Azam, S.H dalam hal ini diwakili oleh kuasa hukumnya Damai Hari Lubis, S.H.,M.H, Arvid Martdwisaktyo, S.H.,M.Kn dan kawan-kawan dari Aliansi Anak Bangsa (AAB)
Pasal 77 huruf a sepanjang frasa “penghentian penyidikan” KUHAP
Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945
perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI.
Bahwa terhadap pengujian Pasal 77 huruf a sepanjang frasa “penghentian penyidikan” dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.13.1] Bahwa Pasal 1 angka 5 KUHAP menyatakan, “Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan ada atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”. Lebih lanjut dapat dijelaskan dalam menjalankan penyelidikan, penyelidik memiliki wewenang di antaranya sebagaimana ditentukan dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a KUHAP yakni menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana, mencari keterangan dan barang bukti, menyuruh berhenti seseorang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri, dan mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. Adapun yang dimaksud dengan “tindakan lain” dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 5 ayat (1) huruf a angka 4 KUHAP adalah dapat dilakukan dengan syarat-syarat tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum, selaras dengan kewajiban yang mengharuskan dilakukannya tindakan hukum, tindakan itu harus patut dan masuk akal dan termasuk dalam lingkungan jabatannya, atas pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan memaksa dan menghormati hak asasi manusia;
Dari beberapa unsur yang harus dipenuhi untuk terpenuhinya rumusan penyelidikan sebagaimana diuraikan pada ketentuan Pasal 1 angka 5 KUHAP dan Pasal 5 ayat (1) huruf a KUHAP tersebut di atas, unsur yang mendasar adalah adanya tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana dan oleh karenanya penyelidik mempunyai wewenang menerima laporan atau pengaduan, mencari keterangan dan barang bukti, menyuruh berhenti seseorang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri dan tindakan lain. Lebih lanjut apabila dicermati dari seluruh unsur agar dapat terpenuhinya tindakan penyelidikan sebagaimana dimaksudkan pada uraian di atas maka secara sederhana sebenarnya dapat dipahami bahwa serangkaian tindakan yang dilakukan oleh penyelidik yang menjadi batasan ruang lingkup tugas dan kewenangannya adalah terbatas pada tindakan yang dilakukan untuk memastikan bahwa adanya laporan atau pengaduan yang diterima benar-benar memenuhi unsur adanya dugaan tindak pidana. Oleh karenanya yang terjadi sesungguhnya adalah tindakan penyelidik yang berupa tindakan permulaan yang pada dasarnya hanyalah mencari dan mengumpulkan keterangan orang dan barang bukti untuk mendapatkan kesimpulan bahwa suatu peristiwa adalah tindak pidana.
Dari batasan tugas dan kewenangan penyelidik tersebut di atas dapat diukur bentangan rangkaian yang menjadi titik batasan kewenangan penyelidik apabila dikaitkan dengan status adanya sebuah peristiwa, apakah sudah mengandung adanya unsur-unsur peristiwa yang dapat dikatakan adanya peristiwa pidana ataukah belum. Batasan-batasan tersebut diperlukan guna memastikan bahwa sebuah peristiwa adalah peristiwa pidana dan oleh karenanya terhadap peristiwa tersebut sudah dapat dilekatkan adanya tindakan upaya paksa yang dibenarkan oleh undang-undang. Dengan kata lain, apabila oleh penyelidik suatu peristiwa telah dipastikan adalah peristiwa pidana maka proses yang harus dilanjutkan adalah dengan tindakan penyidikan. Namun demikian, apabila yang terjadi adalah sebaliknya, yaitu ternyata melalui tindakan penyelidikan tersebut tidak dapat ditemukan adanya dugaan peristiwa pidana maka penyelidik dapat menghentikan penyelidikannya. Meskipun secara formal tentang penghentian penyelidikan tidak dikenal dalam KUHAP, namun sesungguhnya hal tersebut tidak serta-merta menjadikan laporan atau pengaduan yang telah ditindaklanjuti dengan penyelidikan tersebut tidak dapat dibuka kembali. Hal ini karena secara substansial sepanjang pada perkembangan selanjutnya apabila terhadap laporan atau pengaduan tersebut ditemukan bukti baru maka hal itu dapat menjadi alasan bahwa penyelidikan tersebut dapat dilanjutkan kembali.
Lebih lanjut Mahkamah berpendapat tindakan penyelidikan oleh pejabat penyelidik mempunyai maksud dan tujuan mengumpulkan bukti atau bukti yang cukup agar dapat ditindaklanjuti dengan penyidikan. Oleh karenanya jika diperhatikan dengan saksama, doktrin penyelidikan mempunyai arah untuk mewujudkan bentuk tanggung jawab kepada penyelidik, agar dapat dihindari tindakan penyelidik untuk tidak melakukan tindakan penegakan hukum dengan dampak merendahkan harkat martabat manusia, baik sebelum maupun pada saat akan dimulainya penegakan hukum. Oleh karena itulah terkadang memang sulit untuk memisahkan rangkaian tindakan penyelidikan dengan tindakan penyidikan. Bahkan, apabila tidak dipahami secara hati-hati seolah-olah penyelidikan merupakan sub atau bagian dari penyidikan. Hal tersebut sesungguhnya tidak dapat dibenarkan karena prinsip dasar yang membedakan adalah bahwa pada tindakan penyidikan telah ditemukan peristiwa pidana dan dari titik itulah dapat melekat upaya-upaya hukum yang bersifat memaksa dan berimplikasi pada perampasan kemerdekaan baik terhadap orang maupun benda/barang. Uraian lebih lanjut berkaitan dengan penyidikan akan diuraikan Mahkamah pada pertimbangan hukum selanjutnya.
[3.13.2] Bahwa menurut Pasal 1 angka 2 KUHAP, “Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya”. Selanjutnya, dalam rangka membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan menemukan tersangka, penyidik mempunyai wewenang antara lain sebagaimana ditentukan dalam Pasal 7 ayat (1) KUHAP yakni melakukan penangkapan, penahanan, penggeledehan dan penyitaan, melakukan pemeriksaan surat, memanggil orang untuk didengar dan diperiksa, mendatangkan ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara, dan mengadakan penghentian penyidikan;
Dari pengertian penyidikan tersebut tampak jelas batasan yang bersifat limitatif, bahwa penyidikan adalah sebuah proses yang telah dimulai karena telah didahului atau ditemukan adanya tindak pidana. Adapun proses penyidikan itu sendiri adalah untuk mengembangkan dugaan adanya tindak pidana yang telah ditemukan dengan mencari serta mengumpulkan bukti, yang dengan bukti itu akan membuat terang tentang tindak pidana yang diduga terjadi dan dengan demikian penyidik menemukan tersangka yang diduga melakukan tindak pidana tersebut. Oleh karenanya dengan beberapa variabel tersebut dapat diidentifikasi bahwa dalam proses penyidikan diperlukan adanya syarat yang bersifat absolut, yaitu diharuskan adanya dugaan tindak pidana yang telah ditemukan atau mendahului dan tindakan penyidikan sendiri merupakan tindakan untuk melanjutkan dan mengembangkan dugaan adanya tindak pidana yang telah ada sebelumnya.
Dengan demikian, oleh karena didasarkan dugaan adanya tindak pidana yang mendahului maka proses penyidikan yang merupakan tindakan hukum yang berupa mengembangkan tindak pidana tersebut telah dapat dikatakan sebagai tindakan hukum oleh aparat penegak hukum dalam rangka menegakkan hukum. Dalam perspektif penegakan hukum inilah sesungguhnya telah berkaitan erat dengan sebuah proses yang berhubungan dengan subjek hukum (subjectum litis) yaitu pelaku yang diduga melakukan tindak pidana dan objek hukum tindak pidana (objectum litis) yaitu tindak pidana yang diduga dilakukan oleh subjek hukum sebagai pelaku tindak pidana tersebut. Oleh karena telah berkaitan dengan subjek hukum dan objek hukum yang diduga melakukan tindak pidana dan jenis tindak pidana yang dilakukan serta dalam rangka untuk menegakkan hukum yang berkaitan dengan kepentingan umum maka hal tersebut di satu sisi telah bertalian erat dengan dibenarkannya aparat penegak hukum sesuai kewenangannya yang diberikan oleh undang-undang dapat melakukan tindakan upaya paksa, baik terhadap orang ataupun benda/barang yang ada hubungannya dengan dugaan tindak pidana yang bersangkutan. Namun di sisi lain juga berkaitan dengan perlindungan hak-hak konstitusional, baik berkaitan dengan bentuk perlindungan hukum terhadap subjek hukum yaitu pelaku tindak pidana, maupun perlindungan hukum terhadap benda-benda yang berkaitan dengan objek hukum tindak pidana tersebut.
Berangkat dari keterkaitan yang demikian erat antara adanya tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana dan tindak pidana yang dilakukan tersebut maka perlakuan aparat penegak hukum untuk melakukan tindakan hukum baik terhadap pelaku dan tindak pidananya itu sendiri serta benda/barang yang ada kaitannya dengan tindak pidana tersebut, benar-benar harus dalam koridor penegakan hukum yang selalu menjunjung tinggi prinsip yang sesuai dengan hukum dan keadilan. Sebab dalam proses penegakan hukum sebagaimana telah diuraikan dalam pertimbangan hukum sebelumnya, telah dapat dimulainya tindakan-tindakan aparat penegak hukum dengan upaya hukum yang sifatnya dapat dipaksakan dan hal ini sangat berimplikasi pada tindakan perampasan kemerdekaan orang atau kebebasan akan kepemilikan/penguasaan terhadap benda/barang yang terkait dengan tindak pidana yang terjadi.
Dalam hubungan perlindungan hukum pelaku tindak pidana, tindak pidananya, dan juga semua benda/barang yang diduga berkaitan dengan tindak pidana yang terjadi tersebut, instrumen hukum yang dapat memberikan perlindungan hukum baik terhadap pelaku tindak pidana dan benda-benda yang berhubungan dengan tindak pidana tersebut harus ditegakkan, salah satunya adanya bentuk pengawasan agar aparat penegak hukum tidak melakukan tindakan yang melampaui batas kewenangannya (abuse of power). Oleh karena itu, sesungguhnya apabila diperbandingkan terdapat bentuk perlakuan yang secara tegas berbeda yakni antara orang yang diduga melakukan tindak pidana sejak dinyatakan sebagai tersangka, terhadap benda-benda yang dipergunakan untuk melakukan tindak pidana, dan hasil tindak pidana sejak tahap penyidikan, dengan tahapan sebelumnya.
Instrumen hukum untuk melakukan pengawasan terhadap aparat penegak hukum tersebut, khususnya penyidik dan penuntut umum agar tidak terjadi kesewenang-wenangan adalah salah satunya melalui lembaga praperadian. Sesuai dengan ruang lingkup yang mengatur praperadilan, Pasal 77 KUHAP menyatakan:
Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang:
a. sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan;
b. ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.
Selanjutnya berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 bertanggal 28 April 2015, kewenangan untuk mengadili perkara praperadilan termasuk juga penetapan tersangka, penggeledahan dan penyitaan.
Berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, sebenarnya telah diperoleh adanya gambaran bahwa penyidikan adalah tindakan yang sudah masuk pada wilayah penegakan hukum yang di dalamnya telah melekat tindakan yang dibenarkan oleh undang-undang, yaitu aparat penegak hukum, dalam hal ini penyidik, untuk melakukan tindakan-tindakan upaya paksa dan dapat berdampak pada perampasan kemerdekaan, baik orang yang diduga sebagai pelaku tindak pidana maupun benda yang merupakan hasil tindak pidana, dan benda yang dipergunakan untuk melakukan tindak pidana. Sebab, esensi telah melekatnya upaya paksa yang dapat mengandung perampasan kemerdekaan baik menyangkut orang ataupun benda dalam penyidikan atau proses penegakan hukum (pro-justitia) selanjutnya. Hal tersebut tidak dapat dilepaskan karena telah ada kepentingan umum yang dilanggar, terutama korban dari adanya tindak pidana tersebut. Oleh karena itu, menurut Mahkamah, proses penegakan hukum harus sesuai dengan hukum dan keadilan sebagaimana yang telah disinggung dalam pertimbangan hukum di atas, yaitu terhadap pelaku tindak pidana dilakukan proses yang sesuai dengan ketentuan hukum acara yang berlaku dan terhadap kepentingan umum atau khususnya korban harus pula diberi perlindungan hukum.
[3.14] Menimbang bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, telah dapat disimpulkan bahwa terdapat batasan yang bersifat limitatif antara penyelidikan dengan penyidikan. Lebih lanjut secara mendasar dapat dirangkum bahwa pada tahap penyelidikan belum ada kepastian ditemukannya peristiwa pidana yang dapat ditindaklanjuti dengan penyidikan, karena hal tersebut sangat tergantung pada ditemukannya bukti yang cukup bahwa suatu perbuatan adalah peristiwa atau perbuatan pidana. Karena belum ditemukan adanya peristiwa pidana maka tidak ada proses yang menindaklanjuti dalam bentuk penegakan hukum (pro justitia) yang di dalamnya dapat melekat kewenangan pada penyidik yang menindaklanjuti penyelidikan tersebut, baik berupa upaya paksa yang dapat berimplikasi pada perampasan kemerdekaan orang atau benda/barang, sehingga esensi untuk melakukan pengawasan terhadap aparat penegak hukum agar tidak melakukan tindakan sewenang-wenang belum beralasan untuk diterapkan, mengingat salah satu instrumen hukum untuk dapat dijadikan sebagai alat kontrol atau pengawasan adalah lembaga praperadilan yang belum dapat “bekerja” dikarenakan dalam tahap penyelidikan belum ada upaya-upaya paksa yang dapat berakibat adanya bentuk perampasan kemerdekaan baik orang maupun benda/barang. Sementara itu, dalam tahap penyidikan telah dimulai adanya penegakan hukum yang berdampak adanya upaya-upaya paksa berupa perampasan kemerdekaan terhadap orang atau benda/barang dan sejak pada tahap itulah sesungguhnya perlindungan hukum atas hak asasi manusia sudah relevan diberikan.
Lebih jauh apabila dikaitkan dengan sejarah yang melatarbelakangi dibentuknya lembaga praperadilan dalam sistem peradilan pidana Indonesia adalah untuk memberikan pengawasan atau kontrol atas tindakan pejabat penegak hukum sebelum adanya proses peradilan agar dalam hal ini penyidik dan penuntut umum tidak melakukan tindakan sewenang-wenang. Di samping hal itu, esensi lain yang harus dipertimbangkan adalah pengawasan tersebut juga bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum atas hak asasi manusia. Dengan demikian hal tersebut sudah sejalan dengan tujuan praperadilan itu sendiri yaitu baru dapat “bekerja” setelah terdapat kemungkinan adanya tindakan upaya paksa yang berimplikasi adanya perampasan kemerdekaan dan hal tersebut baru dimulai pada tahap penyidikan yang wilayahnya berada setelah proses penyelidikan selesai. Dengan kata lain, memberikan kewenangan hasil tindakan penyelidikan untuk dapat dilakukan pengujian pada lembaga praperadilan sebagaimana yang didalilkan Pemohon, sama halnya memasukkan “nyawa” ke dalam tubuh penyelidikan untuk mempunyai karakter dibenarkannya tindakan upaya paksa dan perampasan kemerdekaan terhadap orang atau benda/barang. Jika dilakukan, hal tersebut akan membuat kabur batasan antara tindakan penyelidikan dengan penyidikan. Bahkan lebih dari itu, sepanjang KUHAP sebagai hukum positif masih secara tegas memisahkan tindakan penyelidikan dengan penyidikan maka sebagai konsekuensi logisnya, tidak akan dibenarkan hal-hal yang berkaitan dengan adanya upaya paksa dan perampasan kemerdekaan terhadap benda/barang dalam tindakan penyelidikan. Oleh karena itu, konsekuensi yuridisnya maka hal-hal yang berkaitan dengan penyelidikan tidak ada relevansinya untuk dilakukan pengujian melalui pranata praperadilan.
Meskipun hasil penyelidikan tidak dapat dilakukan pengujian melalui pranata praperadilan namun sebenarnya tidak menghilangkan hak pelapor/pengadu untuk mengetahui proses penyelidikan kepada pihak penyelidik. Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana yang mencabut Peraturan Kapolri Nomor 12 Tahun 2009 tentang Pengawasan dan Pengendalian Penanganan Perkara Pidana Di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia, menganut prinsip-prinsip di antaranya transparan dan akuntabel sebagaimana ditentukan dalam Pasal 3 huruf e dan huruf f sebagai berikut:
e. transparan, yaitu proses penyelidikan dan penyidikan dilakukan secara terbuka yang dapat diketahui perkembangan penanganannya oleh masyarakat;
f. akuntabel, yaitu proses penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan dapat dipertanggungjawabkan;
Berdasarkan kedua prinsip di atas maka sesungguhnya tidak ada alasan bagi pihak kepolisian untuk tidak memenuhi hak pelapor/pengadu untuk memberikan hasil penyelidikan. Apabila hal tersebut tidak dilakukan, terdapat mekanisme untuk mempermasalahkan bagi pelapor/pengadu yaitu dengan melaporkan kepada pihak yang menjadi pengawas atas kinerja penyelidik tersebut dan tentunya dapat diberikan punishment apabila terbukti penyelidik tersebut melakukan pelanggaran.
[3.15] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, Mahkamah berpendapat permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum.
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430