Drs. Martinus Nuroso, M.M., Ketua Forum Perjuangan Pensiunan Bank Negara Indonesia (FPP-BNI)
Pasal 167 ayat (3) UU Ketenagakerjaan
Pasal 28H ayat (2), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28D ayat (2) UUD Tahun 1945
Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI.
Dalam Provisi
[3.7] Menimbang bahwa Pemohon dalam permohonannya memohon putusan provisi yang pada pokoknya memohon agar Mahkamah memrioritaskan pemeriksaan, menerima, dan mengabulkan permohonan a quo untuk seluruhnya. Terhadap permohonan provisi tersebut, setelah Mahkamah mencermati permohonan putusan provisi a quo, ternyata Pemohon tidak memberikan alasan terhadap permohonan provisi a quo sehingga tidak terdapat pula alasan bagi Mahkamah untuk mempertimbangkan permohonan tersebut. Oleh karena itu permohonan putusan provisi yang dimohonkan oleh Pemohon tidak beralasan menurut hukum.
Pokok Permohonan
[3.11] Menimbang bahwa setelah Mahkamah memeriksa secara saksama Permohonan a quo, telah ternyata bahwa terhadap substansi materi muatan Pasal 167 ayat (3) UU Ketenagakerjaan telah beberapa kali dimohonkan pengujian, terakhir diajukan oleh Pemohon yang sama (Drs. Martinus Nuroso, M.M.) dalam perkara Nomor 68/PUU-XVI/2018 dengan dasar pengujian yang sama pula dengan permohonan perkara a quo, yakni Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945. Mahkamah telah menyatakan pendiriannya bahwa Pasal 167 ayat (3) UU Ketenagakerjaan adalah konstitusional, artinya tidak bertentangan dengan UUD 1945. Pendirian Mahkamah dalam putusan-putusan tersebut tidak berubah. Putusan dimaksud adalah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-XVI/2018 dan Nomor 68/PUU-XVI/2018 yang mana kedua putusan Mahkamah ini menguji permohonan pengujian atas Pasal 167 ayat (3) UU Ketenagakerjaan dengan dasar pengujiannya adalah Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945.
[3.11.1] Bahwa dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-XVI/2018, bertanggal 23 Juli 2018, dengan amar putusan menolak permohonan para Pemohon, Mahkamah dalam pertimbangan hukumnya menegaskan, antara lain:
[3.12] Menimbang bahwa terhadap dalil yang diajukan para Pemohon, Mahkamah menilai pokok permasalahan para Pemohon memang berkaitan dengan keberadaan Pasal 167 ayat (3) UU Ketenagakerjaan yang dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya, bahkan seolah-olah ditimbulkan oleh rumusan Pasal a quo. Oleh karena itu, Mahkamah terlebih dahulu akan mengutip Pasal 167 ayat (3) UU Ketenagakerjaan dan Penjelasannya sebagai berikut:
Pasal 167 ayat (3) menyatakan,
“Dalam hal pengusaha telah mengikutsertakan pekerja/buruh dalam program pensiun yang iurannya/premi-nya dibayar oleh pengusaha dan pekerja/buruh, maka yang diperhitungkan dengan uang pesangon yaitu uang pensiun yang premi/iurannya dibayar oleh pengusaha”.
Penjelasan Pasal 167 ayat (3) menyatakan,
“Contoh dari ayat ini adalah:
- Misalnya uang pesangon yang seharusnya diterima pekerja/buruh adalah Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan besarnya jaminan pensiun menurut program pensiun adalah Rp 6.000.000,00 (enam juta rupiah) serta dalam pengaturan program pensiun tersebut telah ditetapkan premi yang ditanggung oleh pengusaha 60% (enam puluh perseratus) dan oleh pekerja/buruh 40% (empat puluh perseratus), maka :
- Perhitungan hasil dari premi yang sudah dibayar oleh pengusaha adalah : sebesar 60% x Rp 6.000.000,00 = Rp 3.600.000,00
- Besarnya santunan yang preminya dibayar oleh pekerja/buruh adalah sebesar 40% X Rp 6.000.000,00 = Rp 2.400.000,00
- Jadi kekurangan yang masih harus dibayar oleh Pengusaha sebesar Rp 10.000.000,00 dikurangi Rp 3.600.000,00 = Rp 6.400.000,00
- Sehingga uang yang diterima oleh pekerja/buruh pada saat PHK karena pensiun tersebut adalah:
- Rp 3.600.000,00 (santunan dari penyelenggara program pensiun yang preminya 60% dibayar oleh pengusaha)
- Rp 6.400.000.00 (berasal dari kekurangan pesangon yang harus di bayar oleh pengusaha)
- Rp 2.400.000,00 (santunan dari penyelenggara program pensiun yang preminya 40% dibayar oleh pekerja/buruh)
___________________________________________________________________________+ Jumlah Rp12.400.000,00 (dua belas juta empat ratus ribu rupiah)”
Berdasarkan uraian mengenai makna “diperhitungkan” yang terdapat dalam Pasal 167 ayat (3) UU Ketenagakerjaan yang dicontohkan dalam Penjelasan Pasal a quo, maka kata “diperhitungkan” yang dipersoalkan oleh para Pemohon sesungguhnya telah jelas. Dengan demikian tidak terdapat persoalan konstitusionalitas norma pada kata “diperhitungkan” dalam Pasal 167 ayat (3) UU Ketenagakerjaan sebagaimana didalilkan oleh para Pemohon. Mahkamah berpendapat yang terjadi sesungguhnya adalah persoalan implementasi norma Pasal 167 ayat (3) UU Ketenagakerjaan yang tidak dilaksanakan sesuai dengan Penjelasan Pasal 167 ayat (3) UU Ketenagakerjaan. Sesungguhnya para Pemohon pun mengakui bahwa hal ini merupakan persoalan penerapan norma sebagaimana dinyatakan secara eksplisit dalam permohonan para Pemohon, di antaranya dalam angka 19 permohonan para Pemohon sebagai berikut:
19. Bahwa kebijakan perusahaan PT. Bank Negara Indonesia, Tbk. ataupun kebijakan PT. Bank Rakyat Indonesia, Tbk tersebut juga tidak sesuai dengan yang dicontohkan dalam penjelasan Pasal 167 ayat (3) tersebut, sehingga para Pemohon telah menerima dampak kerugian materil atas tafsiran rumus perhitungan uang pesangon tersebut. Namun demikian, PT. Bank Negara Indonesia, Tbk dan PT. Bank Rakyat Indonesia Tbk, mengklaim telah menerapkan Pasal 167 ayat (3) secara benar. Dengan uraian tersebut, dalil demikian menunjukkan dengan jelas kepada Mahkamah bahwa para Pemohon sendiri sejak awal telah memahami bahwa permasalahan hukum yang dihadapi para Pemohon bukan karena multitafsir ketentuan a quo namun karena tidak dilaksanakannya ketentuan a quo oleh perusahaan perbankan dimana para Pemohon pernah bekerja, sehingga para Pemohon menegaskan dalam bagian lain posita permohonannya angka 24 sebagai berikut:
24. Bahwa dapat disimpulkan, frasa “diperhitungkan” tersebut dalam praktiknya telah menyebabkan multi-interpretasi yang salah satunya diartikan oleh kalangan pengusaha khususnya dikalangan perbankan dengan pengertian uang pensiun dikurangi uang pesangon. Dampaknya, ribuan pekerja termasuk Para Pemohon telah tidak dibayarkan uang pesangonnya atau uang pesangonnya mengalami kekurangan yang sangat signifikan bahkan sebagian dikalkulasikan kurang atau minus atau dengan kata lain menyebabkan pensiunan justru berutang kepada Perusahaan. Sebaliknya, Para Pemohon berpendapat bahwa frasa “diperhitungkan” harus diterapkan sebagaimana penjelasan pasalnya yang berarti tidak mengurangi uang pesangon pekerja atau total hasil kalkulasi dari perhitungan uang pesangon dan manfaat pensiun yang diterima selalu bernilai positif atau lebih besar dari total nilai pesangon 2 x PMTK (uang penggantian hak, uang penghargaan masa kerja dan uang pesangon yang perhitungannya didasari dengan pencapaian masa kerja serta besaran upah sebagaimana diatur dalam Pasal 156 ayat (2) UU Ketenagakerjaan).
[3.13] Menimbang bahwa meskipun persoalan yang dimohonkan para Pemohon bukanlah persoalan konstitusionalitas norma melainkan penerapan norma, penting bagi Mahkamah untuk menegaskan bahwa pihak-pihak yang berkenaan langsung dengan pelaksanaan Pasal a quo wajib untuk mengimplementasikan norma yang terkandung dalam Pasal 167 ayat (3) UU Ketenagakerjaan sebagaimana dijelaskan dalam Penjelasan Pasal a quo.
[3.11.2] Bahwa dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 68/PUU-XVI/2018, bertanggal 25 Oktober 2018, yang amarnya menyatakan menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya, Mahkamah dalam pertimbangan hukumnya menegaskan kembali pertimbangan dalam Putusan Nomor 46/PUU-XVI/2018, Paragraf [3.12] dan [3.13], disertai pertimbangan lain yaitu:
[3.11] Menimbang bahwa meskipun dalam Putusan Nomor 46/PUU- XVI/2018, bertanggal 23 Juli 2018, substansi yang dimohonkan pengujian adalah kata “diperhitungkan” yang terdapat dalam Pasal 167 ayat (3) UU Ketenagakerjaan, namun Mahkamah berpendapat bahwa meskipun Pemohon mengajukan permohonan pengujian Pasal yang sama dan dasar pengujian yang juga sama yaitu Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, namun terdapat pula dasar pengujian yang berbeda yaitu Pasal 28D ayat (2) UUD 1945. Selain itu, Pemohon mempersoalkan seluruh ketentuan yang terdapat dalam Pasal 167 ayat (3) UU Ketenagakerjaan. Oleh karena itu, berdasarkan ketentuan Pasal 60 ayat (2) UU MK dan Pasal 42 ayat (2) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang, permohonan Pemohon tetap dapat diperiksa oleh Mahkamah. Setelah Mahkamah mempelajari dengan saksama permohonan Pemohon, di dalam dalil-dalilnya Pemohon lebih mempersoalkan perihal tidak sinkronnya antara ketentuan Pasal 167 ayat (3) dengan Penjelasan Pasal 167 ayat (3) UU Ketenagakerjaan. Namun demikian, di dalam petitum permohonannya, Pemohon bukan memohon kepada Mahkamah untuk memutus perihal ketidaksinkronan tersebut melainkan menghendaki agar 1) dalam provisi, memohon kepada Mahkamah untuk memberlakukan surut Putusan Mahkamah Konstitusi jika permohonan a quo dikabulkan dan 2) dalam pokok perkara, memohon kepada Mahkamah untuk menyatakan bahwa Pasal 167 ayat (3) UU Ketenagakerjaan belum sejalan dengan UUD 1945 dan perlu disempurnakan.
[3.12] Menimbang bahwa dengan uraian sebagaimana tertuang dalam Paragraf [3.11] di atas, maka menjadi tidak jelas apa sesungguhnya yang dimohonkan oleh Pemohon. Jika yang dimohonkan adalah berkenaan dengan konstitusionalitas Pasal 167 ayat (3) UU Ketenagakerjaan, Mahkamah telah menyatakan pendiriannya yang tertuang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-XVI/2018 sebagaimana diuraikan pada Paragraf [3.10] sehingga tidak ada relevansinya lagi untuk mempersoalkan konstitusionalitas Pasal 167 ayat (3) UU Ketenagakerjaan. Dengan demikian tidak ada lagi yang perlu disempurnakan sebagaimana yang dikehendaki Pemohon. Sementara itu jika yang dimohonkan oleh Pemohon adalah memberlakukan surut Putusan Mahkamah Konstitusi jika permohonan a quo dikabulkan, permohonan demikian adalah tidak lazim. Selain itu jika permohonan pemberlakuan surut demikian dikabulkan, hal itu bertentangan dengan Pasal 47 UU MK yang menyatakan, “Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum”.
[3.12] Menimbang bahwa terkait dengan putusan-putusan di atas, Mahkamah dalam Sidang Pendahuluan bertanggal 18 Desember 2018 telah menasihatkan kepada Pemohon agar menguraikan dengan jelas alasan yang berbeda dalam mengajukan kembali permohonan pengujian norma Pasal 167 ayat (3) UU Ketenagakerjaan dengan Konstitusi sesuai dengan ketentuan Pasal 60 ayat (2) UU MK dan Pasal 42 ayat (2) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06 Tahun 2005 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (PMK 06/PMK/2005). Berkenaan dengan nasihat dimaksud, Pemohon dalam perbaikan permohonannya menambah dasar pengujian yaitu, Pasal 28H ayat (2) UUD 1945. Maka, sesuai dengan ketentuan Pasal 60 ayat (2) UU MK dan PMK 06/PMK/2005 Mahkamah dapat memeriksa kembali permohonan a quo. Namun demikian, setelah Mahkamah memeriksa secara cermat dan saksama permohonan Pemohon, telah ternyata pula bahwa hal yang oleh Pemohon dianggap sebagai perbedaan dengan permohonan-permohonan pengujian sebelumnya yang telah diputus oleh Mahkamah adalah hanya terletak pada penambahan dasar pengujiannya saja, tetapi secara substantif Pemohon tidak menguraikan secara jelas alasan-alasan yang menunjukkan perbedaan dimaksud. Oleh karena itu, secara substansial, tidak terdapat alasan konstitusional baru yang menyebabkan Mahkamah harus mengubah pendiriannya terhadap konstitusionalitas Pasal 167 ayat (3) UU Ketenagakerjaan, sehingga Mahkamah tetap pada pendiriannya sebagaimana telah dinyatakan dalam putusan-putusan Mahkamah sebelumnya yang telah diuraikan pada Paragraf [3.11] di atas. Namun demikian, untuk memperjelas maksud Mahkamah dalam pertimbangan hukum putusan-putusan sebelumnya, Mahkamah penting menegaskan bahwa frasa diperhitungkan yang dimaksud dalam Pasal 167 ayat (3) UU Ketenagakerjaan telah sesuai dengan penjelasan pasal dimaksud karena yang diperhitungkan dengan uang pesangon yaitu uang pensiun yang premi/iurannya dibayar oleh pengusaha. Dengan demikian tidak terdapat pertentangan antara Pasal 167 ayat (3) UU Ketenagakerjaan dengan penjelasan pasal dimaksud. Lagipula, jika perhitungan besaran pesangon, termasuk juga premi/iuran yang dibayar oleh pekerja/buruh, maka nilai perbandingan antara uang pensiun dengan uang pesangon justru akan lebih kecil, sehingga pensiunan tidak akan mendapatkan selisih/kompensasi. Terkait dengan pelaksanaan ketentuan Pasal 167 ayat (3) UU Ketenagakerjaan ini jika akan diatur lain, antara pekerja/buruh dengan pengusaha pada prinsipnya undang-undang memperbolehkan, sepanjang ditentukan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 167 ayat (4) UU Ketenagakerjaan yang menyatakan, “ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dapat diatur lain dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama”. Oleh karena itu, dalil Pemohon sepanjang berkenaan dengan inkonstitusionalitas Pasal 167 ayat (3) UU Ketenagakerjaan walaupun dikaitkan dengan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 tetap tidak beralasan menurut hukum.
[3.13] Menimbang berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, Mahkamah berpendapat bahwa sesungguhnya tidak terdapat alasan konstitusional baru dalam permohonan Pemohon a quo dibandingkan dengan permohonan-permohonan sebelumnya sebagaimana tertuang dalam Putusan Mahkamah Nomor 46/PUU- XVI/2018 dan Putusan Nomor 68/PUU-XVI/2018, sehingga permohonan Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum.
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430