Resume Putusan MK - Menyatakan Menolak, Tidak Dapat Diterima


Warning: Undefined variable $file_pdf in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-resume.phtml on line 66
RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 94/PUU-XVI/2018 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 1999 TENTANG TELEKOMUNIKASI TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 15-04-2019

Sadikin Arifin yang diwakili oleh kuasa hukumnya Ricky Gunawan, S.H., M.A. dan kawan-kawan dari Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat

Pasal 42 ayat (2) UU Telekomunikasi.

Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 42 ayat (2) UU Telekomunikasi dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.13.2] Bahwa terkait dengan beban pembuktian dimaksud, Pasal 42 ayat (2) UU Telekomunikasi telah memberikan kewenangan kepada aparat penegak hukum untuk tindak pidana tertentu, yaitu Jaksa Agung, Kepala Kepolisian Republik Indonesia [vide Pasal 42 ayat (2) huruf a UU Telekomunikasi], dan penyidik untuk tindak pidana tertentu sesuai dengan undang-undang yang berlaku [vide Pasal 42 ayat (2) huruf b UU Telekomunikasi] dalam kaitannya dengan keperluan proses pidana, meminta rekaman informasi kepada penyelenggara telekomunikasi. Terhadap hal tersebut, pada prinsipnya informasi yang dimiliki seseorang adalah hak privasi yang harus dilindungi sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 32 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang menyatakan, "Kemerdekaan dan rahasia dalam hubungan surat-menyurat termasuk hubungan komunikasi melalui sarana elektronik tidak boleh diganggu, kecuali atas perintah hakim atau kekuasaan lain yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Terkait dengan hak privasi, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-I/2003, bertanggal 30 Maret 2004, Mahkamah mempertimbangkan, antara lain, bahwa hak privasi bukanlah bagian dari hak-hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non-derogable rights), sehingga negara dapat melakukan pembatasan terhadap pelaksanaan hak-hak tersebut sepanjang dilakukan dengan memenuhi syarat-syarat sebagaimana diatur dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945. Selanjutnya, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006, bertanggal 19 Desember 2006, Mahkamah juga mempertimbangkan:
Mahkamah memandang perlu untuk mengingatkan kembali bunyi pertimbangan hukum Mahkamah dalam Putusan Nomor 006/PUU-I/2003 tersebut oleh karena penyadapan dan perekaman pembicaraan merupakan pembatasan terhadap hak-hak asasi manusia, di mana pembatasan demikian hanya dapat dilakukan dengan undang-undang, sebagaimana ditentukan oleh Pasal 28J ayat (2) UUD 1945. Undang-undang dimaksud itulah yang selanjutnya harus merumuskan, antara lain, siapa yang berwenang mengeluarkan perintah penyadapan dan perekaman dapat dikeluarkan setelah diperoleh bukti permulaan yang cukup, yang berarti bahwa penyadapan dan perekaman pembicaraan itu untuk menyempurnakan alat bukti, ataukan justru penyadapan dan perekaman pembicaraan itu sudah dapat dilakukan untuk mencari bukti permulaan yang cukup. Sesuai dengan perintah Pasal 28J ayat (2) UUD 1945, semua itu harus diatur dengan undang-undang guna menghindari penyalahgunaan wewenang yang melanggar hak asasi.
Dengan merujuk pada pertimbangan Mahkamah dalam putusan-putusan di atas, dikaitkan dengan permohonan a quo, maka pengecualian sebagaimana diatur dalam Pasal 42 ayat (2) UU Telekomunikasi merupakan salah satu bentuk pengakuan dan perlindungan negara terhadap hak pribadi. Adapun aparat penegak hukum yang dimaksud dalam ketentuan pasal a quo, in casu Jaksa Agung, Kepala Kepolisian Republik Indonesia, dan Penyidik, merupakan alat negara yang berdasarkan KUHAP berkewajiban untuk membuktikan sangkaannya dan dakwaannya. Artinya, dalam kaitannya dengan tahapan persidangan, Jaksa Penuntut Umumlah yang berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya sesuai dengan berkas yang diajukan oleh Penyidik dan karenanya Jaksa Penuntut Umum berwenang pula memerintahkan Penyidik untuk meminta rekaman informasi kepada penyelenggara jasa telekomunikasi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Pemberian hak kepada Jaksa Penuntut Umum dan Penyidik untuk meminta rekaman informasi sebagaimana diatur dalam Pasal 42 ayat (2) UU Telekomunikasi, di satu pihak telah memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945, dan di lain pihak, pemberian hak kepada Jaksa Penuntut Umum dan Penyidik demikian tidak serta-merta secara a contrario dapat diartikan juga memberi hak kepada terdakwa untuk memperoleh rekaman informasi dimaksud. Sebab, terdakwa bukanlah penegak hukum sehingga tidak dibebani kewajiban pembuktian. Jika Jaksa Penuntut Umum dan Penyidik tidak berhasil menghadirkan bukti adanya rekaman percakapan yang dijadikan salah satu alasan untuk mendakwa Pemohon, sebagaimana diuraikan Pemohon dalam permohonannya, lebih-lebih jika rekaman informasi demikian tidak dijadikan salah satu alat bukti yang disertakan dalam berkas perkara yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum dan Penyidik, hal demikian justru merupakan keuntungan bagi terdakwa (in casu Pemohon) karena hal itu berarti melemahkan dakwaan Jaksa Penuntut Umum apabila tidak ada bukti lain yang mendukung dakwaannya. Apalagi dengan tidak disertakannya dalam berkas perkara, tidak ada kewajiban bagi Hakim memerintahkan Jaksa Penuntut Umum untuk menghadirkan barang bukti berupa rekaman informasi dimaksud. Meskipun dalam keadaan demikian, demi terangnya perkara, Hakim dapat saja menyarankan kepada Jaksa Penuntut Umum agar barang bukti demikian dihadirkan. Hal yang demikian tidak mengurangi hak Terdakwa atau Penasihat Hukumnya mengajukan barang bukti lain untuk membantah atau setidak-tidaknya guna meringankan terdakwa dari dakwaan Jaksa Penuntut Umum. Namun, hal demikian tidak dapat dijadikan dasar oleh Terdakwa atau Penasihat Hukumnya untuk meminta pembukaan rekaman informasi sebagaimana diatur dalam Pasal 42 ayat (2) UU Telekomunikasi.
Dengan demikian, dalil Pemohon yang menyatakan ketentuan Pasal 42 ayat (2) UU Telekomunikasi bertentangan dengan prinsip due process of law karena tidak memberikan posisi yang sama antara tersangka/terdakwa dengan aparat penegak hukum dalam menjalani proses peradilan pidana sehingga bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 adalah dalil yang tidak berdasar. Karena hakikat prinsip due process of law adalah pengakuan terhadap hak tersangka/terdakwa untuk mendapatkan suatu proses hukum yang adil dan layak. Pengertian adil dan layak di sini adalah memberikan perlakuan yang sama sesuai dengan hak-haknya yang tidak boleh bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu dalam konteks hak tersangka/terdakwa untuk mendapatkan bukti hasil rekaman informasi telekomunikasi yang disana juga terletak hak privasi orang lain yang harus dilindungi maka oleh karenanya hal yang demikian hanya secara limitatif diberikan kepada Jaksa Agung dan Kepala Kepolisian Republik Indonesia dalam kaitan penegakan hukum. Oleh karena itu sesungguhnya tidak serta-merta memperlakukan secara tidak adil dan layak terhadap hak-hak tersangka/terdakwa.
[3.13.2] Menimbang bahwa Pemohon mendalilkan ketentuan Pasal 42 ayat (2) UU Telekomunikasi tidak mampu memberikan jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum yang adil terhadap tersangka/terdakwa, in casu Pemohon, untuk mengajukan sendiri rekaman percakapan sebagai bukti guna kepentingan pembelaan saat menjalani proses peradilan pidana sehingga bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Terhadap dalil Pemohon tersebut, menurut Mahkamah, pengecualian sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 42 ayat (2) UU Telekomunikasi yakni dengan memberikan ruang bagi aparat penegak hukum untuk memperoleh rekaman informasi yang bersifat pribadi bukanlah sesuatu yang melanggar hukum. Terlebih hal tersebut merupakan upaya Jaksa Penuntut Umum untuk melaksanakan kewajibannya membuktikan dakwaannya dalam proses peradilan pidana sebagaimana telah dipertimbangkan Mahkamah dalam Paragraf [3.13]. Sebaliknya, apabila Pasal 42 ayat (2) UU Telekomunikasi diberi pengecualian sebagaimana dikehendaki oleh Pemohon seperti yang tertuang dalam petitum permohonannya, hal tersebut justru dapat menimbulkan potensi penyalahgunaan informasi dan terlanggarnya informasi pribadi pihak lain karena rekaman informasi dimaksud tidak hanya terkait dengan dirinya pribadi namun juga hak privasi orang lain. Lagipula, berdasarkan Pasal 41 UU Telekomunikasi beserta Penjelasannya, pengguna jasa telekomunikasi dapat meminta pembuktian kebenaran pemakaian fasilitas telekomunikasi dan perekaman informasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Jadi, permintaan bukti sebagaimana dimaksudkan Pasal 41 UU Telekomunikasi hanya untuk kepentingan pengguna jasa telekomunikasi dalam pemakaian fasilitas telekomunikasi.
Dengan demikian dalil Pemohon yang menyatakan ketentuan Pasal 42 ayat (2) UU Telekomunikasi tidak mampu memberikan jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum yang adil terhadap tersangka/terdakwa, in casu Pemohon, untuk mengajukan sendiri rekaman percakapan sebagai bukti guna kepentingan pembelaan saat menjalani proses peradilan pidana sehingga bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum;
[3.13.2] Menimbang bahwa Pemohon mendalilkan pertentangan Pasal 42 ayat (2) UU Telekomunikasi dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 mengakibatkan tercederainya hak Pemohon atas peradilan yang adil karena tidak mampu memberikan perlindungan hukum terhadap tersangka/terdakwa, in casu Pemohon, untuk melawan tuduhan Jaksa Penuntut Umum. Terhadap dalil Pemohon tersebut, Mahkamah berpendapat, berdasarkan pertimbangan Mahkamah dalam Paragraf [3.13] dan Paragraf [3.14] di atas, tidak terbukti adanya pertentangan antara Pasal 42 ayat (2) UU Telekomunikasi dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang mengakibatkan tercederainya hak Pemohon atas peradilan yang adil. Terlebih lagi, dalam perbaikan permohonannya Pemohon menyatakan, “Pemohon menyadari seandainya JPU dan Majelis Hakim yang memeriksa perkara Pemohon dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Utara menegakkan hukum acara secara ideal sebagaimana dimaksud pada para 51, dan menyanggupi permintaan Pemohon di hadapan persidangan, serta mau menggali kebenaran materiil dalam persidangan dengan mendasarkan pada bukti rekaman percakapan, Pemohon tidak perlu menghabiskan energi untuk mengajukan uji materi ke hadapan persidangan MK dan Majelis Hakim pada MK tidak perlu bersusah payah memeriksa Permohonan a quo. Namun demikian, yang terjadi justru sebaliknya, tanggapan JPU terhadap permintaan Pemohon yang diafirmasi oleh majelis hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Utara telah mengangkangi unsur-unsur yang berlaku universal dalam proses acara pidana sebagaimana dimaksud dalam para 51 tersebut telah menyakiti perasaan batin Pemohon.” [vide perbaikan permohonan halaman 17 angka 52]. Uraian Pemohon tersebut, menurut Mahkamah, merupakan kewenangan majelis hakim yang menangani perkara konkret yang dialami Pemohon untuk mempertimbangkan perlu tidaknya permohonan yang diajukan oleh Pemohon dalam persidangan untuk dikabulkan atau sebaliknya. Dalam hal Pemohon merasa diperlakukan tidak sesuai dengan hak-haknya untuk melakukan pembelaan, Pemohon dapat menempuh upaya hukum yang disediakan sesuai dengan hukum acara yang berlaku. Dengan demikian, tidak mampunya Jaksa Penuntut Umum menghadirkan bukti yang diminta oleh Pemohon yang kemudian sebagaimana didalilkan Pemohon bahwa hal tersebut disetujui oleh Majelis Hakim adalah bukan permasalahan konstitusionalitas norma melainkan terkait dengan implementasi. Dengan demikian dalil Pemohon mengenai pertentangan Pasal 42 ayat (2) UU Telekomunikasi dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang mengakibatkan tercederainya hak Pemohon atas peradilan yang adil karena tidak mampu memberikan perlindungan hukum terhadap tersangka/terdakwa, in casu Pemohon, untuk melawan tuduhan Jaksa Penuntut Umum adalah tidak beralasan menurut hukum;
[3.16] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya