No. 7/2017 tentang Pemilihan Umum
KERUGIAN KONSTITUSIONAL PEMOHON
a. Bahwa Pemohon Perkara 73 beranggapan bahwa
kekhususan/keistimewaan Aceh di UUPA telah dikurangi dan direduksi
oleh UU Pemilu dengan adanya pengaturan Pasal 557 ayat (1) dan ayat
(2) serta Pasal 571 huruf d UU Pemilu.
b. Para Pemohon menyatakan bahwa Pasal 9 ayat (1), Pasal 89 ayat
(3), dan Pasal 562 UU Pemilu bertentangan dengan keistimewaan Aceh
yang diakui negara, sehingga tidak dapat dihierarkiskan dengan KPU dan
Bawaslu.
c. Para Pemohon menyatakan bahwa UU UU Pemilu telah mengatur
kembali apa yang sudah diatur di dalam UUPA dan penyelenggara
pemilihan adalah termasuk kekhususan yang telah diatur dalam UUPA
oleh karena itu tidak perlu diatur kembali di UU Pemilu.
d. Bahwa pasal-pasal a quo oleh Pemohon Perkara 72 dianggap
bertentangan dengan 18 B UUD Tahun 1945
LEGAL STANDING
Terhadap dalil-dalil yang dikemukakan Para Pemohon dalam perkara
Nomor 66 dan 75/PUU-XV/2017, terhadap kedudukan hukum (legal
standing) tersebut, DPR RI berpandangan bahwa Para Pemohon a quo,
harus membuktikan dahulu kedudukan hukum (legal standing) mengenai
adanya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional atas
berlakunya pasal a quo, Para Pemohon juga perlu membuktikan secara
logis hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian yang
dialami Para Pemohon dengan berlakunya Pasal a quo yang dimohonkan
pengujian sebagaimana syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh ketentuan
Pasal 51 ayat (1) dan Penjelasan UU MK, serta memenuhi persyaratan
kerugian konstitusional yang diputuskan dalam putusan MK terdahulu.
Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, terhadap kedudukan hukum
(legal standing), DPR RI menyerahkan sepenuhnya kepada Ketua/Majelis
Hakim Konstitusi Yang Mulia untuk mempertimbangkan dan menilai
apakah Para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing)
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK dan Putusan MK
Perkara Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan perkara Nomor 011/PUU-
V/2007 mengenai parameter kerugian konstitusional.
POKOK PERKARA
1) Pasal 9 ayat (1) UU Pemilu pada pokoknya adalah pengaturan
dalam Bab I mengenai KPU, Bagian Kedua yakni mengenai Kedudukan,
Susunan, dan Keanggotaan. Pasal ini pula memiliki maksud pengaturan
yakni baik KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota adalah hierarkis
dari pusat ke daerah-daerah. Hal ini menujukkan adanya garis koordinasi
yang jelas dan tegas dari hulu ke hilirnya. Pasal ini pula sejatinya
bukanlah pasal yang baru karena di Pasal 5 ayat (1) UU No. 15 Tahun
2011 hal ini telah jelas nyata diatur pula yakni berketentuan:
“KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota bersifat hierarkis”.
Hal lainnya yang juga menujukkan kekeliruan pemahaman yang diajukan
oleh Para Pemohon tersebut adalah ada di UUPA itu sendiri yakni
misalnya di Pasal 1 angka 12 UUPA yang berketentuan:
“Komisi Independen Pemilihan selanjutnya disingkat KIP adalah KIP Aceh
dan KIP kabupaten/kota yang merupakan bagian dari Komisi Pemilihan
Umum (KPU) yang diberi wewenang oleh Undang-Undang ini untuk
menyelenggarakan pemilihan umum Presiden/Wakil Presiden, anggota
Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, anggota
DPRA/DPRK, pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati,
dan walikota/wakil walikota”.
Hal ini pula yang menjadikan alasan mengapa selama ini dalam
penyelenggaraan Pemilu KIP selalu ikut aturan yang ada di UU Pemilu
pada umumnya begitu juga turunannya yakni di Peraturan KPU (PKPU)
termasuk pula tahapan kepemiluannya, karena kepada siapa lagi KIP
memiliki garis koordinasi yang jelas selain secara hierarkis yang berujung
pada KPU RI untuk tingkat pusatnya. Sehingga dengan demikan alur
berfikir Para Pemohon terkait dengan Pasal 9 ayat (1) UU Pemilu adalah
alur berfikir yang keliru dan tidaklah berdasar.
2) Bahwa Pasal 89 ayat (3) UU Pemilu pada pokoknya adalah
pengaturan dalam Bab II mengenai Pengawas Pemilu, Bagian Kesatu
yakni mengenai umum yang didalamnya juga diatur bahwa baik Bawaslu,
Bawaslu Provinsi, dan Bawaslu Kabupaten/Kota adalah hierarkis dari
pusat ke daerah-daerah. Hierarkisnya Bawaslu, Bawaslu Provinsi, dan
Bawaslu Kabupaten/Kota dalam hal ini pula sebetulnya tidak beda juga
dengan KPU beserta jajarannya, karena Bawaslu adalah termasuk lingkup
penyelenggara Pemilu pula.
3) Hal ini sesuai dengan Putusan MK No. 11/PUU-VIII/2010 tentang
pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara
Pemilu (selanjutnya disebut UU 22 Tahun 2007) terhadap UUD Tahun
1945. Dalam Pendapat Mahakamah Putusan MK No. 11/PUU-VIII/2010 itu
pula ditafsirkan oleh MK secara mendalam mengenai Pasal 22E ayat (5)
UUD Tahun 1945 yang berketentuan:
“Pemilihan umum di diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum
yang bersifat nasional, tetap dan mandiri”.
Dalam Putusan MK tersebut, Mahkamah menyatakan bahwa kalimat
“suatu komisi pemilihan umum” dalam UUD Tahun 1945 tidak merujuk
kepada sebuah nama institusi, akan tetapi menunjuk pada fungsi
penyelenggaraan pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap dan
mandiri. Dengan demikian, menurut Mahkamah, fungsi penyelenggaraan
pemilihan umum tidak hanya dilaksanakan oleh Komisi Pemilihan Umum
(KPU), akan tetapi harus diartikan sebagai lembaga penyelenggara Pemilu
yang dilakukan oleh unsur penyelenggara, dalam hal ini Komisi Pemilihan
Umum (KPU), dan unsur pengawas Pemilu, dalam hal ini Badan
Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu). Bahkan, Dewan Kehormatan yang
mengawasi perilaku penyelenggara Pemilu pun harus diartikan sebagai
lembaga yang merupakan satu kesatuan fungsi penyelenggaraan
pemilihan umum.
4) Hal lainnya juga adalah di dalam UUPA juga tidak secara tegas
diatur Panitia Pengawas Pemilihan dalam Bab I Ketentuan Umum Pasal 1
UUPA. Panitia Pengawas Pemilihan baru ada di Pasal 23 ayat (1) huruf l
UUPA dan hal ini tidaklah dicabut maupun dibatalkan oleh UU Pemilu,
sehingga sejatinya DPRA tidaklah kehilangan kekhasannya dengan
termasuk memiliki penyelenggara pemilihan yang namanya berbeda
dengan provinsi-provinsi lainnya se-Indonesia.
5) Bahwa dalam Pasal 557 ayat (1) dan ayat (2) UU Pemilu disebutkan
kelembagaan penyelenggara pemilu di Aceh baik itu Komisi Independen
Pemilihan maupun Panitia Pengawas Pemilihan. Hal ini ini menujukkan
pemebentuk undang-undang memiliki niatan baik untuk ikut serta
memperbaiki ”benang kusut” yang ada selama ini terkait
penyelenggaraan pemilihan di Aceh.
6) Bahwa dalam Pasal 557 diatur bahwa pelaksana penyelenggaraan
Pemilu di Aceh itu Komisi Independen Pemilihan Provinsi Aceh (KIP
Provinsi Aceh) yang setara dengan KPU Provinsi untuk daerah lainnya
pada umumnya dan Komisi Independen Pemilihan Kabupaten/Kota (KIP
Kabupaten/Kota) yang setara dengan KPU Kabupaten/Kota. Sedangkan
untuk lembaga pengawasnya untuk setingkat Bawaslu Provinsi untuk
Aceh ada Panitia Pengawas Pemilhan Provinsi Aceh (Panwaslih Aceh) dan
untuk setingkat Bawaslu Kabupaten/Kota ada Panitia Pengawas Pemilihan
Kabupaten/Kota (Panwaslih Kabupaten/Kota). Adapun di Pasal 571 adalah
pengaturan umum sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (selanjutnya
disebut UU 12 Tahun 2011) yakni ketentuan Penutup. Dalam lampiran II
UU No. 12 Tahun 2011 angka 147 diatur ketentuan teknis penulisan
peraturan perundang-undangan yang dicabut adalah telah sesuai dan
dalam hal ini beberapa pengaturan di UUPA dicabut yang terkait dengan
kelembagaan penyelenggara Pemilu di Aceh.
7) Bahwa Para Pemohon menyatakan bahwa
kekhususan/keistimewaan Aceh di UUPA telah dikurangi dan direduksi
oleh UU Pemilu dengan adanya pengaturan Pasal 9 ayat (1), Pasal 89
ayat (3), 557 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 562 serta Pasal 571 huruf d UU
Pemilu. Atas dasar hal tersebut maka DPR RI menyatakan bahwa hal
tersebut merupakan pernyataan yang bersifat asumtif belaka. Bahwa
lebih lanjut lagi mengenai dalil para Para Pemohon tersebut maka DPR
menguraikan tanggapannya sebagai berikut:
a) Bahwa munculnya UU Pemilu adalah perintah Putusan MK No
14/PUU-XI/2013 yang juga menjadi momentum yang tepat bagi
pembentuk undang-undang untuk mengkodifikasikan berbagai undang-
undang yang terkait dengan kepemiluan kedalam 1 (satu) naskah
undang-undang. UU Pemilu yang dikodifikasikan dalam 1 (satu) naskah
ini adalah UU No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan
Umum, UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah, dan UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum
Presiden dan Wakil Presiden. Ketiga undang-undang lahir di tahun yang
berbeda-beda dan tentunya dari ketiganya pasti memiliki sedikit banyak
perbedaan karena hukum selalu berkembang. Hal yang sama juga
berlaku untuk penyelenggaraan Pemilu di Aceh yang semula menganut
kepada UU No. 11 Tahun 2006 dan UU No. 15 Tahun 2011. Dikarenakan
saat ini 3 (tiga) undang-udang tersebut digabung menjadi 1 (satu) UU
Pemilu maka hal-hal terkait dengan penyelenggara Pemilu termasuk
diatur di dalam undang-undang ini, karena dengan berjalannya waktu
maka perlu penyesuaian-penyesuaian.
b) Bahwa jika Para Pemohon menyatakan bahwa UU Pemilu telah
mengatur kembali apa yang sudah diatur di dalam UUPA dan
penyelenggara pemilihan adalah termasuk kekhususan yang telah diatur
dalam UUPA oleh karena itu menurut Para Pemohon tidak perlu diatur
kembali di UU Pemilu, hal itu adalah pemikiran yang kurang tepat. Hal ini
dikarenakan salah satu landasan ide yang dibangun di UU Pemilu yang
baru ini adalah perbaikan pengaturan dan kewenangan bagi
penyelenggara Pemilu. Beberapa hal baru di UU Pemilu ini adalah seperti
pengawas pemilu di tingkat Kabupaten/Kota diberikan status yang baru
yakni menjadi permanen dan karenanya berubah nama menjadi Bawaslu
Kabupaten/Kota, begitu juga dengan jumlahnya di tiap kabupaten/kota
dan, dan juga kewenangannya (saat ini ada kewenangan untuk
mengeluarkan putusan yang wajib dilaksanakan oleh KPU) sebelumnya
tidak ada. Bahwa penguatan kelembagaan dan kewenangan yang ada ini
memiliki alasan yang sangat penting karena kedepannya ada event
Pemilu 2019 dan perlu penyelenggara yang lebih kuat.
c) Bahwa hal ini pula yang menjadi alasan mengapa munculnya norma
557 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 562, serta Pasal 571 huruf d UU Pemilu,
karena pengaturan UUPA telah tertinggal jauh. Bagaimanapun para
Pemohon perlu memahami bahwa yang namanya hukum selalu
berkembang (tidaklah statis), dan oleh karena itu perlu diatur kembali
mengenai hal tersebut dalam UU Pemilu ini karena norma yang ada tidak
sinkron dengan pengaturan lama di UUPA. Oleh karena itu demi menjaga
kepastian hukum dan mencegah dualisme pengaturan yang yang saling
tumpang tindih maka muncullah pengaturan Pasal 557 dan Pasal 571
huruf d UU Pemilu tersebut.
d) Bahwa Para Permohon jikalau merasa dirugikan dengan
keberlakuan Pasal 9 ayat (1), Pasal 89 ayat (3), 557 ayat (1) dan ayat
(2), Pasal 562 serta Pasal 571 huruf d UU Pemilu dengan perasaan bahwa
merasa hak yang dimiliki oleh DPRA menjadi hilang dalam membentuk
penyelenggara pemilu di Aceh, maka hal tersebut adalah keliru.
Mengapa? Karena yang dibatalkan di UUPA hanya Pasal 57 dan Pasal 60
ayat (1), ayat (2), dan ayat (4). Karena di Pasal 56 ayat (4) UUPA
misalnya, begitu juga Pasal 60 ayat (3) UUPA keduanya masih hidup.
Sehingga jelas bahwa DPRA masih berwenang memilih KIP dan Panwaslih
di Aceh. Sehingga dengan demikian adalah tidak benar apa yang
didalilkan oleh para Pemohon.
8) Bahwa munculnya Pasal Pasal 9 ayat (1), Pasal 89 ayat (3), 557
ayat (1) dan ayat (2), Pasal 562 serta Pasal 571 huruf d UU Pemilu telah
mengatur kembali apa yang sudah diatur di dalam UUPA dan
penyelenggara pemilihan adalah termasuk kekhususan yang telah diatur
dalam UUPA oleh karena itu tidak perlu diatur kembali di UU Pemilu. Para
Pemohon perlu memahami bahwa dalam rangka penyesuaian dengan
berkembangnya hukum, termasuk hukum kepemiluan tidaklah dapat
dihindari.
Kenyatannya adalah dikarenakan pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No.
97/PUU-XI/2013 secara tegas MK menyatakan bahwa Pilkada bukanlah
rezim Pemilu, maka norma di Pasal 56 ayat (1) UUPA menjadi tidak
relevan. Oleh karena itu pula UU Pemilu tidak sama sekali mengatur
mengenai Pillkada karena Pilkada diatur terpisah di UU lain yakni UU No.
1 Tahun 2015 dengan 2 (dua) kali perubahannya (UU No. 8 Tahun 2015
dan UU No. 10 Tahun 2016). Sehingga semestinya para Pemohon
menjadi lebih arif dalam menyikapi perkembangan hukum ini.
9) Bahwa hal lain yang perlu dipahami oleh para Pemohon bahwa
pembentuk undang-undang selalu tetap mempertimbangkan adanya
kekhususan yang ada di Aceh yakni pembentuk undang-undang sama
sekali tidak mengganti kekhususan penyebutan nama penyelenggara di
Aceh yakni masih tetap Komisi Independen Pemilihan Provinsi Aceh (KIP
Provinsi Aceh) yang setara dengan KPU Provinsi untuk daerah lainnya
pada umumnya dan Komisi Independen Pemilihan Kabupaten/Kota (KIP
Kabupaten/Kota) yang setara dengan KPU Kabupaten/Kota. Sedangkan
untuk lembaga pengawasnya untuk setingkat Bawaslu Provinsi untuk
Aceh ada Panitia Pengawas Pemilhan Provinsi Aceh (Panwaslih Aceh) dan
untuk setingkat Bawaslu Kabupaten/Kota ada Panitia Pengawas Pemilihan
Kabupaten/Kota (Panwaslih Kabupaten/Kota). Penyebutan nama ini yang
masih konstan digunakan oleh Pembentuk Undang-Undang dalam UU
Pemilu terbaru ini sejalan pula dengan Pasal 569 Pemilu yang
berketentuan:
“Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, keikutsertaan partai politik
lokal di Aceh dalam Pemilu anggota DPRD provinsi dan DPRD
kabupaten/kota sepanjang tidak diahrr khusus dalam Undang-Undang
yang mengatur mengenai Pemerintahan Aceh, dinyatakan berlaku
ketentuan dalam Undang-Undang ini”.
Hal ini pula semakin menujukkan bahwa pembentuk undang-undang
(dalam hal ini pula termasuk DPR RI) tetap memperhatikan dan tidak
mengabaikan kekhususan yang ada di Aceh yakni masih adanya KIP,
Panwaslih, ataupun DPRA. Namun demikian, karena semata-mata ada
pembenahan kelembagaan begitu juag kewenangan yang semakin kuat
demi Pemilu kedepan, maka perlu adanya perubahan yakni sebagaimana
diatur di Pasal 9 ayat (1), Pasal 89 ayat (3), 557 ayat (1) dan ayat (2),
Pasal 562 serta Pasal 571 huruf d UU Pemilu.
10) Bahwa hal lainnya adalah jika melihat Putusan MK No. 51/PUU-
XIV/2016. Dalam perkara yang diajukan oleh Ir. H. Abdullah Puteh
tersebut terkait dengan pengujian UUPA, amar putusannya adalah
menyatakan Pasal 67 ayat (2) UUPA bertentangan secara bersyarat
“...sepanjang tidak dimaknai dikecualikan bagi mantan terpidana yang
secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang
bersangkutan mantan terpidana”. Dalam perkara MK No. 51/PUU-
XIV/2016 tersebut, Pemohon yang juga seorang mantan Gubernur Aceh
pada pokoknya meminta kepada MK agar dalam pelaksanaan Pilkada di
Aceh terkait dengan norma yang bagi terpidana agar berpatokan dengan
UU Pilkada terutama berdasarkan UU Pilkada setelah hasil Putusan MK
No. 42/PUU-XIII/2015.
Pemberlakuan Hukum yang memberikan jaminan kepastian hukum, juga
menunjukkan adanya pembedaan kedudukan antara warga negara
didalam hukum dan syarat yang berbeda-beda di Provinsi Aceh dengan
Provinsi lainnya di Wilayah Indoensia, atas penyelenggaraan pemilihan
serentak secara Nasional, selain bertentangan dengan prinsip Negara
Hukum yang memberikan jaminan kepastian hukum, juga menunjukkan
adanya pembedaan kedudukan antara warga negara didalam hukum dan
pemerintahan antara di wilayah Provinsi Aceh dengan di wilayah provinsi
lainnya. Hal tersebut jelas bertentangan dengan ketentuan Pasal 27 ayat
(1) UUD Tahun 1945 dan sekaligus bertentangan dengan ketentuan Pasal
28 D ayat (1) UUD Tahun 1945 (vide putusan MK No. 51/PUU-XIV/2016
halaman 10-11).
11) Perlu diketahui bahwa Putusan Nomor 42/PUU-XIII/2015 adalah
terkait dengan pengujian Pasal persyaratan di UU Pilkada. Dikarenakan
hal itu pula maka para Pemohon perlu memahami bahwa pengaturan
yang sifatnya umum berlaku juga untuk daerah khusus/istimewa. Oleh
karena itulah makanya dalam amar putusannya justru Pasal 67 ayat (2)
UUPA yang diubah dengan dasar UU Pilkada terbaru sebagai acuannya
(yang kebetulan diujikan oleh MK). Oleh karena itu pula pemahaman
yang serupa perlu juga dipahami oleh para Pemohon karena dalam
kaitannya dengan pasal yang diuji yakni Pasal 9 ayat (1), Pasal 89 ayat
(3), 557 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 562 serta Pasal 571 huruf d UU No.
7 Tahun 2017, adalah pengaturan yang bersifat umum karena itu pula
tidak relevan jika mempertahankan norma yang lama di UUPA termasuk
juga dengan jumlah penyelenggara yang ada di Aceh baik itu KIP beserta
jajarannya dan juga Panwaslih beserta jajarannya.
12) Bahwa hal yang sama juga berlaku untuk Putusan MK No. 20/PUU-
XV/2017 dimana Pemohon dalam perkara tersebut meminta kepada
persoalan sengketa hasil pemilu diselesaikan oleh Mahkamah Agung
(MA), padahal provinsi-povinsi yang lain semua pada saat ini sesuai
pengaturan di UU Pilkada yang saat ini berlaku sengketa hasilnya
diselesaikan di MK. Ketika pada akhirnya dalam Putusan MK No. 20/PUU-
XV/2017, MK menolak permohonan Pemohon maka hal ini pula semakin
menegaskan bahwa ada hal-hal yang sifatnya umum berlaku maka
berlaku pula berlaku di Aceh, bukan merujuk pada pengaturan di UUPA
Pasal 74 yang mengatakan bahwa penyelesaian sengketa hasil
diselesaikan di Mahkamah Agung. Jadi tidak selamanya UUPA menjadi
satu-satunya acuan, karena begitulah prinsip hukum yang selalu dinamis
dan tidak statis.
13) Bahwa lahirnya ketentuan Pasal 9 ayat (1), Pasal 89 ayat (3), 557
ayat (1) dan ayat (2), Pasal 562 serta Pasal 571 huruf d UU Pemilu telah
berkomunikasi terlebih dahulu dengan sejumlah stakeholder di Aceh.
Perlu diketahui bahwa Pansus RUU Penyelenggaraan Pemilu dalam
menyusun UU Pemilu ini taat dengan pengaturan yang mengatur
mengenai pembentukan undang-undang yakni UU No. 12 Tahun 2011.
Adapun terkait dengan pembentukan UU Pemilu ini maka berdasarkan
Pasal 96 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan, masyarakat berhak memberikan masukan secara
lisan dan/atau tertulis dalam pembentukan peraturan perundang-
undangan. Masukan secara lisan dan/atau tertulis tersebut dapat
dilakukan melalui: rapat dengar pendapat umum, kunjungan kerja,
sosialisasi, dan/atau seminar, lokakarya, dan/atau diskusi.
14) Masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 UU No. 12
Tahun 2011 adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang
mempunyai kepentingan atas substansi Rancangan Peraturan Perundang-
undangan. Berdasarkan ketentuan Pasal 96 UU No. 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan tersebut, Pansus
memandang perlu untuk melakukan kunjungan kerja ke Provinsi Aceh
guna mendapatkan masukan atau tanggapan untuk penyempurnaan RUU
Penyelenggaraan Pemilu. Alhasil pada tanggal tanggal 19 hingga 21
Februari 2017, Pansus RUU Penyelenggaraan Pemilu melakukan
kunjungan kerja ke Aceh. Pada tanggal 20 Februari 2017 nya dilakukan
kegiatan dialog untuk mendengar sejumlah masukan tersebut. Pertemuan
itu pun saat itu dilakukan di Kantor Gubernur Provinsi Aceh. Pertemuan
itu pula dihadiri dengan sejumlah stakeholder yang terkait seperti ada
perwakilan KIP, perwakilan Panwaslih, DPRA, Kodam Iskandar Muda,
Pengadilan Tinggi Aceh, dan sejumlah dosen/pengajar dari Universitas
Syah Kuala Aceh.
15) Bahwa terkait norma Pasal 9 ayat (1), Pasal 89 ayat (3), 557 ayat
(1) dan ayat (2), Pasal 562 serta Pasal 571 huruf d UU Pemilu yang di
ujikan oleh Para Pemohon ini pula merupakan suatu norma yang
merupakan kebijakan hukum terbukan pembentuk undang-undang. Hal
ini dikarenakan terdapat delegasi kewenangan yang diberikan kepada
pembentuk undang-undang dalam melaksanakan Pemilu ini. Hal ini nyata
terlihat dalam Pasal 22E ayat (6) UUD Tahun 1945 yang menyatakan
bahwa:
“Ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur dengan undang-
undang.”
Oleh karena Pasal 22 E ayat (6) UUD Tahun 1945 terutama pada ayat (6)
mendelegasikan kepada pembentuk undang-undang, maka sejatinya
pengaturan mengenai Pemilu termasuk yang diujikan oleh Pemohon yakni
norma Pasal 9 ayat (1), Pasal 89 ayat (3), 557 ayat (1) dan ayat (2),
Pasal 562 serta Pasal 571 huruf d UU Pemilu merupakan open legal
policy. Hal yang sama juga jika merujuk kepada Pendapat Mahkamah
yang pada point [3.17] Putusan MK No 51-52-59/PUU-VI/2008 maka
sebetulnya norma yang sifatnya kebijakan hukum terbuka ini jikalau
dirasakan buruk oleh Pemohon bukanlah pelanggaran konstitusi. Karena
walaupun Pemohon menilai hal ini adalah buruk dan lain sebagainya
maka Pemohon juga bisa melihat bahwa yang dikatakan buruk tersebut
tidak selalu berarti melanggar konstitusi, keduali jika norma tersebut
jelas-jelas melanggar moralitas, rasionalitas dan ketidakadilan yang
intolerable. Oleh karena itu dalam hal ini dapat diketahui bahwa Pemohon
kurang memahami hal yang dimohonkannya sendiri.
75/PUU-XV/2017
Pasal 9 ayat (1), Pasal 89 ayat (3), Pasal 557, Pasal 562, dan Pasal 571
huruf d Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum
Pasal 9
"(1) KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota bersifat hierarkis,
termasuk KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota pada satuan
pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa yang diatur
dengan undang-undang."
Pasal 89
"(3) Bawaslu, Bawaslu Provinsi, dan Bawaslu Kabupaten/Kota, Panwaslu
Kecamatan, Panwaslu Kelurahan/Desa, Panwaslu LN, Pengawas TPS
bersifat hierarkis, termasuk Bawaslu Provinsi dan Bawaslu
Kabupaten/Kota pada satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus
atau istimewa yang diatur dengan undang-undang."
Pasal 557
"(1) Kelembagaan Penyelenggara Pemilu di Aceh terdiri atas:
a. Komisi Independen Pemilihan Provinsi Aceh dan Komisi Independen
Pemilihan Kabupaten/Kota merupakan satu kesatuan kelembagaan yang
hierarkis dengan KPU; dan
b. Panitia Pengawas Pemilihan Provinsi Aceh dan Panitia Pengawas
Pemilihan Kabupaten/Kota merupakan satu kesatuan kelembagaan yang
hierarkis dengan Bawaslu.
(2) Kelembagaan Penyelenggara Pemilu di Aceh sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) wajib mendasarkan dan menyesuaikan pengaturannya
berdasarkan Undang-Undang ini"
Pasal 562
"Struktur organisasi, tata kerja, dan penganggaran Penyelenggara Pemilu
pada satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat
istimewa yang diatur dengan Undang-Undang wajib menyesuaikan
dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini."
Pasal 571
"Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:
d. Pasal 57 dan Pasal 60 ayat (1), ayat (2), serta ayat (4) Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 62, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4633), dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku."
Pasal 18B ayat (1) UUD Tahun 1945
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430