No. 19/2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik
No. 11/2008 tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik
Kerugian Konstitusional
Bahwa istilah "antargolongan" dalam Pasal 28 ayat (2) dan
45A ayat (2) UU ITE tersebut telah merugikan hak
konstitusional Pemohon, menurut Pemohon ketentuan pasal a
quo tidak jelas batasannya sehingga dalam penerapannya bisa
diartikan sangat luas menjadi kelompok apapun yang ada dalam
masyarakat baik yang bersifat formal maupun non formal.
karena ketidakjelasan batasannya istilah "antargolongan"
sudah beberapa kali aktivis yang mengeluarkan pendapat
berupa kritik kepada pemerintah melalui media sosial
dilaporkan telah melanggar Pasal 28 ayat (2) dan 45A ayat
(2) UU ITE.
Legal Standing
Bahwa Pemohon adalah warga negara Indonesia yang merasa
dirugikan hak konstitusionalnya dengan berlakunya Pasal 28
ayat (2) dan 45A ayat (2) UU ITE yang mana ketentuan
tersebut berpotensi mengkriminalisasi Pemohon dalam
mengeluarkan pendapat karena ketidakjelasan definisi kata
“antargolongan”. Namun perlu dipertanyakan kepentingan
Pemohon apakah sudah tepat sebagai pihak yang menganggap hak
dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan atas
keberlakuan pasal a quo. Perlu dipertanyakan apakah kerugian
konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik
(khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang
menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi,
dan merupakan hubungan sebab-akibat antara kerugian Para
Pemohon dan berlakunya UU ITE.
Berdasarkan pada hal-hal tersebut, DPR RI berpandangan bahwa
Para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing)
karena tidak memenuhi ketentuan Pasal 51 ayat (1) dan
Penjelasan Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi, serta
tidak memenuhi persyaratan kerugian konstitusional yang
diputuskan dalam putusan Mahkamah Konstitusi terdahulu.
Bahwa Para Pemohon dalam permohonan a quo tidak menguraikan
secara konkrit mengenai hak dan/atau kewenangan
konstitusionalnya yang dianggap dirugikan atas berlakunya
ketentuan yang dimohonkan untuk diuji terutama dalam
mengkonstruksikan adanya kerugian hal dan/atau kewenangan
konstitusionalnya yang dirugikan atas berlakunya ketentuan
yang dimohonkan untuk diuji tersebut.
Pokok Perkara
Terhadap pokok perkara permohonan a quo, DPR RI berpandangan
1) Bahwa Para Pemohon dalam permohonan a quo menyatakan
bahwa pasal a quo telah melanggar hak konstitusional Para
Pemohon yang diatur dalam Pasal 1 ayat (3) UUD Tahun 1945
yang pada intinya Negara Indonesia adalah negara hukum. DPR
RI berpandangan bahwa pasal a quo sangat mencerminkan
prinsip negara hukum, karena dalam penyelenggaraan negara
dan pemerintahan haruslah berdasarkan pada ketentuan
peraturan perundang-undangan demi untuk menghormati dan
menegakkan HAM sebagaimana diatur dalam Pasal 28A sampai
dengan 28J UUD Tahun 1945. Oleh karena itu prinsip-prinsip
hukum tersebut tercermin dalam peraturan perundang-undangan
nasional seperti UU ITE.
2) Bahwa Para Pemohon dalam permohonan a quo menyatakan
bahwa pasal a quo telah melanggar hak konstitusional Para
Pemohon yang diatur dalam Pasal 28D ayat (1) yang pada
intinya bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan
yang sama di hadapan hukum. DPR RI berpandangan bahwa Pasal
a quo tidak menghambat seseorang untuk memperjuangkan haknya
secara kolektif dan tidak berarti menghilangkan hak
seseorang atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di
hadapan hukum. Justru pasal a quo menjamin perlindungan dan
kepastian hukum, bahwa salah satu tujuan undang-undang,
yaitu sebagai barometer atau ukuran pengaturan terhadap
perbuatan-perbuatan yang bersumber dari konstitusi itu
sendiri (hak-hak konstitusional), dengan undang-undang yang
berperan untuk melindungi hak-hak konstitusional dari
pihak-pihak yang wajib mendapat perlindungan hukum. Dengan
demikian harmonisasi dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara dapat tercipta.
3) Bahwa istilah SARA pertama kali diciptakan pada Orde Baru
yang merupakan kependekan dari Suku, Agama, Ras, dan
Antargolongan. Istilah itu adalah instrument pengendali mana
yang boleh dan tidak boleh diperbincangkan dalam kehidupan
public demi menjaga harmoni social dan stabilitas politik
(Paulus Wirutomo, 2015, 59).
4) Menurut pandangan DPR RI, rumusan Pasal 28 ayat (2) dan
Pasal 45A ayat (2) UU ITE yang memuat frasa “antargolongan”
di dalamnya merupakan suatu penyebutan istilah yang wajar
sebagai alat pengendalian sosial, sebagaimana ahli sosiologi
Roucek yang berpendapat bahwa pengendalian sosial dapat
diklasifikasikan dengan berbagai cara salah satunya
dijalankan melalui lisan atau secara simbolik. Sehingga
dengan adanya batasan SARA dapat menjadi alat untuk turut
serta menertibkan anggota masyarakat.
5) Bahwa Pasal 28 ayat (2) dan Pasal 45A ayat (2) UU ITE
sangat diperlukan keberadaannya disamping keberadaan Pasal
156 KUHP, karena pengaturan di dalam UU ITE yang menggunakan
media Informasi Elektronik/Internet memiliki karateristik
yang sangat khusus dan borderless serta dapat menyebarkan
Informasi tanpa batas dalam waktu yang singkat, dengan
demikian perlu diatur tersendiri (sui generis).
6) Terhadap dalil Para Pemohon yang menyatakan
ketidakjelasan batasan “antargolongan” dalam Pasal 28 ayat
(2) dan Pasal 45A ayat (2) UU ITE membuat masyarakat yang
mengkritik pemerintah terbuka kemungkinan untuk di
kriminalisasi dan dianggap menghina golongan, anggapan
demikian tidaklah benar. Konstitusi menjamin hak-hak
tersebut dan karena itu negara wajib melindunginya. Namun,
pada saat yang sama negara pun wajib melindungi hak
konstitusional lainnya yang sama derajatnya dengan hak-hak
tadi, yaitu hak setiap orang atas kehormatan dan martabat.
Karena adanya kewajiban untuk melindungi hak konstitusional
lain itulah maka negara dibenarkan melakukan pembatasan
terhadap hak atas kebebasan menyatakan pikiran dan sikap
sesuai dengan hati nurani, hak untuk mengeluarkan pendapat
dan bebas berkomunikasi tersebut, sebagaimana secara tegas
dinyatakan dalam Pasal 28J ayat (2) UUD Tahun 1945.
7) Bahwa DPR RI juga berpendapat, jikalau anggapan Pemohon
tersebut benar adanya dan permohonannya dikabulkan oleh
Mahkamah Konstitusi, justru dapat menimbulkan
hilangnya/tidak terjaminnya perlindungan umum (general
prevention) setiap orang warga negara sebagaimana ditentukan
oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, karena dikemudian hari
jika seseorang yang dengan sengaja melakukan tindak pidana
penyebaran informasi yang menimbulkan rasa kebencian atau
permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu
berdasarkan antargolongan tidak dipidana, atau perbuatan
tersebut menjadi sesuatu perbuatan yang dibolehkan atau
tidak dilarang, atau tegasnya setiap orang dapat melakukan
penyebaran informasi yang menimbulkan rasa kebencian atau
permusuhan individu secara semena-mena.
76/PUU-XV/2017
Pasal 28 ayat (2) dan Pasal 45A ayat (2) Undang-Undang Nomor
19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor
11Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (3),
dan Pasal 28G ayat (1) UUD Tahun 1945
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430