Resume Putusan MK - Menyatakan Menolak, Tidak Dapat Diterima


Warning: Undefined variable $file_pdf in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-resume.phtml on line 66
RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 24/PUU-XVI/2018 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2014 TENTANG PEMBENTUKAN KABUPATEN BUTON SELATAN DI PROVINSI SULAWESI TENGGARA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 13-03-2019

• Muh. Basli Ali (Bupati Kabupaten Kepulauan Selayar), selanjutnya disebut Pemohon I; dan • Mappatunru (Ketua DPRD Kabupaten Kepulauan Selayar), selanjutnya disebut Pemohon II.

pengujian Lampiran UU 16/2014 berupa Peta Wilayah Kabupaten Buton Selatan yang menggambarkan Pulau Kakabia/Kawi-Kawia sebagai bagian dari Wilayah Kabupaten Buton Selatan.

Pasal 18 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 22A, dan Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Lampiran UU 16/2014 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.16] Menimbang bahwa Pemohon I dan Pemohon II mendalilkan Lampiran UU 16/2014 sepanjang yang menggambarkan Pulau Kakabia/Kawi-Kawia sebagai wilayah Kabupaten Buton Selatan bertentangan dengan Pasal 18 ayat (1) UUD 1945 karena Pulau Kakabia adalah wilayah yang telah dibagikan kepada Wilayah Administrasi Pemerintahan Daerah Kabupaten Kepulauan Selayar berdasarkan UU 29/1959 yang dipertegas dan diperjelas oleh Permendagri 45/2011 yang pengurangan atas wilayah tersebut harusnya terlebih dahulu melalui prosedur tertentu sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Terhadap dalil Pemohon I dan Pemohon II tersebut, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:

[3.16.1] Bahwa dalam mempertimbangkan pokok permohonan Pemohon I dan Pemohon II, Mahkamah perlu mengutip pertimbangan Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-X/2012, bertanggal 21 Februari 2013, dalam Paragraf [3.13.1] antara lain menyatakan:

[3.13.1] Bahwa sebagai negara kesatuan maka seluruh wilayah Indonesia adalah wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pasal 18 ayat (1) UUD 1945 menyatakan, “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang”. Adapun maksud kata “dibagi” dalam Pasal tersebut adalah untuk menekankan yang ada lebih dahulu adalah wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Adapun pembagian itu mengindikasikan wilayah provinsi/kabupaten/kota tidak lain adalah wilayah kesatuan Republik Indonesia yang untuk hal-hal tertentu kewenangannya dilimpahkan kepada provinsi/kabupaten/kota untuk mengaturnya. Bahwa UUD 1945 dengan sengaja mengambil kata “dibagi” karena untuk menghindari kata “terdiri dari” atau “terdiri atas”. Tujuannya adalah untuk menghindari konstruksi hukum bahwa wilayah provinsi/kabupaten/kota eksistensinya mendahului dari eksistensi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan demikian, wilayah provinsi/kabupaten/kota adalah wilayah administrasi semata dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang berbeda dengan negara federal;
Pelaksanaan Pasal 18 ayat (1) UUD 1945 menjadi kewenangan sepenuhnya dari pembentuk Undang-Undang untuk membagi wilayah termasuk menetapkan batas-batas wilayahnya. ...”

Berdasarkan pertimbangan hukum dalam putusan tersebut, batas wilayah administrasi menjadi kewenangan sepenuhnya pembentuk undang-undang untuk membagi dan menentukan wilayah termasuk menetapkan batas-batas wilayahnya. Pembagian wilayah dimaksud tercermin pula dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679, selanjutnya disebut UU Pemda) yang mengatur bahwa dalam pelaksanaan desentralisasi dilakukan penataan daerah yang terdiri atas pembentukan daerah dan penyesuaian daerah. Adapun pembentukan daerah dimaksud berupa pemekaran daerah dan penggabungan daerah [vide Pasal 31 dan Pasal 32 UU Pemda]. Dengan demikian, pembentukan dan penentuan batas wilayah dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan kewenangan dari pembentuk undang-undang.

[3.16.2] Bahwa pemerintah pusat dan pemerintahan daerah adalah merupakan satu kesatuan yang utuh dalam penyelenggaraan pemerintahan NKRI, sehingga apabila terjadi permasalahan/sengketa batas wilayah antara daerah dalam satu provinsi atau antar provinsi maka permasalahan tersebut harus diselesaikan secara internal oleh pemerintah. Lebih lanjut apabila terjadi perselisihan terkait dengan batas daerah, Pasal 21 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 141 Tahun 2017 tentang Penegasan Batas Daerah, menyatakan:

(1) Dalam hal terjadi perselisihan penegasan batas daerah antar daerah kabupaten/kota dalam satu provinsi atau antar daerah provinsi, diselesaikan sesuai dengan tahapan dan tata cara penyelesaian perselisihan batas daerah antara pemerintah dan pemerintah daerah.
(2) Perselisihan batas daerah antar daerah kabupaten/kota dalam satu daerah provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diselesaikan oleh gubernur.
(3) Penegasan dan perselisihan batas daerah antar daerah provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diselesaikan oleh Menteri.

Berdasarkan ketentuan tersebut, permasalahan Pemohon I dan Pemohon II terkait dengan letak wilayah Pulau Kakabia/Kawi-Kawia apakah berada di daerah Kabupaten Kepulauan Selayar ataukah berada dalam daerah Kabupaten Buton Selatan bukanlah merupakan permasalahan antar kabupaten/kota melainkan merupakan permasalahan antardaerah provinsi yaitu Provinsi Sulawesi Tenggara dengan Provinsi Sulawesi Selatan, karena letak wilayah Pulau Kakabia/Kawi-Kawia diklaim berada di antara dua provinsi yaitu Provinsi Sulawesi Tenggara dan Provinsi Sulawesi Selatan sehingga berdasarkan Pasal 21 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 141 Tahun 2017 penyelesaiannya merupakan kewenangan Menteri, in casu Menteri Dalam Negeri. Artinya, perselisihan batas daerah dalam NKRI bukanlah merupakan masalah konstitusional.

Dengan demikian dalil Pemohon I dan Pemohon II yang menyatakan Lampiran UU 16/2014 sepanjang yang menggambarkan Pulau Kakabia/Kawi-Kawia sebagai wilayah Kabupaten Buton Selatan bertentangan dengan Pasal 18 ayat (1) UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum.

[3.17] Menimbang bahwa Pemohon I dan Pemohon II mendalilkan Lampiran UU 16/2014 bertentangan dengan Pasal 18 ayat (2) UUD 1945 karena mengganggu otonomi daerah Pemerintahan Kabupaten Kepulauan Selayar, di mana kebijakan-kebijakan yang seharusnya dapat diambil oleh Pemerintahan Daerah Kabupaten Kepulauan Selayar berkaitan dengan program peningkatan mutu pariwisata laut tidak akan berjalan maksimal pelaksanaannya jika Pulau Kakabia sebagai salah satu icon pariwisata tidak lagi masuk dalam Wilayah Administrasi Kabupaten Kepulauan Selayar dan ini dapat berdampak besar kepada program-program kesejahteraan masyarakat yang berhubungan dengan pariwisata. Terhadap dalil Pemohon I dan Pemohon II tersebut, menurut Mahkamah, persoalan tidak masuknya wilayah Pulau Kakabia/Kawi-Kawia dalam Wilayah Administrasi Kabupaten Kepulauan Selayar berpengaruh pada penurunan mutu pariwisata laut dan menurunnya kesejahteraan masyarakat, andaipun merupakan persoalan konstitusional, quod non, hal demikian dengan sendirinya akan terselesaikan apabila mekanisme penyelesaian perselisihan batas daerah secara berjenjang yang telah diatur secara rigid sebagaimana telah dipertimbangkan di atas telah dilakukan. Sehingga dalam hal ini tidak relevan bagi Mahkamah untuk mempertimbangkannya.

[3.18] Menimbang bahwa Pemohon I dan Pemohon II mendalilkan Lampiran UU 16/2014 bertentangan dengan UU 12/2011 yang merupakan amanat Pasal 22A UUD 1945 karena telah memperluas norma dan/atau memuat norma baru yang bertentangan dengan pengertian norma yang ada dalam batang tubuh UU 16/2014, yaitu Pasal 3 ayat (1) dan Pasal 4. Terhadap dalil permohonan tersebut, Mahkamah mempertimbangkan bahwa berdasarkan ketentuan Lampiran II Bab I huruf F butir 192 dan butir 193 UU 12/2011 bahwa secara formal dalam suatu undang-undang dimungkinkan adanya lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari undang-undang itu sendiri. Adapun secara substansial apabila Pemohon I dan Pemohon II mendalilkan bahwa lampiran undang-undang telah memperluas norma sehingga bertentangan dengan UU 12/2011 maka hal demikian dengan sendirinya merupakan bagian dari penyelesaian perselisihan batas daerah yang mekanismenya sebagaimana telah dipertimbangkan di atas. Demikian pula halnya dengan dalil Pemohon I dan Pemohon II yang menyatakan bahwa Lampiran UU 16/2014 bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, hal inipun mengikuti pertimbangan Mahkamah perihal penyelesaian perselisihan batas daerah sebagaimana telah dipertimbangkan di atas. Dengan demikian dalil-dalil Pemohon I dan Pemohon II a quo tidak beralasan menurut hukum.

[3.19] Menimbang bahwa setelah mempertimbangkan pokok permohonan sebagaimana diuraikan di atas, oleh karena kedudukan hukum Pemohon I dan Pemohon II baru dapat diketahui setelah Mahkamah mempertimbangkan pokok permohonan maka selanjutnya Mahkamah mempertimbangkan kedudukan hukum Pemohon I dan Pemohon II sebagai berikut:

[3.19.1] Bahwa Pemohon II baru mengajukan diri sebagai Pemohon pada sidang pemeriksaan pendahuluan untuk perbaikan permohonan tanpa menyertakan Surat Keputusan Rapat Paripurna DPRD Kabupaten Kepulauan Selayar tentang persetujuan DPRD Kabupaten Kepulauan Selayar untuk mengajukan permohonan a quo. Adapun Surat Keputusan Rapat Paripurna DPRD Kabupaten Kepulauan Selayar dimaksud diterima Mahkamah dalam Sidang Pleno tanggal 21 Mei 2018. Terhadap hal tersebut, secara substansial Putusan Mahkamah Nomor 87/PUU-XIII/2015, bertanggal 13 Oktober 2016, menyatakan bahwa dalam hal adanya dugaan kerugian konstitusional Pemerintahan Daerah maka yang berwenang mewakili Pemerintahan Daerah adalah kepala daerah bersama-sama dengan Ketua DPRD atas persetujuan Rapat Paripurna DPRD. Dalam hal Pemohon I (Bupati Kabupaten Kepulauan Selayar) yang mengajukan permohonan a quo pada sidang pemeriksaan pendahuluan dan kemudian menyertakan Pemohon II (Ketua DPRD Kabupaten Kepulauan Selayar) dengan tidak menyertakan surat keputusan Rapat Paripurna DPRD Kabupaten Kepulauan Selayar untuk mengajukan permohonan a quo, Mahkamah berpendapat Pemohon I dan Pemohon II tidak dapat dikatakan sebagai bersama-sama mengajukan permohonan a quo sebagai satu kesatuan pemerintahan daerah sehingga tidak dapat dikualifikasikan sebagai pemerintahan daerah, in casu Pemerintahan Daerah Kabupaten Kepulauan Selayar. Terlebih lagi, Pemohon II tidak menyertakan Surat Keputusan Rapat Paripurna DPRD Kabupaten Kepulauan Selayar pada saat permohonan diperiksa dalam pemeriksaan pendahuluan. “Bukti” dimaksud baru diserahkan pada saat sidang pleno pemeriksaan permohonan dan tidak dinyatakan tegas sebagai alat bukti melainkan bagian dari lampiran surat kuasa bertanggal 2 April 2018. Hal yang demikian tidak cukup meyakinkan Mahkamah bahwa keputusan rapat paripurna dimaksud benar-benar dilakukan sebelum permohonan a quo diajukan ke Mahkamah Konstitusi.

[3.19.2] Bahwa dalil Pemohon I dan Pemohon II yang menyatakan Lampiran UU 16/2014 merugikan hak konstitusional Pemohon I dan Pemohon II karena menghilangkan hak Pemerintahan Daerah Kabupaten Kepulauan Selayar dalam menjalankan Pemerintahan di Pulau Kakabia adalah anggapan yang tidak tepat. Sebagaimana telah dipertimbangkan Mahkamah dalam Paragraf [3.16.1] di atas, batas daerah provinsi/kabupaten/kota dapat diubah sesuai dengan kehendak pembentuk undang-undang berdasarkan berbagai pertimbangan disebabkan terbukanya kemungkinan melakukan penataan daerah. Artinya, penentuan batas daerah sangat mungkin berubah apabila terjadi perubahan penataan daerah oleh pembentuk undang-undang. Dengan demikian, berlakunya Lampiran UU 16/2014 yang mengakibatkan berkurangnya daerah Kabupaten Kepulauan Selayar, yaitu Pulau Kakabia/Kawi-kawia, bukanlah sesuatu yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar sepanjang perubahan tersebut ditentukan oleh undang-undang.

Dengan demikian, berdasarkan seluruh uraian pertimbangan tersebut di atas, tidak terdapat kerugian konstitusional Pemohon I dan Pemohon II dengan berlakunya Lampiran UU 16/2014, sehingga menurut Mahkamah, Pemohon I dan Pemohon II tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo.

[3.20] Menimbang bahwa oleh karena Pemohon I dan Pemohon II tidak memiliki kedudukan hukum maka dalil-dalil Pemohon I dan Pemohon II selebihnya, termasuk keterangan Pihak Terkait yang tidak relevan, tidak dipertimbangkan.

[3.21] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berpendapat Pemohon I dan Pemohon II ternyata tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo. Seandainya pun Pemohon I dan Pemohon II memiliki kedudukan hukum demikian, quod non, dalil permohonan Pemohon I dan Pemohon II telah ternyata tidak beralasan menurut hukum.