagian dari keuangan negara.
Terkait dengan dalil Pemohon tersebut, perlu dirujuk Penjelasan Umum UU Dana Pensiun yang menyatakan beberapa asas dalam penyelenggaraan program pensiun melalui Dana Pensiun di antaranya adalah asas keterpisahan antara kekayaan Dana Pensiun dari kekayaan badan hukum pendirinya sehingga kekayaan Dana Pensiun yang bersumber dari iuran pemberi kerja terlindungi dari hal-hal yang tidak diinginkan dapat terjadi pada pendiri Dana Pensiun. Jika penjelasan tersebut dikaitkan dengan dalil Pemohon, masalahnya adalah apakah tepat norma Pasal 29 huruf a tersebut dimaknai seperti yang dimaksudkan oleh Pemohon.
Terhadap dalil Pemohon tersebut Mahkamah perlu menegaskan bahwa norma Pasal 29 UU Dana Pensiun adalah mengatur secara umum kekayaan Dana Pensiun yang dihimpun dari iuran pemberi kerja, iuran peserta, hasil investasi, dan pengalihan dari Dana Pensiun lain. Norma pasal a quo terkait dengan DPPK di mana DPPK dapat didirikan oleh orang atau badan hukum yang memperkerjakan karyawan. Jika norma tersebut dipersempit maknanya seperti yang dimohonkan Pemohon maka hal itu akan menghilangkan esensi pendiri Dana Pensiun yang lain di luar badan hukum. Hal demikian justru tidak memberikan perlindungan hukum bagi orang yang akan mendirikan Dana Pensiun atau bagi mitra pendiri Dana Pensiun yang akan bergabung dengan Dana Pensiun yang lain.
Lebih jauh lagi, secara yuridis, apakah kekayaan badan hukum sebagai pendiri Dana Pensiun yang berasal dari BUMN bukan keuangan negara. Dalam kaitan ini penting bagi Mahkamah untuk mempertimbangkan pemahaman Pemohon perihal keuangan negara tersebut. Dalam hal ini, UU Dana Pensiun tidak mengatur mengenai keuangan negara kecuali menyatakan bahwa kekayaan Dana Pensiun terpisah dari kekayaan badan hukum pendiri Dana Pensiun. Oleh karena itu, untuk memahami pengertian keuangan negara tersebut haruslah merujuk pada Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (UU 17/2003). Bahkan, lebih konkrit lagi Pasal 2 huruf g, huruf h dan huruf i UU 17/2003 menjelaskan ruang lingkup keuangan negara antara lain mencakup: (g) kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/ perusahaan daerah; (h) kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum; (i) kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah.
Terkait dengan pengertian keuangan negara tersebut, Mahkamah telah pernah mempertimbangkannya sebagaimana tertuang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 62/PUU-XI/2013, bertanggal 18 September 2014, khususnya dalam Paragraf [3.23] yang menyatakan:
7) Menimbang bahwa Pasal 6 ayat (1) UU BPK mengandung materi muatan dua norma: Pertama, norma yang menentukan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) adalah memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Kedua, norma yang menentukan keuangan negara yang menjadi objek pemeriksaan BPK adalah keuangan negara yang dikelola oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara lainnya, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara;
Bahwa kedua norma tersebut merupakan tindak lanjut dari Pasal 23E ayat (1) dan Pasal 23G ayat (2) UUD 1945. Dengan perkataan lain, ketentuan Pasal 6 ayat (1) UU BPK merupakan kebijakan hukum terbuka (opened legal policy) yang diberikan oleh UUD 1945 kepada pembentuk Undang-Undang sepanjang berkaitan dengan pengelolaan keuangan negara. Menurut Mahkamah, subjek hukum yang dapat menjadi objek pemeriksaan oleh BPK adalah semua lembaga yang mengelola keuangan negara, baik keuangan negara yang dikelola secara langsung maupun keuangan negara yang dipisahkan;
Pertanyaannya adalah apakah kekayaan negara yang telah dipisahkan, yang kemudian menjadi modal usaha BUMN dan BUMD tersebut adalah tetap sebagai keuangan negara dan dengan demikian BPK berwenang memeriksanya. Pertanyaan lainnya, apakah dengan demikian secara umum berlaku sistem dan mekanisme Pasal 23 UUD 1945, padahal BUMN atau BUMD tersebut adalah entitas usaha, yang dengan demikian kekayaan negara yang telah dipisahkan tersebut bertransformasi menjadi bukan lagi keuangan negara, yang secara konstitusional BPK tidak lagi berwenang memeriksa pengelolaannya, tapi pemeriksa (internal audit) yang berwenang;
Bahwa, menurut Mahkamah, pemisahan kekayaan negara dimaksud dilihat dari perspektif transaksi bukanlah merupakan transaksi yang mengalihkan suatu hak, sehingga akibat hukumnya tidak terjadi peralihan hak dari negara kepada BUMN, BUMD, atau nama lain yang sejenisnya. Dengan demikian kekayaan negara yang dipisahkan tersebut masih tetap menjadi kekayaan negara. Terkait dengan kewenangan BPK untuk memeriksa, menurut Mahkamah, oleh karena masih tetap sebagai keuangan negara dan BUMN atau BUMD sesungguhnya adalah milik negara dan, sebagaimana dipertimbangkan di atas, adalah juga kepanjangan tangan negara maka tidak terdapat alasan bahwa BPK tidak berwenang lagi memeriksanya. Meskipun demikian, supaya BUMN dan BUMD dapat berjalan sesuai dengan prinsip good corporate governance, pengawas internal, selain Dewan Komisaris atau Dewan Pengawas masih tetap relevan;
Bahwa Pasal 9 ayat (1) UU BPK, sesungguhnya memuat norma yang mengenai kewenangan BPK meminta keterangan dan/atau dokumen, yang dengan demikian memuat pula norma yang mewajibkan kepada lembaga yang diperiksa untuk menyerahkannya, menurut Mahkamah, merupakan konsekuensi hukum dari tugasnya yang diatur dalam Pasal 6, yaitu memeriksa pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara, yang juga merupakan tindak lanjut dari Pasal 23E UUD 1945;
Bahwa Pasal 11 huruf a UU BPK yang di dalamnya memuat norma mengenai kewenangan BPK dapat memberikan pendapat kepada DPR, DPD, DPRD, lembaga pemerintah dan lembaga lainnya. Pendapat BPK merupakan produk dari proses pemeriksaan, sehingga norma tersebut sesungguhnya merupakan hal yang harus ada karena BPK memiliki kewenangan memeriksa. Selain itu, mengenai kewenangan memberi pendapat tersebut ditentukan oleh Undang-Undang karena secara hukum dianggap menjadi keperluan lembaga/organ yang menyelenggarakan fungsi negara dan/atau fungsi pemerintahan;
Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, pemisahan kekayaan negara tidak dapat diartikan sebagai putusnya kaitan negara dengan BUMN atau nama lain yang sejenisnya, karena pemisahan kekayaan negara hanyalah untuk memudahkan pengelolaan usaha (bisnis). Badan usaha dapat saja menjalankan usaha bisnisnya untuk mencapai tujuan memperoleh keuntungan asalkan mempedomani prinsip “duty of care” yang di dalamnya termuat unsur kehati hatian dan itikad baik, sehingga kebijakan badan usaha yang dijalankan oleh pimpinannya tetap berpedoman kepada business judgement rule. Namun berdasarkan Pasal 1 angka 13 dan Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (UU BPK) dan ditegaskan oleh Mahkamah dalam Putusan Nomor 62/PUU-XI/2013 tersebut bahwa yang dapat menjadi objek pemeriksaan BPK adalah semua lembaga yang mengelola keuangan negara, baik keuangan negara yang dikelola secara langsung maupun keuangan negara yang dipisahkan. Oleh karena itu sepanjang lembaga yang mengelola keuangan negara diduga melakukan perbuatan yang merugikan keuangan negara maka BPK berwenang melakukan pemeriksaan dan salah satu jenis pemeriksaannya adalah audit investigatif yang mana hasil pemeriksaannya disebut Pemeriksaan Penghitungan Kekayaan Negara (PPKN). Pemeriksaan oleh BPK jenis ini dilakukan atas permintaan dari Kejaksaan Agung. Oleh karena itu kewenangan PPKN ini adalah kewenangan atribusi BPK dalam proses penegakan hukum.
Adapun peristiwa konkret yang dialami Pemohon yang pada intinya menyatakan bahwa Dana Pensiun yang dipimpin Pemohon telah pernah diperiksa oleh auditor independen dengan penilaian Wajar Tanpa Pengecualian, hal demikian tidaklah membuktikan inkonstitusionalnya norma undang-undang a quo melainkan telah merupakan bagian dari materi pembelaan Pemohon dalam peristiwa konkret dimaksud di mana hal demikian bukan merupakan kewenangan Mahkamah untuk menilai dan mengadilinya.
Berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut, oleh karena tidak ada pertentangan antara norma Pasal 29 huruf a dengan UUD 1945, sehingga dalil Pemohon a quo tidak beralasan menurut hukum.
8) Bahwa selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan dalil Pemohon yang mendalilkan multitafsirnya rumusan norma Pasal 52 ayat (1) huruf a UU Dana Pensiun yang menyatakan “laporan keuangan yang telah diaudit oleh akuntan publik” sehingga menurut Pemohon bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 di mana multitafsir demikian tidak akan terjadi lagi apabila norma pasal a quo dimaknai “audit terhadap laporan keuangan Dana Pensiun yang didirikan BUMN sah dan berkekuatan hukum jika dilakukan Akuntan Publik”.
Terhadap dalil Pemohon a quo, Mahkamah mempertimbangkan bahwa untuk memahami norma a quo tidak dapat dilepaskan dari konteks utuh pengaturan pembinaan dan pengawasan seluruh Dana Pensiun baik yang jenisnya DPPK maupun yang jenisnya DPLK. Bahkan, dalam Penjelasan Umum UU Dana Pensiun telah dinyatakan bahwa pembinaan dan pengawasan tersebut merupakan salah satu asas dalam penyelenggaraan Dana Pensiun yang dimaksudkan untuk memberikan landasan penyelenggaraan dana Pensiun agar bersesuaian dengan tujuan Dana Pensiun. Oleh karena itu harus dihindari penggunaan kekayaan Dana Pensiun dari kepentingan-kepentingan yang dapat menyebabkan tidak tercapainya maksud utama dari pemupukan dana yaitu untuk memenuhi pembayaran hak peserta. Dalam pelaksanaannya, pembinaan dan pengawasan tersebut meliputi antara lain sistem pendanaan dan pengawasan atas investasi kekayaan Dana Pensiun.
Terkait dengan hal itu, UU Dana Pensiun menentukan pula bahwa pemupukan dana dalam Dana Pensiun dapat diinvestasikan yang mana hasil investasi tersebut menjadi sumber kekayaan Dana Pensiun [vide Pasal 29 huruf c UU Dana Pensiun]. Untuk menginvestasikan kekayaan Dana Pensiun tersebut harus didasarkan pada arahan yang digariskan oleh pendiri Dana Pensiun dengan berpedoman pada ketentuan investasi yang ditetapkan Menteri Keuangan. Arahan dimaksud adalah untuk menjamin bahwa kekayaan Dana Pensiun hanya diinvestasikan untuk jenis-jenis investasi yang aman.
Lebih lanjut, berkenaan dengan norma dalam ketentuan Pasal 52 ayat (1) huruf a, norma ini sesungguhnya merupakan penjabaran dari Pasal 50 UU Dana Pensiun yang menunjuk Menteri, in casu Menteri Keuangan, sebagai pejabat pembina dan pengawas pengelolaan keuangan. Sekalipun pada saat ini kewenangan pembinaan dan pengawasan Dana Pensiun berdasarkan UU 21/2011 telah beralih ke OJK namun substansi pembinaan dan pengawasan dimaksud tidaklah berubah. Oleh karena itu adanya pengaturan kewajiban Dana Pensiun menyampaikan laporan berkala kepada Menteri Keuangan (saat ini OJK) setelah diaudit oleh akuntan publik tidaklah bertentangan dengan hukum. Hal demikian sejalan dengan tugas akuntan publik sebagaimana diatur dalam Pasal 52 ayat (1) huruf a UU Dana Pensiun yaitu membuat laporan berkala kepada Menteri Keuangan, tidak sampai pada kewenangan melakukan pemeriksaan atau memberikan penilaian ada/tidaknya dugaan penyelewengan terhadap keuangan Dana Pensiun. Dugaan dimaksud baik yang berakibat adanya dugaan tindak pidana yang bersifat tindak pidana umum (apabila tidak terkait dengan keuangan negara) maupun yang berakibat adanya dugaan tindak pidana yang bersifat tindak pidana khusus yang dapat terjadi apabila Dana Pensiun tersebut didirikan oleh BUMN atau lembaga lain yang turut memasukkan sumber dana yang berasal dari keuangan negara sebagai bagian dari kekayaan Dana Pensiun. Sebab, penilaian terhadap ada atau tidaknya penyalahgunaan Dana Pensiun baik yang dikelola oleh BUMN, non-BUMN, atau lembaga lain yang di dalamnya terkait dengan kerugian negara sudah menjadi ranah penegakan hukum dengan tetap mempertimbangkan prinsip-prinsip yang lazim diterima sebagai bagian dari business judgment rules.
Adapun mengenai dalil Pemohon agar audit terhadap laporan keuangan Dana Pensiun yang didirikan BUMN sah dan berkekuatan hukum jika dilakukan Akuntan Publik tidak serta-merta menghilangkan kemungkinan dilakukan audit oleh BPK termasuk di dalamnya audit investigatif. Sebab, sebagaimana telah dipertimbangkan sebelumnya, terhadap subjek hukum apapun sepanjang di dalamnya terdapat pengelolaan uang negara maka BPK berwenang melakukan pemeriksaan. Terlebih, sebagaimana diketahui, norma yang dipersoalkan oleh Pemohon a quo bersifat umum yaitu pemeriksaan audit yang berlaku bagi semua Dana Pensiun.
Berdasarkan uraian pertimbangan di atas, dalil Pemohon a quo adalah tidak beralasan menurut hukum.
9) Bahwa Pemohon selanjutnya mendalilkan norma Pasal 52 ayat (4) UU Dana Pensiun yang menyatakan “dalam rangka pemeriksaan langsung sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) Menteri dapat menunjuk akuntan publik dan/atau aktuaris”, bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 apabila kata “dapat” tidak diubah menjadi “wajib”.
Terhadap dalil tersebut, Mahkamah mempertimbangkan bahwa norma pasal a quo merupakan bagian dari sistem pembinaan dan pengawasan yang dilakukan oleh Menteri Keuangan terhadap Dana Pensiun sebagaimana telah diuraikan dalam Paragraf [3.18.2], sehingga jika pasal a quo diubah seperti yang dimohonkan oleh Pemohon akan berakibat tidak utuhnya, bahkan berubahnya, konstruksi hukum pembinaan dan pengawasan terhadap Dana Pensiun. Norma “dapat” dalam pasal a quo merupakan norma diskresioner dari pejabat yang berwenang sesuai dengan jenis Dana Pensiun, apakah Dana Pensiun tersebut merupakan DPPK ataukah DPLK. Norma kata “dapat” dalam Pasal 52 ayat (4) memberi pilihan pada Menteri Keuangan untuk menunjuk atau tidak menunjuk akuntan publik dan/atau aktuaris karena Pasal 52 ayat (4) UU a quo adalah pelaksanaan dari Pasal 50 di mana Menteri berkewajiban membina dan mengawasi lembaga keuangan sebagai bentuk perlindungan negara terhadap warga negaranya.
Dalil Pemohon dalam permohonan a quo adalah bentuk kekhawatiran Pemohon atas keterlibatan BPK dalam pemeriksaan langsung terhadap keuangan Dana Pensiun yang pendirinya adalah BUMN sebagaimana kasus konkret yang dihadapi Pemohon. Dalam kaitan ini, Mahkamah tidak berwenang menilai suatu kasus konkret. Kewenangan Mahkamah adalah menguji norma suatu undang-undang terhadap UUD 1945, yang mana Putusan Mahkamah atas pengujian tersebut bersifat erga omnes.
Bahwa dalam kaitan ini, Mahkamah menjelaskan kembali dalam menjawab dalil Pemohon a quo karena hal ini tidak dapat dipisahkan dari pertimbangan hukum Mahkamah sebelumnya yang telah menegaskan bahwa BPK berwenang melakukan pemeriksaan terhadap semua subjek hukum yang melakukan pengelolaan keuangan negara baik langsung maupun tidak langsung, terlebih lagi jika ada dugaan perbuatan penyalahgunaan keuangan negara. Dengan demikian dalil Pemohon yang menghendaki agar pemeriksaan keuangan Dana Pensiun yang berasal dari BUMN wajib dilakukan oleh akuntan publik adalah tidak berdasar sehingga karena itu dalil Pemohon a quo haruslah dinyatakan tidak beralasan menurut hukum.
10) Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, Mahkamah berpendapat permohonan Pemohon berkenaan dengan inkonstitusionalitas bersyarat Pasal 29 huruf a, Pasal 52 ayat (1) huruf a dan ayat (4) UU Dana Pensiun adalah tidak beralasan menurut hukum.
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430