Anisa Rosadi yang diwakili oleh kuasa hukumnya kuasa kepada Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, S.H., M.Sc., dkk Advokat dan Konsultan Hukum yang tergabung dalam IHZA & IHZA Law Firm
Pasal 1 angka 1 dan Pasal 2 ayat (1) UU Guru dan Dosen.
Pasal 27 ayat (2), Pasal 28C ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2) UUD Tahun 1945
perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI.
Bahwa terhadap pengujian Pasal 1 angka 1 dan Pasal 2 ayat (1) UU Guru dan Dosen dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.11] Menimbang bahwa selanjutnya Mahkamah juga memandang perlu untuk menegaskan bahwa mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa merupakan amanat konstitusi yang diberikan kepada negara sebagaimana tercantum dalam Alinea Keempat Pembukaan UUD 1945 yang kemudian dikonkritkan dalam Pasal 31 ayat (2) UUD 1945. Sistem pendidikan nasional merupakan keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional dan untuk memberikan dasar hukum yang kuat maka diperlukan peraturan perundang-undangan yang mengatur hal-hal terkait dengan penyelenggaraan pendidikan nasional. UU Sisdiknas merupakan salah satu peraturan perundang-undangan yang dibentuk untuk memberikan aturan lebih lanjut mengenai bagaimana sistem pendidikan nasional dan penyelenggaraannya.
Seiring perkembangan zaman, munculnya Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) sebagai salah satu pendidikan sebelum jenjang pendidikan dasar kemudian diakui dan diberikan ruang pengaturannya dalam Pasal 28 UU Sisdiknas. PAUD merupakan suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut [vide Pasal 1 angka 14 UU Sisdiknas]. Penyelenggaraan PAUD sebagaimana Pasal 28 ayat (2) UU Sisdiknas dapat diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal, nonformal dan/atau informal. Keberadaan PAUD nonformal maupun PAUD informal sebetulnya merupakan perwujudan adanya peran masyarakat dalam menyelenggarakan pendidikan nasional. Lebih lanjut sebagaimana keterangan Pemerintah penyebutan PAUD formal, PAUD nonformal dan PAUD informal bukanlah dimaksudkan untuk menafikan keberadaan salah satu jalur PAUD. Pasal 28 ayat (2) UU Sisdiknas tersebut justru ingin menyatakan bahwa PAUD nonformal dan PAUD informal merupakan bentuk pendidikan yang sifatnya melengkapi keberadaan PAUD formal. Sebagaimana dinyatakan sebelumnya dalam Bab IV Hak dan Kewajiban Warga Negara, Orang Tua, Masyarakat, dan Pemerintah UU Sisdiknas, bahwa setiap warga negara berhak untuk berperan serta dalam keberlangsungan penyelenggaraan pendidikan, karena itu keberadaan PAUD jalur pendidikan nonformal dan informal merupakan salah satu bentuk pengakuan peran serta masyarakat tersebut.
Penyelenggaraan PAUD nonformal serta informal dapat diselenggarakan dengan menyesuaikan kebutuhan dalam masyarakat tersebut, salah satu contoh adalah kurikulum yang digunakan tidak hanya menggunakan kurikulum standar pemerintah tetapi juga dapat diselenggarakan dengan menambahkan kurikulum lain sepanjang tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Hal yang demikian tidak dapat dilakukan oleh PAUD formal tentunya dimana kurikulum yang digunakan adalah kurikulum yang ditetapkan oleh pemerintah, selain itu PAUD formal wajib memenuhi standar mutu penyelenggaraan pendidikan termasuk standar pendidiknya. Sehingga jika apa yang dimohonkan Pemohon agar PAUD pada jalur pendidikan nonformal dan informal disamakan dengan PAUD jalur pendidikan formal justru akan menutup ruang peran serta masyarakat bahkan menutup kebebasan masyarakat untuk menyelenggarakan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhannya.
Pendidik yang dimaksudkan oleh UU Sisdiknas adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan dan seluruh hal-hal terkait dengan pendidik secara umum tunduk pada UU Sisdiknas [vide Pasal 1 angka 6 UU Sisdiknas]. Lebih lanjut pembentuk undang-undang juga memberlakukan UU Guru dan Dosen yang kemudian ditindaklanjuti dengan peraturan pelaksanaannya untuk memberikan pengaturan tidak hanya mengenai hak-hak guru dan dosen tetapi juga standar atau kualifikasi dan kewajiban yang harus dipenuhi sebagai seorang guru dan dosen. Konsekuensi logis dengan diakuinya pendidik sebagai guru maka tentu saja tidak hanya melekat hak-haknya saja tetapi juga kewajibannya. Secara formal UU Guru dan Dosen merupakan undang-undang yang memang mengatur bagi pendidik khususnya guru dan dosen, sedangkan bagi pendidik di luar guru dan dosen maka pengaturannya tidak tunduk kepada UU a quo tetapi tunduk pada undang-undang maupun peraturan perundang-undangan lainnya.
[3.12] Menimbang bahwa terkait dengan dalil Pemohon yang menyatakan Pasal 1 angka 1 dan Pasal 2 ayat (1) UU Guru dan Dosen tidak memberikan kepastian hukum kepada profesinya sebagai pendidik PAUD nonformal, menurut Mahkamah, ketentuan Pasal 1 angka 1 dan Pasal 2 ayat (1) UU Guru dan Dosen merupakan pasal yang diatur dalam Ketentuan Umum. Sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU 12/2011) bahwa Ketentuan Umum berisi tentang batasan pengertian atau definisi, singkatan atau akronim yang digunakan dalam peraturan, dan hal-hal lain yang bersifat umum dan berlaku bagi pengaturan di dalam pasal-pasal berikutnya, antara lain, ketentuan yang mencerminkan asas, maksud, dan tujuan tanpa dirumuskan tersendiri dalam pasal atau bab (vide Lampiran I C.1. angka 98 UU 12/2011). Ketentuan Umum yang dimaksud dalam suatu peraturan perundang-undangan dimaksudkan agar batas pengertian atau definisi, singkatan atau akronim yang berfungsi untuk menjelaskan makna suatu kata atau istilah harus dirumuskan sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan pengertian ganda (vide Lampiran I C.1. angka 107 UU 12/2011). Dengan demikian Pasal 1 angka 1 dan Pasal 2 ayat (1) UU Guru dan Dosen yang dimohonkan oleh Pemohon bukanlah norma yang bersifat mengatur tetapi justru memberikan batasan arah pengaturan dan siapa yang diatur dalam UU Guru dan Dosen, dengan maksud untuk menghindarkan makna ganda (ambiguity) atau ketidakjelasan (vagueness) dalam pengaturan di dalam pasal-pasal selanjutnya, sehingga pasal a quo justru memberikan kepastian hukum. Hal berkait dengan pasal ketentuan umum undang-undang, juga telah dipertimbangkan Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-IV/2006, bertanggal 7 Desember 2006, yang menyatakan antara lain:
... Pasal 1 angka 9 tersebut hanya merupakan pengertian atau definisi yang termuat dalam ketentuan umum, dan bukan merupakan norma yang bersifat mengatur dan berkait dengan pasal-pasal yang lain, sehingga permohonan Pemohon berkenaan dengan ketentuan tersebut dikesampingkan …
Kemudian dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-VI/2008, bertanggal 17 Februari 2009, menyatakan antara lain:
.... Ketentuan Umum yang dimaksud dalam suatu peraturan perundangundangan dimaksudkan agar batas pengertian atau definisi, singkatan atau akronim yang berfungsi untuk menjelaskan makna suatu kata atau istilah memang harus dirumuskan sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan pengertian ganda ...
Berdasarkan seluruh pertimbangan tersebut di atas maka dalil Pemohon mengenai inkonstitusionalitas Pasal 1 angka 1 dan Pasal 2 ayat (1) UU Guru dan Dosen tidak beralasan menurut hukum;
[3.13] Menimbang bahwa Pemohon mendalilkan tidak dimasukkannya pendidik PAUD jalur nonformal dalam Pasal 1 angka 1 dan Pasal 2 ayat (1) UU Guru dan Dosen bertentangan dengan UUD 1945 khususnya Pasal 27 ayat (2), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 karena menyebabkan Pemohon tidak mendapatkan jaminan atas pekerjaan dan penghidupan yang layak, tidak dapat mengembangkan diri demi memenuhi kebutuhan hidup serta menyebabkan Pemohon diperlakukan diskriminatif.
Terhadap dalil Pemohon tersebut, menurut Mahkamah, sebagaimana telah diuraikan dalam pertimbangan pada Paragraf [3.11] bahwa norma a quo merupakan ketentuan umum yang memberikan batasan pengaturan terhadap siapa yang diaturnya maka dengan tidak dimasukkannya pendidik PAUD jalur pendidikan nonformal dalam Undang-Undang a quo tidak mengakibatkan warga negara yang berprofesi serupa dengan Pemohon kehilangan hak atas pekerjaannya. Pemohon dalam hal ini tetap dapat melanjutkan pekerjaannya meski keberadaannya tidak termasuk dalam definisi yang disebutkan dalam norma a quo tetapi tetap diatur dalam peraturan perundang-undangan lainnya. Selain itu, Pemohon pun tidak terlanggar haknya untuk mengembangkan diri demi terpenuhinya kebutuhan hidup sebab ketiadaan pendidik PAUD jalur nonformal dalam norma a quo tidak menghalangi hak Pemohon untuk mendapatkan pelatihan maupun kesempatan untuk meningkatkan kemampuannya baik secara praktik maupun akademisnya. Dengan demikian Pasal 1 angka 1 dan Pasal 2 ayat (1) UU Guru dan Dosen tidak menghalangi Pemohon untuk mendapatkan jaminan atas pekerjaan dan penghidupan yang layak, serta mengembangkan diri demi memenuhi kebutuhan hidup.
Lebih lanjut terkait dengan dalil Pemohon perihal adanya perlakuan diskriminatif akibat berlakunya Pasal 1 angka 1 dan Pasal 2 ayat (1) UU Guru dan Dosen, Mahkamah mempertimbangkan apakah benar terdapat persoalan diskriminasi. Berkenaan dengan pengertian diskriminasi dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 028-029/PUU-IV/2006, bertanggal 12 April 2007, telah ditegaskan antara lain:
....Mahkamah berpendapat bahwa untuk melihat apakah ketentuan Pasal 35 huruf a UU PPTKI bersifat diskriminatif atau bukan, terlebih dahulu harus diketahui apakah yang dimaksud dengan pengertian diskriminatif dalam ruang lingkup hukum hak asasi manusia (human rights law). Pasal 1 Ayat (3) UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia berbunyi, “Diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung atau tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan, atau penghapusan, pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya”. Ketentuan mengenai larangan diskriminasi di atas juga diatur dalam International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang telah diratifikasi oleh Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 (LN RI Tahun 2005 Nomor 119, TLN RI Nomor 4558). Article 2 ICCPR berbunyi, “Each State Party to the present Covenant undertakes to respect and ensure to all individuals within its territory and subject to its jurisdiction the rights recognized in the present Covenant, without distinction of any kind, such as race, color, sex, language, religion, political or other opinion, national or social origin, property, birth or other status”.
Menimbang dengan demikian, diskriminasi harus diartikan sebagai setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama (religion), ras (race), warna (color), jenis kelamin (sex), bahasa (language), kesatuan politik (political opinion)...
Dengan merujuk pertimbangan Mahkamah di atas telah jelas bahwa pembedaan perlakuan antara pendidik jalur formal dan jalur nonformal tidaklah merupakan persoalan diskriminasi. Sebab tidak setiap perbedaan perlakuan adalah serta-merta berarti diskriminasi. Jalur pendidikan formal dan jalur pendidikan nonformal serta jalur pendidikan informal merupakan jalur-jalur pendidikan yang memiliki karakteristik yang berbeda sehingga terhadap sesuatu yang berbeda tentunya sudah tepat jika dilakukan pengaturan secara berbeda pula. Justru akan menjadi tidak tepat dan sekaligus tidak adil jika terhadap sesuatu yang memang berbeda diperlakukan sama. Sehingga perbedaan pengaturan terkait dengan pendidik PAUD jalur formal dan pendidik PAUD jalur nonformal bukanlah ketentuan yang bersifat diskriminatif.
Berdasarkan pertimbangan di atas, dalil Pemohon a quo tidak beralasan menurut hukum.
[3.14] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, Mahkamah berpendapat permohonan Pemohon berkenaan dengan inkonstitusionalitas Pasal 1 angka 1 dan Pasal 2 ayat (1) UU Guru dan Dosenadalah tidak beralasan menurut hukum.
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430