Prof. Dr. R. Sjamsuhidayat, Prof. Dr. Soenarto Sastrowijoto, Prof. Dr. Teguh Asaad Suhatno Ranakusuma, Prof. Dr. dr. KRT Adi Heru Sutomo, M.Sc., DCN, Prof. dr. J. Hari Kusnanto, Dr. PH, Prof. Dr. dr. Endang S. Basuki, MPH, Prof. Dr. dr. Mulyanto, Dr. Ratna Sitompul, SpM (K), Dr. Yoni Fuadah Syukriani. Dr., SpF, DFM, Dr. Masrul, MSc., Dr. Sugito Wonodireksi, MSc., Dr. Tom Suryadi, MPH, Dr. dr. Toha Muhaimin, MPH, Dr. med. dr. Setiawan, Dr. dr. Judilherry Justam, MM, ME, PKK, Dr. Zainal Azhar, SpM., Dr. Suryono S.I. Santoso, SpOG, Dr. Grace Wangge, PhD, Dr. Setyawati Budiningsih, MPH, Dr. Trevino Aristarkus Pakasi, PhD, Dr. Indah Suci Widyahening, PhD, Dr. Rodri Tanoto, MSc, Dr. dr. Wahyudi Istiono, M.Kes., Dr. Irvan Afriandi, MPH, Dr.PH., Dr. Oryzati Hilman, MSc, CMFM, PhD, Sp.DLP, Dr. Zulkarnain Agus, MPH, Dr. Erfen Gustiawan Suwangto, MH., Dr. Joko Anggoro, MSc, SpPD, Dr. Isna Kusuma Nintyastuti, SpM, MSc., Dr. Mohammad Rizki, SpPK, MpdKed., Dr. dr. Muzakkie, SpB, SpOT, Dr. Aulia Syawal, SpJP, Dr. Fundhy Sinar Ikrar Prihatanto, M.MedEd, Dr. Hardy Senjaya, SE, Msi, PALK, Dr. Suweno TJHIA, Dr. dr. Toar JM Lalisang, SpB-KBD., yang diwakili oleh kuasa hukumnya Dr. A. Muhammad Asrun, S.H., M.H., Ai Latifah Fardiyah, S.H., dan Merlina, S.H., dari DR. Muhammad Asrun and Partners (MAP) Law Firm
Pasal 1 angka 12, Pasal 1 angka 13, Pasal 28 ayat (1), dan Penjelasan Pasal 29 ayat (3) huruf d UU 29/2004
Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (1), dan Pasal 28H ayat (2) UUD Tahun 1945
Perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI
Bahwa terhadap pengujian Pasal 1 angka 12, Pasal 1 angka 13, Pasal 28 ayat (1), dan Penjelasan Pasal 29 ayat (3) huruf d UU 29/2004 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
1) Menimbang bahwa para Pemohon pada pokoknya mendalilkan Pasal 1 angka 12 UU 29/2004 mengandung unsur ketidakjelasan meskipun penjelasan pasal a quo menyatakan “cukup jelas”, karena PB-IDI secara tersendiri dapat menafsirkan ketentuan pasal a quo menempatkan majelis-majelis dalam lingkungan IDI (MKKI, MKEK dan MPPK) sebagai subordinasi PB-IDI sehingga bertentangan dengan Pasal 28C ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Terhadap dalil para Pemohon a quo, mengenai struktur kepemimpinan IDI yang menempatkan keberadaan posisi MKKI, MKEK dan MPPK di struktur kepemimpinan IDI telah dipertimbangkan oleh Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 10/PUU-XV/2017 Paragraf [3.13.3] yang antara lain mempertimbangkan:
“Bahwa dalam rangka mewujudkan tujuan Organisasi, IDI membentuk struktur organisasi dan struktur kepimpinan pada Organisasi IDI. Kekuasaan tertinggi organisasi di tingkat nasional berada pada Muktamar, di tingkat provinsi berada pada musyawarah wilayah dan tingkat kabupaten/kota berada pada musyawarah cabang. Struktur kepemimpinan pada tingkat pusat terdiri dari: a) Pengurus Besar IDI; b) Majelis Kolegium Kedokteran Indonesia (MKKI); c) Majelis Kehormatan Etik Kedoteran (MKEK); d) Majelis Pengembangan Pelayanan Keprofesian (MPPK), yang masing-masing memiliki wewenang dan tanggungjawab sesuai tugasnya”.
Dengan pertimbangan hukum tersebut telah jelas posisi keberadaan PB- IDI, MKKI, MKEK, dan MPPK yang berada sejajar pada struktur kepemimpinan IDI yang berada di tingkat pusat. Meskipun para Pemohon dalam perbaikan permohonannya memohon kepada Mahkamah agar pertimbangan tersebut dapat dijadikan norma hukum dalam bentuk putusan Mahkamah agar dipatuhi oleh PB- IDI sehingga PB-IDI tidak menempatkan MKKI, MKEK, dan MPPK sebagai subordinasi PB IDI, menurut Mahkamah pertimbangan Mahkamah dalam sebuah putusan meskipun tidak dinyatakan dalam sebuah amar putusan Mahkamah, namun pertimbangan tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan amar putusan yang mempunyai kekuatan final dan mengikat yang harus dipatuhi oleh semua pihak. Dengan demikian permohonan para Pemohon untuk meminta Mahkamah agar pertimbangan tersebut menjadi sebuah putusan atau amar adalah tidak tepat. Karena struktur organisasi kepemimpinan IDI yang menurut para Pemohon menempatkan MKKI, MKEK, dan MPPK sebagai subordinasi PB IDI adalah urusan internal IDI yang dapat diselesaikan oleh IDI itu sendiri dengan tetap harus memperhatikan pertimbangan Mahkamah sebagaimana dinyatakan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 10/PUU- XV/2017 dan bukan masalah inkonstitusionalitas sebuah norma sehingga bertentangan dengan UUD 1945. Dengan demikian menurut Mahkamah dalil para Pemohon tidaklah beralasan menurut hukum.
2) Menimbang bahwa dalil para Pemohon mengenai frasa “dibentuk oleh organisasi profesi” dalam Pasal 1 angka 13 UU 29/2004, yang pada pokoknya memohon agar frasa tersebut diperjelas dengan dimaknai memungkinkan berjalannya fungsi pengawasan dari regulator bidang kesehatan yaitu Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) dengan mengatur agar kolegium yang terbentuk perlu disahkan oleh KKI. Karena selama ini menurut para Pemohon tidak ada keterlibatan pemerintah dan/atau KKI dalam pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi dalam hal perencanaan, pendayagunaan dan peningkatan kompetensi serta pembinaan mutu yang diselenggarakan oleh IDI dan atau kolegium kedokteran bagi dokter di Indonesia. PB-IDI dan kolegium Kedokteran berjalan sendiri lepas dari pengawasan atau keterlibatan pemerintah maupun KKI sebagai regulator. Dengan begitu frasa “kolegium dibentuk oleh organisasi profesi” dalam Pasal 1 angka 13 UU 29/2004 bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai, “kolegium dibentuk oleh organisasi profesi dengan disahkan, dibina, dan diawasi oleh Konsil Kedokteran Indonesia”.
Terhadap dalil para Pemohon tersebut, Mahkamah berpendapat bahwa yang perlu dipahami adalah KKI merupakan suatu badan otonom, mandiri nonstruktural dan bersifat independen yang bertanggung jawab kepada Presiden yang memiliki tugas, fungsi dan wewenang sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 7 dan Pasal 8 UU 29/2004 yaitu melakukan registrasi dokter dan dokter gigi, mengesahkan standar pendidikan profesi dokter dan dokter gigi dan melakukan pembinaan terhadap penyelenggaraan praktik kedokteran yang dilaksanakan bersama lembaga terkait dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan medis. Adapun wewenangnya adalah menyetujui atau menolak permohonan registrasi dokter dan dokter gigi, menerbitkan dan mencabut surat tanda registrasi, mengesahkan standar kompetensi, melakukan pengujian terhadap persyaratan registrasi dokter dan dokter gigi, mengesahkan penerapan cabang ilmu kedokteran dan kedokteran gigi, melakukan pembinaan bersama terhadap dokter dan dokter gigi mengenai pelaksanaan etika profesi yang ditetapkan oleh organisasi profesi, serta melakukan pencatatan terhadap dokter dan dokter gigi yang dikenakan sanksi oleh organisasi profesi atau perangkatnya karena melanggar ketentuan etika profesi.
Sementara itu, mengenai kedudukan kolegium kedokteran telah dinyatakan dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Ikatan Dokter Indonesia bahwa Majelis Kolegium Kedokteran Indonesia adalah salah satu unsur pimpinan dalam struktur kepengurusan IDI di tingkat Pusat bersifat otonom yang bertanggung jawab mengkoordinasi dan mengatur kolegium-kolegium dalam pelaksanaan pendidikan kedokteran. Hal tersebut juga telah dinyatakan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 10/PUU-XV/2017 Paragraf [3.14] yang antara lain mempertimbangkan sebagai berikut:
“…Dalam struktur IDI pun berdasarkan AD/ART IDI kolegium-kolegium yang berhimpun dalam Majelis Kolegium Kedokteran Indonesia merupakan salah satu unsur dalam struktur kepengurusan IDI ditingkat Pusat yang bertugas untuk melakukan pembinaan dan pengaturan pelaksanaan sistem pendidikan profesi kedokteran. Dengan demikian maka Kolegium Kedokteran Indonesia dan Kolegium Kedokteran Gigi Indonesia merupakan unsur dalam IDI sebagai organisasi profesi kedokteran yang bertugas mengampu cabang disiplin ilmu masing-masing. Oleh karena itu, IDI dalam hal ini berfungsi sebagai rumah besar profesi kedokteran yang di dalamnya dapat membentuk kolegium-kolegium untuk melaksanakan kewenangan tertentu berdasarkan peraturan perundang-undangan dan AD/ART IDI.”
Selanjutnya Mahkamah dalam paragraf yang sama juga mempertimbangkan antara lain:
“…bahwa Kolegium Kedokteran/Majelis Kolegium Kedokteran Indonesia merupakan unsur yang terdapat dalam IDI dan bukan merupakan organisasi yang terpisah dari IDI. Sebagai rumah besar dokter Indonesia, IDI mewadahi profesi kedokteran dari berbagai disiplin ilmu. Dengan demikian, setiap unsur dalam IDI memiliki fungsi masing-masing sesuai dengan AD/ART IDI. Kolegium Kedokteran Indonesia/Majelis Kolegium kedokteran Indonesia merupakan unsur dalam IDI yang bertugas untuk melakukan pengaturan dan pembinaan pelaksanaan sistem pendidikan profesi kedokteran. Dalam melakukan fungsi ini, Kolegium/Majelis Kolegium Kedokteran Indonesia tetap berkoordinasi dengan berbagai unsur terkait baik di dalam maupun di luar IDI untuk mewujudkan cita-cita nasional dalam meningkatkan derajat kesehatan rakyat Indonesia yang juga menjadi tujuan pembentukan IDI melalui penyelenggaraan pendidikan kedokteran. Dengan demikian, terkait penyelenggaraan pendidikan kedokteran, sebagaimana juga disebutkan dalam AD/ART IDI, merupakan fungsi Kolegium Kedokteran/Majelis Kolegium Kedokteran Indonesia sebagai salah satu unsur dari IDI yang memiliki kompetensi di bidang pendidikan kedokteran. Tidaklah berlebihan bila menempatkan Kolegium/Majelis Kolegium sebagai academic body profesi kedokteran. Berkenaan dengan adanya disharmoni perihal kolegium sebagaimana dimaksudkan dalam UU Praktik Kedokteran yang hanya melibatkan Kolegium Kedokteran Indonesia dan Kolegium Kedokteran Gigi Indonesia, sementara itu dalam UU Pendidikan Kedokteran hanya menyebutkan organisasi profesi, hal demikian tidaklah dimaknai bahwa terjadi inkonstitusionalitas norma karena pada hakikatnya kolegium adalah bagian dari organisasi profesi dalam hal ini IDI. Dalam hal ini organisasi profesi (IDI) harus memberdayakan keberadaan unsur-unsur dalam struktur organisasi termasuk kolegium sesuai dengan fungsinya masing-masing.“
Bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, telah terang bagi Mahkamah antara KKI dengan kolegium memiliki peranan yang berbeda dalam organisasi profesi kedokteran sebagaimana diatur dalam peraturan perundang- undangan yang berlaku sehingga tidaklah tepat jika para Pemohon meminta kepada Mahkamah agar frasa “kolegium dibentuk oleh organisasi profesi” dalam Pasal 1 angka 13 UU 29/2004 dan dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai, “kolegium dibentuk oleh organisasi profesi dengan disahkan, dibina, dan diawasi oleh Konsil Kedokteran Indonesia”, karena permohonan para Pemohon tersebut seakan-akan menghendaki Mahkamah untuk mengintervensi organisasi kedokteran Indonesia yang dihubungkan dengan permasalahan sebuah norma. Justru pembentukan kolegium tersebut apabila dilakukan oleh KKI akan dapat menjadikan sebagai subordinasi sehingga akan mengurangi sifat independensi dari KKI itu sendiri. Oleh karena itu tidak terdapat inkonstitusionalitas sebuah norma sehingga bertentangan dengan UUD 1945. Dengan demikian menurut Mahkamah dalil para Pemohon tidaklah beralasan menurut hukum.
3) Menimbang bahwa para Pemohon pada pokoknya mendalilkan bahwa ketentuan Pasal 1 angka 13 UU 29/2004 bila dikaitkan dengan Penjelasan Pasal 29 ayat (3) huruf d UU 29/2004 dapat ditafsirkan berbeda sehingga dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dalam penerbitan sertifikat kompetensi, karena Pasal 1 angka 13 UU 29/2004 secara jelas menyebutkan bahwa kolegium hanya diperuntukkan untuk cabang ilmu kedokteran, dalam hal ini spesialis, walaupun hal tersebut tidak dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 1 angka 13 UU 29/2004 itu sendiri. Namun dalam Penjelasan Pasal 29 ayat (3) huruf d disebutkan bahwa yang berhak mengeluarkan sertifikat kompetensi adalah kolegium yang bersangkutan. Dengan tanpa penjelasan bahwa kolegium itu hanya untuk spesialis maka dapat timbul pertanyaan pihak mana yang berwenang menerbitkan sertifikat kompetensi bagi dokter (basic medical doctor). Sehingga PB-IDI menafsirkan bahwa sertifikat kompetensi dokter (basic medical doctor) juga harus diterbitkan oleh kolegium bagi dokter (basic medical doctor), dalam hal ini Kolegium Dokter Indonesia (KDI). Terhadap hal tersebut maka menurut para Pemohon perlu penegasan bahwa yang dimaksud dengan kolegium dalam Penjelasan Pasal 29 ayat (3) huruf d adalah kolegium spesialis, sedangkan kolegium untuk dokter (basic medical doctor) adalah Fakultas Kedokteran.
Terhadap dalil para Pemohon tersebut Mahkamah perlu mengutip Ketentuan Umum Pasal 1 angka 2 UU 29/2004 yang menyatakan bahwa yang dimaksud dokter adalah dokter dan dokter spesialis. Dari ketentuan tersebut maka tidak terdapat pemisahan pengertian antara dokter dan dokter spesialis. Bila pengertian tersebut dikaitkan dengan penerbitan sertifikat kompetensi, Mahkamah telah menegaskan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 10/PUU-XV/2017 Paragraf [3.14] yang antara lain mempertimbangkan:
“…Sertifikat Kompentesi dikeluarkan oleh organisasi profesi, sebagai bukti bahwa seorang dokter bukan hanya telah teruji secara akademik tetapi juga telah teruji dalam menerapkan ilmu yang diperoleh guna melakukan pelayanan kesehatan setelah melalui uji kompetensi Dokter atau Dokter Gigi yang dilakukan oleh Fakultas Kedokteran atau Fakultas Kedokteran Gigi bekerja sama dengan asosiasi institusi pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi dan berkoordinasi dengan Organisasi Profesi [vide Pasal 36 ayat (3) UU Pendidikan Kedokteran]. Dengan demikian, sertifikat profesi (ijazah) sebagai salah satu syarat untuk memperoleh sertifikat kompetensi, sedangkan sertifikat kompentensi merupakan persyaratan untuk mendaftar ke KKI guna mendapatkan Surat Tanda Registrasi dokter (STR). Seorang dokter yang telah memperoleh STR, terlebih dahulu harus melakukan Program Internsip. Selanjutnya, untuk dapat melakukan praktik mandiri, seorang dokter harus memperoleh surat izin praktik (SIP) dari instansi yang berwenang.
Sertifikat Kompetensi tersebut menunjukkan pengakuan akan kemampuan dan kesiapan seorang dokter untuk melakukan tindakan medis dalam praktik mandiri yang akan dijalaninya dan hanya diberikan kepada mereka yang telah menjalani berbagai tahapan untuk menjadi seorang dokter yang profesional. Dengan demikian, memberikan sertifikat kompetensi kepada dokter yang tidak kompeten dapat membahayakan keselamatan pasien dan sekaligus mengancam kepercayaan masyarakat terhadap profesi dokter, yang pada akhirnya dapat mengancam jaminan hak konstitusional warga negara sebagaimana termaktub dalam Pasal 28H ayat (1) UUD 1945, sehingga negara dapat dianggap gagal menjalankan kewajiban konstitusionalnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (3) UUD 1945.
Oleh karena itu telah terang bagi Mahkamah bahwa sertifikat profesi (“ijazah dokter”) tidak dapat disamakan dengan sertifikat kompetensi sebagaimana yang didalilkan para Pemohon. Sertifikat Profesi dan Sertifikat Kompetensi adalah dua hal yang berbeda yang diperoleh pada tahap yang berbeda sebagai syarat yang harus dipenuhi seorang dokter yang akan melakukan praktik mandiri.”
Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut, menurut Mahkamah telah jelas bahwa yang mengeluarkan sertifikat kompetensi untuk dokter baik dokter (basic medical doctor) maupun dokter spesialis adalah organisasi profesi sebagai bukti bahwa seorang dokter bukan hanya telah teruji secara akademik tetapi juga telah teruji dalam menerapkan ilmu yang diperoleh guna melakukan pelayanan kesehatan setelah melalui uji kompetensi dokter atau dokter gigi yang dilakukan oleh fakultas kedokteran atau fakultas kedokteran gigi bekerja sama dengan asosiasi institusi pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi dan berkoordinasi dengan organisasi profesi. Adapun yang dikeluarkan oleh perguruan tinggi dalam hal ini fakultas kedokteran adalah sertifikat profesi (ijazah) sebagai bukti bahwa seorang dokter telah memenuhi semua persyaratan dan telah teruji secara akademik. Dengan demikian dalil para Pemohon yang pada pokoknya menyatakan ketentuan Pasal 1 angka 13 UU 29/2004 bila dikaitkan dengan Penjelasan Pasal 29 ayat (3) huruf d UU 29/2004 dapat ditafsirkan berbeda sehingga dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dalam penerbitan sertifikat kompetensi adalah tidak beralasan menurut hukum.
5) Menimbang bahwa dalil para Pemohon yang pada pokoknya mendalilkan kata “kolegium” dalam Penjelasan Pasal 29 ayat (3) huruf d UU 29/2004 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai, “kolegium dokter spesialis, sedangkan kolegium untuk dokter (basic medical doctor) adalah fakultas kedokteran dan atau gabungan fakultas kedokteran yang berakreditasi tertinggi”. Terhadap dalil para Pemohon a quo menurut Mahkamah dalil para Pemohon sesungguhnya tidak berbeda dengan dalil para Pemohon yang berkaitan dengan Penjelasan Pasal 29 ayat (3) huruf d UU 29/2004 sebagaimana tercantum dalam Paragraf [3.17]. Oleh karena itu pertimbangan Mahkamah dalam Paragraf [3.17] adalah mutatis mutandis berlaku terhadap dalil para Pemohon a quo. Dengan demikian, berkenaan dengan Penjelasan Pasal 29 ayat (3) huruf d UU 29/2004 tidak terdapat persoalan konstitusionalitas dalam hubungannya dengan norma yang dijelaskan yaitu Pasal 29 ayat (3) huruf d UU 29/2004, sehingga dalil para Pemohon a quo tidak beralasan menurut hukum.
6 ) Menimbang bahwa para Pemohon mendalilkan Pasal 28 ayat (1) UU 29/2004 yang menyatakan, “Setiap dokter atau dokter gigi yang berpraktik wajib mengikuti pendidikan dan pelatihan kedokteran atau kedokteran gigi berkelanjutan yang diselenggarakan oleh organisasi profesi dan lembaga lain yang diakreditasi oleh organisasi profesi dalam rangka penyerapan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran atau kedokteran gigi”, bertentangan dengan UUD 1945, khususnya Pasal 28C ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1), karena norma a quo tanpa disertai dengan penafsiran yang jelas dan tegas mengenai keterlibatan aktif MKKI yang merupakan unsur IDI yang mempunyai kewenangan dalam bidang pendidikan dan juga pengawasan dari pemerintah serta KKI sebagai regulator dalam hal proses resertifikasi dan program pengembangan Pendidikan Keprofesian Berkelanjutan (P2KB).
Terhadap dalil para Pemohon tersebut menurut Mahkamah yang perlu ditekankan dalam pasal a quo adalah antara lain menyatakan, “…pendidikan dan pelatihan kedokteran atau kedokteran gigi berkelanjutan yang diselenggarakan oleh organisasi profesi dan lembaga lain yang diakreditasi oleh organisasi profesi..” dari ketentuan tersebut telah jelas penyelenggara pelatihan kedokteran atau kedokteran gigi berkelanjutan adalah organisasi profesi dalam hal ini IDI sehingga ketentuan tersebut tidaklah menimbulkan ketidakpastian hukum seperti yang didalilkan oleh para Pemohon. Adapun permohonan para Pemohon yang memohon kepada Mahkamah agar pasal a quo ditafsirkan dengan jelas dalam hal penyelenggaraan proses resertifikasi dan program pengembangan Pendidikan Keprofesian Berkelanjutan (P2KB) harus ada keterlibatan aktif MKKI yang merupakan unsur IDI dan juga pengawasan dari pemerintah serta KKI sebagai regulator, menurut Mahkamah hal tersebut bukanlah persoalan konstitusionalitas norma, melainkan hanya keberatan para Pemohon terhadap implementasi norma di lapangan karena dalam hal proses resertifikasi dan program pengembangan Pendidikan Keprofesian Berkelanjutan (P2KB) tidak dilibatkannya secara aktif MKKI yang merupakan unsur IDI yang mempunyai kewenangan dalam bidang pendidikan dan juga pengawasan dari pemerintah serta KKI sebagai regulator.
Terhadap keberatan para Pemohon tersebut, menurut Mahkamah, kewenangan organisai profesi dalam menjaga kompetensi kedokteran dan sistem pendidikan profesi kedokteran yang telah dibangun oleh organisasi profesi dalam hal ini IDI, bukan lagi menjadi kewenangan pemerintah dan KKI. KKI telah memiliki tugas tersendiri di antaranya melakukan registrasi dokter dan dokter gigi dengan menerbitkan surat tanda registrasi (STR) sebagai pengakuan negara bahwa dokter dan dokter gigi tersebut mempunyai kompetensi sesuai dengan kualifikasi dalam registrasinya yang mengakui seorang dokter layak melakukan praktik kedokteran (fit to practice). Oleh karena itu KKI tidaklah tepat dilibatkan dalam pengawasan proses resertifikasi dan program Pengembangan Pendidikan Keprofesian Berkelanjutan (P2KB) sebab fungsi dan tugas KKI adalah mengenai pengaturan, pengesahan, penetapan, serta pembinaan dokter dan dokter gigi yang menjalankan praktik kedokteran, dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan medis, serta melakukan registrasi dokter dan dokter gigi, mengesahkan standar pendidikan profesi dokter dan dokter gigi; dan melakukan pembinaan terhadap penyelenggaraan praktik kedokteran yang dilaksanakan bersama lembaga terkait sesuai dengan fungsi masing-masing [vide Pasal 6 dan Pasal 7 UU 29/2004]. Begitu pula MKKI yang memiliki tanggung jawab tersendiri yaitu mengatur internal organisasi dalam bidang pendidikan kedokteran. Adapun peran pemerintah selain membina serta mengawasi praktik kedokteran sesuai dengan fungsi dan tugas masing-masing sebagaimana ditentukan dalam Pasal 71 UU 29/2004, dalam hal proses resertifikasi peran pemerintah telah dinyatakan dalam pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 10/PUU-XV/2017 Paragraf [3.14] yang antara lain menyatakan:
“Resertifikasi tersebut dapat dilakukan dengan menilai ulang kompetensi atau dapat juga mengikuti program pengembangan dan pendidikan kedokteran berkelanjutan (P2KB) dengan perolehan satuan kredit khusus. Tanpa mengurangi kualitas tujuan dilakukannya resertifikasi, mekanismenya harus dilaksanakan secara sederhana sehingga memungkinkan setiap dokter dapat memenuhinya. Di samping itu, untuk menghindari kemungkinan adanya penyalahgunaan kewenangan, proses resertifikasi dilakukan secara transparan dan akuntabel. Oleh karena itu Pemerintah perlu mendorong dilakukan penyederhanaan proses resertifikasi dan sekaligus melakukan pengawasan terhadap proses dimaksud.”
Bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, dalil para Pemohon yang mempertentangkan Pasal 28 ayat (1) UU 29/2004 dengan Pasal 28C ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum;
Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan hukum sebagaimana diuraikan di atas, pokok permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum.
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430