Happy Hayati Helmi, S.H. dan Rayna Zafira, S.I.Kom. yang diwakili oleh Dr. A. Irmanputra Sidin, S.H., M.H., Iqbal Tawakkal Pasaribu, S.H., Hermawanto, S.H., M.H., Kurniawan, S.H., M.H., dan Alungsyah, S.H, para Advokat dan Konsultan Hukum pada Firma Hukum Sidin Constitution, A. Irmanputra Sidin & Associates, Advocates & Legal Consultants
34 ayat (2) UU 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28B ayat (2) UUD Tahun 1945
Perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI.
Terhadap dalil pemohon :
Bahwa dalil para Pemohon yang menyatakan Pasal 34 ayat (2) UU 20/2003 sepanjang frasa “minimal pada jenjang pendidikan dasar” bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28B ayat (2), Pasal 28C ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, menurut Mahkamah ketentuan mengenai “pendidikan” dalam Konstitusi sudah jelas merupakan tanggung jawab negara sebagaimana dengan tegas dinyatakan dalam Bab XIII tentang Pendidikan dan Kebudayaan, khusus Pasal 31 ayat (2) UUD 1945 menyatakan, “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”. Artinya, secara konstitusional negara menjamin bahwa pemerintah mempunyai kewajiban menyelenggarakan pendidikan dan membiayai pendidikan warga negara sesuai dengan tujuan untuk mewujudkan salah satu tujuan negara, yaitu “mencerdaskan kehidupan bangsa” sebagaimana diamanatkan dalam Alinea Keempat Pembukaan UUD 1945. Apalagi dalam Permohonannya, para Pemohon pun menyadari bahwa tidak ada pertentangan antara frasa “jenjang pendidikan dasar” dalam Pasal 34 ayat (2) UU 20/2003 dengan UUD 1945, khususnya Pasal 31 ayat (2) UUD 1945 yang mengatur mengenai kewajiban mengikuti pendidikan dasar dan negara [sic!] wajib membiayainya (vide Permohonan hlm. 16). Berkaitan dengan hal ini substansi Pasal 31 UUD 1945 harus dipahami secara utuh, yaitu:
(1) Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.
(2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.
(3) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang- undang.
(4) Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.
(5) Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.
Terkait dengan hal di atas, UUD 1945 menegaskan bahwa pendidikan adalah hak setiap warga negara. Apabila dihubungkan dengan perkembangan pengelompokan hak asasi manusia, hak yang dimaksudkan dalam ketentuan UUD 1945 tersebut merupakan bagian dari hak ekonomi, sosial dan budaya (Ekosob) sebagaimana yang ditegaskan pula dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya). Artinya, sebelum Kovenan Internasional ini disahkan, UUD 1945 telah terlebih dahulu mengakomodasi kebutuhan mengatur hak atas pendidikan secara lebih lengkap dibandingkan dengan sebelum dilakukan perubahan terhadap UUD 1945. Tujuannya adalah agar dapat lebih menjamin pelindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia, termasuk hak atas pendidikan yang merupakan tanggung jawab negara (vide Pasal 28I UUD 1945).
Berkenaan dengan sifat pemenuhan hak atas pendidikan sebagai bagian dari hak Ekosob pada prinsipnya berbeda dengan sifat pemenuhan hak sipil dan politik (Sipol) yang bersifat segera (promptly) dengan mengurangi sedemikian rupa campur tangan negara dalam pelaksanaan hak tersebut. Sementara itu, terkait dengan sifat pemenuhan hak Ekosob dilakukan secara bertahap sesuai dengan kondisi kemampuan negara karena pemenuhan hak Ekosob senantiasa berkaitan dengan ketersediaan sarana, prasarana, sumber daya, dan anggaran. Dengan demikian, diperlukan campur tangan aktif dari negara. Oleh karenanya, tidak mungkin negara, in casu pemerintah, melepaskan tanggung jawabnya sebagaimana didalilkan para Pemohon. Terlebih lagi, Pasal 28I UUD 1945 telah menegaskan ihwal pemenuhan hak asasi manusia merupakan tanggung jawab negara.
Terkait dengan rumusan norma frasa Pasal 34 ayat (2) UU 20/2003 yang dimohonkan pengujiannya yang menggunakan kata “minimal”, maka jika merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), artinya adalah “sedikit-dikitnya”; “sekurang-kurangnya”. Artinya, meskipun menurut Pasal 17 ayat (2) UU 20/2003 jenjang pendidikan dasar meliputi sekolah dasar atau bentuk lainnya yang sederajat serta sekolah menengah pertama atau bentuk lainnya yang sederajat, frasa “minimal pada jenjang pendidikan dasar” tidak dapat diartikan bahwa pemerintah hanya bertanggung jawab dalam penyelenggaraan pendidikan hanya sebatas jenjang pendidikan dasar. Semangat Konstitusi sesuai dengan tujuan bernegara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sesungguhnya adalah memberikan pemenuhan hak atas pendidikan bagi warga negara semaksimal mungkin. Artinya, jika di kemudian hari kondisi kemampuan keuangan negara memungkinkan untuk membiayai penyelenggaraan pendidikan bagi warga negaranya sampai ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, tidak hanya sampai pada jenjang pendidikan menengah sebagaimana yang didalilkan oleh para Pemohon melainkan lebih dari itu, hal itulah yang sesungguhnya dicita-citakan oleh UUD 1945. Namun, sepanjang menyangkut jenjang pendidikan dasar, dalam keadaan apapun negara wajib memenuhinya. Dengan demikian, tanggung jawab negara untuk membiayai pendidikan tidak berhenti hanya pada jenjang pendidikan dasar. Oleh karena itu, dari waktu ke waktu negara harus berupaya keras untuk memenuhi hak atas pendidikan kepada warga negaranya lebih baik dan lebih tinggi dari sekadar jenjang pendidikan dasar.
Dengan adanya rumusan frasa “minimal pada jenjang pendidikan dasar” [vide Pasal 34 ayat (2) UU 20/2003] sesungguhnya bertujuan untuk memperluas jangkauan negara, in casu pemerintah, untuk menyelenggarakan wajib belajar lebih dari sekadar jenjang pendidikan dasar. Apabila ditelusuri kebijakan beberapa pemerintah daerah telah mengalokasikan anggaran pendidikan dalam APBD-nya sehingga menjangkau lebih tinggi dari sekadar pendidikan dasar. Bahkan daerah tertentu mengalokasikan anggaran pendidikannya sampai pada jenjang pendidikan tinggi. Kebijakan beberapa daerah tersebut dituangkan dalam Peraturan Daerah. Salah satu daerah yang telah mengalokasikan anggaran pendidikannya hingga ke jenjang pendidikan tinggi adalah Kabupaten Nias Selatan sebagaimana tertuang dalam Peraturan Daerah Kabupaten Nias Selatan Nomor 5 Tahun 2011 tentang Pembebasan Biaya Pendidikan. Daerah lainnya yang juga mengalokasikan anggarannya hingga ke jenjang pendidikan tinggi adalah Provinsi Papua sebagaimana tertuang dalam Peraturan Daerah Provinsi Papua Nomor 2 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Pendidikan.
Dengan mengingat bahwa pemenuhan hak atas pendidikan sangat tergantung pada kondisi kemampuan negara, termasuk daerah, maka untuk pengaturan kebijakan terbuka dalam bentuk Peraturan Daerah ini Mahkamah pun telah menegaskan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-XII/2014 agar memperhatikan asas dapat dilaksanakan suatu peraturan perundangundangan berdasarkan Pasal 5 huruf d Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Artinya, jangan sampai peraturan daerahnya dibentuk tetapi dalam kenyataannya tidak dapat dilaksanakan karena ketidaktersediaan sarana, prasarana, sumber daya, dan anggaran.
Oleh karena itu, sebagai upaya nyata mendorong daerah-daerah untuk menguatkan penyelenggaraan urusan pendidikan yang merupakan urusan wajib daerah, dengan mendasarkan pada pengaturan anggaran pendidikan dalam Pasal 31 ayat (4) UUD 1945 yang menyatakan, “Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional”, maka dalam UU Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), termasuk UU APBN terbaru yaitu Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2018 tentang APBN Tahun Anggaran 2019 yang telah mengalokasikan anggaran pendidikan sesuai dengan amanat Konstitusi dimaksud. Demikian juga halnya dengan APBD telah dialokasikan pula mandatory spending untuk urusan pendidikan dan urusan kesehatan. Dengan demikian, negara tidak lepas tanggung jawab dalam penyelengaraan pendidikan sebagaimana anggapan para Pemohon, kecuali jika negara tidak menyelenggarakan pendidikan dasar serta tidak membiayai penyelengaraan pendidikan dasar dimaksud sebagaimana amanat Pasal 31 ayat (2) UUD 1945. Dengan demikian, tidak benar dalil para Pemohon bahwa norma yang dimohonkan pengujian menyebabkan lepasnya tanggung jawab pemerintah terhadap penyelenggaraan pendidikan di atas jenjang pendidikan dasar sehingga hak atas pendidikan warga negara menjadi terabaikan. Oleh karena itu, tidak relevan dalil para Pemohon yang mengaitkan ketentuan norma a quo dengan hak atas kelangsungan hidup dan berkembangnya anak serta persamaan di hadapan hukum dan pemerintahan sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (1), Pasal 28B ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Dengan demikian, dalil para Pemohon yang menyatakan Pasal 34 ayat (2) UU 20/2003 inkonstitusional adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.13] Menimbang, sebagaimana telah ternyata dari pertimbangan Mahkamah di atas, bahwa pokok Permohonan a quo adalah berkenaan dengan hak konstitusional atas pendidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (2) UUD 1945 maka, dalam hubungannya dengan Permohonan a quo, terdapat dua hal yang harus dipertimbangkan oleh Mahkamah dalam menentukan kedudukan hukum para Pemohon. Pertama, apakah dalam menilai ada atau tidaknya kerugian hak konstitusional yang berkait dengan pendidikan dapat dilakukan dengan bertolak dari argumentasi parsial tanpa mempertimbangkan keseluruhan subtansi Pasal 31 UUD 1945? Pertanyaan demikian timbul sebab para Pemohon dalam Permohonannya berusaha mengesampingkan atau mengeluarkan keberadaan Pasal 31 ayat (2) UUD 1945 dari konstruksi argumentasinya baik dalam menjelaskan anggapan perihal kerugian hak konstitusional yang diderita sebagai akibat dari berlakunya norma undang-undang yang dimohonkan pengujian maupun dalam membangun argumentasi perihal pertentangan norma undangundang yang dimohonkan pengujian dengan UUD 1945. Jawaban terhadap pertanyaan ini, sebagaimana terlihat dari pertimbangan Mahkamah di atas, telah jelas yaitu bahwa Pasal 31 ayat (2) UUD 1945 tidak dapat dipahami secara terpisah, termasuk (atau bahkan lebih-lebih) dalam membangun argumentasi perihal adanya anggapan kerugian hak konstitusional.
Kedua, oleh karena hak konstitusional itu melekat dalam diri pribadi seorang warga negara (dalam hal pemohon adalah perseorangan warga negara, sebagaimana halnya Permohonan a quo) maka pertanyaannya, apakah dalam mempertahankan hak demikian boleh diwakilkan (dalam pengertian bukan “mewakilkan” dalam konteks memberi kuasa hukum)? Pertanyaan demikian timbul karena ternyata yang diperjuangkan dalam permohonan a quo adalah hak konstitusional anak, bahkan anak yang masih berada dalam kandungan, sehingga secara hukum belum mampu memperjuangkan sendiri hak-hak konstitusionalnya.
Menurut hukum positif yang berlaku di Indonesia hingga saat ini, in casu Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), bagi seorang anak yang belum cakap bertindak ketentuan Pasal 2 KUH Perdata menyatakan, “Anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan dianggap telah lahir, setiap kali kepentingan si anak menghendakinya. Bila telah mati sewaktu dilahirkan, dia dianggap tidak pernah ada”. Sementara itu terhadap anak yang belum dewasa (berusia 2 tahun) sekalipun menurut beberapa ketentuan peraturan perundangundangan batas usia dewasa tidak seragam namun persoalannya bukan terletak pada usia melainkan pada kecakapan bertindak secara hukum. Oleh karenanya menurut Mahkamah para Pemohon dalam permohonan a quo yang bertindak mewakili anaknya secara hukum dapat dibenarkan. Dengan kata lain, secara hukum, ia memiliki persona standi in judicio untuk mewakili kepentingan anaknya, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Hal itu juga berlaku terhadap ayah yang sah sepanjang tidak dicabut haknya secara hukum sebagai orang tua, atau wali atau pengampu yang sah secara hukum.
Namun dalam konteks permohonan a quo apakah hal itu juga berlaku dalam mempertahankan hak konstitusional yang secara pribadi melekat dalam diri seorang warga negara? Dalam hal ini Mahkamah berpendapat bahwa hal itu juga berlaku dalam memperjuangkan atau mempertahankan hak konstitusional seorang anak. Sebab, jika konstruksi penalaran demikian tidak diterima, artinya orang tua dari seorang anak tidak diterima kedudukan hukumnya untuk mewakili kepentingan seorang anak yang belum dewasa, maka dalam kasus a quo tidak akan ada pihak yang absah mewakili kepentingan anak. Konsekuensi logisnya, dalam kasus a quo, jika ternyata terjadi pelanggaran hak konstitusional seorang anak maka tidak akan ada satu pihak yang secara hukum dianggap absah bertindak untuk dan atas nama anak dimaksud. Dengan kata lain, jika penalaran yang diuraikan terakhir demikian diikuti, berarti Mahkamah membiarkan terjadinya pelanggaran hak konstitusional seorang anak semata-mata karena tidak adanya pihak yang dapat diterima kedudukan hukumnya untuk bertindak mewakili anak yang bersangkutan. Penalaran demikian bertentangan dengan semangat Konstitusi yang hendak menjamin dapat dinikmatinya hak-hak konstitusional setiap warga negara.
Berdasarkan seluruh pertimbangan tentang kedudukan hukum di atas, Mahkamah berpendapat para Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon dalam Permohonan a quo.
[3.14] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan tersebut di atas, telah ternyata para Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon dalam Permohonan a quo. Namun dalam pokok perkara dalil para Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430