Keterangan DPR mengenai Pengujian UU Terhadap UUD 1945

Keterangan DPR Perkara No. 71/PUU-XV/2017 / 24-10-2017

No. 7/2017 tentang Pemilihan Umum

KERUGIAN KONSTITUSIONAL PEMOHON :


a. Bahwa Pemohon Perkara 71 beranggapan ketentuan ambang batas
dalam Pasal 222 UU Pemilu menghambat kesempatan setiap partai politik
untuk mengajukan pasangan pasangan calon Presiden atau calon Wakil
Presiden, bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 yang mana
dalam ketentuan di konstitusi tersebut tidak ada sama sekali disebutkan
klausula 20% jumlah kursi DPR maupun 25% suara sah nasional
(ambang batas) pada pemilu anggota DPR sebelumnya (Vide
permohonan hal 11).
b. Ketentuan ambang batas dalam Pasal 222 UU Pemilu bertentangan
dengan jaminan pesamaan hak seluruh peserta Pemilu untuk mengajukan
pasangan calon Presiden atau calon Wakil Presiden, juga mereduksi
kesempatan yang sama untuk duduk di pemerintahan (Vide permohonan
hal 12), serta merusak makna Pemilu Serentak sesuai marwah Putusan
MK No. 14/PUU-XI/2013 (Vide permohonan hal 14).
c. Bahwa pasal a quo oleh Pemohon Perkara 71 dianggap
bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2); Pasal 22E ayat (1), ayat (2);
Pasal 27 ayat (1); dan Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2) UUD Tahun 1945.

LEGAL STANDING :


• Bahwa sesungguhnya berlakunya ketentuan Pasal a quo sama sekali
tidak menghalangi hak dan kerugian konstitusional Para Pemohon sebagai
warga negara oleh karenanya DPR RI memberikan pandangan senada
dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU-XIV/2016 yang
diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum
pada hari tanggal 15 Juni 2016, yang pada pertimbangan hukum [3.5.2]
Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa menurut Mahkamah:
…Dalam asas hukum dikenal ketentuan umum bahwa tiada kepentingan
maka tiada gugatan yang dalam bahasa Perancis dikenal dengan point
d’interest, point d’action dan dalam bahasa Belanda dikenal dengan
zonder belang geen rechtsingang. Hal tersebut sama dengan prinsip yang
terdapat dalam Reglement op de Rechtsvordering (Rv) khususnya Pasal
102 yang menganut ketentuan bahwa “tiada gugatan tanpa hubungan
hukum“ (no action without legal connection.
• Bahwa Para Pemohon juga tidak dapat membuktikan secara konkrit
apakah dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian dan/atau
kewenangan konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi
terjadi kepada para pemohon maupun pihak lain.

POKOK PERKARA :


1) Bahwa Pasal 222 UU Pemilu tidak bersifat dikriminatif karena
ketentuan ambang batas dalam Pasal a quo tidak membatasi dan
menutup ruang bagi munculnya tokoh-tokoh terbaik bangsa. Sehingga
tidak benar jika tidak ada ambang batas dalam pengajuan calon Presiden
atau calon Wakil Presiden maka niscaya akan menghadirkan banyak
kader bangsa yang berkualitas dan lebih demokratis. Oleh karena itu DPR
RI berpandangan bahwa pandangan Para Pemohon bersifat asumtif
belaka, karena sejatinya pasal ini tidak membatasi hak seseorang untuk
dapat diusulkan sebagai calon selama diusulkan oleh Partai Politik atau
gabungan Partai Politik yang memenuhi syarat berdasarkan ketentuan
Undang-undang ini.
2) Bahwa ketentuan Pasal 6A ayat (1) dan ayat (2) UUD Tahun 1945
muncul dalam amandemen ketiga UUD Tahun 1945 dan keduanya adalah
sejalan. Ayat (1) dinyatakan bahwa pasangan calon dipilih secara
langsung oleh rakyat, hal ini menujukkan bahwa ada jaminan persamaan
hak maupun kesempatan yang sama untuk duduk di pemerintahan
karena kembali lagi rakyat diberikan mandat langsung oleh konstitusi
untuk memilih siapakah yang akan memimpin mereka dalam
pemerintahan, baik itu Presiden maupun Wakil Presidennya. Mengenai
cara pengusulannya diatur pada ayat (2). Adapun Pasal 6A ayat (2) UUD
Tahun 1945 ini memiliki tiga maksud yakni Pertama, yang menjadi
Peserta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden bukan partai politik atau
gabungan partai politik melainkan pasangan calon presiden dan wakil
presiden. Kedua, partai politik atau gabungan partai politik berperan
sebagai pengusul pasangan calon presiden dan wakil presiden. dan
Ketiga, pengajuan pasangan calon presiden dan wakil presiden dilakukan
sebelum pelaksanaan pemilihan umum anggota DPR, dan DPD, serta
pemilihan umum presiden dan wakil presiden. Sehingga adalah tidak
benar jikalau asusmsi yang mendalilkan bahwa Pasal 222 UU Pemilu ini
bertentangan dengan Pasal 6A UUD Tahun 1945.
3) Bahwa berdasarkan Putusan MK No. 14/PUU-XI/2013 yang menjadi
dasar lahirnya UU Pemilu menyatakan bahwa “Pemilu Presiden dan Wakil
Presiden harus dilaksanakan secara serentak dengan Pemilu legislatif
pada Tahun 2019. Dikarenakan adanya frasa “partai politik atau
gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan
pemilihan umum.” dalam Pasal 6A ayat (2) UUD Tahun 1945 maka Pemilu
legislatif menjadi acuan (ambang batas yang digunakan) untuk Pemilu
Presiden dan Wakil Presiden (seperti terakhir di Pemilu tahun 2014).
Hal ini pula sejalan dengan maksud utama Putusan MK No. 14/PUU-
XI/2013 yang mana memiliki maksud untuk memperkuat sistem
presidensial, sehinga masih diperlukanlah ambang batas (presidential
threshold) bagi partai politik yang mengusulkan pasangan calon Presiden
dan Wakil Presiden.
4) Bahwa terkait dengan pemberlakuan ambang batas di Pasal 222 UU
No. 7 Tahun 2017 ini, seringkali pula dipertanyakan bahwa apakah
ambang batas tidak lagi diberlakukan dalam Pemilu serentak di tahun
2019 nanti, terkait dengan hal ini DPR RI menjawab bahwa hal ini adalah
keliru. Apalagi jikalau melihat Putusan MK No. 14/PUU-XI/2013 dimana
terkait pengaturan ambang batas sejatinya tidak pernah dibatalkan.
Effendi Gozali sebagai Pemohon perkara MK No. 14/PUU-XI/2013 juga
mengujikan mengenai ambang batas dalam Perkara MK No. 14/PUU-
XI/2013 tersebut. Namun demikian, dalam perkara tersebut MK tidak
mengabulkannya. Oleh karena itu bilamana sesuai dengan amanat yang
terkandung di pertimbangan Putusan MK No. 14/PUU-XI/2013, maka
dapat diketahui bahwa tujuan dilakukan keserentakan Pemilu Legislatif
dengan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden adalah untuk memperkuat
sistem presidensial. Dan dalam rangka itu, maka aturan tanpa adanya
ambang batas, yang mengakibatkan tidak akan adanya koalisi sejak awal
untuk mencalonkan Presiden dan Wakil Presiden adalah tidak sejalan
dengan niatan untuk memperkuat sistem Presidensial tersebut. Oleh
karena itulah makanya sejalan dengan tidak dikabulkannya permohonan
Pemohon dalam Perkara MK No. 14/PUU-XI/2013 terkait hal ini.
5) Bahwa hal lainnya, menyangkut gugatan terkait masih adanya
ambang batas ini pula di UU Pemilu, maka DPR RI menjawab terkait
dengan apakah diberlakukannya presidential threshold itu konstitusional
atau tidak dengan menggunakan Pendapat Mahkamah pada point [3.17]
Putusan MK No 51-52-59/PUU-VI/2008
6) Bahwa ketika membentuk UU Pemilu ini pula, pembentuk undang-
undang terutama DPR RI yang diwakili oleh Pansus RUU tentang
Penyelenggaraan Pemilu sudah pernah mendatangi MK pada tanggal 14
Desember 2016 untuk berkonsultasi mengenai pembentukan UU Pemilu
ini, salah satunya mengenai perlu atau tidaknya penggunaan presidential
threshold. Adapun jawaban lisan dari MK saat itu ketika didatangi
langsung oleh Pansus RUU tentang Penyelenggaraan Pemilu adalah hal ini
merupkan open legal policy (kebijakan hukum terbukan pembentuk
undang-undang), sesuai dengan Pendapat Mahkamah pada point [3.17]
Putusan MK No 51-52-59/PUU-VI/2008.
7) Bahwa terkait norma Pasal 222 UU Pemilu yang di ujikan oleh
Pemohon ini pula merupakan suatu norma yang merupakan kebijakan
hukum terbukan pembentuk undang-undang. Hal ini dikarenakan
terdapat delegasi kewenangan yang diberikan kepada pembentuk
undang-undang dalam melaksanakan Pemilu ini. Hal ini nyata terlihat
dalam Pasal 22E UUD Tahun 1945. Oleh karena Pasal 22E UUD Tahun
1945 terutama pada ayat (6) mendelegasikan kepada pembentuk
undang-undang, maka sejatinya pengaturan mengenai Pemilu termasuk
yang diujikan oleh Pemohon yakni norma Pasal 173 dan Pasal 222 UU
Pemilu merupan open legal policy. Hal yang sama juga ika merujuk
kepada Pendapat Mahkamah pada point [3.17] Putusan MK No 51-52-
59/PUU-VI/2008 maka sebetulnya norma yang sifatnya kebijakan hukum
terbuka ini jikalau dirasakan buruk oleh Pemohon bukanlah pelanggaran
konstitusi. Karena walaupun Pemohon menilai hal ini adalah buruk dan
lain sebagainya maka Pemohon juga bisa melihat bahwa yang dikatakan
buruk tersebut tidak selalu berarti melanggar konstitusi, keduali jika
norma tersebut jelas-jelas melanggar moralitas, rasionalitas dan
ketidakadilan yang intolerable.
8) Terkait dengan itu bahwa pelaksanaan Pilkada langsung pun hanya
dalam rangka memaknai frasa “...dipilih secara demokratis.” Oleh karena
itu kebutuhan ambang batas dalam pengaturan pencalonan di UU Pilkada
ini adalah penting karena hal ini terkait dengan legitimasi calon terpilih
dari kepala daerah maupun wakil kepala daerah. Hal ini pula merupakan
wujud open legal policy (kebijakan hukum terbuka pembentuk undang-
undang). Hal yang sama pula dengan pengaturan di Pemilu yang dalam
baik Pasal 22E maupun Pasal 6A UUD Tahun 1945 merupakan open legal
policy seperti dinyatakan pula pada point [3.17] Putusan MK No 51-52-
59/PUU-VI/2008.
9) Bahwa Pasal 222 UU Pemilu bukanlah pasal yang terpisah dari
pasal-pasal lainnya yang selaras dengan pengaturan ambang batas ini
pula. Sehingga, jikalau pun Para Pemohon menginginkan pasal ini
dibatalkan, lalu bagaimana dengan pasal-pasal lainnya pula yang terkait
dengan tata cara pengajuan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden
yang akan tidak harmonis / berkesesuaian karena masih menggunakan
acuan ambang batas 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau
memperoleh 25% (dua puiluh lima persen) dari suara sah secara nasional
pada Pemilu anggota DPR sebelumnya. Terkait ini pula Para Pemohon
pula perlu memahami bahwa MK pula tidak bisa Ultra petita yakni
memutus perkara lebih dari yang diminta oleh para Pemohon. Sehingga
apa asas manfaat dari putusan ini jikalau dikabulkan? Oleh karena itu
pula, dalam pula kita mempertanyakan pemahaman dari para Pemohon
baik dari hukum maupun kepemiluan berikut juga dari sisi kompetensi
mengenai UU No. 7 Tahun 2017 itu pula.

71/PUU-XV/2017

Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan
Umum
Pasal 222
"Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik
Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit
20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25%
(dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu
Anggota DPR periode sebelumnya."

Pasal 6A ayat (2); Pasal 22E ayat (1) dan ayat (2); Pasal 27 ayat (1); dan
Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2) UUD Tahun 1945.
Pasal 6A ayat (2)
"(2) Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai
politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum
pelaksanaan pemilihan umum."
Pasal 22E ayat (1) dan ayat (2)
"(1) Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas,
rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.
(2) Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil
Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.";
Pasal 27 ayat (1)
"(1) Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan
pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu
dengan tidak ada kecualinya.";
Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2)
"(1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan
hukum.
(2) Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan
perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja"