No. 35/2014 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen
Kerugian Konstitusional:
1. Akibat yang ditimbulkan dari ketentuan pasal multitafsir Pasal 9 ayat (1a) dan Pasal 54 ayat (1) UU No. 35 Tahun 2014 telah terjadi kriminalisasi dan tindak kekerasan terhadap guru.
2. Ketentuan Pasal 39 ayat (3) UU No. 14 Tahun 2005 belum memberikan perlindungan secara penuh kepada guru karena banyak guru yang dikriminalisasikan karena proses belajar dan pembelajaran di sekolah, akibat adanya ketentuan Pasal 9 ayat (1a) dan Pasal 54 ayat (1) UU No. 35 Tahun 2014.
Legal Standing:
Bahwa Para Pemohon yang mendalilkan adanya kerugian konstitusional sebagai akibat berlakunya pasal-pasal a quo dan UU a quo adalah tidak benar, atau tidak berdasar karena kerugian yang didalilkan Para Pemohon tidak ada hubungan sebab akibat dengan pasal-pasal a quo. Bahwa Pasal 39 ayat (3) UU No. 14 Tahun 2005 secara eksplisit sudah tegas bahwa guru dan dosen mendapatkan perlindungan hukum sehingga hal ini bukan merupakan persoalan konstitusionalitas norma melainkan persoalan penerapan hukum oleh aparat hukum.
Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, terhadap kedudukan hukum (legal standing) Para Pemohon, DPR RI menyerahkan sepenuhnya kepada Ketua/Majelis Hakim Konstitusi Yang Mulia untuk mempertimbangkan dan menilai apakah Para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi dan Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan perkara Nomor 011/PUU-V/2007 mengenai parameter kerugian konstitusional.
Pokok Perkara:
1) Bahwa dalam pembukaan alinea ke-4 (keempat) UUD Tahun 1945 menegaskan bahwa tujuan dibentuknya Pemerintahan Negara Republik Indonesia antara lain untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Pembukaan alinea ke-4 (keempat) UUD Tahun 1945 juga menjelaskan bahwa untuk mencapai tujuan Negara Republik Indonesia harus berdasarkan Pancasila yang merupakan falsafah Bangsa Indonesia, dimana 2 (dua) sila di antaranya menjelaskan mengenai ‘adil’ dan ‘keadilan’. Sila ke-2 (kedua) Pancasila menyatakan, “Kemanusiaan yang adil dan beradab.” Sementara itu, sila ke-5 (kelima) Pancasila menyatakan, “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
2) Bahwa ketentuan Pasal 28B ayat (2) UUD Tahun 1945 yang menyatakan bahwa ‘’setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”, mengandung makna adanya jaminan dari Pemerintah terhadap kelangsungan hidup anak untuk tumbuh dan berkembang dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Negara juga wajib melindungi anak dari kekerasan dan diskriminasi, termasuk di lingkungan satuan pendidikan.
3) Bahwa berdasarkan Pasal 28C ayat (1) UUD Tahun 1945 bahwa “Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia”. Pendidikan adalah salah satu bentuk Hak Asasi Manusia yang melekat pada semua orang. Hak anak untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan kepribadian dan bakat. Hak pendidikan merupakan hak yang paling penting bagi seorang anak untuk mengembangkan semua potensi kemampuan yang dimilikinya. Mengingat bahwa anak-anak secara umur dan fisik lebih muda dan lebih lebih lemah daripada orang dewasa, mereka berhak atas perlindungan dari adanya ancaman, kekerasan dan diskriminasi.
4) Pasal 28C ayat (1) dikaitkan dengan Pasal 31 ayat (1) UUD Tahun 1945, bahwa salah satu unsur bidang pendidikan adalah adanya tenaga pendidik. Tenaga pendidik mempunyai peran sentral dan strategis dalam penyelenggaraan pendidikan nasional. Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan bahwa pendidik adalah tenaga profesional. Kedudukan guru dan dosen sebagai pendidik merupakan tenaga profesional yang perlu diatur lebih lanjut dalam suatu undang-undang khusus mengenai guru dan dosen dalam rangka meningkatkan harkat dan martabat profesionalisme, kesejahteraan, perlindungan, perlakuan adil terhadap profesi guru dan dosen.
5) Bahwa dibentuknya UU No. 35 Tahun 2014 berdasarkan pertimbangan bahwa perlindungan anak dalam segala aspeknya merupakan bagian dari kegiatan pembangunan nasional, khususnya dalam memajukan kehidupan berbangsa dan bernegara. Orang tua, keluarga, dan masyarakat bertanggung jawab untuk menjaga dan memelihara hak asasi tersebut sesuai dengan kewajiban yang dibebankan oleh hukum. Demikian pula dalam rangka penyelenggaraan perlindungan anak, negara dan pemerintah bertanggung jawab menyediakan fasilitas dan aksesibilitas bagi anak, terutama dalam menjamin pertumbuhan dan perkembangannya secara optimal dan terarah. Undang-undang ini menegaskan bahwa pertanggungjawaban orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara merupakan rangkaian kegiatan yang dilaksanakan secara terus-menerus demi terlindunginya hak-hak anak. Rangkaian kegiatan tersebut harus berkelanjutan dan terarah guna menjamin pertumbuhan dan perkembangan anak, baik fisik, mental, spiritual maupun sosial. Tindakan ini dimaksudkan untuk mewujudkan kehidupan terbaik bagi anak yang diharapkan sebagai penerus bangsa yang potensial, tangguh, memiliki nasionalisme yang dijiwai oleh akhlak mulia dan nilai Pancasila, serta berkemauan keras menjaga kesatuan dan persatuan bangsa dan negara.
6) Bahwa Negara menjunjung tinggi hak asasi manusia, termasuk di dalamnya hak asasi Anak yang ditandai dengan adanya jaminan perlindungan dan pemenuhan Hak Anak dalam UUD Tahun 1945 dan beberapa ketentuan peraturan perundangundangan baik yang bersifat nasional maupun yang bersifat internasional. Jaminan ini dikuatkan melalui ratifikasi konvensi internasional tentang Hak Anak, yaitu pengesahan Konvensi Hak Anak melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention On The Rights Of The Child (Konvensi Tentang Hak-Hak Anak). Negara, Pemerintah, Pemerintah Daerah, Masyarakat, Keluarga dan Orang Tua berkewajiban untuk memberikan perlindungan dan menjamin terpenuhinya hak asasi Anak sesuai dengan tugas dan tanggungjawabnya. Perlindungan terhadap Anak yang dilakukan selama ini belum memberikan jaminan bagi Anak untuk mendapatkan perlakuan dan kesempatan yang sesuai dengan kebutuhannya dalam berbagai bidang kehidupan, sehingga dalam melaksanakan upaya perlindungan terhadap Hak Anak oleh Pemerintah harus didasarkan pada prinsip hak asasi manusia yaitu penghormatan, pemenuhan, dan perlindungan atas Hak Anak.
7) Bahwa dibentuknya UU No. 14 Tahun 2005 merupakan pelaksanaan amanat Pasal 31 UUD Tahun 1945. UU No. 14 Tahun 2005 mempunyai tujuan sebagai pengakuan kedudukan guru dan dosen sebagai tenaga profesional guna mengangkat martabat guru dan dosen, manjamin hak dan kewajiban guru dan dosen, meningkatkan kompetensi guru dan dosen, memajukan profesi serta karier guru dan dosen, meningkatkan mutu pembelajaran, meningkatkan mutu pendidikan mutu nasional, mengurangi julah, mutu, kualifikasi akademik, dan kompetensi, mengurangi kesenjangan mutu pendidikan antardaerah dan meningkatkan pelayanan pendidikan yang bermutu.
8) Bahwa dalam menjalankan pemerintahan dalam suatu negara, wajib dibatasi oleh hukum (negara hukum) agar tidak keos. Negara hukum merupakan suatu istilah dalam perbendaharaan bahasa Indonesia yang merupakan terjemahan dari rechsstaat ataupun rule of law. Kedua istilah tersebut memiliki arah yang sama, yaitu mencegah kekuasaan yang absolut demi pengakuan dan perlindungan hak asasi (Hukum Indonesia-Analisis Yuridis Normatif Tentang Unsur-Unsurnya: Azhari: hlm.30). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah negara hukum diartikan sebagai negara yang menjadikan hukum sebagai kekuasaan tertinggi. Negara hukum (rechstaat) secara sederhana adalah negara yang menempatkan hukum sebagai dasar kekuasaan negara dan penyelenggaraan kekuasaan tersebut dalam segala bentuknya dilakukan di bawah kekuasaan hukum (Teori Perundang-Undangan Indonesia: A. Hammid S.Attamimi: hlm.8). Dalam negara hukum, segala sesuatu harus dilakukan menurut hukum (everything must be done according to the law). Negara hukum menentukan bahwa pemerintah harus tunduk pada hukum, bukannya hukum yang harus tunduk pada pemerintah (Administrative Law: H.W.R.Wade: hlm.6). Negara hukum menurut konsep Eropa Kontinental yang menggunakan sistem hukum civil law dinamakan rechtstaat dan negara hukum menurut konsep Anglo Saxon yang menggunakan sistem hukum common law disebut rule of law (Negara Hukum: Tahir Azhary: hlm.24). Indonesia juga menganut konsep negara hukum, sebagaimana dinyatakan dalam UUD Tahun 1945 Pasal 1 ayat (3) bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum.”
9) Dalam rangka pembatasan kekuasaan Negara, konstitusi lahir sebagai aturan main yang diwujudkan melalui seperangkat kaidah hukum dalam kehidupan bernegara yang di dalamnya mengandung prinsip-prinsip Negara hukum, demokrasi, pembagian kekuasaan dan pengakuan hak asasi manusia. (Dahlan Thaib, Implementasi Sistem Ketatanegaraan Menurut Undang-Undang Dasar 1945, hlm. 17). Konstitusi mempunyai fungsi yang khusus dan merupakan perwujudan dari hukum yang tertinggi yang memiliki daya ikat bukan saja bagi rakyat/warga Negara, tetapi harus ditaati juga oleh pemerintah maupun penguasa sekalipun. (Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, hlm. 101)
b. Bahwa terhadap pokok pengujian Pasal 9 ayat (1a) dan Pasal 54 ayat (1) UU No. 35 Tahun 2014 dan Pasal 39 ayat (3) UU No. 14 Tahun 2005, DPR RI berpandangan sebagai berikut:
1) Bahwa terhadap dalil Para Pemohon yang beranggapan ketentuan Pasal 9 ayat (1a) dan Pasal 54 ayat (1) UU No. 35 Tahun 2014, ketentuan yang multitafsir sehinggga telah terjadi kriminalisasi dan tindak kekerasan terhadap guru adalah tidak tepat atau tidak berdasar, terhadap dalil Para Pemohon tersebut, DPR RI berpandangan bahwa UU No. 35 Tahun 2014 dibentuk adalah untuk Penyelenggaraan perlindungan anak berasaskan Pancasila dan berlandaskan UUD Tahun 1945 serta prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak-Hak Anak meliputi :
a) Non diskriminasi;
b) Kepentingan yang terbaik bagi anak;
c) Hak untuk hidup;
d) Penghargaan terhadap anak.
2) Bahwa perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh,berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera.
3) Bahwa ketentuan Pasal 9 ayat (1a) dan Pasal 54 ayat (1) UU No. 35 Tahun 2014, tidak berarti menimbulkan ketidakpastian hukum dan diskriminatif terhadap pendidik dan tenaga kependidikan, oleh karena guru sebagai pendidik tetap mendapatkan perlindungan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 39 ayat (3) UU No. 14 Tahun 2005. Dengan demikian Pasal 39 ayat (3) UU No. 14 Tahun 2005 telah memberikan perlindungan hukum bagi guru yang mencakup perlindungan hukum terhadap tindak kekerasan, ancaman, perlakuan diskriminatif, intimidasi, atau perlakuan tidak adil dari pihak peserta didik, orang tua peserta didik, masyarakat, birokrasi atau pihak lain. Lebih lanjut perlindungan bagi guru juga telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru.
4) Bahwa agar peserta didik mematuhi tata tertib sekolah, tidak berarti dengan diberlakukannya pasal-pasal a quo, guru bersikap merasa dilema untuk mengatasi perilaku anak (peserta didik) karena takut salah bertindak. Tidak demikian halnya, sebab tidak harus dengan cara represif disiplin sekolah di jalankan tetapi ada cara yang lebih elegan yaitu dengan cara persuasif. Peserta didik dihimbau dan diajak untuk selalu mematuhi tata tertib sekolah, dengan suatu syarat guru harus menunjukkan perilaku yang patut untuk diteladani dan terus menerus memberikan perhatian kepada peserta didik untuk mengawasi perilaku siswa tanpa diskriminatif. Hal ini senada dengan himbauan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Negara Republik Indonesia yang menyatakan:
“Bahwa guru perlu menggunakan teknik baru yang jauh dari kekerasan, dalam mendidik para siswa di sekolah. Hal ini perlu untuk menghindari potensi kriminalisasi terhadap guru. Mencubit atau memukul merupakan teknik lama dalam mendisiplinkan anak, dan hal itu tak relevan lagi diterapkan. Masih banyak cara yang lebih efektif selai hukuman fisik untuk membuat murid jera. Hukuman fisik, hanya menjadi luapan penyaluran emosi orang tua dan tenaga pendidik dalam menghadapi kenakalan anak. Teknik (hukuman fisik) itu tercampur antara usaha mendisiplinkan dengan menyalurkan emosi. Anak-anak sering menguji kesabaran kita. Di situ guru dan orang tua perlu memutar otak bagaimana mendisiplinkan yang efektif tanpa menyakiti anak” (http://portalsatu.com/read/news/cegah-kriminalisasi-guru-didik-murid-mesti-pakai-teknik-baru-13099)
5) Bahwa dalam petitumnya Para Pemohon meminta agar kekerasan yang dilakukan oleh pendidik tidak mencakup tindakan guru dan tenaga kependidikan yang sungguh sungguh memberikan sanksi dan atau hukuman yang bersifat mendidik untuk tujuan pembinaan atau tindakan mendisiplinkan. Justru permohonan Pemohon tersebut secara a contrario menerima adanya kekerasan sepanjang dilakukan untuk pendidikan. Hal ini menyalahi semangat UU No. 35 Tahun 2014 yang melarang kekerasan.
6) Terry E Lawson mengklasifikasikan kekerasan terhadap anak menjadi 4 bentuk, yaitu: emotional abuse (kekerasan emosional), verbal abuse (kekerasaan melalui kata-kata), physical abuse (kekerasan secara fisik), dan sexual abuse (kekerasan seksual). Menurut Suharto (Abu Huraerah: Kekerasan terhadap Anak:47) kekerasan terhadap anak dapat dikelompokkan menjadi:
a) physical abuse (kekerasan fisik);
yaitu penyiksaan, pemukulan, dan penganiayaan terhadap anak, dengan atau tanpa menggunakan benda-benda tertentu, yang menimbulkan luka-luka fisik atau kematian pada anak.
b) psychological abuse (kekerasan secara psikis);
yaitu penghardikan, penyampaian kata-kata kasar dan kotor, memperlihatkan buku, gambar, dan film pornografi pada anak.
c) sexual abuse (kekerasan secara seksual);
yaitu perlakuan pra-kontak seksual antara anak dan orang yang lebih besar, melalui kata, sentuhan, gambar visual, exhibitionism, maupun perlakuan kontak seksual secara langsung antara anak dengan orang dewasa (incest, perkosaan, dan eksploitasi seksual); dan
d) social abuse (kekerasan secara sosial);
yaitu mencakup penelantaran anak dan eksploitasi anak. Penelantaran anak adalah sikap dan perlakuan orang tua yang tidak memberikan perhatian yang layak terhadap proses tumbuh kembang anak. Misalnya: anak dikucilkan, diasingkan dari keluarga, atau tidak diberikan pendidikan dan perawatan kesehatan yang layak. Sedangkan eksploitasi anak menunjukkan pada sikap diskriminatif atau perlakuan sewenang-wenang terhadap anak yang dilakukan keluarga atau masyarakat
7) Bahwa segala bentuk kekerasan baik yang ditunjukkan bagi anak-anak atau orang dewasa merupakan pengabaian terhadap sense of justice. Kekerasan dengan segala bentuk manifestasinya tersebut merupakan pelanggaran terhadap martabat manusia, sekalipun dalam lembaga pendidikan. Hal ini karena tindak kekerasan tidak seharusnya terjadi di satuan pendidikan. Mengingat bahwa satuan pendidikan seharusnya dapat menyelesaikan masalah secara edukatif tanpa menggunakan tindak kekerasan. Karena fungsi utama satuan pendidikan adalah sebagai tempat untuk mendidik dan memberikan ajaran yang baik oleh guru terhadap siswanya. Sebagaimana tujuan pendidikan nasional yang tercantum dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bahwa Pendidikan Nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
8) Bahwa mengenai perlindungan anak dalam satuan lingkungan pendidikan telah diatur dalam Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2014 yang mengamanatkan kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yaitu :
a) Melindungi anak di satuan pendidikan dari kejahatan seksual dan kekerasan yang dilakukan oleh pendidik dan tenaga kependidikan serta pihak lain dalam lingkungan sekolah
b) Memberikan sanksi yang berat terhadap pendidik dan tenaga kependidikan yang lalai melaksanakan tugasnya yang mengakibatkan terjadinya kejahatan seksual dan kekerasan terhadap anak.
9) Bahwa selain pandangan secara konstitusional, teoretis, dan yuridis, sebagaimana telah diuraikan di atas, dipandang perlu untuk melihat latar belakang perumusan dan pembahasan pasal-pasal terkait dalam undang-undang a quo sebagai berikut:
Berdasarkan rapat panitia kerja antara pemerintah dan DPR RI tanggal 25 April 2005, Drs. Balkan Kaplale dari Fraksi Partai Demokrat menyampaikan bahwa :
“Hakikat Undang-Undang Guru itu ada dua yang menonjol, yaitu pertama, dia minta perlindungan. Seperti saya punya undang-undang mengenai Guru dilindungi benar-benar. Kemudian yang kedua adalah profesionalnya .... Jadi, yang dituntut berdasarkan sekarang itu bagaimana melindunginya. Makanya kalau kita baca sebagian besar daripada Undang-Undang Guru ini, hampir 60% itu mengarah ke Komisi Perlindungan, baru diangkat menjadi profesional.”
6/PUU-XV/2017
Pasal 9 ayat (1a) dan Pasal 54 ayat (1) UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak serta Pasal 39 ayat (3) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
Pasal 1 ayat 3, Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430