PT. Manito World yang diwakili Kim Nam Hyun dalam hal ini diwakili oleh kuasa hukumnya Banua Sanjaya Hasibuan, S.H., M.H., David M Agung Aruan, S.H., M.H., Mangapul Sitorus, S.H., dan Achmad Kurnia dari kantor hukum Banua Sanjaya, S.H., M.H., & Partners
Pasal 172 UU Ketenagakerjaan
Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945
Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI.
[3.13] Menimbang bahwa Pemohon mendalilkan Pasal 172 UU Ketenagakerjaan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dengan argumentasi sebagaimana diuraikan pada Paragraf [3.7]. Terhadap dalil Pemohon a quo, penting bagi Mahkamah untuk menjelaskan terlebih dahulu:
Penguatan pengaturan hak-hak dasar pekerja/buruh sejalan dengan perkembangan instrumen hukum Internasional adalah dimaksudkan untuk menjamin kesempatan serta perlakuan yang non diskriminatif atas dasar apapun dalam rangka mewujudkan kesejahteraan pekerja/buruh, termasuk keluarganya dengan tetap memperhatikan perkembangan kemajuan dunia usaha. Oleh karena itu, sesuai dengan pengertian “ketenagakerjaan” dalam Pasal 1 angka 1 UU Ketenagakerjaan yang menyatakan, “Ketenagakerjaan adalah segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama, dan sesudah masa kerja” maka tidaklah mungkin dapat memahami UU Ketenagakerjaan secara komprehensif jika hanya membaca pasal per pasal tanpa mendalami ihwal pekerja/buruh pada waktu sebelum bekerja, selama, dan sesudah masa kerja;
[3.14] Menimbang bahwa Pasal 172 UU Ketenagakerjaan yang selengkapnya menyatakan, “Pekerja/buruh yang mengalami sakit berkepanjangan, mengalami cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 (dua belas) bulan dapat mengajukan pemutusan hubungan kerja dan diberikan uang pesangon 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang pengganti hak 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (4)”, menurut dalil Pemohon bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Namun, dalam menjelaskan dalil kerugian tersebut, Pemohon sama sekali tidak menautkannya dengan ketentuan pasal-pasal lainnya yang berkenaan dengan prinsip larangan pemutusan hubungan kerja sebagaimana hal tersebut ditentukan dalam Pasal 153 ayat (1) huruf a dan huruf j UU Ketenagakerjaan yang menyatakan bahwa:
a. pekerja/buruh berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter selama waktu tidak melampaui 12 (dua belas) bulan secara terus menerus; ...
j. pekerja/buruh dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau sakit karena hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter yang jangka waktu penyembuhannya belum dapat dipastikan; ...
Ketentuan Pasal 172 UU Ketenagakerjaan merupakan bagian akhir dari Bab XII UU Ketenagakerjaan tentang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), yang substansinya bukanlah norma yang berdiri sendiri. Norma Pasal 172 UU Ketenagakerjaan memuat alasan PHK dan hak-hak yang harus diberikan oleh pengusaha dalam hal alasan-alasan tersebut terpenuhi. Oleh karenanya rujukan norma Pasal 172 UU Ketenagakerjaan sepanjang berkaitan dengan alasan-alasan PHK adalah Pasal 153 ayat (1) huruf a terkait dengan alasan sakit berkepanjangan dan Pasal 153 ayat (1) huruf j terkait dengan cacat tetap atau sakit akibat kecelakaan kerja. Sedangkan sepanjang yang berkenaan dengan hak-hak pekerja/buruh merujuk pada Pasal 156 UU Ketenagakerjaan, khususnya ayat (2), ayat (3), dan ayat (4);
[3.14.1] Bahwa telah ternyata norma Pasal 172 UU Ketenagakerjaan berkaitan erat dengan norma pasal-pasal sebelumnya sebagaimana pertimbangan hukum di atas sehingga pasal a quo tidak perlu lagi mengatur mengenai substansi surat keterangan dokter karena untuk membuktikan apakah pekerja/buruh sakit berkepanjangan telah diatur dalam Pasal 153 ayat (1) huruf a yang mana hal tersebut harus dibuktikan dengan surat keterangan dokter, termasuk juga jika pekerja/buruh mengalami keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau sakit karena hubungan kerja, Pasal 153 ayat (1) huruf j telah menentukan keharusan adanya surat keterangan dokter untuk membuktikan keadaan yang dialami oleh pekerja/buruh tersebut. Surat keterangan dokter tersebut merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk membuktikan keadaan sakit yang sedang dialami pekerja/buruh. Lebih dari itu, sebagai konsekuensi ketentuan Pasal 153 ayat (2) UU Ketenagakerjaan telah ditentukan pula bahwa PHK yang tidak sesuai dengan alasan-alasan dalam Pasal 153 ayat (1) adalah batal demi hukum dan oleh karenanya pengusaha wajib mempekerjakan kembali pekerja/buruh yang di PHK;
[3.14.2] Bahwa sementara itu, terkait dengan kekhawatiran Pemohon jika pekerja/buruh mengajukan permohonan untuk minta PHK karena alasan sakit berkepanjangan dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 (dua belas) bulan dengan maksud agar pekerja/buruh mendapatkan hak-haknya sebagaimana ditentukan dalam Pasal 172 UU Ketenagakerjaan seharusnya rasa khawatir tersebut tidak perlu terjadi. Karena, kondisi pekerja/buruh yang sakit berkepanjangan dan tidak dapat melakukan pekerjaannya tidaklah terjadi secara tiba-tiba. Berkaitan dengan persoalan sakit ini, Pasal 93 ayat (1) UU Ketenagakerjaan telah menentukan mengenai hak pekerja/buruh yang sakit bahwa “Upah tidak dibayar apabila pekerja/buruh tidak melakukan pekerjaan”. Ketentuan ini dikecualikan jika pekerja/buruh tersebut sakit sehingga tidak dapat melakukan pekerjaannya [vide Pasal 93 ayat (2) huruf a UU Ketenagakerjaan]. Sakitnya pekerja/buruh dalam konteks ketentuan ini harus dibuktikan dengan adanya surat keterangan dari dokter;
[3.14.3] Bahwa sebelum sampai terlampauinya batas waktu 12 (dua belas) bulan keadaan pekerja/buruh sakit berkepanjangan, seharusnya Pemohon sudah dapat mengetahui kondisi setiap pekerja/buruhnya, sebelum pada akhirnya diterapkan Pasal 172 UU Ketenagakerjaan. Sesuai dengan prinsip penguatan hak-hak dasar pekerja/buruh yang telah diadopsi dalam UU Ketenagakerjaan maka pengusaha, in casu Pemohon, tetap harus membayar upah kepada pekerja/buruh yang sakit yang tidak dapat melakukan pekerjaannya sebagaimana pengaturan upah tersebut tertuang dalam Pasal 93 ayat (3) UU Ketenagakerjaan bahwa:
a. untuk 4 (empat) bulan pertama, dibayar 100% (seratus perseratus) dari upah;
b. untuk 4 (empat) bulan kedua, dibayar 75% (tujuh puluh lima perseratus) dari upah;
c. untuk 4 (empat) bulan ketiga, dibayar 50% (lima puluh perseratus) dari upah; dan
d. untuk bulan selanjutnya dibayar 25% (dua puluh lima perseratus) dari upah sebelum pemutusan hubungan kerja dilakukan oleh pengusaha.
Artinya, berdasarkan ketentuan tersebut, setelah melampaui 12 (dua belas) bulan pengusaha hanya membayar upah sebesar 25% (dua puluh lima perseratus). Jika pekerja/buruh yang sakit tersebut akan di-PHK selain pekerja/buruh tersebut menerima upah 25% (dua puluh lima perseratus) maka karena alasan sakit yang berkepanjangan yang melampaui waktu 12 (dua belas) bulan, berdasarkan ketentuan Pasal 172 UU Ketenagakerjaan kepada pekerja/buruh tersebut masih diberikan uang pesangon 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2) UU Ketenagakerjaan, uang penghargaan masa kerja 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) UU Ketenagakerjaan, dan uang pengganti hak 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (4) UU Ketenagakerjaan.
Sekiranya Pemohon memahami secara komprehensif substansi PHK dalam UU Ketenagakerjaan Pemohon seharusnya sejak dini dapat melakukan langkah antisipatif ketika akan melakukan proses rekrutmen pekerja/buruh agar dapat terhindar dari mendapatkan pekerja/buruh yang kondisinya tidak sehat atau Pemohon dapat saja secara rutin memeriksakan kesehatan pekerja/buruh sehingga dengan demikian Pemohon tidak perlu merasa khawatir jika pekerja/buruh akan minta di-PHK karena menggunakan alasan sakit yang berkepanjangan. Oleh karena itu, terhadap dalil Pemohon yang menghendaki adanya penambahan syarat berupa bukti rekam medis atau surat keterangan resmi dari rumah sakit untuk membuktikan keadaan sakit berkepanjangan yang sedang dialami pekerja/buruh tidaklah relevan sama sekali karena pada prinsipnya dengan merujuk pada Pasal 153 ayat (1) huruf a UU Ketenagakerjaan, setiap pekerja/buruh yang mengalami sakit dengan sendirinya harus dibuktikan dengan keterangan dari dokter;
[3.14.4] Bahwa sementara itu, berkaitan dengan alasan cacat akibat kecelakaan kerja sebagaimana termaktub dalam Pasal 172 UU Ketenagakerjaan yang dikhawatirkan Pemohon juga akan menjadi salah satu alasan pekerja/buruh minta di-PHK jika tidak dilengkapi dengan syarat rekam medis atau surat keterangan resmi dari rumah sakit, semestinya hal demikian pun tidak perlu dikhawatirkan karena Pasal 153 ayat (1) huruf j UU Ketenagakerjaan telah mengatur bahwa “keadaan cacat tetap atau sakit akibat kecelakaan kerja” harus dibuktikan dengan surat keterangan dokter. Dengan demikian adalah tidak benar jika pekerja/buruh yang mengalami cacat akibat kecelakaan kerja dapat meminta di-PHK tanpa menunjukkan surat keterangan dokter. Oleh karenanya tidaklah beralasan pula Pemohon mempertentangkan Pasal 172 UU Ketenagakerjaan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 karena ketentuan pasal a quo bertujuan untuk dan telah menjamin kepastian hukum baik bagi pengusaha maupun pekerja/buruh. Justru sebaliknya, jika dalil permohonan Pemohon dikabulkan maka akan menimbulkan ketidakpastian hukum bagi pekerja atau buruh dalam mengajukan PHK.
[3.14.5] Bahwa terkait dengan keadaan cacat akibat kecelakaan kerja dalam Pasal 172 UU Ketenagakerjaan memang tidak dijelaskan lebih lanjut dalam UU Ketenagakerjaan. Namun, dengan merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian, dapatlah dipahami pengertian cacat akibat kecelakaan kerja yang intinya adalah kondisi di mana pekerja/buruh mengalami keadaan berkurang atau hilangnya fungsi tubuh atau hilangnya anggota badan yang secara langsung atau tidak langsung mengakibatkan berkurang atau hilangnya kemampuan pekerja untuk menjalankan pekerjaannya. Kecelakaan kerja tersebut terjadi dalam hubungan kerja, termasuk kecelakaan yang terjadi dalam perjalanan dari rumah menuju tempat kerja atau sebaliknya dan penyakit yang disebabkan oleh lingkungan kerja [vide Pasal 1 angka 1 dan angka 2 PP Nomor 44 Tahun 2015]. Terhadap pekerja/buruh yang cacat akibat kecelakaan kerja yang menurut keterangan dokter jangka penyembuhannya tidak dapat dipastikan, dilarang bagi pengusaha untuk melakukan PHK [vide Pasal 153 ayat (2) UU Ketenagakerjaan]. Namun, apabila pekerja/buruh yang mengalami cacat akibat kecelakaan kerja sendiri yang mengajukan pemutusan hubungan kerja maka tidak perlu ada penambahan syarat harus dilengkapi dengan rekam medis atau keterangan resmi dari rumah sakit agar berkepastian hukum sebagaimana didalilkan Pemohon adalah tidak relevan karena bagi pekerja/buruh yang sakit berkepanjangan pun tidak dipersyaratkan adanya rekam medis. Oleh karenanya dalil Pemohon tidak beralasan secara hukum;
[3.14.6] Bahwa dalam kaitan dengan permohonan Pemohon yang memohon agar Mahkamah merevisi Pasal 172 UU Ketenagakerjaan dengan menambahkan materi muatan Pasal dimaksud sehingga muatannya menjadi “Pekerja/buruh yang mengalami sakit berkepanjangan, mengalami cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 (dua belas) bulan dapat mengajukan pemutusan hubungan kerja dan sekaligus memberikan bukti Rekam Medis dari Kedokteran atau keterangan resmi sakit dari rumah sakit baru bisa diberikan uang pesangon 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang pengganti hak 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (4)”, penting bagi Mahkamah untuk menegaskan bahwa petitum Pemohon tersebut pada pokoknya adalah permintaan untuk menambahkan, bahkan membuat, norma baru dan dengan demikian merupakan kewenangan pembentuk undang-undang sehingga tidak relevan untuk dipertimbangkan oleh Mahkamah. Terlebih lagi tidak ada persoalan konstitusional terkait dengan Pasal 172 UU Ketenagakerjaan sehingga penambahan norma sebagaimana diinginkan oleh Pemohon tidak berdasar. Oleh karenanya dalil Pemohon tidak beralasan menurut hukum;
[3.15] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berpendapat dalil Pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430