Prof. Dr. H. Rizal Djalil, M.M.
Pasal 5 ayat (1) UU BPK
Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945
perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI.
Bahwa terhadap pengujian Pasal 5 ayat (1) UU BPK dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.13] Menimbang bahwa setelah membaca secara saksama permohonan Pemohon beserta bukti-bukti yang diajukan serta pihak-pihak sebagaimana diuraikan pada paragraf-paragraf di atas, sebelum mempertimbangkan pokok permohonan, Mahkamah terlebih dahulu penting untuk mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
1. Bahwa, sebagaimana ditegaskan dalam Konsiderans “Menimbang” UU BPK, keuangan negara merupakan salah satu unsur pokok dalam penyelenggaraan pemerintahan negara yang terkait langsung dengan upaya mewujudkan tujuan negara yaitu tercapainya masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945. Dalam konteks demikian maka hadirnya pemerintahan yang bersih serta bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme merupakan syarat yang tidak dapat ditiadakan dalam pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Dengan demikian, hadirnya lembaga pemeriksa yang bebas, mandiri, dan profesional yang bertugas memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara dimaksud pun merupakan kebutuhan yang tak dapat ditiadakan. Kebutuhan demikian, menurut pembentuk undang-undang, tidak terjawab oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1973 tentang Badan Pemeriksa Keuangan sehingga dibentuklah UU BPK a quo [vide Konsiderans “Menimbang” huruf a sampai dengan huruf d UU BPK].
2. Bahwa pertimbangan pembentuk undang-undang dalam membentuk UU BPK sebagaimana diuraikan pada angka 1 di atas adalah sejalan dengan (bahkan merupakan konsekuensi konstitusional logis) perubahan sistem ketatanegaraan yang lahir karena dilakukannya perubahan UUD 1945 yang bertolak dari amanat Pembukaan UUD 1945. Hal itu secara eksplisit terbaca dari ditambahkannya oleh pembentuk Undang-Undang Dasar (MPR) satu bab tersendiri ke dalam UUD 1945 yang mengatur tentang Badan Pemeriksa Keuangan, yaitu Bab VIIIA, yang terdiri atas tiga pasal, yakni Pasal 23E, Pasal 23F, dan Pasal 23G dan secara keseluruhan terdiri atas enam ayat. Perihal pentingnya keberadaan BPK sebagai lembaga yang bertugas memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara (dan karenanya ia harus bebas dan mandiri) ditegaskan dalam Pasal 23E ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, “Untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan satu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri.” Perihal nature kelembagaan BPK yang bebas dan mandiri tersebut ditegaskan kembali dengan rumusan yang hampir sama dalam Pasal 2 UU BPK yang menyatakan, “BPK merupakan satu lembaga negara yang bebas dan mandiri dalam memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara”.
3. Bahwa berdasarkan pertimbangan pada angka 1 dan angka 2 di atas maka dalam menilai hal-hal yang berkait dengan keanggotaan BPK tidak dapat dan tidak mungkin dilepaskan dari konteks upaya merealisasikan BPK sebagai lembaga yang bebas dan mandiri dalam melaksanakan tugasnya memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara serta semangat reformasi kelembagaan berdasarkan perubahan UUD 1945.
[3.14] Menimbang bahwa setelah mempertimbangkan hal-hal sebagaimana diuraikan pada Paragraf [3.13], terhadap substansi keseluruhan dalil Pemohon Mahkamah berpendapat bahwa dalil-dalil Pemohon bertumpu pada tiga proposisi yang merupakan tiga persoalan konstitusional yang harus dipertimbangkan oleh Mahkamah, yaitu:
Pertama, bahwa menurut Pemohon sifat jabatan anggota BPK adalah jabatan politik. Oleh karena itu maka pembatasan dua kali atau dua periode yang diberlakukan terhadap jabatan demikian adalah bertentangan dengan gagasan negara hukum, sebagaimana dimaksud Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, serta tidak memberikan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum sehingga harus dinyatakan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945;
Kedua, bahwa menurut Pemohon BPK merupakan salah satu pelaksana fungsi legislatif. Oleh karena itu maka pembatasan dua kali atau dua periode yang diberlakukan terhadap jabatan demikian bertentangan dengan gagasan negara hukum, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, serta tidak memberikan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum sehingga harus dinyatakan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945;
Ketiga, bahwa menurut Pemohon BPK adalah lembaga yang bersifat majemuk yang dalam pengambilan keputusannya bersifat kolektif kolegial. Oleh karena itu maka pembatasan dua kali atau dua periode yang diberlakukan terhadap anggota BPK bertentangan dengan gagasan negara hukum, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, serta tidak memberikan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum sehingga harus dinyatakan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945;
Terhadap ketiga proposisi Pemohon dan sekaligus persoalan konstitusional tersebut, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
1. Terhadap persoalan Pertama, Mahkamah terlebih dahulu akan mempertimbangkan proposisi (pernyataan) Pemohon bahwa BPK adalah jabatan politis. Dalam hal ini, Pemohon tidak memberikan definisi maupun pengertian tentang jabatan politis dimaksud melainkan hanya mengemukakan dua alasan yang berkait dengan keanggotaan BPK yaitu (i) bahwa proses pemilihannya dipilih secara politis oleh DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD dan (ii) bahwa untuk menjadi anggota BPK tidak dipersyaratkan keahlian khusus melainkan cukup sarjana atau yang setara tanpa spesifikasi di bidang tertentu, bahkan tanpa perlu syarat pengalaman. Atas dasar itu Pemohon kemudian melanjutkan argumentasinya bahwa oleh karena sifat jabatan anggota BPK adalah jabatan politis maka sebagaimana halnya jabatan politis lainnya, in casu anggota DPR, DPD, dan DPRD yang tidak dibatasi periodisasi masa jabatannya maka, menurut Pemohon, hal yang sama mutatis mutandis berlaku pula terhadap anggota BPK yaitu bahwa keanggotaan BPK tidak boleh dibatasi masa jabatannya berdasarkan periodisasi dan karena itu, menurut Pemohon, membatasi keanggotaan BPK berdasarkan periodisasi adalah bertentangan dengan UUD 1945.
Dalam kaitan ini Mahkamah berpendapat, terlepas dari benar atau tidaknya argumentasi Pemohon perihal kriteria jabatan politis maka, dalam konteks BPK, jika penalaran Pemohon demikian diikuti akan timbul konsekuensi bahwa oleh karena sifat jabatan BPK adalah jabatan politis maka produk yang dihasilkan oleh BPK dalam melaksanakan fungsinya yang melekat pada jabatan itu adalah produk politik dan semata-mata didasari oleh pertimbangan-pertimbangan politik, sebagaimana halnya produk-produk DPR, DPD, dan DPRD yang dijadikan rujukan oleh Pemohon. Dengan kata lain, pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK terhadap pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara tidak ada bedanya dengan pengawasan politis yang melekat dalam fungsi DPR. Jika demikian halnya, maka menjadi pertanyaan buat apa dibentuk BPK. Padahal salah satu argumenrtasi Pemohon dalam hal ini menyatakan bahwa lahirnya kebutuhan membentuk BPK adalah karena makin kompleksnya keuangan negara yang secara implisit berarti Pemohon sendiri sesungguhnya mengakui bahwa dalam konteks pengawasan terhadap keuangan negara maka pengawasan yang bersifat politis yang melekat dalam kelembagaan DPR tidak memadai dalam hubungannya dengan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara dan karena itu dibutuhkan lembaga tersendiri yang bebas dan mandiri untuk melakukan bagian dari fungsi pengawasan tersebut.
Lagipula jika proses pemilihan secara politis yang dijadikan alasan, berarti semua lembaga yang keanggotaannya dipilih oleh DPR dapat dikategorikan sebagai lembaga sekaligus jabatan politis yang tidak mengenal periodisasi masa jabatan. Hal demikian jelas tidak dapat diterima sebab kontradiktif dengan semangat dan substansi yang terkandung dalam Pasal 23E ayat (1) UUD 1945 yang memberi wewenang konstitusional kepada BPK untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara. Sebab, pemeriksaan (dalam konteks pelaksanaan kewenangan BPK), sebagaimana secara eksplisit dirumuskan dalam Pasal 1 angka 9 UU BPK adalah proses identifikasi masalah, analisis, dan evaluasi yang dilakukan secara independen, objektif, dan profesional berdasarkan standar pemeriksaan, untuk menilai kebenaran, kecermatan, kredibilitas, dan keandalan informasi mengenai pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Sementara itu, yang dimaksud dengan standar pemeriksaan, menurut Pasal 1 angka 13 UU BPK, adalah patokan untuk melakukan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang meliputi standar umum, standar pelaksanaan pemeriksaan, dan standar pelaporan yang wajib dipedomani oleh BPK dan/atau pemeriksa. Dengan dasar pertimbangan itu saja, tanpa perlu memerinci lebih lanjut ketentuan yang mengatur tentang tugas dan wewenang BPK sebagaimana diatur dalam Bab III UU BPK, dalil Pemohon perihal tidak boleh dibatasinya masa jabatan anggota BPK berdasarkan alasan yang semata-mata disandarkan pada argumentasi bahwa sifat jabatan BPK adalah jabatan politis telah tertolak dengan sendirinya. Sebab, pengertian pemeriksaan dan standar pemeriksaan sebagaimana diuraikan di atas tidak mungkin dilaksanakan berdasarkan pertimbangan politis dengan semata-mata mengasumsikan bahwa sifat jabatan BPK sebagai jabatan politis sebagaimana didalilkan oleh Pemohon. Lebih-lebih jika dikaitkan dengan pengertian pengelolaan keuangan negara dan tanggung jawab keuangan negara, sebagaimana diatur masing-masing dalam Pasal 1 angka 8 dan angka 11 UU BPK.
Dengan demikian, oleh karena argumentasi dasar yang digunakan oleh Pemohon untuk menyatakan inkonstitusionalitas pembatasan masa jabatan anggota BPK berdasarkan periodisasi, yaitu bahwa sifat jabatan BPK adalah jabatan politis, telah tertolak maka dalil Pemohon selanjutnya yang diturunkan dari argumentasi tersebut yaitu bahwa pembatasan masa jabatan keanggotaan BPK berdasarkan periodisasi bertentangan dengan negara hukum, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, karena tidak memberikan hak atas kepastian hukum yang adil, sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, menjadi kehilangan relevansi maupun koherensinya. Selain itu, secara tekstual maupun kontekstual, Pasal 5 ayat (1) UU BPK justru telah menjamin dan memberikan kepastian hukum karena tidak mungkin ditafsirkan berbeda selain sebagaimana yang tertulis dalam Pasal 5 ayat (1) UU BPK tersebut. Adapun perihal keadilan, hal itu tidaklah tepat jika semata-mata dilihat dari perspektif subjektif kepentingan Pemohon atau anggota BPK petahana. Sebab, pertanyaan mendasarnya adalah benarkah terdapat persoalan ketidakadilan dalam rumusan Pasal 5 ayat (1) UU BPK yang telah memberikan jaminan kepastian hukum tersebut hanya karena di dalamnya ditentukan bahwa masa jabatan anggota BPK dibatasi berdasarkan periodisasi. Dalam kaitan ini, Pemohon tidak menjelaskan konsep keadilan tertentu yang dijadikan titik tolaknya melainkan hanya mengemukakan argumentasi bahwa dengan tidak membatasi masa jabatan anggota BPK berdasarkan periodisasi tidaklah menghalangi hak warga negara lainnya untuk menjadi anggota BPK karena DPR-lah yang pada akhirnya akan memutuskan (setelah mendengar pertimbangan DPD) dipilih atau tidaknya anggota BPK petahana. Argumentasi demikian bukanlah menjelaskan adanya masalah ketidakadilan dalam pembatasan masa jabatan anggota BPK berdasarkan periodisasi melainkan argumentasi yang dimaksudkan untuk mendukung dalil Pemohon bahwa sifat jabatan anggota BPK adalah jabatan politis.
2. Terhadap persoalan Kedua, Mahkamah terlebih dahulu akan mempertimbangkan apakah benar BPK merupakan salah satu pelaksana fungsi legislatif. Dalam kaitan ini Pemohon mengemukakan argumentasi teoretik dengan merujuk pada gagasan kedaulatan rakyat yaitu bahwa sumber keuangan negara berasal dari kepemilikan rakyat maka agar pengelolaannya dilakukan secara bertanggung jawab, pengawasannya diserahkan kepada wakil-wakilnya di DPR. Karena persoalan keuangan negara makin kompleks maka untuk melakukan fungsi pengawasan itu dibentuklah BPK. Karena itulah hasil pengawasan BPK diserahkan kepada DPR. Pemohon selanjutnya membuat pengelompokan lembaga-lembaga negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia saat ini dengan bertolak dari ajaran trias politika dan memasukkan BPK ke dalam kelompok cabang kekuasaan legislatif (bersama- sama dengan MPR, DPR, dan DPD). Dari titik tolak itu Pemohon kemudian menarik konklusi bahwa oleh karena masa jabatan anggota legislatif tidak dibatasi berdasarkan periodisasi maka hal demikian juga berlaku terhadap jabatan anggota BPK.
Terhadap dalil Pemohon tersebut Mahkamah berpendapat, dengan argumentasi demikian Pemohon secara tidak langsung berarti menganggap bahwa kedaulatan rakyat hanya terjelma ke dalam kelembagaan DPR. Padahal, Pasal 1 ayat 2 UUD 1945 secara tegas menyatakan, “Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Dengan demikian, menurut UUD 1945, seluruh kekuasaan negara sumbernya adalah kedaulatan rakyat. Dengan kata lain, pelembagaan kekuasaan negara ke dalam berbagai lembaga negara yang ada pada saat ini sumbernya adalah kedaulatan rakyat yang pelaksanaannya diatur berdasarkan UUD 1945. Hal ini merupakan prinsip dasar gagasan negara demokrasi yang berdasar atas hukum yang diturunkan dari Alinea Keempat Pembukaan UUD 1945.
Adanya pendapat-pendapat individual yang berkembang selama berlangsungnya proses perubahan UUD 1945, yang sebagian dirujuk oleh Pemohon, bahkan yang disampaikan atas nama fraksi pun, tidaklah dapat dikatakan sebagai original intent MPR. Original intent adalah pendapat terakhir yang disepakati, terlepas dari bagaimana kesepakatan itu diperoleh. Lagi pula, secara akademik maupun praktik, original intent tidak selalu dapat dijadikan rujukan yang tepat dalam menafsirkan konstitusi jika konstitusi diharapkan senantiasa mampu menjawab kebutuhan zaman. Sebab, rujukan kepada original intent tidak boleh mengesampingkan tiga aspek penting dalam penafsiran konstitusi, yaitu konstitusi sebagai kesatuan (unity of the constitution), koherensi praktis (practical coherence), dan keberlakuan yang tepat (appropriate working) dari suatu norma konstitusi. Dalam konteks permohonan a quo, norma Konstitusi yang ditafsirkan untuk menguji konstitusionalitas Pasal 5 ayat (1) UU BPK adalah Pasal 23E UUD 1945.
Dari sudut pandang konstitusi sebagai satu kesatuan, Pasal 23E UUD 1945 harus ditafsirkan sebagai bagian dari upaya konstitusional mewujudkan tujuan bernegara memajukan kesejahteraan umum di mana tujuan demikian dapat dicapai, salah satunya, jika keuangan negara dikelola secara bertanggung jawab. Untuk mencapai maksud tersebut, pengawasan yang bersifat politis semata-mata dari DPR tidaklah memadai. Karena itu dibutuhkan lembaga yang secara profesional memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara dimaksud, yaitu BPK. Atas dasar hasil pemeriksaan yang secara profesional dilakukan oleh BPK itulah DPR akan menentukan sikap politiknya dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasannya terhadap eksekutif. Dari sudut pandang koherensi praktis, Pasal 23E ayat (1) UUD 1945 yang menekankan sifat bebas dan mandiri kelembagaan BPK adalah koheren dengan maksud dibentuknya BPK untuk mengawasi pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara tersebut sebab tanpa kebebasan dan kemandirian demikian, BPK tidak mungkin melaksanakan fungsi pemeriksaannya secara profesional. Sementara itu, dari sudut pandang keberlakuan yang tepat, Pasal 23E UUD 1945 tidak mungkin bekerja secara tepat (appropriate) jika BPK diisi oleh anggota-anggota yang tidak memiliki keahlian dalam bidang keuangan negara.
Dengan demikian, mendalilkan BPK sebagai bagian dari kekuasaan legislatif adalah tidak beralasan menurut hukum.
3. Terhadap persoalan Ketiga, Mahkamah mempertimbangkan bahwa mendalilkan inkonstitusionalitas pembatasan masa jabatan keanggotaan BPK berdasarkan periodisasi dengan landasan argumentasi bahwa BPK adalah lembaga yang bersifat majemuk dan pengambilan keputusannya dilakukan secara kolektif kolegial tidaklah tepat tanpa mengaitkannya dengan konteks tujuan dibentuknya BPK sebagaimana telah dipertimbangkan pada angka 2 di atas. Adapun bagian dari pertimbangan hukum Mahkamah sebagaimana tertuang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 108/PUU-X/2012 yang dijadikan bagian dari argumentasi Pemohon penekanannya adalah pencegahan terhadap kemungkinan terjadinya kesewenang-wenangan. Benar bahwa dalam pertimbangan hukum putusan tersebut Mahkamah membedakan sifat jabatan Presiden dan sifat jabatan anggota DPR dan DPRD di mana dinyatakan bahwa Presiden adalah jabatan tunggal yang memiliki kewenangan penuh dalam menjalankan pemerintahan sehingga diperlukan adanya pembatasan untuk menghindari kesewenang-wenangan, sedangkan DPR dan DPRD adalah jabatan majemuk yang setiap pengambilan keputusannya dilakukan secara kolektif sehingga Mahkamah menyatakan kecil kemungkinan terjadinya kesewenang-wenangan. Namun, dalam pertimbangan hukum putusan tersebut Mahkamah tidak menyatakan bahwa sama sekali terhadap jabatan yang bersifat majemuk tidak boleh dilakukan pembatasan. Apabila suatu saat pembentuk undang-undang berpendirian bahwa dengan memerhatikan perkembangan masyarakat terdapat kebutuhan untuk membatasi masa jabatan anggota lembaga negara yang bersifat majemuk, hal itu tidaklah serta-merta dapat diartikan bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang pertimbangan-pertimbangan untuk melakukan pembatasan demikian tidak memuat hal-hal yang dilarang oleh UUD 1945. Apalagi secara hakiki UUD 1945 setelah perubahan menganut prinsip pembatasan kekuasan termasuk di dalamnya pembatasan terhadap periodisasi masa jabatan alat-alat kelengkapan negara. Oleh karena itu, pertimbangan hukum putusan Mahkamah dimaksud tidak boleh ditafsirkan bahwa pembatasan masa jabatan anggota lembaga-lembaga negara yang bersifat majemuk adalah inkonstitusional. Sementara itu, rujukan Pemohon kepada negara-negara yang anggota “BPK”-nya tidak dibatasi berdasarkan periodisasi haruslah diperlakukan semata-mata sebagai best practices sesuai dengan tuntutan atau kebutuhan sistem ketatanegaraan di negara-negara tersebut, bukan sebagai kriteria yang berlaku umum. Sebab, terdapat pula sejumlah negara lain yang membatasi masa jabatan anggota “BPK”-nya berdasarkan periodisasi. Lagi pula, rujukan demikian tentu tidak dapat dijadikan alasan untuk menyatakan pembatasan masa jabatan anggota BPK berdasarkan periodisasi sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) UU BPK bertentangan dengan UUD 1945.
[3.15] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berpendapat, dalil Pemohon tidak beralasan menurut hukum.
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430