Resume Putusan MK - Menyatakan Menolak, Tidak Dapat Diterima


Warning: Undefined variable $file_pdf in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-resume.phtml on line 66
RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 84/PUU-XVI/2018 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1946 TENTANG PERATURAN HUKUM PIDANA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 15-04-2019

Robert Tantular, M.BA.

Pasal 272 KUHAP, Pasal 63, Pasal 64, dan Pasal 65 KUHP

Pasal 28H ayat (2) UUD Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 272 KUHAP, Pasal 63, Pasal 64, dan Pasal 65 KUHP dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.11.1] Bahwa Pemohon mendalilkan konstitusionalitas ketentuan Pasal 272 KUHAP yang menyatakan:

Jika terpidana dipidana penjara atau kurungan dan kemudian dijatuhi pidana yang sejenis sebelum ia menjalani pidana yang dijatuhkan terdahulu, maka pidana itu dijalankan berturut-turut dimulai dengan pidana yang dijatuhkan lebih dahulu.

Sebelum mempertimbangkan lebih lanjut dalil permohonan Pemohon a quo, penting bagi Mahkamah untuk menjelaskan makna sesungguhnya dari norma Pasal 272 KUHAP adalah norma yang mengatur mengenai pelaksanaan putusan pengadilan, yaitu ketika seorang dipidana dengan pidana penjara atau pidana kurungan dan belum menjalani pidana akan tetapi kemudian dijatuhi pidana lagi, maka terpidana menjalani pidana secara berturut-turut dimulai dengan pidana yang terlebih dahulu telah dijatuhkan. Artinya, terpidana di dalam menjalani masa pidana harus dijalani secara berurutan sesuai dengan urutan putusan pengadilan yang dijatuhkan terhadapnya. Dengan kata lain terpidana tidak boleh menjalani pidana dengan mendahulukan putusan pengadilan yang dijatuhkan kepadanya setelah putusan pengadilan yang lebih terdahulu.

Selanjutnya apabila dicermati uraian makna yang terkandung dalam norma Pasal 272 KUHAP tersebut sesungguhnya cukup jelas dan dengan mudah dapat dipahami akan maksud dan tujuan yang termuat dalam norma a quo, termasuk di dalamnya pemberlakuan norma Pasal 272 KUHAP tersebut tidak dipersyaratkan oleh syarat lain yang bersifat khusus. Atau, dengan kata lain tidak dikecualikan apakah perbuatan pidana yang dilakukan oleh terpidana ada ataupun tidak ada keterkaitannya dengan tindak pidana yang dilakukan oleh terpidana yang berhubungan dengan tindak pidana yang didakwakan kepadanya sebagai tindak pidana yang merupakan satu tindak pidana perbarengan (concursus idealis), tindak pidana berlanjut (voortgezette handeling) ataupun gabungan beberapa tindak pidana (concursus realis). Oleh karenanya semua tindak pidana yang dilakukan oleh terpidana yang ada kaitannya dengan satu tindak pidana perbarengan (concursus idealis), tindak pidana berlanjut (voortgezette handeling) ataupun gabungan beberapa tindak pidana (concursus realis) tidak selalu berkolerasi dengan proses atau tata cara persidangan, khususnya dalam kaitannya dengan penuntutan oleh jaksa penuntut umum dan penjatuhan pidana oleh pengadilan. Penerapan proses persidangan sejak berkas perkara masuk di pengadilan negeri, penuntutan hingga penjatuhan pidana oleh pengadilan sangat tergantung dengan pelimpahan berkas perkara dari jaksa penuntut umum yang sebelumnya menerima pelimpahan berkas perkara dari penyidik. Dengan kata lain, norma Pasal 272 KUHAP mengatur tentang tata cara pelaksanaan putusan pidana (eksekusi) yang dijatuhkan oleh pengadilan. Sementara itu, ketentuan yang diatur dalam norma Pasal 63 KUHP, Pasal 64 KUHP dan Pasal 65 KUHP mengatur tentang proses atau tata cara melakukan penuntutan pidana bagi terdakwa oleh jaksa penuntut umum dan penjatuhan pidana oleh hakim.

Bahwa dalam tataran empirik penerapan penuntutan pidana dan penjatuhan pidana terhadap tindak pidana perbarengan, tindak pidana berlanjut dan tindak pidana gabungan baik sejenis maupun bukan sejenis, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 63, Pasal 64, dan Pasal 65 KUHP tidak selalu dapat dilaksanakan secara konsisten, khususnya terhadap tindak pidana yang bersifat berlanjut (voortgezette handeling) dan gabungan tindak pidana (concursus realis). Hal tersebut disebabkan ada beberapa faktor penghambat, misalnya baik tempat terjadinya tindak pidana (locus delicti) maupun waktu terjadinya tindak pidana (tempus delicti) antara tindak pidana yang satu dengan yang lainnya dilakukan oleh pelaku tindak pidana berjauhan jaraknya atau keberadaan alat bukti antara perkara yang satu dengan perkara yang lainnya dalam tindak pidana yang berkaitan dengan tindak pidana berlanjut (voortgezette handeling) dan gabungan tindak pidana (concursus realis) menemukan kesulitan secara teknis oleh penyidik atau jaksa penuntut umum untuk mengajukan berkas perkara secara bersamaan. Berbeda halnya dengan tindak pidana perbarengan (concursus idealis) yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana seharusnya tidak ada alasan atau kekhawatiran bagi pelaku tindak pidana tersebut termasuk dalam hal ini kekhawatiran yang didalilkan oleh Pemohon untuk mempersoalkan keberadaan Pasal 272 KUHAP mengingat dalam tindak pidana perbarengan (concursus idealis) tidak ada relevansinya dengan splitsing (pengajuan berkas perkara secara terpisah) karena hakikat tindak pidana perbarengan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 63 KUHP adalah hanya terdapat satu peristiwa tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana akan tetapi melanggar beberapa ketentuan pidana sekaligus. Oleh karena itu hanya ada satu perbuatan maka tidak ada alasan untuk mengajukan berkas perkara yang bersangkutan secara splitsing (pengajuan berkas perkara secara terpisah). Sebab yang membedakan antara tindak pidana perbarengan (concursus idealis) dengan tindak pidana berlanjut (voortgezette handeling) dan gabungan tindak pidana (concursus realis) adalah hanya tata cara penuntutan pidana dan penjatuhan pidana yang harus dikenakan terhadap terpidana yaitu ketentuan dari tindak pidana yang ancaman pidananya terberat dan ditambah ancaman pidana sepertiga khusus untuk gabungan tindak pidana (concursus realis).

Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum di atas sesungguhnya tidak ada relevansinya bagi terpidana khususnya yang terbukti melakukan tindak pidana yang ada kaitannya dengan tindak pidana secara perbarengan (concursus idealis), tindak pidana berlanjut (voortgezette handeling) dan gabungan tindak pidana (concursus realis) untuk mempermasalahkan norma Pasal 272 KUHAP. Sebab pelaksanaan putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap harus dilaksanakan sejak pelaku tindak pidana yang dijatuhi pidana mempunyai status sebagai terpidana, yaitu sejak putusan pengadilan yang bersangkutan telah berkekuatan hukum tetap. Oleh karena itu, ada ataupun tidak perkara lain yang masih harus dijalani terpidana tersebut, termasuk dalam hal ini ada kaitannya dengan tindak pidana yang belum diadili terhadap terdakwa (‘delik tertinggal’) karena melakukan tindak pidana lainnya sebagai akibat adanya tindak pidana berlanjut (voortgezette handeling) dan gabungan tindak pidana (concursus realis), sesungguhnya pelaksanaan pidananya (eksekusi) terhadap diri terpidana haruslah sudah dapat dijalankan dengan berpedoman pada Pasal 272 KUHAP, yaitu terpidana melaksanakan putusan pengadilan yang terlebih dahulu dengan menjalani pidana di lembaga pemasyarakatan.

Bahwa lebih lanjut dapat dijelaskan, semangat dari Pasal 272 KUHAP adalah untuk memberikan pesan bahwa seorang terpidana yang melakukan tindak pidana lebih dari satu kali maka dalam menjalani masa pidana harus dilakukan secara berturut-turut dimulai dari putusan pengadilan yang terdahulu kemudian secara berturut-turut diikuti putusan pengadilan yang dijatuhkan setelahnya. Adapun apabila terkait hal tersebut ada pelimpahan berkas perkara untuk dilakukan penuntutan dan penjatuhan pidana yang berkaitan dengan perbuatan pidana baik secara berlanjut (voortgezette handeling) ataupun gabungan tindak pidana (concursus realis) yang dilakukan tidak secara serentak atau dilakukan secara terpisah (splitsing) yang berakibat adanya beberapa putusan pengadilan yang tidak bersamaan, bahkan dalam pelaksanaan putusan pidana (eksekusi) oleh jaksa dilaksanakan secara tidak berurutan, hal tersebut adalah persoalan praktik penegakan hukum yang dilakukan aparat penegak hukum. Dalam batas-batas tertentu permasalahan demikian sulit dihindari karena berbagai faktor penghambat yang telah diuraikan dalam pertimbangan hukum sebelumnya.

Bahwa meskipun penuntutan oleh jaksa penuntut umum dan penjatuhan pidana oleh hakim dalam tindak pidana berlanjut (voortgezette handeling) dan gabungan tindak pidana (concursus realis) tidak diajukan secara serentak atau diajukan secara terpisah (splitsing) tidak berakibat penuntutan dan penjatuhan pidana menjadi batal demi hukum. Mengingat esensi dari norma-norma tersebut adalah bentuk perlindungan hukum terhadap para pencari keadilan (justiciabelen), khususnya para terdakwa, dan semangat untuk mewujudkan prinsip peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan, maka penting diingatkan kepada seluruh aparat penegak hukum (baik penyidik, jaksa penuntut umum, dan hakim) untuk selalu berupaya menyelesaikan proses hukum terhadap perkara-perkara yang berkaitan dengan tindak pidana perbarengan (concursus idealis), tindak pidana berlanjut (voortgezette handeling), dan gabungan tindak pidana (concursus realis) dengan selalu melakukan penyidikan, penuntutan, dan pemidanaan dengan menjunjung prinsip-prinsip sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 63, Pasal 64, dan Pasal 65 KUHP serta memberikan perlindungan hukum terhadap terpidana yang melakukan tindak pidana lebih dari satu kali dan menjalani persidangan juga untuk melaksanakan putusan pengadilan secara berurutan sesuai dengan urutan putusan pengadilan yang dijatuhkan terhadap terpidana, sebagaimana yang dikehendaki dalam Pasal 272 KUHAP.

Bahwa berdasarkan pertimbangan di atas telah jelas sesungguhnya tidak ada persoalan konstitusionalitas dalam norma Pasal 272 KUHAP. Oleh karenanya dalil Pemohon yang menyatakan norma Pasal a quo bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 adalah dalil yang tidak berdasar. Di samping itu, tanpa bermaksud menilai kasus konkrit yang dialami oleh Pemohon, sebenarnya perkara yang dialami Pemohon tidak ada relevansinya dengan berlakunya norma Pasal 63, Pasal 64, dan Pasal 65 KUHP dalam kaitannya dengan norma Pasal 272 KUHAP. Oleh karenanya dalil permohonan a quo yang menyatakan Pasal 272 KUHAP inkonstitusional bersyarat sejauh tidak dikecualikan untuk kasus-kasus concursus dan perbuatan berlanjut, adalah tidak beralasan menurut hukum.

[3.11.2] Bahwa terhadap dalil Pemohon selanjutnya mengenai konstitusionalitas Pasal 63, Pasal 64, dan Pasal 65 KUHP yang menyatakan:
Pasal 63
(1) Jika suatu perbuatan masuk dalam lebih dari satu aturan pidana, maka yang dikenakan hanya salah satu di antara aturan-aturan itu; jika berbeda-beda, yang dikenakan yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat.
(2) Jika suatu perbuatan masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang diterapkan.

Pasal 64
(1) Jika antara beberapa perbuatan, meskipun masing-masing merupakan kejahatan atau pelanggaran, ada hubungannya sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut, maka hanya diterapkan satu aturan pidana; jika berbeda-beda, yang diterapkan yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat.
(2) Demikian pula hanya dikenakan satu aturan pidana, jika orang dinyatakan bersalah melakukan pemalsuan atau perusakan mata uang, dan menggunakan barang yang dipalsu atau yang dirusak itu.
(3) Akan tetapi, jika orang yang melakukan kejahatan-kejahatan tersebut dalam pasal-pasal 364, 373, 379, dan 407 ayat 1, sebagai perbuatan berlanjut dan nilai kerugian yang ditimbulkan jumlahnya melebihi dari tiga ratus tujuh puluh lima rupiah, maka ia dikenakan aturan pidana tersebut dalam pasal 362, 372, 378, dan 406.

Pasal 65
(1) Dalam hal perbarengan beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri sehingga merupakan beberapa kejahatan, yang diancam dengan pidana pokok yang sejenis, maka dijatuhkan hanya satu pidana.
(2) Maksimum pidana yang dijatuhkan ialah jumlah maksimum pidana yang diancam terhadap perbuatan itu, tetapi tidak boleh lebih daripada maksimum pidana yang terberat ditambah sepertiga;

Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:

Bahwa lebih lanjut dapat diuraikan, dari ketiga jenis tindak pidana tersebut yang mempunyai dampak krusial berkenaan dengan penerapan sanksi pidana dan acapkali membawa kerumitan dalam implementasinya adalah tindak pidana gabungan (concursus realis), sebagaimana yang diatur dalam Pasal 65 KUHP. Terlebih apabila dikaitkan dengan sistem pemidanaan dalam penjatuhan pidana yang bisa merujuk dengan sistem absorbsi ataupun sistem kumulasi, yang dua-duanya mempunyai stelsel pemidanaan yang berbeda. Dalam sistem absorbsi, terhadap tindak pidana gabungan (concursus realis) sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 65 KUHP maka setiap tindak pidana diberi sanksi pidana secara sendiri-sendiri akan tetapi setelah dijumlahkan tidak boleh melebihi ancaman pidana pokok yang terberat ditambah sepertiganya. Sedangkan dalam sistem kumulasi sanksi pidana hanya dikenakan terhadap tindak pidana yang ancaman pidananya terberat ditambah sepertiga. Dengan demikian apabila dicermati dari sisi sanksi pidana, baik dengan menerapkan stelsel pemidanaan absorbsi maupun sistem kumulasi maka ditinjau dari akumulasi jumlah masa pidana secara formal tidak ada kerugian pada diri pelaku tindak pidana gabungan (concursus realis) karena pelaku tindak pidana tidak akan mendapatkan sanksi penjatuhan pidana melebihi ancaman pidana pokok terberat ditambah sepertiganya. Namun apabila ditinjau dari sisi proses pengajuan berkas perkara yang diajukan oleh penyidik kepada jaksa penuntut umum hingga penjatuhan pidana oleh hakim maka dengan tatacara pemidanaan dengan menggunakan stelsel absorbsi akan sangat merugikan pelaku tindak pidana gabungan (concursus realis), sebab akan berakibat pelaku tindak pidana akan dilakukan penuntutan dan dijatuhi pidana berkali-kali. Bahkan, penuntutan dan penjatuhan pidana tersebut dapat terjadi sebanyak jumlah tindak pidana yang dilakukan. Hal demikian jelas tidak sesuai dengan prinsip peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan, di samping berpotensi adanya kesalahan penerapan hukum Pasal 65 KUHP karena kurang adanya koordinasi dan sinergi serta informasi tentang tindak pidana yang lain yang telah atau belum dilakukan penuntutan dan penjatuhan pidana oleh jaksa penuntut umum dan hakim. Karenanya, bisa jadi seorang pelaku tindak pidana akan mendapat beberapa putusan hakim yang apabila diakumulasi melebihi ancaman pidana pokok terberat ditambah sepertiganya. Hal demikian jelas akan mencedarai rasa keadilan yang juga berdampak pada adanya pelanggaran hak asasi manusia, di samping tidak sesuai dengan semangat Pasal 65 KUHP itu sendiri.

Sementara itu, dalam tindak pidana perbarengan (concursus idealis) dan tindak pidana berlanjut (voortgezette handeling) yang sesungguhnya juga dapat dikatakan tindak pidana “gabungan”, kemungkinan untuk dilakukan penuntutan dan penjatuhan pidana berkali-kali seharusnya tidak terjadi mengingat pada dua jenis tindak pidana tersebut sebenarnya hanya satu peristiwa pidana, khususnya dalam tindak pidana perbarengan (concursus idealis). Sebab hakikat tindak pidana perbarengan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 63 KUHP adalah hanya ada satu peristiwa pidana, sehingga tidak mungkin akan ada penuntutan pidana dan penjatuhan pidana lebih dari satu kali, sedangkan pada tindak pidana berlanjut (voortgezette handeling) juga seharusnya tidak akan terjadi penuntutan dan penjatuhan pidana lebih dari satu kali, mengingat hakikat tindak pidana berlanjut adalah antara perbuatan yang satu dengan yang lainnya adalah saling berhubungan erat dan merupakan satu rangkaian terwujudnya perbuatan pidana yang kemudian dapat dikatakan sebagai tindak pidana yang mempunyai sifat berlanjut. Oleh karenanya, seharusnya juga tidak akan terjadi penuntutan dan penjatuhan pidana lebih dari satu kali dalam tindak pidana berlanjut sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 64 KUHP. Lagi pula, apabila dalam tindak pidana secara berlanjut dilakukan penuntutan dan penjatuhan pidana lebih dari satu kali, hal tersebut sesungguhnya sudah kehilangan sifat ‘keberlanjutannya’ itu, bahkan justru akan berubah menjadi anasir tindak pidana yang berdiri sendiri-sendiri dan menjadi tumpang tindih dengan kriteria tindak pidana yang bersifat gabungan (concursus realis) sebagaimana yang dimaksudkan dalam Pasal 65 KUHP. Dengan kata lain, jika dilakukan penuntutan dan penjatuhan pidana lebih dari satu kali, tindak pidana secara berlanjut akan bermetamorfosis menjadi jenis tindak pidana gabungan yang anasirnya adalah tindak pidana yang berdiri sendiri-sendiri sebagaimana yang menjadi sifat dari perbuatan pidana gabungan (concursus realis).

Bahwa sebagaimana telah dipertimbangkan sebelumnya, dapat dipahami adanya kesulitan untuk melakukan penuntutan dalam satu surat dakwaan dalam satu persidangan terhadap tindak pidana yang bersifat penggabungan dan berlanjut, khususnya dalam tindak pidana gabungan (concursus realis). Kesulitan tersebut terjadi di samping disebabkan karena adanya perbedaan tempus dan locus serta alat-alat bukti yang jaraknya berjauhan juga disebabkan karena kurangnya koordinasi dan sinergi antara penegak hukum, sehingga hal-hal tersebut menjadikan implementasi dari ketentuan Pasal 63, Pasal 64, dan Pasal 65 KUHP acapkali terabaikan dan hal itu dapat berdampak pada terganggunya bentuk perlindungan hukum bagi pelaku tindak pidana. Sebab esensi keberadaan pasal-pasal a quo sebenarnya adalah dalam rangka perlindungan hak asasi manusia yang tentu saja tidak dapat berfungsi secara maksimal, setidak-tidaknya dalam konteks pemenuhan prinsip peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan. Bahkan lebih dari itu, perlindungan hak asasi manusia yang dimaksudkan adalah bahwa norma pasal-pasal tersebut mengatur atau membatasi penjatuhan pidana terhadap seorang yang melakukan tindak pidana, baik yang melanggar Pasal 63, Pasal 64, atau Pasal 65 KUHP seharusnya tidak dilakukan penjatuhan pidana secara akumulatif. Artinya, ancaman pidana yang diatur dalam pasal-pasal tersebut hanya diberlakukan terhadap pidana yang terberat dan ditambah dengan sepertiga dari ancaman pidana yang terberat tersebut khusus untuk pelaku tindak pidana yang berkaitan dengan Pasal 65 KUHP.

Bahwa lebih lanjut dapat dijelaskan, Pasal 63, Pasal 64, dan Pasal 65 KUHP adalah instrumen hukum untuk melindungi hak asasi manusia yang dapat dipergunakan untuk mencegah terjadinya kesewenang-wenangan aparat penegak hukum dalam memberikan punishment terhadap seorang yang diduga melakukan tindak pidana, baik yang berkaitan dengan perbuatan tindak pidana perbarengan (concursus idealis), berlanjut (voortgezette handeling) maupun gabungan tindak pidana (concursus realis). Oleh karenanya sepanjang tidak ada alasan-alasan bersifat teknis yang benar-benar tidak dapat dihindarkan maka penyelesaian perkara, baik penyidikan, penuntutan hingga penjatuhan pidana yang berkaitan dengan pasal-pasal tersebut di atas seharusnya tidak boleh menyimpang dari ketentuan yang secara limitatif telah ditegaskan dalam norma pasal-pasal a quo, baik tata cara penggabungan dalam satu berkas perkara maupun tuntutan dan penjatuhan pidana terhadap pelaku tindak pidana. Seandainya pun penggabungan dalam satu berkas perkara, khususnya dalam perbuatan pidana yang termasuk dalam rumusan Pasal 65 KUHP, tidak dapat dilakukan maka yang harus tetap dijaga adalah tidak diperbolehkannya tuntutan dan penjatuhan pidana terhadap terdakwa yang melebihi maksimal ancaman pidana terberat yang terbukti di persidangan ditambah sepertiga dari ancaman pidana terberat tersebut. Dengan demikian hakikat perlindungan hak asasi manusia dengan dimungkinkannya adanya penuntutan oleh jaksa penuntut umum dan penjatuhan pidana oleh hakim yang melebihi ancaman pidana pokok terberat ditambah sepertiga dapat dihindari.

Bahwa salah satu instrumen yang dapat mengendalikan penuntutan dan penjatuhan pidana oleh jaksa penuntut umum dan hakim agar tidak melebihi ancaman pidana terberat ditambah sepertiga terhadap perkara yang diajukan secara terpisah (splitsing), khususnya dalam perkara yang berkaitan dengan perbuatan pidana secara penggabungan, terkhusus lagi dalam tindak pidana yang berkaitan Pasal 65 KUHP (concursus realis), adalah dengan cara jaksa penuntut umum harus memberikan data tentang telah adanya putusan sebelumnya atau perkara yang masih tersisa (‘delik tertinggal’) baik di dalam surat dakwaan pidana maupun tuntutan pidana sehingga oleh karena itu hakim akan mendapatkan fakta hukum itu sebagai bahan pertimbangan hukum yang akan dipertimbangkan secara cermat dalam mengakumulasikan atau menjumlahkan masa pidana yang telah dijatuhkan terhadap terdakwa yang bersangkutan dengan tindak pidana yang akan dijatuhkan pidana kemudian untuk menghindari adanya kelebihan batas maksimal, yaitu ancaman pidana terberat ditambah sepertiganya.

Bahwa oleh karena sesungguhnya pemberlakuan Pasal 63, Pasal 64, dan Pasal 65 KUHP merupakan mekanisme perlindungan hak asasi manusia, khususnya terpidana agar penjatuhan pidana oleh hakim tidak melebihi maksimum pidana maka penting bagi Mahkamah mengingatkan kembali bahwa ketika terjadi tindak pidana perbarengan atau penggabungan (samenloop/concursus) seharusnya jaksa penuntut umum menuntutnya dalam satu surat dakwaan supaya terpidana tidak dijatuhkan pidana melebihi pidana maksimum oleh hakim. Penuntutan dalam satu surat dakwaan oleh jaksa penuntut umum dalam konteks kasus perbarengan merupakan keniscayaan karena stelsel pemidanaan yang dianut oleh hukum pidana Indonesia merupakan akumulasi hukuman yang tidak boleh melebihi pidana maksimum terberat.

Lebih lanjut lagi apabila rangkuman pertimbangan Mahkamah tersebut dihubungkan dengan perkara yang terjadi dan didalilkan Pemohon yaitu perkara pidana Pemohon yang oleh jaksa penuntut umum dibuat dalam surat dakwaan yang terpisah padahal merupakan kasus perbarengan, hal itu menurut Mahkamah, apabila yang didalikan oleh Pemohon tersebut benar dan tanpa bermaksud Mahkamah menilai perkara konkrit yang dialami Pemohon persoalan sesungguhnya bukan terletak pada konstitusionalitas norma dari Pasal 63, Pasal 64, dan Pasal 65 KUHP, melainkan penerapan dari norma pasal-pasal a quo. Namun penting bagi Mahkamah menegaskan kembali penuntutan dan penjatuhan pidana perkara secara terpisah (splitsing) dalam tindak pidana perbarengan, berlanjut, maupun penggabungan tidaklah serta-merta menjadikan proses hukum tersebut melanggar hak asasi manusia dan bertentangan dengan prinsip peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan, sepanjang alasan adanya kesulitan untuk melakukan satu kali penuntutan dan penjatuhan pidana tersebut benar-benar terjadi karena adanya kendala teknis dalam mengumpulkan alat bukti atau hal lainnya. Hal yang juga penting diingatkan adalah tidak boleh pada akhir proses penuntutan dan putusan pengadilan jumlah masa pidana yang dijatuhkan melebihi jumlah maksimum yang diamanatkan oleh Pasal 63, Pasal 64, dan Pasal 65 KUHP. Oleh karena itu, perlu ditegaskan kembali, terkhusus kepada aparat penegak hukum, untuk benar-benar mencermati, baik secara teoritik maupun praktik substansi yang menjadi semangat yang dikehendaki oleh Pasal 63, Pasal 64, dan Pasal 65 KUHP tersebut.

Bahwa lebih lanjut menurut Mahkamah, apabila dalam kasus perbarengan ternyata sudah diselingi dengan putusan hakim dan tidak dapat dilakukan penggabungan perkara karena adanya kendala teknis sebagaimana disebabkan beberapa hal yang juga telah dipertimbangkan sebelumnya maka terhadap hal tersebut dengan sendirinya tindak pidana tersebut telah kehilangan sifat dari ‘perbarengan’nya. Dengan kata lain, perbuatan pidana tersebut bukan lagi merupakan perbarengan tetapi merupakan delik tertinggal dan perbuatan tersebut pada akhirnya dapat diajukan secara terpisah akan tetapi jaksa penuntut umum dan hakim harus mempertimbangkan rasa keadilan dengan menjatuhkan putusan pidana tidak boleh melebihi ancaman pidana maksimum yang ditentukan.

[3.12] Menimbang bahwa di samping pertimbangan hukum tersebut di atas, berkaitan dengan perbuatan pidana perbarengan, berlanjut, dan penggabungan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 63, Pasal 64, dan Pasal 65 KUHP sebenarnya juga telah dilengkapi dengan tata cara penuntutan pidana dan penjatuhan pidana oleh penuntut umum dan hakim dengan mengacu pada ketentuan Pasal 71 KUHP yang menyatakan:

Jika seseorang telah dijatuhi pidana, kemudian dinyatakan bersalah lagi karena melakukan kejahatan atau pelanggaran lain sebelum ada putusan pidana itu, maka pidana yang dahulu diperhitungkan pada pidana yang akan dijatuhkan dengan menggunakan aturan-aturan dalam bab ini mengenai hal perkara-perkara diadili pada saat yang sama.

Oleh karenanya pranata untuk dijadikan pedoman dalam mengajukan tuntutan pidana oleh jaksa penuntut umum dan dalam menjatuhkan pidana oleh hakim sudah tegas, di mana norma Pasal 71 KUHP tersebut telah mencegah adanya penjatuhan pidana yang melebihi pidana maksimal yang dengan demikian, dalam batas penalaran yang wajar, penjatuhan pidana secara ekstrim tidak akan terjadi.

Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum di atas dalil Pemohon berkenaan dengan Pasal 63, Pasal 64, dan Pasal 65 KUHP yang menghendaki agar pasal-pasal a quo tidak dapat dikenakan terhadap beberapa kali penuntutan dan penjatuhan pidana atau dengan kata lain terhadap tindak pidana yang berkaitan dengan Pasal 63, Pasal 64, dan Pasal 65 KUHP yang sudah pernah dilakukan penuntutan dan penjatuhan pidana dan masih ada delik yang ‘tertinggal’ tidak dapat dilakukan penuntutan dan penjatuhan pidana lagi adalah dalil yang tidak berdasar. Sebab, sepanjang penuntutan dan penjatuhan pidana yang pernah ada belum memenuhi batas maksimum penuntutan dan penjatuhan pidana, hal tersebut masih tetap dapat dilakukan penuntutan dan penjatuhan pidana, terlebih jika terdapat alasan yang kuat perkara yang menyulitkan diajukannya dalam satu surat dakwaan terhadap perkara yang berhubungan dengan tindak pidana perbarengan, tindak pidana berlanjut, dan tindak pidana gabungan. Bahkan dalam hal pelaku tindak pidana dalam perbarengan, berlanjut, dan gabungan perbuatan pidana telah dijatuhi pidana maksimal sekalipun, terhadap tindak pidana yang belum dilakukan penuntutan dan penjatuhan pidana (delik ‘tertinggal’), masih tetap dapat dilakukan penuntutan dan apabila terhadap tindak pidana yang dilakukan penuntutan belakangan tersebut terdakwa dapat dibuktikan kesalahannya maka terhadap pelaku masih dapat dinyatakan terbukti bersalah melakukan tindak pidana akan tetapi tidak dapat lagi dijatuhi pidana yang berupa penambahan masa pemidanaan. Dengan uraian pertimbangan tersebut di atas dalil Pemohon a quo tidak beralasan menurut hukum.

[3.13] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum tersebut di atas telah jelas bahwa baik Pasal 272 KUHAP maupun Pasal 63, Pasal 64, dan Pasal 65 KUHP tidak terdapat persoalan konstitusionalitas norma terhadap UUD 1945 dan oleh karenanya dalil Pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.