Resume Putusan MK - Menyatakan Menolak, Tidak Dapat Diterima


Warning: Undefined variable $file_pdf in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-resume.phtml on line 66
RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 101/PUU-XVI/2018 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 27-02-2019

Ester Fransisca Nuban, diwakili oleh kuasa hukumnya Marthen Boiliu, SH dari Kantor Hukum Marthen Boiliu, SH & Partners Law Office

Pasal 168 ayat (1) dan Pasal 156 ayat (2) UU Ketenagakerjaan

Pasal 28D ayat (2) UUD Tahun 1945

Perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 168 ayat (1) terhadap frasa “dapat diputus hubungan kerjanya karena dikualifikasikan mengundurkan diri” dan Pasal 156 ayat (2) UU Ketenagakerjaan dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.6] Menimbang bahwa ketentuan Pasal 156 ayat (2) UU Ketenagakerjaan mengatur perihal perhitungan pesangon secara umum yang menjadi rujukan dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja karena alasan-alasan yang telah ditentukan dalam UU Ketenagakerjaan. Oleh karena itu, ketentuan tersebut tidak hanya berkaitan dengan pemutusan hubungan kerja karena mangkir dari kerja sebagaimana diatur dalam Pasal 168 ayat (1) UU Ketenagakerjaan. Pesangon dimaksud merupakan bagian dari hak pekerja/buruh serta kewajiban pengusaha untuk memenuhinya sebagaimana diatur dalam Pasal 156 ayat (1) UU Ketenagakerjaan yang menyatakan, “Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima”. Penghitungan terhadap pesangon dalam ketentuan Pasal 156 ayat (2) UU Ketenagakerjaan menjadi dasar penentuan paling sedikit pemberian pesangon yang tidak selalu sama dalam hal terjadi alasan pemutusan hubungan kerja. Sementara itu, ketentuan Pasal 168 ayat (1) UU Ketenagakerjaan mengatur mengenai konsekuensi hak-hak yang diterima oleh karyawan yang mangkir dari kerja dan besarnya hitungan pesangon yang diterima oleh karyawan apabila seorang karyawan diberhentikan kerja dari sebuah perusahaan karena mangkir kerja.

Namun, faktanya status Pemohon pada saat ini adalah karyawan yang masih berkerja di PT AEA meskipun Pemohon sedang mendapat Surat Peringatan karena mangkirnya Pemohon dari tempat bekerja. Adanya Surat Peringatan karena mangkir kerja tersebut adalah sesuatu yang wajar berlaku dalam hubungan kerja dalam rangka menegakkan kedisiplinan dalam bekerja. Dari fakta tersebut jelas Pemohon bukanlah seseorang yang sedang mengalami kerugian karena diberhentikan kerja dan akan mendapatkan pesangon dari tempat Pemohon bekerja sebagaimana ditentukan dalam Pasal 156 ayat (2) dan Pasal 168 ayat (1) UU Ketenagakerjaan. Pemohon hanya sedang mendapatkan surat peringatan karena mangkirnya Pemohon dari tempat kerja meskipun Pemohon tidak mau menandatangai surat peringatan tersebut karena Pemohon mengkhawatirkan kejadian selanjutnya yang akan terjadi pada diri Pemohon andaikata Pemohon mengalami pemutusan hubungan kerja oleh Perusahaan. Padahal kejadian tersebut belumlah dialami oleh Pemohon. Oleh karena itu, tidak ada keraguan bagi Mahkamah untuk menyatakan bahwa syarat adanya kerugian “potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi” tidak terpenuhi. Sebab, Pemohon masih berkerja di PT AEA. Dengan demikian menurut Mahkamah tidak ada kerugian konstitusional yang dialami oleh Pemohon yang disebabkan oleh berlakunya Pasal 156 ayat (2) dan Pasal 168 ayat (1) UU Ketenagakerjaan yang dimohonkan pengujiannya oleh Pemohon.

[3.7] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, menurut Mahkamah Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo.

[3.8] Menimbang bahwa meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo, namun dikarenakan Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo, maka Mahkamah tidak mempertimbangkan pokok permohonan Pemohon.