Resume Putusan MK - Menyatakan Menolak, Tidak Dapat Diterima


Warning: Undefined variable $file_pdf in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-resume.phtml on line 66
RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 36/PUU-XVI/2018 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PEMILIHAN UMUM TERHADAP UNDANG UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 28-06-2018

Muhammad Hafidz dkk.

Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU Pemilu

Pasal 6A ayat (1), Pasal 7 dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

Perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan
Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap konstitusionalitas Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i
UU Pemilu, MK memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

1. Bahwa berkenaan dengan dalil para Pemohon “diberikan hak
konstitusional para Pemohon yang menjadi dasar argumentasi yaitu Pasal
28D ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan, “Setiap warga negara berhak
memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan”; dan Pasal
28C ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan, “Setiap orang berhak untuk
memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk
membangun masyarakat, bangsa dan negaranya”. Hal mendasar yang
harus dijelaskan oleh para Pemohon adalah: apakah benar dengan
berlakunya norma dalam Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU
Pemilu telah merugikan hak konstitusional para Pemohon. Secara
konstitusional, UUD 1945 memberikan hak kepada semua warga negara,
yang telah memenuhi persyaratan, untuk menggunakan hak pilih mereka
dalam pemilihan calon presiden dan wakil presiden. Berkenaan dengan
model/cara pemilihan dimaksud, Pasal 6A ayat (1) UUD 1945 secara
eksplisit menyatakan bahwa pasangan calon presiden dan wakil presiden
dipilih secara langsung oleh rakyat. Dengan konstruksi konstitusional yang
demikian, warga negara yang memiliki hak pilih baru dapat dinilai menjadi
kehilangan hak konstitusionalnya bilamana terdapat pasal atau pasal-
pasal atau bagian tertentu dalam UU Pemilu (termasuk Penjelasannya)
atau undang-undang lain yang menghilangkan hak konstitusional warga
negara untuk menggunakan hak pilih mereka. Dalam hal ini, keberadaan
norma dalam Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU Pemilu sama
sekali tidak menghilangkan hak para Pemohon untuk menggunakan hak
pilih mereka sebagaimana diatur dalam Pasal 6A ayat (1) UUD 1945.
Artinya, hak konstitusional para Pemohon tidak menjadi hilang atau
dirugikan dengan berlakunya norma dalam Pasal 169 huruf n dan Pasal
227 huruf i UU Pemilu. Selain itu, pemberlakuan kedua norma dalam UU
Pemilu tersebut tidaklah dapat dinilai telah menghilangkan hak setiap
orang untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara
kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya.
Sementara itu, terkait dengan Pemohon I yang mendalilkan memiliki
kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan (legal standing)
dengan alasan karena memiliki hak untuk dipilih sebagai calon presiden
atau calon wakil presiden yang didasarkan pada Pasal 28D ayat (3) UUD
1945. Berkenaan dengan dalil tersebut, Mahkamah berpendapat bahwa
hak tersebut hanya dapat dipenuhi bilamana seorang warga negara
diajukan sebagai calon presiden atau calon wakil presiden oleh partai
politik peserta pemilihan umum sebagaimana dipersyaratkan dalam Pasal
6A ayat (2) UUD 1945. Oleh karena itu, pemberlakuan Pasal 169 huruf n
dan Pasal 227 huruf i UU Pemilu sama sekali tidak menghalangi hak
Pemohon I untuk menjadi calon presiden atau calon wakil presiden
sepanjang diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta
pemilihan umum. Dengan demikian, tidak terdapat relevansinya Pemohon
I mengaitkan dalil tersebut untuk menjelaskan bahwa yang bersangkutan
memiliki kerugian konstitusional sebagai akibat dari diberlakukannya
norma dalam Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU Pemilu.



2. Bahwa dengan berlakunya norma dalam ketentuan Pasal 169 huruf
n dan Pasal 227 huruf i UU Pemilu, para Pemohon sama sekali tidak
menjadi kehilangan hak konstitusionalnya untuk “memperoleh
kesempatan yang sama dalam pemerintahan” dan “hak setiap orang
untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif
untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya”. Selama dan
sepanjang masih terdapat pasangan calon presiden dan wakil presiden,
para Pemohon sama sekali tidak kehilangan hak pilihnya untuk memilih
pasangan calon presiden dan wakil presiden sebagaimana yang
ditentukan oleh Pasal 6A ayat (1) UUD 1945. Dalam logika sistem
ketatanegaraan Indonesia, siapapun pasangan calon yang terpilih
menjadi presiden dan wakil presiden tentunya memiliki tanggung jawab
memenuhi janji yang disampaikan dalam visi dan misi yang diajukan
ketika mendaftar sebagai pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Tidak hanya sekadar memenuhi janji dalam visi dan misi, presiden dan
wakil presiden yang dipilih oleh rakyat memiliki tanggung jawab
mewujudkan tujuan bernegara seperti yang tertuang dalam Tujuan
Bernegara dalam Alinea IV Pembukaan UUD 1945.


3. Bahwa berkenaan dengan dalil para Pemohon “kerugian
konstitusional tersebut mempunyai causal verband dengan norma
pengujian Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU Pemilu”. Ihwal dalil
causal verband, para Pemohon harus dapat menjelaskan adanya
hubungan sebab dan akibat bahwa berlakunya kedua norma dalam Pasal
169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU Pemilu telah menimbulkan kerugian
konstitusional yang bersifat spesifik dan aktual atau setidak-tidaknya
potensial menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi.
Dengan logika demikian, dalam batas penalaran yang wajar pula, setelah
membaca konstruksi Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU Pemilu
hanya mungkin dapat dinilai telah menimbulkan kerugian konstitusional
bagi seseorang yang pernah atau sedang menjadi presiden atau wakil
presiden selama dua kali masa jabatan dalam jabatan yang sama tetapi
tidak secara berturut-turut dan memiliki keinginan untuk mengajukan diri
kembali sebagai calon presiden atau calon wakil presiden. Bahkan jika
hendak dimaknai dengan lebih longgar, kerugian atau potensi kerugian
yang di dalamnya dapat menunjukkan adanya causal verband, pihak yang
mungkin dapat dinilai mengalami kerugian konstitusional dengan
berlakunya norma a quo adalah partai politik yang memenuhi persyaratan
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 6A ayat (2) UUD 1945. Bahkan,
mengikuti sejumlah putusan Mahkamah Konstitusi terkait dengan
kedudukan hukum (legal standing) partai politik dalam pengujian undang-
undang, kesempatan hanya dimungkinkan bagi partai politik peserta
pemilihan umum yang tidak ikut dalam membahas UU Pemilu di DPR.
Dengan terbatasnya kemungkinan pihak yang memiliki kedudukan hukum
(legal standing) untuk menjadi Pemohon dalam pengujian substansi
norma a quo, sulit diterima oleh penalaran yang wajar untuk menjelaskan
adanya causal verband antara kerugian hak konstitusional para Pemohon
dengan berlakunya Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU Pemilu.

4. Bahwa berkenaan dalil para Pemohon “apabila permohonan
dikabulkan, potensi kerugian konstitusional para Pemohon tidak akan
terjadi”. Terkait dengan dalil tersebut, para Pemohon mengaitkan dengan
program Nawacita Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden M. Jusuf
Kalla. Dalam hal ini, para Pemohon manyatakan bahwa Program Nawacita
dengan salah satu programnya adalah “kerja layak melalui pemenuhan
lapangan kerja yang layak dan berkeadilan” yang diusung oleh Joko
Widodo dan Jusuf Kalla sebagai Presiden dan Wakil Presiden Periode
2014-2019 tidak akan dapat dilanjutkan apabila Joko Widodo tidak
berpasangan dengan Jusuf Kalla yang sebelumnya telah menjabat
sebagai Wakil Presiden pada Periode 2004-2009. Terhadap argumentasi
tersebut, menurut Mahkamah, adalah kekhawatiran yang sama sekali
tidak relevan dikaitkan dengan kedudukan hukum (legal standing) dalam
mengajukan permohonan a quo. Lagi pula, sepanjang program-program
pemerintahan sebelumnya dinilai baik dan dapat mewujudkan tujuan
bernegara sebagaimana termaktub di dalam Alinea IV Pembukaan UUD
1945, siapa saja dapat menjadikan bagian dari tawaran visi dan misi
pasangan calon presiden dan wakil presiden.

5. Bahwa menelaah substansi norma Pasal 169 huruf n dan Pasal 227
huruf i UU Pemilu dalam pemohonan a quo telah menjadi terang bagi
Mahkamah bahwa para Pemohon tidak mampu menjelaskan dalilnya yang
terkait dengan kedudukan hukum yang pada pokoknya harus memenuhi
hal-hal sebagai berikut: (1) diberikan hak konstitusional oleh UUD 1945;
(2) potensial akan dirugikan oleh berlakunya norma Pasal 169 huruf n dan
Pasal 227 huruf i UU Pemilu; (3) kerugian konstitusional tersebut
mempunyai causal verband dengan norma Pasal 169 huruf n dan Pasal
227 huruf i UU Pemilu yang dimohonkan pengujian; dan (4) apabila
permohonan dikabulkan, potensi kerugian konstitusional para Pemohon
tidak akan terjadi. Ketika persyaratan pengujian dalam menjelaskan
kedudukan hukum dalam mengajukan permohonan tidak dapat dijelaskan
secara meyakinkan maka tidak ada keraguan sama sekali bagi Mahkamah
untuk menyatakan bahwa berlakunya norma Pasal 169 huruf n dan Pasal
227 huruf i UU Pemilu sama sekali tidak merugikan hak konstitusional
para Pemohon.