Resume Putusan MK - Menyatakan Menolak, Tidak Dapat Diterima


Warning: Undefined variable $file_pdf in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-resume.phtml on line 66
RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 8/PUU-XVII/2019 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 33 TAHUN 2014 TENTANG JAMINAN PRODUK HALAL TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 26-03-2019

Paustinus Siburian, SH., MH

diktum menimbang huruf b dan Pasal 3 huruf a, kata “Produk” dalam Pasal 4, dan Pasal 26 ayat (2) UU, Pasal 65, dan Pasal 67 UU 33/2014.

Pasal 28A, Pasal 28C, Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E, Pasal 28F, Pasal 28H ayat (1), Pasal 5 ayat (2) UUD Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian diktum menimbang huruf b dan Pasal 3 huruf a, kata “Produk” dalam Pasal 4, dan Pasal 26 ayat (2) UU, Pasal 65, dan Pasal 67 UU JPH dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.11] Menimbang, Pemohon mendalilkan bahwa tanpa adanya pembatasan terhadap frasa “pemeluk agama” dalam bagian Konsiderans “Menimbang” huruf b UU 33/2014 dan kata “masyarakat” dalam Pasal 3 huruf a UU 33/2014 menjadi “pemeluk agama Islam” dan “masyarakat muslim”, menyebabkan Pemohon terhalangi untuk mengkonsumsi makanan/minuman yang haram atau menggunakan obat-obatan atau barang-barang gunaan yang mengandung unsur yang diharamkan.

Menurut Mahkamah dalil Pemohon ini sulit dipahami karena apabila dikabulkan justru dapat mempersempit tujuan dibentuknya UU 33/2014 sebagaimana ditentukan dalam Pasal 3 ayat (1) UU 33/2014 yakni memberikan kenyamanan, keamanan, keselamatan, dan kepastian ketersediaan produk halal bagi masyarakat dalam mengonsumsi dan menggunakan produk. Berkenaan dengan tujuan ini, berlakunya UU 33/2014 dengan sendirinya memang memberikan perlindungan bagi masyarakat muslim. Apalagi di Indonesia jumlah penduduk muslim paling besar sehingga perlu diberi perlindungan terhadap hak konstitusionalnya. Namun demikian, perlu disadari pula bahwa masyarakat yang menggunakan produk halal tidak hanya terbatas pada masyarakat muslim. Oleh karena itu tidak mungkin diberi pembatasan bahwa UU 33/2014 hanya berlaku untuk masyarakat muslim atau masyarakat beragama Islam. Selain itu, ketentuan tersebut sama sekali tidak menghalangi masyarakat non-muslim untuk mendapatkan barang atau produk yang menggunakan unsur yang tidak halal.

Lebih dari itu, berlakunya UU 33/2014 tidak memberikan larangan bagi pelaku usaha atau produsen untuk memproduksi produk yang tidak halal sepanjang terhadap produk tersebut diberi penandaan sebagai “tidak halal” sesuai ketentuan Pasal 26 ayat (2) UU 33/2014. UU 33/2014 tidak menganut “mandatory halal” tetapi menganut “mandatory sertifikasi halal” yang diikuti dengan proses labelisasi halal. Artinya, terhadap produk halal wajib mencantumkan logo halal sesuai dengan ketentuan UU 33/2014. Sehingga siapapun yang akan mengkonsumsi atau menggunakan produk yang beredar di masyarakat tidak perlu lagi merasa ragu-ragu, khawatir, atau pun takut karena akan jelas dan terang produk mana yang terjamin kehalalannya dan produk mana yang tidak halal sesuai dengan label sebagai penandanya. Jadi keberadaan produk halal sama sekali tidak merugikan, mengurangi, menghilangkan, membatasi, atau mempersulit hak Pemohon dalam melakukan aktivitas sebagai non-muslim. Dengan demikian kekhawatiran Pemohon akan di-sweeping jika mengkonsumsi makanan atau minuman yang haram atau mengandung unsur yang haram sesuai dengan adat yang digunakan adalah alasan yang mengada-ada dan tidak rasional sehingga menurut Mahkamah dalil Pemohon a quo tidak beralasan menurut hukum.

[3.12] Menimbang bahwa terkait dengan dalil Pemohon yang mempermasalahkan konstitusionalitas norma kata “produk” dalam Pasal 4 UU 33/2014 yang dianggap Pemohon telah menimbulkan ketidakpastian hokum sebagaimana dijamin oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 karena norma kata “Produk” menurut Pemohon telah memperluas jangkauan pengaturannya termasuk jasa profesi bidang hukum (advokat), penting bagi Mahkamah menjelaskan bahwa dalam memahami suatu esensi undang-undang tidak dapat dibaca secara parsial (bagian per bagian). Pasal 4 UU 33/2014 secara lengkap menyatakan, “Produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal”. Pengertian “produk” dalam Pasal 4 UU 33/2014 tidak dapat dilepaskan dari ketentuan Pasal 1 angka 1 UU 33/2014 yang selengkapnya menyatakan, “Produk adalah barang dan/atau jasa yang terkait dengan makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, produk rekayasa genetik, serta barang gunaan yang dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan oleh masyarakat”.

Dengan demikian, kata “jasa” dalam norma a quo haruslah dikaitkan dengan makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, produk rekayasa genetik, serta barang gunaan yang dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai satu kesatuan pengertian. Artinya, jasa yang tidak terkait dengan berbagai produk yang telah disebutkan di atas tidak menjadi bagian dari pengertian “produk” dalam Pasal 1 angka 1 UU 33/2014. Untuk menjelaskan maksud “jasa” dalam konteks UU 33/2014, misalnya jika suatu restoran menjual barang haram maka restoran tersebut tidak akan mendapatkan sertifikasi halal. Tidak ada kaitan jasa dalam konteks UU 33/2014 dengan jasa dalam menjalankan profesi, misalnya jasa hukum (advokat), sebagaimana dalil Pemohon. Sebagaimana telah ditegaskan di atas, makna “jasa” tersebut harus dipahami dalam konteks yang ada kaitan dengan makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, produk rekayasa genetik, serta barang gunaan. Dalam hal ini profesi advokat bukan merupakan unsur dari pengertian produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan menurut Pasal 4 UU 33/2014. Oleh karena itu, halal atau haram bukan dilihat dari orang yang mengkonsumsi atau menggunakan produk, tetapi pada produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia. Oleh karenanya, sesuai dengan prinsip mandatory sertifikasi halal maka produk yang harus disertifikasi halal adalah produk yang tidak jelas kehalalannya (mutasyabihat). Produk yang tidak halal tidak perlu disertifikasi sebagaimana telah ditentukan pengecualiannya dalam Pasal 26 UU 33/2014. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 1 UU 33/2014 maka produk yang dimaksud tidak hanya pangan olahan sebagaimana didalilkan Pemohon, tetapi termasuk pula obat, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, produk rekayasa genetik, serta barang gunaan. Dengan demikian dalil Pemohon tidak beralasan menurut hukum.

[3.13] Bahwa Pemohon mempermasalahkan konstitusionalitas norma Pasal 26 ayat (2) UU 33/2014 secara parsial tanpa mengkaitkan dengan ketentuan ayat (1), sehingga beranggapan ada pertentangan dengan UUD 1945. Sebagaimana telah berkali-kali ditegaskan oleh Mahkamah bahwa dalam memahami norma suatu undang-undang haruslah dilakukan secara utuh. Dalam kaitan ini Pasal 26 UU 33/2014 menyatakan:

“(1) Pelaku Usaha yang memproduksi Produk dari Bahan yang berasal dari Bahan yang diharamkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 dan Pasal 20 dikecualikan dari mengajukan permohonan Sertifikat Halal.
(2) Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mencantumkan keterangan tidak halal pada Produk.”

Ketentuan Pasal 26 merupakan aturan pengecualian terhadap pelaku usaha yang memproduksi suatu produk yang berasal dari bahan yang diharamkan, maka diwajibkan mencantumkan secara tegas keterangan tidak halal pada bagian tertentu dari kemasan produk tersebut yang mudah dilihat, dibaca, tidak mudah terhapus, dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari produk, sebagaimana dijelaskan dalam bagian Penjelasan Umum UU 33/2014. Artinya, terhadap produk yang sejak semula sudah jelas tidak halal maka tidak perlu disertifikasi halal, melainkan cukup diberi tanda “tidak halal”. Pencantuman tanda “tidak halal” dimaksudkan untuk memberi tahu kepada masyarakat luas sehingga masyarakat dapat memilih antara produk yang halal dan yang tidak halal. Dengan demikian, berbeda dari anggapan Pemohon, tidak terdapat norma dalam UU 33/2014 yang melarang produsen untuk memproduksi dan memasarkan produk yang tidak halal sepanjang diberi label “tidak halal”. Adanya ketentuan norma Pasal 26 UU 33/2014 telah sesuai dengan asas dan tujuan pembentukan UU 33/2014 (vide Pasal 2 dan Pasal 3 UU 33/2014). Oleh karenanya tidak ada pertentangan norma Pasal 26 ayat (2) UU 33/2014 dengan Pasal 28F UUD 1945 sebagaimana didalilkan Pemohon. Dengan adanya kejelasan penanda produk “tidak halal” justru memberikan kejelasan informasi yang merupakan hak publik, terutama hak konstitusional masyarakat muslim sesuai dengan ajaran agamanya. Selain itu tidak ada pula relevansinya Pemohon mempertentangkan Pasal 26 ayat (2) UU 33/2014 dengan Pasal 28G UUD 1945 terkait dengan hak Pemohon untuk hidup sejahtera karena Pemohon tetap dapat menggunakan atau mengkonsumsi produk yang tidak halal sesuai dengan adat kebiasaan yang didalilkan Pemohon. Dengan demikian dalil Pemohon tidak beralasan menurut hukum.

[3.14] Bahwa terhadap dalil Pemohon yang menyatakan norma Pasal 65 ayat (2) UU 33/2014 bertentangan dengan Pasal 5 ayat (2) UUD 1945 dengan alasan Pemerintah telah melampaui batas waktu 2 (dua) tahun sejak UU 33/2014 diundangkan namun belum juga menerbitkan peraturan pemerintah sebagai pelaksanaan UU 33/2014 sebagaimana diperintahkan Pasal 65 ayat (2) UU 33/2014. Menurut Mahkamah permasalahan yang dimohonkan pengujian tersebut merupakan persoalan implementasi norma dan bukan merupakan masalah konstitusionalitas norma, sehingga bukan merupakan kewenangan Mahkamah untuk menilainya.

Sedangkan terhadap dalil Pemohon mengenai penundaan keberlakuan Pasal 67 UU 33/2014 dengan alasan belum ada aturan pelaksanaan dari undangundang a quo, menurut Mahkamah tidak beralasan karena hal demikian merupakan ranah kewenangan pembentuk Undang-Undang, terutama Pemerintah dalam mengimplementasikan secara efektif ketentuan-ketentuan UU 33/2014. Dengan demikian dalil Pemohon dimaksud tidak memiliki korelasi dengan persoalan konstitusionalitas norma sehingga tidak ada alasan konstitusional bagi Mahkamah untuk mempertimbangkan penundaan keberlakuan UU 33/2014 sebagaimana dimohonkan dalam permohonan a quo. Belum diterbitkannya peraturan pelaksanaan sebagaimana dimaksud Pasal 65 UU 33/2014 tidak menjadikan UU 33/2014 bertentangan dengan UUD 1945. Namun demikian, perlu diingatkan agar Pemerintah segera mengeluarkan peraturan pelaksana dimaksud sehingga tidak timbul keragu-raguan dalam pelaksanaannya. Berdasarkan pertimbangan demikian permohonan Pemohon mengenai Pasal 65 dan Pasal 67 UU 33/2014 adalah tidak beralasan menurut hukum.

[3.15] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, seluruh permohonan Pemohon berkenaan dengan norma dalam UU 33/2014 yang diajukan pengujian konstitusionalitasnya dalam permohonan a quo adalah tidak beralasan menurut hukum.