Resume Putusan MK - Menyatakan Menolak, Tidak Dapat Diterima


Warning: Undefined variable $file_pdf in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-resume.phtml on line 66
RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 14/PUU-XVII/2019 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA MENJADI UNDANG-UNDANG TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 20-05-2019

Munafri Arifuddin, S.H., dan drg. Andi Rachmatika Dewi Yustitia Iqbal

Pasal 54D ayat (2) dan ayat (3) juncto ayat (4) UU 10/2016

Pasal 18 ayat (4) dan Pasal 28D UUD Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 54D ayat (2) dan ayat (3) juncto ayat (4) UU 10/2016 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.11] Menimbang bahwa terhadap isu konstitusional adanya multitafsir frasa “pemilihan berikutnya” dalam norma Pasal 54D ayat (2) dan ayat (3) juncto ayat (4) UU 10/2016 sehingga bertentangan dengan Pasal 18 ayat (4) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 sebagaimana didalilkan Pemohon, penting bagi Mahkamah untuk terlebih dahulu mempertimbangkan hal yang sangat mendasar, yaitu perihal pembentukan Pasal 54D ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) sebagai substansi baru proses dan desain hukum pemilihan gubernur, bupati, dan walikota dalam UU 10/2016.

[3.11.1] Bahwa perihal pembentukan Pasal 54D ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) UU 10/2016 merupakan ketentuan yang dibentuk melalui perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang, di mana perubahan tersebut dilakukan untuk menindaklanjuti Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 100/PUU- XIII/2015, bertanggal 29 September 2015. Hal demikian secara eksplisit dinyatakan dalam Penjelasan Umum UU 10/2016 butir a angka 5 mengenai perlunya penyelarasan dengan putusan Mahkamah Konstitusi terkait dengan pengaturan pelaksanaan pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota jika hanya terdapat 1 (satu) pasangan calon.

[3.11.2] Bahwa dalam hal hanya terdapat satu pasangan calon dalam pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota maka sesuai dengan ketentuan Pasal 54C ayat (2) UU 10/2016 pemilihan 1 (satu) pasangan calon dilaksanakan dengan menggunakan surat suara yang memuat 2 (dua) kolom yang terdiri atas satu kolom yang memuat foto pasangan calon dan satu kolom kosong yang tidak bergambar. Selanjutnya, Pasal 54C ayat (3) UU 10/2016 menegaskan bahwa pemberian suara oleh pemilih dilakukan dengan cara mencoblos. Artinya, sesuai dengan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sebagaimana dijamin dalam Pasal 22E UUD 1945 yang juga menjadi asas dalam pemilihan kepala daerah, pemilih dapat menentukan pilihannya apakah memilih dengan cara mencoblos pada kolom foto pasangan calon atau mencoblos pada kolom kosong. Dalam hal ini, penting bagi Mahkamah untuk menegaskan bahwa kolom kosong yang tidak bergambar tersebut bukanlah merupakan pasangan calon tetapi merupakan “tempat” bagi pemilih untuk menentukan pilihannya jika tidak setuju dengan satu-satunya pasangan calon yang telah ditetapkan oleh KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota. Artinya, bagi pemilih yang tidak setuju calon tunggal diberi tempat untuk menyatakan ketidaksetujuannya yaitu dengan mencoblos kolom kosong tersebut.

[3.11.3] Bahwa terkait dengan hal tersebut sebagaimana telah ditegaskan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 100/PUU-XIII/2015 mekanisme inilah yang mencerminkan demokrasi dibandingkan dengan hanya menyatakan bahwa satu pasangan calon gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota langsung dinyatakan sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah tanpa perlu meminta pendapat rakyat (pemilih) jika calon tidak memiliki pesaing. Oleh karena itulah dalam Putusan Mahkamah tersebut ditegaskan pula bahwa pilihan menyatakan “tidak setuju” yang dalam UU 10/2016 diwujudkan dalam bentuk kolom kosong merupakan semacam plebisit bagi pemilih untuk menyatakan sikap “setuju” atau “tidak setuju” terhadap calon tunggal dalam pemilihan kepala daerah. Berkenaan dengan hal tersebut, pertimbangan hukum dalam Paragraf [3.15] Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 100/PUU-XIII/2015 menyatakan:

… Namun, dalam hubungan ini, Mahkamah tidak sependapat dengan pandangan Pemohon yang meminta Mahkamah untuk memaknai bahwa frasa “setidaknya dua pasangan calon” atau “paling sedikit dua pasangan calon” yang terdapat dalam seluruh pasal yang dimohonkan pengujian dapat diterima dalam bentuk atau pengertian: Pasangan Calon Tunggal dengan Pasangan Calon Kotak Kosong yang ditampilkan pada Kertas Suara (vide Permohonan halaman 20). Sebab, pertama, Pemilihan Kepala Daerah yang hanya diikuti oleh satu pasangan calon haruslah ditempatkan sebagai upaya terakhir, semata-mata demi memenuhi hak konstitusional warga negara, setelah sebelumnya diusahakan dengan sungguh-sungguh untuk menemukan paling sedikit dua pasangan calon; kedua, Pemilihan Kepala Daerah yang hanya diikuti oleh satu pasangan calon, manifestasi kontestasinya lebih tepat apabila dipadankan dengan plebisit yang meminta rakyat (pemilih) untuk menentukan pilihannya apakah “Setuju” atau “Tidak Setuju” dengan pasangan calon tersebut, bukan dengan Pasangan Calon Kotak Kosong, sebagaimana dikonstruksikan oleh Pemohon. Apabila ternyata suara rakyat lebih banyak memilih “Setuju” maka pasangan calon dimaksud ditetapkan sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih. Sebaliknya, apabila ternyata suara rakyat lebih banyak memilih “Tidak Setuju” maka dalam keadaan demikian pemilihan ditunda sampai Pemilihan Kepala Daerah serentak berikutnya. Penundaan demikian tidaklah bertentangan dengan konstitusi sebab pada dasarnya rakyatlah yang telah memutuskan penundaan itu melalui pemberian suara “Tidak Setuju” tersebut.

Berdasarkan pertimbangan dalam Paragraf [3.15] Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 100/PUU-XIII/2015 tersebut, berlakunya Pasal 54D UU 10/2016 secara keseluruhan adalah untuk mengantisipasi kondisi bilamana hasil pemilihan menunjukkan bahwa pasangan calon mendapat dukungan pemilih lebih kecil (kurang dari 50 persen suara sah) dalam pemilihan kepala daerah yang hanya diikuti oleh satu pasangan calon. Sekiranya pengaturan demikian tidak dilakukan, sangat mungkin muncul perdebatan bagaimana mengatasi keadaan pasangan calon tunggal yang tidak mendapat dukungan mayoritas pemilih. Padahal, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 100/PUU-XIII/2015 telah memberikan pertimbangan yang menyatakan bahwa apabila ternyata suara rakyat lebih banyak memilih kolom “tidak setuju” (kolom kosong) maka dalam keadaan demikian pemilihan kepala daerah ditunda sampai pemilihan kepala daerah serentak berikutnya.

[3.11.4] Bahwa setelah pemilihan dengan calon tunggal dilakukan, dalam hal perolehan suara pasangan calon tunggal tidak mampu mendapatkan suara mayoritas, atau pemilih lebih banyak (mayoritas) memilih kolom kosong, pembentuk undang-undang mengantisipasi dengan membuat ketentuan Pasal 54D ayat (2) UU 10/2016 yang menyatakan “Jika perolehan suara pasangan calon kurang dari sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pasangan calon yang kalah dalam Pemilihan boleh mencalonkan lagi dalam Pemilihan berikutnya”.

Terkait dengan pengaturan di atas, Pemohon mendalilkan norma frasa “pemilihan berikutnya” dalam Pasal 54D ayat (2) UU 10/2016 menimbulkan multitafsir jika tidak dimaknai sebagai “pemilihan yang hanya diikuti oleh satu pasangan calon melawan kolom kosong untuk yang kedua kalinya”.

Terhadap dalil Pemohon tersebut, setelah memahami secara saksama norma Pasal 54D ayat (2) UU 10/2016, Mahkamah menegaskan bahwa norma Pasal a quo adalah norma yang mengandung kebolehan, bukan norma perintah atau norma larangan. Artinya, pasangan calon yang kalah dalam pemilihan diberi kesempatan oleh UU 10/2016 untuk mencalonkan diri lagi, atau sebaliknya tidak lagi mencalonkan diri karena tidak lagi berkehendak atau berminat untuk menjadi pasangan calon. Dalam hal ini, pembentuk undang-undang tidak merumuskan norma pasal tersebut dengan norma perintah yang bersifat wajib atau keharusan, karena tidak tertutup kemungkinan bahwa pasangan calon tunggal yang gagal meraih dukungan mayoritas dari pemilih tidak lagi berkehendak atau berminat mendaftarkan diri sebagai pasangan calon. Selain itu, kebijakan pembentuk undang-undang tersebut dimaksudkan juga untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya perubahan kondisi terkait pemenuhan persyaratan untuk menjadi pasangan calon gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (2) UU 10/2016.

[3.11.5] Bahwa berkenaan dengan frasa “memenuhi persyaratan” sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (2) UU 10/2016 a quo menurut Mahkamah adalah suatu kondisi yang bersifat temporer, artinya pernyataan “memenuhi persyaratan” atau “tidak memenuhi persyaratan” terikat pada waktu dan situasi tertentu menjelang pemilihan sebelumnya, yang sangat mungkin berbeda dengan pemilihan berikutnya sehingga menyebabkan seseorang yang sebelumnya telah memenuhi persyaratan tidak lagi memenuhi persyaratan sebagai calon kepala daerah atau sebaliknya. Hal demikian menurut Mahkamah menjadi dasar untuk membaca bahwa pemenuhan syarat sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (2) UU 10/2016 dan syarat lain dalam pencalonan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota tidak dapat berlaku seterusnya melainkan dibatasi oleh penyelenggara pemilihan umum sepanjang hal demikian didelegasikan oleh undang-undang.

[3.11.6] Bahwa sebagaimana telah ditegaskan dalam pertimbangan Mahkamah di atas karena norma Pasal 54D ayat (2) UU 10/2016 adalah norma kebolehan maka jika Pemohon hendak mencalonkan diri lagi dalam kontestasi pemilihan kepala daerah berikutnya Pemohon tidak dapat menggunakan dasar kedudukan hukum sebagai pasangan calon dalam pemilihan sebelumnya, melainkan harus didasarkan pada Keputusan KPU yang baru. Dalam kaitannya dengan hal tersebut, menurut Mahkamah, sebagai konsekuensi jika Pemohon akan mendaftarkan diri sebagai pasangan calon maka harus memenuhi kembali seluruh persyaratan sesuai dengan tahapan penyelenggaraan pemilihan.

[3.12] Menimbang bahwa setelah menjelaskan perihal dalil multitafsir Pasal 54D ayat (2) dan ayat (3) juncto ayat (4) UU 10/2016 sebagaimana didalilkan Pemohon, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan perihal makna frasa “pemilihan berikutnya” sebagaimana termaktub dalam norma Pasal 54D ayat (2) dan ayat (3) UU 10/2016 dalam proses dan desain hukum pemilihan kepala daerah. Sebagaimana yang didalilkan Pemohon, terhadap norma Pasal 54D ayat (2) dan ayat (3) UU 10/2016 tersebut sama sekali tidak terdapat penjabaran yang memadai yang memberikan kepastian hukum. Dengan dalil tersebut, Pemohon hendak menyatakan bahwa dengan tidak adanya penjabaran yang memadai telah menimbulkan ketidakpastian hukum. Untuk ini, Mahkamah perlu mengemukakan beberapa terminologi yang terdapat dalam UU 10/2016 yang terkait dengan proses atau tahapan pemilihan kepala daerah, yaitu: (1) pemilihan, (2) pemilihan lanjutan dan pemilihan susulan, serta (3) pemilihan berikutnya.

[3.12.1] Bahwa perihal “pemilihan” sebagai tahap menyeluruh dalam pemilihan kepala daerah, Pasal 5 ayat (1) UU 8/2015 mengatur bahwa pemilihan diselenggarakan melalui dua tahapan, yaitu “tahapan persiapan” dan “tahapan penyelenggaraan”. Ihwal tahapan persiapan, Pasal 5 ayat (2) UU 8/2015 menyatakan bahwa tahapan persiapan meliputi: (a) perencanaan program dan anggaran; (b) penyusunan peraturan penyelenggaraan Pemilihan; (c) perencanaan penyelenggaraan yang meliputi penetapan tata cara dan jadwal tahapan pelaksanaan pemilihan; (d) pembentukan PPK, PPS, dan KPPS; (e) pembentukan Panwas Kabupaten/Kota, Panwas Kecamatan, PPL, dan Pengawas TPS; (f) pemberitahuan dan pendaftaran pemantau Pemilihan; (g) penyerahan daftar penduduk potensial Pemilih; dan (h) pemutakhiran dan penyusunan daftar Pemilih. Selanjutnya, Pasal 5 ayat (3) UU 8/2015 mengatur tahapan penyelenggaraan meliputi:

1. pengumuman pendaftaran pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta pasangan Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota;
2. pendaftaran pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta pasangan Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota;
3. penelitian persyaratan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota;
4. penetapan pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta pasangan Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota;
5. pelaksanaan Kampanye;
6. pelaksanaan pemungutan suara;
7. penghitungan suara dan rekapitulasi hasil penghitungan suara;
8. penetapan calon terpilih;
9. penyelesaian pelanggaran dan sengketa hasil Pemilihan; dan
10. pengusulan pengesahan pengangkatan calon terpilih.

[3.12.2] Bahwa sementara itu, “pemilihan lanjutan” dan “pemilihan susulan” dilaksanakan setelah penetapan penundaan pelaksanaan pemilihan diterbitkan. Berdasarkan ketentuan Pasal 122 ayat (2) UU 8/2015 penetapan penundaan pelaksanaan pemilihan kepala daerah dilakukan oleh: 1) KPU kabupaten/kota atas usul PPK dalam hal penundaan pelaksanaan pemilihan meliputi satu atau beberapa desa atau sebutan lain/kelurahan; 2) KPU kabupaten/kota atas usul PPK dalam hal penundaan pelaksanaan pemilihan meliputi satu atau beberapa kecamatan; atau 3) KPU provinsi atas usul KPU kabupaten/kota dalam hal penundaan pelaksanaan pemilihan meliputi satu atau beberapa kabupaten/kota. Setelah membaca dengan saksama norma dalam Pasal 122 ayat (2) UU 8/2015, tidak terdapat keraguan sama sekali bahwa kasus konkret yang dihadapi oleh Pemohon sama sekali tidak terkait dengan pemilihan lanjutan dan pemilihan susulan yang terjadi karena adanya penundaan pelaksanaan pemilihan kepala daerah berdasarkan ketetapan KPU provinsi atau KPU kabupaten/kota.

Terakhir, sebagai akibat dari diadopsinya kemungkinan terdapatnya satu pasangan calon dalam pemilihan kepala daerah, UU 10/2016 memperkenalkan terminologi baru dalam pemilihan kepala daerah, yaitu “pemilihan berikutnya” yang dapat terjadi karena kondisi pasangan calon tunggal gagal mendapat dukungan mayoritas dari pemilih, sehingga pemilihan diulang kembali pada tahun berikutnya atau dilaksanakan sesuai dengan jadwal yang dimuat dalam peraturan perundang- undangan.

[3.12.3] Bahwa setelah lebih lanjut mencermati secara saksama konstruksi hukum Pasal 54D ayat (2) dan ayat (3) UU 10/2016, frasa “pemilihan berikutnya” yang ditentukan dalam Pasal 54D ayat (2) dijelaskan lebih lanjut dalam Pasal 54D ayat (3) UU 10/2016 yang menyatakan, “Pemilihan berikutnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2), diulang kembali pada tahun berikutnya atau dilaksanakan sesuai dengan jadwal yang dimuat dalam peraturan perundang-undangan”. Ketentuan Pasal 54D ayat (3) tersebut menunjukkan adanya dua pilihan bagi KPU dalam menentukan waktu pemilihan kembali kepala daerah dalam hal pemilihan yang diikuti satu pasangan calon belum menghasilkan pasangan calon terpilih, yaitu:
a. Pemilihan berikutnya dilaksanakan pada tahun berikutnya, yang artinya dilaksanakan satu tahun kemudian setelah pemilihan yang diikuti satu pasangan calon tidak berhasil memperoleh pasangan calon terpilih; atau
b. Pemilihan berikutnya dilaksanakan dengan mengikuti jadwal yang telah dimuat dalam peraturan perundang-undangan in casu Pasal 201 UU 10/2016.

[3.12.4] Bahwa dengan menggunakan penafsiran sistematis beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang juncto Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 juncto UU 10/2016, frasa “pemilihan berikutnya” sebagaimana termaktub dalam Pasal 54D ayat (2) dan ayat (3) UU 10/2016 sesungguhnya adalah penyelenggaraan pemilihan kepala daerah yang dilakukan dengan tahapan yang baru sejak dari tahapan awal. Artinya, seandainya menggunakan dalil yang dikemukakan Pemohon yang secara konkret dituangkan dalam Petitum permohonan, yaitu frasa “pemilihan berikutnya bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai sebagai pemilihan ulang bagi satu pasangan calon yang sudah ditetapkan sebelumnya melawan kolom kosong untuk kedua kalinya” maka dalam batas penalaran yang wajar dalil demikian membawa konsekuensi logis bahwa pemilihan berikutnya tidak lagi dimulai dari tahapan awal. Padahal, secara sistematis, frasa “pemilihan berikutnya” dalam Pasal 54D ayat (2) dan ayat (3) UU 10/2016 harus dimaknai sebagai “pemilihan” sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) UU 8/2015. Artinya, “pemilihan berikutnya” harus dipahami dan dilaksanakan melalui dua tahapan, yaitu “tahapan persiapan” dan “tahapan penyelenggaraan”. Dengan makna demikian, sepanjang memenuhi persyaratan, frasa “pemilihan berikutnya” membuka dan memberi kesempatan terhadap semua pihak untuk mengajukan diri dalam kontestasi pemilihan kepala daerah berikutnya termasuk kesempatan bagi pasangan calon tunggal yang sebelumnya tidak meraih suara mayoritas ketika berhadapan dengan kolom kosong.

[3.13] Menimbang bahwa Pemohon mendalilkan adalah tidak adil jika terhadap Pemohon yang telah dinyatakan lolos verifikasi dan telah pula ditetapkan sebagai pasangan calon kemudian harus ikut menjalani kembali proses verifikasi sehingga terjadi proses ganda (dua kali) verifikasi. Terhadap dalil Pemohon ini, penting bagi Mahkamah menegaskan bahwa proses verifikasi merupakan bagian dari tahapan penyelenggaraan pemilihan yang merupakan keniscayaan bagi setiap calon. Jika calon yang telah pernah diverifikasi dan kemudian ditetapkan sebagai pasangan calon kemudian dikecualikan dari kewajiban verifikasi untuk pemilihan berikutnya, hal demikian tidak sejalan dengan makna “pemilihan berikutnya” sebagai sebuah proses pemilihan yang dimulai dari tahapan awal sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) UU 8/2015. Selain itu, pengecualian demikian jelas menjadi tidak adil bagi calon lain yang mengikuti proses dari tahapan awal sehingga pengecualian demikian bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

[3.14] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum tersebut di atas dan dengan telah dinyatakan bahwa Pasal 54D ayat (2) dan ayat (3) UU 10/2016 adalah konstitusional maka dalil Pemohon yang mempersoalkan Pasal 54D ayat (4) UU 10/2016 tidak relevan untuk dipertimbangkan karena ketentuan dimaksud merupakan konsekuensi logis dari belum terpilihnya gubernur, bupati, dan walikota sehingga untuk sementara waktu jabatan tersebut dilaksanakan oleh penjabat kepala daerah.

[3.15] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, dalil Pemohon perihal inkonstitusionalitas Pasal 54D ayat (2) dan ayat (3) juncto ayat (4) UU 10/2016 sepanjang tidak dimaknai sebagai pemilihan ulang bagi satu pasangan calon yang sudah ditetapkan sebelumnya melawan kolom kosong untuk kedua kalinya, adalah tidak beralasan menurut hukum.