Keterangan DPR mengenai Pengujian UU Terhadap UUD 1945

Keterangan DPR Perkara No. 74/PUU-XV/2017 / 27-09-2017

No. 8/1981 tentang Hukum Acara Pidana.

Kerugian Konstitusional :
Bahwa Pemohon dalam permohonannya telah mendalilkan
mengalami kerugian konstitusionalnya yang pada intinya
Pemohon menganggap norma Pasal 162 ayat (1) dan ayat (2)
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (selanjutnya disebut UU HAP) bertentangan
dengan norma Pasal 165 UU HAP yang memberikan kesempatan
Majelis Hakim dan JPU untuk mengajukan
pertanyaan-pertanyaan, untuk mendapatkan kebenaran. Norma
tersebut membuka peluang ketidakadilan dan mengabaikan “due
process of law” Pemohon untuk memperoleh adanya kepastian
hukum yang adil sebagaimana diatur dalam norma Pasal 1 ayat
(3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945.


Legal Standing :
Menanggapi permohonan Pemohon, DPR RI berpandangan bahwa
Pemohon harus dapat membuktikan terlebih dahulu apakah benar
Pemohon sebagai pihak yang menganggap hak dan/atau
kewenangan konstitusionalnya dirugikan atas berlakunya
ketentuan yang dimohonkan untuk diuji, khususnya dalam
mengkonstruksikan adanya kerugian terhadap hak dan/atau
kewenangan konstitusionalnya sebagai dampak dari
diberlakukannya ketentuan yang dimohonkan untuk diuji, serta
DPR RI menyerahkan sepenuhnya kepada Ketua/Majelis Hakim
Konstitusi Yang Mulia untuk mempertimbangkan dan menilai
apakah Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing)
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 51 ayat (1)
Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi dan Putusan
Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 006/PUU-III/2005 dan
Putusan perkara Nomor 011/PUU-V/2007 mengenai parameter
kerugian konstitusional.



Pokok Perkara :

Terhadap pokok perkara dalam permohonan Pemohon, DPR RI
berpandangan sebagai berikut:
1. Pada hakikatnya UU HAP menganut prinsip keharusan
menghadirkan saksi-saksi di persidangan (Pasal 185 ayat (1)
UU HAP), namun syarat “keterangan saksi sebagai alat bukti
adalah apa yang saksi nyatakan di muka sidang” bukanlah
sebuah keharusan yang tidak dapat ditolerir. UU HAP memberi
alternatif penyelesaian masalah jika pada suatu hal penuntut
umum tidak dapat menghadirkan saksi ke persidangan karena
alasan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 162 ayat (1) UU
HAP, oleh karenanya tidak selamanya saksi harus hadir di
persidangan untuk memberikan keterangannya di persidangan.
Jika karena suatu alasan yang sah saksi berhalangan atau
tidak dapat dihadirkan untuk memberikan keterangan di
persidangan maka keterangan saksi di penyidikan dibaca di
muka sidang, dan keterangan yang dibacakan itu berlaku
sebagai alat bukti yang sah asalkan keterangan itu
sebelumnya dilakukan dibawah sumpah (Pasal 162 ayat (2) UU
HAP ).
2. Jika keterangan saksi yang disumpah itu dibacakan di
persidangan, maka hakim lah yang akan menafsirkan atau
memberikan penilaian berdasarkan keyakinannya terhadap
keterangan yang dibacakan dan menghubungkan dengan peristiwa
hukum dan keterangan saksi atau bukti lainnya yang ada di
persidangan, untuk kemudian menghubungkannya dengan hukum
yang berlaku.
3. Bahwa Pemohon mendalilkan keterangan saksi yang diberikan
diatas sumpah pada saat proses penyidikan namun tidak hadir
dalam persidangan sehingga tidak dapat dikonfrontir (Vide
permohonan angka 4 halaman 8). Terhadap hal ini DPR RI
berpandangan bahwa keterangan saksi yang hadir dalam
persidangan serta diangkat sumpah sebelumnya juga tidak
menjamin keterangan saksi tersebut menjadi salah satu bukti
yang menjadi pertimbangan keyakinan hakim. Artinya tidak ada
jaminan keterangan saksi yang telah diangkat sumpah di
persidangan diterima sebagai satu-satunya alat bukti oleh
hakim. Hal tersebut merupakan kebebasan hakim untuk menilai
alat bukti tersebut, kemudian untuk memutus perkara. Dengan
argumentasi tersebut DPR berpandangan norma Pasal 162 ayat
(1) dan ayat (2) UU HAP sepanjang terkait dengan penilaian
terhadap keterangan saksi yang menjadi kewenangan hakim
tidak bertentangan dengan norma pasal 1 ayat (3) dan Pasal
28D ayat (1) UUD Tahun 1945.
4. Bahwa Pemohon dalam permohonannya meminta Petitum
bersyarat terhadap pasal-pasal a quo. Terhadap Petitum
tersebut DPR RI berpandangan bahwa konstruksi petitum yang
dimohonkan oleh Pemohon tidak jelas, kabur (obscuur), dan
tidak berkesesuaian. Pasal mana yang diminta Pemohon untuk
dimaknai secara bersyarat, Pasal 162 ataukah Pasal 161 UU
HAP ? Karena Pasal 161 mengatur tentang “saksi atau ahli
tanpa alasan yang sah menolak untuk bersumpah dan dengan
surat penetapan hakim ketua sidang dapat dikenakan sandera
di tempat rumah tahanan Negara”, bukan mengatur tentang
“keterangan saksi yang dibacakan di persidangan”.

74/PUU-XV/2017

Pasal 162 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1981 tentang Undang-Undang Hukum Acara Pidana

Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945