Keterangan DPR mengenai Pengujian UU Terhadap UUD 1945

Keterangan DPR Perkara No. 96/PUU-XV/2017 / 17-11-2017

No. 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

•Kerugian Konstitusional Pemohon: Pemohon terkena pencegahan atau
larangan ke luar negeri meninggalkan wilayah negara kesatuan Republik
Indonesia selama 6 (enam) bulan sebagaimana permintaan KPK kepada
Direktorat Jenderal Imigrasi terhadap Pemohon pada tanggal 10 April
2017 berdasarkan surat nomor KEP.444/01-23/04/2017 dan pada
tanggal 2 Oktober 2018 berdasarkan surat nomor R-3945/01-
23/10/2017 tertanggal 2 Oktober 2017, KPK kembali mengajukan
permintaan pencegahan bepergian atau larangan ke luar negeri
terhadap Pemohon, sedangkan pada saat itu Pemohon masih dalam
proses penyelidikan dan tidak atau belum ditetapkan statusnya dalam
proses penyidikan. Berdasarkan putusan praperadilan nomor
97/Pid.Prap/2017/PN Jak.Sel, yang mana pada pokoknya memberikan
putusan bahwa penetapan Pemohon sebagai tersangka dinyatakan tidak
sah dalam perkaran tindak pidana E-KTP dan sekaligus memerintahkan
KPK untuk menghentikan penyidikan atas perkara yang didugakan
kepada Pemohon. Setelah permohonan praperadilan dikabulkan, KPK
kembali melakukan pencegahan kedua pada tanggal 2 Oktober 2017,
sehingga terjadi tumpang tindih masa pencegahan. Bahwa tindakan KPK
yang diberikan kewenangan untuk memperpanjang pencegahan
terhadap Pemohon tanpa penetapan status hukum yang jelas atas suatu
perkara tindak pidana merupakan tindakan yang merugikan hak-hak
konstitusional Pemohon, kerugian konstitusional tersebut nyata-nyata
terjadi berdasarkan sebab-akibat (causal verband). •Legal Standing: DPR
RI berpandangan bahwa Pemohon harus dapat membuktikan terlebih
dahulu apakah benar Pemohon sebagai pihak yang menganggap hak
dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan atas berlakunya
ketentuan yang dimohonkan untuk diuji, khususnya dalam
mengkonstruksikan adanya kerugian terhadap hak dan/atau
kewenangan konstitusionalnya sebagai dampak dari diberlakukannya
ketentuan yang dimohonkan untuk diuji. Berdasarkan uraian-uraian
tersebut di atas, terhadap kedudukan hukum (legal standing) Pemohon,
DPR RI menyerahkan sepenuhnya kepada Ketua/Majelis Hakim
Konstitusi Yang Mulia untuk mempertimbangkan dan menilai apakah
Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) sebagaimana yang
diatur dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang tentang Mahkamah
Konstitusi dan Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 006/PUU-
III/2005 dan Putusan perkara Nomor 011/PUU-V/2007 mengenai
parameter kerugian konstitusional. •Pokok Perkara: A.) Bahwa
kewenangan pencegahan yang dimiliki oleh KPK merupakan
kewenangan yang diberikan oleh Pasal 12 ayat (1) UU KPK dalam upaya
pemberantasan tindak pidana korupsi. Ketentuan dalam Pasal 16 ayat
(1) huruf b UU Imigrasi yang menghapus kata “penyelidikan”
berdasarkan Putusan MK Nomor 40/PUU-IX/2011 hanya berlaku
terhadap tindak pidana umum, tidak berlaku terhadap tindak pidana
khusus yang diatur di luar KUHP yaitu tindak pidana korupsi. B.) Bahwa
terhadap KPK tetap berlaku kewenangan sebagaimana diatur dalam
Pasal 12 ayat (1) UU KPK. Hal ini sejalan dengan Pasal 63 ayat (2) KUHP
dimana jika suatu perbuatan masuk dalam suatu aturan pidana yang
umum, diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang
khusus itulah yang diterapkan, sehingga walaupun KPK melaksanakan
tugas penyelidikan, KPK tetap berwenang untuk memerintahkan kepada
instansi yang terkait untuk melarang seseorang bepergian ke luar negeri,
karena KPK tunduk pada kekhususan dalam UU KPK, bukan tunduk pada
ketentuan UU Imigrasi. C.) Bahwa apabila terdapat perintah Ketua KPK
untuk melakukan pencegahan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan, dalam hal ini adalah UU KPK, menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi
manusia (menteri), melaksanakan pencegahan yang ditetapkan dengan
keputusan tertulis oleh pejabat yang berwenang. Menteri atau pejabat
imigrasi yang ditunjuk memasukkan identitas orang yang dikenai
keputusan pencegahan ke dalam daftar pencegahan, sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 94 ayat (7) UU Imigrasi. D.) Bahwa melalui daftar
pencegahan yang diatur dalam Pasal 16 ayat 1 huruf c UU Imigrasi,
menteri melaksanakan pencegahan. Jadi dasar pencegahan yang
dilakukan oleh menteri adalah berdasarkan nama yang tercantum dalam
daftar pencegahan, bukan karena diperlukan untuk kepentingan
penyelidikan dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat
(1) huruf b UU Imigrasi. E.)Bahwa hak kebebasan untuk meninggalkan
wilayah negara dijamin oleh konstitusi dan ketentuan hak asasi manusia
yang universal, namun hak tersebut dapat dibatasi dalam hal-hal
tertentu melalui hukum atau ditetapkan dengan undang-undang,
sebagaimana tercantum dalam Pasal 12 ayat (3) Kovenan Internasional
tentang Hak-Hak Sipil dan Politik dan Pasal 28J ayat (2) UUD Tahun
1945, yaitu dalam hal menjamin pengakuan serta penghormatan atas
hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil
sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan
ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. F.) Bahwa
pembatasan hak kebebasan seseorang untuk meninggalkan wilayah
negara yang dilakukan dalam bentuk pencegahan melalui perintah KPK
kepada instansi terkait untuk melarang seseorang bepergian ke luar
negeri, bukan merupakan tindakan kesewenang-wenangan KPK.
Pencegahan yang dilakukan oleh KPK merupakan pembatasan yang
diperbolehkan dengan tujuan yang jelas dan ditetapkan dengan undang-
undang. Hal ini sejalan dengan ketentuan dalam ICCPR dan tidak
bertentangan dengan Pasal 28E ayat (1). G.) Bahwa penambahan frasa
“yang telah berstatus sebagai tersangka” di belakang kata “seseorang”
dalam Pasal 12 ayat (1) huruf b UU KPK merupakan rumusan norma
baru. Bahwa terkait dengan dalil Pemohon untuk memaknai seperti yang
disebutkan dalam petitum, dalam hal ini DPR RI berpendapat bahwa hal
tersebut merupakan norma baru yang sama sekali berbeda dan
merupakan usulan perubahan norma. Bahwa dalam hal ini perumusan
norma baru merupakan kewenangan pembentuk undang-undang, dalam
hal ini DPR dan Pemerintah sesuai dengan Pasal 20 ayat (1) UUD Tahun
1945

96/PUU-XV/2017

Pasal 12 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28E ayat (1) Undang-
Undang Dasar Tahun 1945