Petrus Bala Pattyona, S.H., M.H. diwakili oleh kuasa hukumnya yaitu H. Moh. Rusdi Taher, S.H., M.H., H.O.K. dkk yang seluruhnya merupakan Advokat yang tergabung dalam Tim Pembela Profesi Advokat (TPPA) Kongres Advokat Indonesia (KAI)
Pasal 458 ayat (6) UU Pemilihan Umum
Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, Pasal 27 ayat (2) UUD 1945, Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 28 D ayat (2) UUD Tahun 1945
Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI.
[3.11] Menimbang bahwa sebelum Mahkamah lebih jauh memberikan jawaban atas pertanyaan terkait konstitusionalitas frasa “dan tidak dapat menguasakan kepada orang lain” dalam norma Pasal 458 ayat (6) UU Pemilu, terlebih dahulu perlu diuraikan hal-hal yang terkait dengan prinsip eksistensi penegakan kode etik penyelenggara pemilu yang dilaksanakan oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Hal mana, secara hukum, DKPP merupakan sebagai satu kesatuan penyelenggara pemilu dengan KPU dan Bawaslu yang dibentuk sesuai dengan Pasal 22E ayat (5) UUD 1945.
Pertama, setiap penyelenggara pemilu, baik anggota KPU maupun anggota Bawaslu terikat dengan kewajiban untuk menjaga integritas dan kemandiriannya dalam melaksanakan tugas penyelenggaraan pemilu. Integritas dan kemandirian tersebut merupakan amanat dari Pasal 22E ayat (5) UUD 1945 yang dimaksudkan memastikan agar pemilihan umum diselenggarakan secara jujur dan adil sesuai dengan kehendak Pasal 22E ayat (1) UUD 1945. Sebagai suatu pekerjaan atau profesi yang mengharuskan seseorang bekerja secara mandiri, berintegritas, jujur dan adil, terhadap orang dimaksud tidak saja melekat berbagai kewajiban hukum dalam bertugas, melainkan juga sekaligus melekat kewajiban-kewajiban etik (ethic obligations). Dalam batas penalaran yang wajar, kewajiban etik tersebut dimaksudkan untuk menjaga dan memastikan agar setiap sikap dan prilaku penyelenggara pemilu tetap menjaga integritas, jujur dan adil dalam menyelenggarakan pemilu. Tuntutan profesi sebagai penyelenggara pemilu memiliki konsekuensi berupa munculnya kewajiban untuk melaksanakan segala standar etik yang telah diatur khusus untuk profesi penyelenggara pemilu. Karenanya, bilamana terjadi pelanggaran atau dugaan pelanggaran, timbul keharusan atau kewajiban untuk mempertanggungjawabkan segala bentuk pelanggaran ataupun dugaan pelanggaran kode etik di hadapan institusi yang bertugas memeriksa dan memutuskan dugaan pelanggaran etika penyelenggara pemilu.
Kedua, dalam rangka memastikan agar setiap etika penyelenggara pemilu dipatuhi oleh penyelenggara, instrumen kode etik harus disertai dengan perangkat struktural penegakannya, dalam hal ini pembentuk undang-undang mengaturnya dengan cara membentuk institusi tersendiri, yaitu DKPP. Sebagai penegak kode etik penyelenggara pemilu, secara kelembagaan DKPP bukanlah lembaga peradilan dan bahkan Pemohon dalam permohonannya menyebutnya sebagai peradilan semu (quasi peradilan), melainkan sebagai satu kesatuan dengan penyelenggara pemilu yang lain, yaitu KPU dan Bawaslu. Secara hukum, tugas utama DKPP dalam penegakan etik adalah memeriksa dan memutus dugaan pelanggaran etika yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu. Sebagai sebuah institusi yang berada dalam ranah penyelenggara pemilu, pembentukan DKPP didasarkan pada ketentuan Pasal 22E ayat (5) UUD 1945, khususnya frasa “suatu komisi pemilihan umum”. Ihwal memosisikan DKPP sebagai satu kesatuan fungsi penyelenggaraan pemilu, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-VIII/2010 menyatakan sebagai berikut:
“Bahwa untuk menjamin terselenggaranya pemilihan umum yang luber dan jurdil, Pasal 22E ayat (5) UUD 1945 menentukan bahwa, “Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri”. Kalimat “suatu komisi pemilihan umum” dalam UUD 1945 tidak merujuk kepada sebuah nama institusi, akan tetapi menunjuk pada fungsi penyelenggaraan pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri. Dengan demikian, menurut Mahkamah, fungsi penyelenggaraan pemilihan umum tidak hanya dilaksanakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), akan tetapi termasuk juga lembaga pengawas pemilihan umum dalam hal ini Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) sebagai satu kesatuan fungsi penyelenggaraan pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Pengertian ini lebih memenuhi ketentuan UUD 1945 yang mengamanatkan adanya penyelenggara pemilihan umum yang bersifat mandiri untuk dapat terlaksananya pemilihan umum yang memenuhi prinsip-prinsip luber dan jurdil. Penyelenggaraan pemilihan umum tanpa pengawasan oleh lembaga independen, akan mengancam prinsip-prinsip luber dan jurdil dalam pelaksanaan Pemilu. Oleh karena itu, menurut Mahkamah, Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) sebagaimana diatur dalam Bab IV Pasal 70 sampai dengan Pasal 109 UU 22/2007, harus diartikan sebagai lembaga penyelenggara Pemilu yang bertugas melakukan pengawasan pelaksanaan pemilihan umum, sehingga fungsi penyelenggaraan Pemilu dilakukan oleh unsur penyelenggara, dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan unsur pengawas Pemilu, dalam hal ini Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu). Bahkan, Dewan Kehormatan yang mengawasi perilaku penyelenggara Pemilu pun harus diartikan sebagai lembaga yang merupakan satu kesatuan fungsi penyelenggaraan pemilihan umum. Dengan demikian, jaminan kemandirian penyelenggara pemilu menjadi nyata dan jelas”;
Dengan menempatkan DKPP sebagai satu kesatuan fungsi penyelenggaran pemilu, sesungguhnya DKPP bukanlah suatu institusi yang berada di luar ranah institusi penyelenggara pemilu. Artinya, DKPP merupakan perangkat internal penyelenggara pemilu. Dengan demikian, lembaga penyelenggara pemilu terdiri atas tiga lembaga yang satu sama lain tetap berfungsi sebagai satu kesatuan kelembagaan. Dalam kerangka itu, kewenangan DKPP melakukan proses penegakan kode etik adalah dalam posisinya sebagai bagian dari penyelenggara pemilu, yaitu menegakkan etik penyelenggara pemilu sebagai bagian dari skenario mewujudkan penyelenggaraan pemilu sesuai dengan amanat Pasal 22E ayat (5) UUD 1945. Berdasarkan hal demikian, proses penegakan kode etik penyelenggara pemilu terhadap penyelenggara pemilu yang melakukan pelanggaran kode etik atau diduga melanggar kode etik juga dapat diposisikan sebagai mekanisme internal penyelenggara pemilu.
Tidak hanya itu, secara historis, apabila dirujuk sebelum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-VIII/2010, di mana sebelum DKPP dibentuk terpisah dari KPU dan Bawaslu, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu, penegakan etika penyelenggara pemilu dilakukan oleh Dewan Kehormatan KPU yang ditempatkan sebagai bagian dari kelengkapan KPU, KPU Provinsi dan Bawaslu dalam rangka menangani pelanggaran kode etik penyelenggara Pemilu. Artinya, DKPP sesungguhnya adalah bagian dari penyelenggara pemilu, sehingga ketika proses penegakan terhadap dugaan pelanggaran kode etik dilakukan, hal tersebut merupakan mekanisme internal penyelenggara pemilu.
[3.12] Menimbang bahwa berdasarkan dua kerangka berpikir sebagaimana diuraikan di atas, terhadap pertanyaan terkait konstitusionalitas norma dalam Pasal 458 ayat (6) UU Pemilu sepanjang frasa “dan tidak dapat menguasakan kepada orang lain”, Mahkamah akan mempertimbangkan sebagai berikut:
Pertama, frasa “dan tidak dapat menguasakan kepada orang lain” dalam norma Pasal 458 ayat (6) UU Pemilu sesungguhnya bukan ditujukan kepada subjek di luar penyelenggara pemilu. Artinya, keharusan untuk datang sendiri dalam proses pemeriksaan dugaan pelanggaran kode etik dibebankan kepada penyelenggara pemilu yang diadukan. Pada saat yang sama, pembatasan bahwa seorang penyelenggara pemilu yang diduga melanggar kode etik tidak dapat menguasakan kepada orang lain juga ditujukan kepada penyelenggara pemilu, bukan kepada pihak lain di luar penyelenggara pemilu. Oleh karena pembatasan frasa dalam norma a quo ditujukan kepada penyelenggara pemilu, bukan kepada pihak lain mana pun maka sesuai dengan karakter tindakan penegakan dalam pelanggaran kode etik yang tidak bisa diwakilkan kepada orang lain, larangan dalam Pasal 458 ayat (6) UU Pemilu sepanjang frasa “dan tidak dapat menguasakan kepada orang lain” adalah konsekuensi logis dan karakteristik penyelesaian pelanggaran etik. Dengan demikian, bilamana diletakkan dalam logika memberikan kuasa atau dapat menguasakan kepada orang lain termasuk advokat maka hal demikian akan memberikan hak dan kewenangan (authority) kepada penerima kuasa, bertindak untuk dan atas nama pemberi kuasa. Logika demikian, sangat mungkin karena alasan tertentu penyelenggara pemilu yang diadukan telah melanggar atau terindikasi melanggar kode etik penyelenggara pemilu dapat mewakilkan kehadirannya kepada penerima kuasa dalam proses penyelesaian pelanggaran kode etik.
Lebih lanjut dapat dijelaskan ruang lingkup pemberian kuasa dari pemberi kuasa kepada penerima kuasa hanya dapat terjadi dalam wilayah hukum yang bersifat privat yaitu adanya gesekan atau konflik kepentingan atau hak dalam pergaulan antar individu bukan berkaitan dengan perbuatan hukum seseorang yang mengakibatkan kerugian kepentingan umum. Dalam perspektif inilah menurut Mahkamah karena penyelenggaraan pemilu adalah merupakan kepentingan umum dan perbuatan yang diduga dilanggar oleh penyelenggara pemilu sudah berdampak pada kepentingan orang banyak (umum), sehingga hal yang demikian sudah memasuki wilayah hukum publik. Oleh karena itu prinsip-prinsip yang dijadikan rujukan penyelesaian masalah pada saat adanya dugaan pelanggaran yang dilakukan penyelenggara pemilu, meskipun terbatas pada ranah etik, haruslah tetap berpedoman pada “hukum acara” quasi peradilan publik. Terlebih lagi bentuk putusan dari DKPP apabila kesalahan atas pelanggaran yang dilaporkan terbukti adalah bersifat hukuman (punishment), maka hal ini menegaskan, bahwa penyelesaian adanya dugaan pelanggaran tersebut adalah menggunakan mekanisme hukum acara dalam quasi peradilan yang bersifat publik. Berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut menurut Mahkamah menjadi tidak tepat apabila terlapor dapat memberikan kuasa kepada kuasa hukum termasuk dalam hal ini advokat. Sebab hubungan hukum pemberian kuasa dan yang menerima kuasa hanya terjadi dalam hukum privat yaitu hubungan hukum antar pribadi atau individu dalam hal terjadi sengketa kepentingan maupun hak.
Bahwa oleh karena Mahkamah menegaskan penyelesaian dugaan pelanggaran terhadap penyelenggara pemilu di DKPP adalah bersifat quasi peradilan publik, maka terhadap Pemohon dalam proses persidangan DKPP tersebut sebenarnya masih dapat berperan sebagai Penasihat Hukum bukan kuasa hukum yaitu pihak yang dapat mendampingi terlapor pada sidang DKPP yang mempunyai tugas pokok pendampingan, pemberian nasihat-nasihat bahkan mendampingi untuk memberikan bantuan pembelaan terhadap terlapor/teradu. Oleh karena itu dengan peran Pemohon yang demikian, kekhawatiran Pemohon akan kehilangan fee (honor) adalah tidak berdasar.
Sementara itu, kalaupun frasa dalam norma pasal a quo akan diposisikan sebagai norma yang berhubungan dengan hak Pemohon untuk bekerja dan mendapatkan imbalan, namun menerima kuasa dari penyelenggara pemilu yang diadukan sesuai Pasal 458 ayat (6) UU Pemilu tidak spesifik ditujukan kepada orang yang berprofesi sebagai advokat. Di mana dengan frasa “orang lain” dalam ketentuan dimaksud dapat dipahami bahwa selain orang yang berprofesi sebagai advokat pun terikat dengan ketentuan a quo. Oleh karena subjek yang dituju oleh norma tersebut bukanlah orang yang berprofesi sebagai advokat, melainkan seluruh orang selain penyelenggara pemilu yang bersangkutan, sehingga frasa “dan tidak dapat menguasakan kepada orang lain” dalam norma Pasal 458 ayat (6) UU Pemilu tidak dapat dikualifikasi telah merugikan warga negara yang berprofesi sebagai advokat.
Lebih jauh, jika norma a quo dinilai telah menyebabkan warga negara akan kehilangan pekerjaan dan hak mendapatkan imbalan sebagaimana didalilkan Pemohon, dalil tersebut pun tidak relevan. Sebab, sekalipun norma a quo tetap dipertahankan, siapapun warga negara yang berprofesi sebagai advokat tetap dapat melaksanakan pekerjaannya sebagai advokat tanpa terganggu oleh keberadaan norma a quo. Dengan demikian, norma dimaksud tidak menyebabkan hilangnya pekerjaan seorang warga negara yang berprofesi sebagai advokat.
Kedua, ketentuan pembatasan mengenai pihak yang harus hadir secara langsung dalam sidang-sidang pemeriksaan dugaan pelanggaran kode etik adalah penyelenggara pemilu dapat dimaknai sebagai konsekuensi logis dari proses pemeriksaan pelanggaran kode etik oleh DKPP yang ditempatkan sebagai mekanisme internal penyelenggara pemilu. Dalam hal ini, jikalau seorang anggota penyelenggara pemilu melakukan dugaan pelanggaran kode etik maka ia diproses secara internal melalui institusi penegak kode etik penyelenggara pemilu. Sebagai sebuah proses internal, setiap penyelenggara pemilu dibebani kewajiban untuk datang sendiri dan tidak dibenarkan untuk memberi kuasa kepada pihak lain untuk mewakilinya kecuali terbatas hanya untuk mendampingi. Bahkan, sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, semangat bahwa seseorang yang melanggar kode etik tidak dapat memberi kepada orang lain kuasa untuk mewakili telah ditegaskan pula dalam Kode Etik Advokat Indonesia yang dikeluarkan oleh Komite Kerja Advokat Indonesia bertanggal 23 Mei 2002. Dalam Pasal 13 angka 7 huruf a Kode Etik dimaksud dinyatakan, “Pengadu dan yang teradu:
(a) Harus hadir secara pribadi dan tidak dapat menguasakan kepada orang lain, yang jika dikehendaki masing-masing dapat didampingi oleh penasehat”.
Bahwa dalam hal UU Pemilu membuka ruang bagi penyelenggara pemilu yang diduga melanggar kode etik memberikan kuasa kepada pihak lain maka esensi pemeriksaan dugaan pelanggaran kode etik yang harus dihadiri sendiri oleh yang bersangkutan akan kehilangan makna. Sebab, salah satu sifat dari perjanjian pemberian kuasa adalah penerima kuasa untuk mewakili langsung berkapasitas sebagai wakil pemberi kuasa. Dengan sifat demikian, dalam batas penalaran yang wajar, penerima kuasa berkedudukan dan memiliki kapasitas menjadi wakil penuh bagi pemberi kuasa dalam hal bertindak untuk dan atas nama pemberi kuasa dan melakukan segala tindakan sesuai kewenangan yang diberikan melalui perjanjian kuasa. Bilamana penerima kuasa dapat bertindak mewakili penyelenggara pemilu yang melanggar kode etik maka proses yang demikian tidak sejalan dengan prinsip “peradilan etik” yang mengharuskan mereka yang melanggar etik untuk menghadiri langsung proses penyelesaian perkara pelanggaran kode etik.
Ketiga, esensi pemeriksaan pelanggaran kode etik tidak dapat dipersamakan dengan esensi pemeriksaan pelanggaran hukum, khususnya hukum pidana. Sementara itu, secara implisit, Pemohon tampak jelas menggunakan logika prinsip “due process of law” dalam argumentasinya. Hal tersebut tampak dari penekanan argumentasi Pemohon pada esensi profesi advokat. Padahal, prinsip due process of law, baik secara esensi maupun historis adalah dimaksudkan untuk melindungi seseorang dari kemungkinan penyalahgunaan kekuasaan negara yang dilakukan oleh aparatnya, khususnya aparat penegak hukum. Dengan kata lain, prinsip due process of law hadir dalam hukum pidana karena adanya unsur penggunaan kekuasaan negara. Oleh karena itulah terminologi yang digunakan dalam due process of law adalah “didampingi” bukan “diwakili”. Sebab, seseorang tidak mungkin mewakili orang lain yang disangka melakukan tindak pidana. Hakikat pendampingan kuasa hukum terhadap kliennya dalam due process of law adalah untuk mencegah terjadinya pelanggaran terhadap hak-hak pihak yang didampingi yang dilakukan oleh negara. Keadaan demikian jelas tidak berlaku dalam penegakan pelanggaran kode etik. Namun, dalam proses penegakan pelanggaran kode etik hak terlapor (teradu) untuk membela diri tidaklah hilang, sebagaimana telah dipertimbangkan di atas.
[3.13] Menimbang bahwa berdasarkan alasan-alasan sebagaimana diuraikan di atas, permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum.
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430