Joni Iskandar dan Roni Alfiansyah Ritonga
Pasal 210 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3), Pasal 344 ayat (2), serta Pasal 348 ayat (4) UU Pemilu.
Pasal 1 ayat (2), Pasal 6A ayat (1), Pasal 18 ayat (3), Pasal 19 ayat (1), Pasal 22 C ayat (1), Pasal 22E ayat (1), ayat (2), ayat (5), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (2) UUD Tahun 1945
perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI.
Bahwa terhadap pengujian Pasal 210 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3), Pasal 344 ayat (2), serta Pasal 348 ayat (4) UU Pemilu dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.14.1] Bahwa setelah Mahkamah memeriksa secara cermat dan saksama permohonan para Pemohon mengenai Pasal 210 ayat (1) UU Pemilu, Mahkamah menemukan adanya ketidaksesuaian dari dalil para Pemohon antara bagian posita dengan bagian petitum permohonan. Pada bagian posita (halaman 15) para Pemohon menyatakan bahwa Pasal 210 ayat (1) UU Pemilu bertentangan dengan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 dan dimohonkan untuk diganti sehingga menjadi menyatakan, “dapat dilengkapi dengan daftar pemilih tambahan paling lambat 7 (tujuh hari) hari sebelum hari pemungutan suara” tanpa menyebutkan bagian atau frasa mana yang dimohonkan untuk diganti tersebut. Namun pada bagian petitum permohonan para Pemohon memohon agar Pasal 210 ayat (1) sepanjang frasa “paling lambat 30 (tiga puluh) hari sebelum hari pemungutan suara” dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Dengan adanya, di satu pihak, ketidakjelasan perihal frasa mana dari Pasal 210 ayat (1) UU Pemilu yang dimohonkan untuk diganti sehingga menjadi “dapat dilengkapi dengan daftar pemilih tambahan paling lambat 7 (tujuh hari) hari sebelum hari pemungutan suara”, dan di lain pihak, terdapat perbedaan antara posita dan petitum permohonan sehingga telah membuat dalil para Pemohon a quo menjadi tidak jelas atau kabur. Sebagai konsekuensi lebih lanjut ketidakjelasan dimaksud maka menjadi tidak jelas pula apakah para Pemohon menginginkan penyusunan Daftar Pemilih Tambahan (DPTb) tidak dibatasi waktu sama sekali ataukah para Pemohon menginginkan agar penyusunan DPTb dibatasi waktu paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum hari pemungutan suara. Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut, Mahkamah berpendapat dalil para Pemohon sepanjang mengenai Pasal 210 ayat (1) UU Pemilu adalah kabur.
[3.14.2] Bahwa para Pemohon mendalilkan Pasal 210 ayat (2) sepanjang frasa “telah terdaftar dalam daftar pemilih tetap di suatu TPS” dan ayat (3) sepanjang frasa “telah terdaftar sebagai pemilih dalam daftar pemilih tetap di TPS asal” UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945. Terhadap dalil tersebut Mahkamah berpendapat bahwa penilaian terhadap Pasal 210 ayat (2) dan ayat (3) tidak dapat dilepaskan dari keberadaan pasal-pasal lainnya terutama Pasal 201 sampai dengan Pasal 217 UU Pemilu yang mengatur proses pendataan pemilih sejak data pemilih masih berupa data kependudukan hingga menjadi DPT.
Berdasarkan ketentuan pasal-pasal yang disebutkan di atas, Mahkamah menemukan bahwa proses pendataan pemilih yang berada di dalam negeri meliputi tahap-tahap yang pada intinya sebagai berikut.
a. penyediaan data kependudukan oleh Pemerintah;
b. KPU kabupaten/kota memutakhirkan data dan daftar pemilih;
c. PPS menyusun daftar pemilih sementara (DPS);
d. DPS diumumkan oleh PPS untuk mendapat masukan serta tanggapan masyarakat dan Peserta Pemilu, kemudian DPS diperbaiki oleh PPS;
e. DPS hasil perbaikan diumumkan kembali selama 14 (empat belas) hari;
f. DPT ditetapkan oleh KPU kabupaten/kota berdasarkan DPS yang telah diperbaiki;
g. DPT diumumkan oleh PPS;
h. DPT dapat dilengkapi dengan daftar pemilih tambahan (DPTb);
Dari tahapan penyusunan data kependudukan hingga menjadi DPT dan DPTb yang diatur oleh UU Pemilu demikian, ternyata Pemohon I mempermasalahkan keberadaan Pasal 210 ayat (2) dan ayat (3) yang pada pokoknya mengatur bahwa DPTb hanya mengakomodir pemilih yang sebelumnya telah tercatat dalam DPT namun ingin mengikuti pemilu di luar TPS asal. Pemohon I menginginkan agar untuk terdaftar dalam DPTb tidak harus tercatat terlebih dahulu dalam DPT melainkan cukup dengan menunjukkan KTP-el. Keberadaan Pasal 210 ayat (2) dan ayat (3) UU Pemilu, dalam kaitannya dengan argumentasi Pemohon I, sekilas memang terlihat menghalangi hak Pemohon I untuk menunaikan hak pilihnya karena nama Pemohon I tidak dapat diakomodir dalam DPTb dengan alasan belum terdaftar dalam DPT di TPS asal sesuai KTP-el Pemohon I. Hal demikian mengakibatkan Pemohon I tidak dapat menjadi pemilih dalam pemungutan suara Pemilu 2019 di tempat domisili Pemohon I saat ini, in casu Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor.
Namun sebagaimana telah diuraikan Mahkamah sebelumnya, dalam hal pendaftaran pemilih, penyusunan DPT dan DPTb bukanlah tahap yang berdiri sendiri melainkan telah didahului oleh tahap penyusunan DPS di mana pada tahap penyusunan dan perbaikan DPS ini dibuka kesempatan kepada calon pemilih yang belum terdaftar dalam DPS untuk mendaftarkan diri. Tahap perbaikan DPS ini diatur dalam UU Pemilu sebagai rangkaian yang tidak terpisahkan dengan penyusunan DPT dan DPTb.
Prosedur penyusunan daftar pemilih sebagaimana diatur dalam Pasal 201 sampai dengan Pasal 217 UU Pemilu menurut Mahkamah tidak bertentangan dengan UUD 1945 karena telah memberikan kesempatan yang cukup bagi calon pemilih untuk mendaftarkan dirinya sebagai pemillih. Untuk mengatur bagaimana cara pendaftaran pemilih dilakukan adalah pilihan kebijakan hukum pembentuk undang-undang selama cara tersebut menjamin setiap warga negara dapat menggunakan hak pilihnya. Pada dasarnya pendaftaran pemilih di Indonesia menggunakan stelsel pasif, yang artinya warga negara yang telah memenuhi syarat menjadi pemilih akan terdaftar di dalam data kependudukan, kemudian terdaftar dalam DPS, dan selanjutnya terdaftar dalam DPT. Adapun DPTb menurut prosedur pendaftaran pemilih dalam UU Pemilu adalah daftar pemilih yang sebelumnya telah terdaftar dalam DPT di TPS tertentu (sesuai alamat KTP-el) namun akan mengikuti pemungutan suara di luar wilayah TPS tempat yang bersangkutan semula terdaftar sebagai pemilih.
Penyusunan DPTb yang mensyaratkan bahwa pemilih pindahan harus telah terdaftar sebelumnya dalam DPT di TPS sesuai alamat KTP-el, menurut Mahkamah, tidak bertentangan dengan UUD 1945 karena terhadap pemilih yang terhalang untuk mendapat DPTb di suatu TPS tempat tinggal pada saat hendak memilih masih dapat menggunakan hak pilihnya di TPS tempat tinggalnya yang sesuai dengan alamat yang terdapat dalam KTP-el yang dimilikinya, meskipun tidak terdaftar dalam DPT. Artinya syarat atau pembatasan yang demikian tidak menghalangi hak konstitusional pemilih untuk menggunakan hak pilihnya dalam Daftar Pemilih Khusus (DPK). Ketentuan Pasal 210 ayat (2) dan ayat (3) UU Pemilu menurut Mahkamah sejatinya tidak mengatur mengenai pendaftaran calon pemilih (yaitu warga negara yang belum terdaftar sebagai pemilih) menjadi pemilih, melainkan mengatur cara bagi pemilih (warga negara yang telah terdaftar sebagai pemilih tetap) untuk pindah tempat memilih. Adapun jika cara mendaftarkan diri sebagai pemilih di tahap penyusunan DPS [vide Pasal 206 dan Pasal 207 UU Pemilu] tidak dipergunakan/dimanfaatkan oleh calon pemilih, menurut Mahkamah hal tersebut tidak lantas mengakibatkan prosedur pendaftaran pemillih yang diatur dalam UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945.
Dengan demikian menurut Mahkamah tidak relevan Pemohon I mempermasalahkan dirinya yang tidak tercatat dalam DPT jika Pemohon I tidak pernah menggunakan kesempatan perbaikan/pendaftaran pemilih pada tahap perbaikan DPS. Lagi pula, untuk dapat terdaftar dalam daftar pemilih, baik DPS atau DPT, pemilih tidak harus melakukannya sendiri melainkan dapat dengan cara memastikan apakah yang bersangkutan telah terdaftar dalam DPT atau belum, misalnya dengan mengecek melalui anggota keluarga di tempat asal yang bersangkutan, atau dapat dengan mengecek melalui saluran informasi elektronik yang disediakan oleh penyelenggara pemilu.
Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, Mahkamah berpendapat permohonan para Pemohon mengenai inkonstitusionalitas Pasal 210 ayat (2) UU Pemilu sepanjang frasa “telah terdaftar dalam daftar pemilih tetap di suatu TPS” dan Pasal 210 ayat (3) UU Pemilu sepanjang frasa “telah terdaftar sebagai pemilih dalam daftar pemilih tetap di TPS asal” adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.14.3] Bahwa para Pemohon memohon agar Pasal 344 ayat (2) UU Pemilu sepanjang frasa “dari jumlah pemilih tetap” dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945. Pasal 344 ayat (2) UU Pemilu yang dipermasalahkan para Pemohon selengkapnya menyatakan, “Jumlah surat suara yang dicetak sama dengan jumlah Pemilih tetap ditambah dengan 2% (dua persen) dari jumlah Pemilih tetap sebagai cadangan, yang ditetapkan dengan keputusan KPU”.
Setelah membaca secara saksama ketentuan tersebut, Mahkamah berpendapat bahwa seandainya frasa “dari jumlah pemilih tetap” dihilangkan yang terjadi justru ketidakpastian hukum karena pencetakan surat suara sebanyak 2% menjadi tidak terukur. Tidak terukur dalam pengertian tidak akan diketahui dengan pasti data atau daftar pemilih mana yang akan dijadikan dasar untuk menentukan jumlah surat suara cadangan. Selain itu jika jumlah surat suara cadangan tidak ditentukan batas persentasenya sangat mungkin penyelenggara pemilu mencetak lebih banyak surat suara atau mencetak surat suara lebih sedikit dari jumlah surat suara cadangan yang diperlukan. Yang paling dikhawatirkan jika dicetak lebih banyak hal demikian potensial untuk disalahgunakan. Artinya, penentuan persentase jumlah surat suara cadangan adalah salah satu cara untuk mengontrol agar surat suara dimaksud tidak disalahgunakan. Sebaliknya, apabila surat suara cadangan dicetak lebih sedikit dari jumlah yang diperlukan maka potensial menyebabkan hilangnya hak pilih warga negara.
Jumlah surat suara cadangan sebanyak 2% yang mengacu pada jumlah pemilih dalam DPT menurut Mahkamah telah tepat karena DPT dalam UU Pemilu merupakan daftar terakhir (dan mutakhir) mengenai jumlah pemilih. Setelah DPT tersusun maka perubahan, baik penambahan atau pengurangan jumlah pemilih, tidak lagi dapat dilakukan. Perubahan daftar pemilih telah dilakukan pada tahap penyusunan dan/atau perbaikan DPS. Selain itu pencetakan serta distribusi surat suara membutuhkan waktu yang tidak sebentar, sehingga jumlah surat suara cadangan yang didasarkan pada data lain yang diperoleh setelah tahap penyusunan DPT memunculkan kemungkinan tidak selesainya pencetakan dan distribusi surat suara tepat waktu sehingga berisiko mengganggu bahkan menunda tahapan pelaksanaan pemungutan suara.
Adapun mengenai kekhawatiran para Pemohon bahwa jumlah surat suara cadangan sebesar 2% dari jumlah DPT tidak akan mencukupi bagi pemilih di suatu TPS, hal demikian dapat diatasi dengan cara menggunakan kelebihan surat suara yang tidak terpakai dari TPS terdekat [vide Pasal 228 PKPU Nomor 3 Tahun 2019]. Bahkan dengan adanya ketentuan batas 30 (tiga puluh) hari sebelum hari pemungutan suara untuk mendaftarkan diri dalam DPTb, kekurangan demikian semestinya telah dapat diantisipasi oleh penyelenggara pemilu.
Dengan demikian dalil para Pemohon yang menyatakan frasa “dari jumlah pemilih tetap” dalam Pasal 344 ayat (2) UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.14.4] Bahwa berkenaan dengan dalil para Pemohon yang menyatakan Pasal 348 ayat (4) UU Pemilu bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 karena para Pemohon tidak dapat menggunakan hak pilihnya di tempat asalnya sehingga tidak memiliki kesempatan untuk menggunakan hak pilihnya untuk semua jenis pemilihan (memilih anggota DPR, DPD, dan DPRD) melainkan hanya untuk memilih pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden.
Sebelum Mahkamah mempertimbangkan dalil para Pemohon tersebut, terlebih dahulu dikemukakan ketentuan Pasal 348 ayat (4) UU Pemilu yang menyatakan:
Pemilih sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat menggunakan haknya untuk memilih:
a. calon anggota DPR apabila pindah memilih ke kabupaten/kota lain dalam satu provinsi dan di daerah pemilihannya;
b. calon anggota DPD apabila pindah memilih ke kabupaten/kota lain dalam satu provinsi;
c. Pasangan Calon apabila pindah memilih ke provinsi lain atau pindah memilih ke suatu negara;
d. calon anggota DPRD Provinsi pindah memilih ke kabupaten/kota lain dalam satu provinsi dan di daerah pemilihannya; dan
e. calon anggota DPRD Kabupaten/Kota pindah memilih ke kecamatan lain dalam satu kabupaten/kota dan daerah pemilihannya.
Pertanyaan konstitusional terkait dengan rumusan norma Pasal 348 ayat (4) UU Pemilu tersebut dalam hubungannya dengan permohonan a quo, sebagaimana telah dikemukakan di atas, adalah apakah pembatasan hak memilih hanya untuk calon sesuai dengan daerah pemilih di mana pemilih terdaftar bagi pemilih yang pindah tempat memilih sebagaimana diatur dalam Pasal 348 ayat (4) UU Pemilu telah menyebabkan hilangnya hak pemilih yang pindah tempat memilih untuk menggunakan haknya memilih calon anggota legislatif, sehingga harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945.
Dalam kaitan ini, para Pemohon mendalilkan bahwa pembatasan terhadap calon/peserta pemilu yang dapat dipilih bagi pemilih yang pindah memilih sebagaimana diatur dalam Pasal 348 ayat (4) UU Pemilu merupakan norma yang menyebabkan hilangnya hak pemilih untuk memilih calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Lebih jauh juga didalilkan oleh para Pemohon bahwa dalam Pemilu Tahun 2014, pemilih yang pindah tempat memilih tetap dapat memilih calon anggota legislatif.
Terhadap dalil a quo Mahkamah mempertimbangkan bahwa ketentuan yang tertuang dalam Pasal 348 ayat (4) UU Pemilu adalah diberlakukan terhadap “Pemilih dengan kondisi tertentu” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 348 ayat (3) UU Pemilu. Adapun yang dimaksud dengan “Pemilih dengan kondisi tertentu”, sebagaimana tertuang dalam Penjelasan Pasal 348 ayat (3) UU Pemilu, adalah pemilih yang sedang bersekolah dan/atau bekerja di luar domisilinya, sedang sakit, dan pemilih yang sedang menjalani hukuman penjara atau kurungan. Sementara itu, pembatasan hak untuk memilih terhadap calon/peserta pemilu sebagaimana diatur dalam Pasal 348 ayat (4) UU Pemilu merupakan konsekuensi logis dari ada dan ditetapkannya daerah pemilihan. Dalam hal ini, daerah pemilihan tidak hanya menentukan batas wilayah pemilihan bagi peserta pemilu, melainkan juga batas pemilihan bagi pemilih. Artinya, daerah pemilihan merupakan batas penggunaan hak pilih, baik hak memilih maupun hak untuk dipilih. Dalam konteks itu, pengaturan pembatasan hak untuk memilih terhadap peserta pemilu pada level tertentu berdasarkan daerah pemilihan merupakan sebuah kebijakan hukum yang sangat logis dan tidak berkelebihan. Ihwal regulasi pemilu yang berlaku sebelumnya tidak terdapat pengaturan yang demikian tidak dapat dijadikan patokan untuk menilai perubahan dan/atau perkembangan regulasi. Sepanjang perubahan aturan masih dalam batas-batas yang ditujukan untuk menjaga keadilan dan proporsionalitas prosedur pemilu maka hal itu tidak dapat dianggap sebagai sebuah pembatasan yang tidak sesuai dengan UUD 1945, khususnya menyangkut hak konstitusional yang berkait dengan hak pilih. Lebih jauh Mahkamah akan mempertimbangkan hal tersebut sebagai berikut:
Pertama, sebagai sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat, pemilu secara teknis dipahami sebagai mekanisme konversi suara rakyat menjadi kursi di lembaga perwakilan. Suara rakyat yang dikonversi adalah suara rakyat yang memilih wakil-wakilnya dalam pemilu. Proses konversi suara rakyat menjadi kursi dikanalisasi melalui pelaksanaan pemilu berbasis daerah pemilihan. Kanalisasi tersebut tidak saja bermakna bahwa proses pemilihan dilakukan berbasis daerah pemilihan, melainkan juga dimaksudkan bahwa daerah pemilihan merupakan wilayah representatif sehingga wakil rakyat terpilih bertanggung jawab kepada konstituen di daerah pemilihan di mana mereka terpilih. Artinya, suara rakyat yang dikonversi menjadi kursi anggota lembaga perwakilan (baik DPR, DPD, DPRD provinsi maupun DPRD kabupaten/kota) berkonsekuensi terhadap munculnya model pertanggungjawaban anggota lembaga perwakilan rakyat berbasis daerah pemilihan. Jadi, dengan adanya daerah pemilihan, pertanggungjawaban masing-masing anggota lembaga perwakilan yang terpilih menjadi jelas, baik secara kewilayahan maupun kepada rakyat/pemilih yang memberikan mandat dalam pemilu.
Sebagai basis pemilihan dan juga pertanggungjawaban wakil rakyat terpilih, daerah pemilihan juga merupakan basis hubungan wakil dengan yang diwakilinya. Daerah pemilihan merupakan daerah di mana dua subjek dalam sistem perwakilan saling berinteraksi. Agar interaksi antara wakil dan yang diwakili sebagai subjek dalam satu daerah pemilihan maka wakil rakyat yang dipilih haruslah orang yang dapat dimintakan pertanggungjawaban oleh rakyat/pemilih. Pada saat yang sama, rakyat yang memilih juga adalah orang yang dapat meminta pertanggungjawaban wakilnya. Tentu yang dimaksud dengan pertanggungjawaban dalam hal ini adalah pertanggungjawaban politik. Dalam posisi demikian, hanya orang-orang yang dipilih dan pemilih yang terdaftar dan memilih di satu daerah pemilihanlah yang dapat terkoneksi dalam hubungan wakil dan yang diwakili. Oleh karena itu, membatasi hak pemilih untuk memilih calon/peserta pemilu berbasis tempat di mana ia terdaftar sebagai pemilih tetap merupakan kebijakan hukum yang tidak bertentangan dengan desain sistem pemilu yang jujur dan adil serta, pada saat yang sama, sekaligus akuntabel.
Kedua, pembatasan hak untuk memilih calon/peserta pemilu sesuai dengan tingkatan sebagaimana diatur dalam Pasal 348 ayat (4) UU Pemilu berlaku berbasis skala pindah memilih. Dalam arti, hak memilih yang tidak dapat digunakan adalah hak untuk memilih calon di daerah pemilihan yang ditinggalkan. Namun, apabila pindah tempat memilih masih dalam daerah pemilihan yang sama maka seorang pemilih tetap memiliki hak memilih calon/peserta pemilu dimaksud. Kerangka hukum demikian tidak dapat dinilai sebagai penghilangan hak memilih anggota legislatif sebagaimana didalilkan para Pemohon. Sebab, hak memilih calon/peserta pemilu bagi pemilih yang tidak berasal dari daerah pemilihan yang bersangkutan pada dasarnya memang tidak ada. Artinya, ketika pemilih sudah keluar dari daerah pemilihannya maka hak memilihnya tidak lagi valid untuk digunakan. Justru ketika hak memilih tetap diberikan kepada pemilih yang basis representasinya bukan di daerah pemilihan yang bersangkutan maka konsep batas wilayah pemilihan dan pertanggungjawaban wakil terpilih akan menjadi tidak jelas. Oleh karena itu, yang diatur dalam Pasal 348 ayat (4) UU Pemilu pada prinsipnya adalah untuk menjaga kemurnian sistem pemilihan berbasis daerah pemilihan dan sekaligus juga untuk menjaga kejelasan sistem pertanggungjawaban wakil rakyat terpilih kepada pemilih yang memang berasal dari daerah pemilihan yang bersangkutan.
Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut, Mahkamah berpendapat dalil para Pemohon a quo yang menyatakan Pasal 348 ayat (4) UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.15] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berpendapat bahwa dalil para Pemohon adalah kabur dan tidak beralasan menurut hukum untuk sebagian.
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430