No. 7/2017 tentang Pemilihan Umum
KERUGIAN KONSTITUSIONAL PEMOHON
a. Bahwa Pemohon Perkara 70 beranggapan, bahwa berlakunya Pasal
222 UU Pemilu adalah bersifat dikriminatif kepada Partai Bulan Bintang,
karena berdasarkan hasil di Pemilu sebelumnya yakni 2014 Partai Bulan
Bintang tidak memiliki wakil di DPR sehingga tidak dapat mengusung
calon Presiden atau calon Wakil Presiden (Vide permohonan hal 4-5)
b. Bahwa pasal a quo oleh Pemohon Perkara 70 dianggap
bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2); Pasal 22E ayat (1), ayat (2), ayat
(3); dan Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945.
LEGAL STANDING
DPR RI menyerahkan sepenuhnya kepada Ketua/Majelis Hakim Konstitusi
Yang Mulia untuk mempertimbangkan dan menilai apakah Para Pemohon
memiliki kedudukan hukum (legal standing) sebagaimana yang diatur
dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK dan Putusan MK Perkara Nomor 006/PUU-
III/2005 dan Putusan perkara Nomor 011/PUU-V/2007 mengenai
parameter kerugian konstitusional.
POKOK PERKARA
1) Bahwa Pasal 222 UU Pemilu tidak bersifat dikriminatif karena
ketentuan ambang batas dalam Pasal a quo tidak membatasi dan
menutup ruang bagi munculnya tokoh-tokoh terbaik bangsa. Sehingga
tidak benar jika tidak ada ambang batas dalam pengajuan calon Presiden
atau calon Wakil Presiden maka niscaya akan menghadirkan banyak
kader bangsa yang berkualitas dan lebih demokratis. Oleh karena itu DPR
RI berpandangan bahwa pandangan Para Pemohon bersifat asumtif
belaka, karena sejatinya pasal ini tidak membatasi hak seseorang untuk
dapat diusulkan sebagai calon selama diusulkan oleh Partai Politik atau
gabungan Partai Politik yang memenuhi syarat berdasarkan ketentuan
Undang-undang ini.
2) Bahwa ketentuan Pasal 6A ayat (1) dan ayat (2) UUD Tahun 1945
muncul dalam amandemen ketiga UUD Tahun 1945 dan keduanya adalah
sejalan. Ayat (1) dinyatakan bahwa pasangan calon dipilih secara
langsung oleh rakyat, hal ini menujukkan bahwa ada jaminan persamaan
hak maupun kesempatan yang sama untuk duduk di pemerintahan
karena kembali lagi rakyat diberikan mandat langsung oleh konstitusi
untuk memilih siapakah yang akan memimpin mereka dalam
pemerintahan, baik itu Presiden maupun Wakil Presidennya. Mengenai
cara pengusulannya diatur pada ayat (2). Adapun Pasal 6A ayat (2) UUD
Tahun 1945 ini memiliki tiga maksud yakni Pertama, yang menjadi
Peserta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden bukan partai politik atau
gabungan partai politik melainkan pasangan calon presiden dan wakil
presiden. Kedua, partai politik atau gabungan partai politik berperan
sebagai pengusul pasangan calon presiden dan wakil presiden. dan
Ketiga, pengajuan pasangan calon presiden dan wakil presiden dilakukan
sebelum pelaksanaan pemilihan umum anggota DPR, dan DPD, serta
pemilihan umum presiden dan wakil presiden. Sehingga adalah tidak
benar jikalau asusmsi yang mendalilkan bahwa Pasal 222 UU Pemilu ini
bertentangan dengan Pasal 6A UUD Tahun 1945.
3) Bahwa berdasarkan Putusan MK No. 14/PUU-XI/2013 yang menjadi
dasar lahirnya UU Pemilu menyatakan bahwa “Pemilu Presiden dan Wakil
Presiden harus dilaksanakan secara serentak dengan Pemilu legislatif
pada Tahun 2019. Dikarenakan adanya frasa “partai politik atau
gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan
pemilihan umum.” dalam Pasal 6A ayat (2) UUD Tahun 1945 maka Pemilu
legislatif menjadi acuan (ambang batas yang digunakan) untuk Pemilu
Presiden dan Wakil Presiden (seperti terakhir di Pemilu tahun 2014).
Hal ini pula sejalan dengan maksud utama Putusan MK No. 14/PUU-
XI/2013 yang mana memiliki maksud untuk memperkuat sistem
presidensial, sehinga masih diperlukanlah ambang batas (presidential
threshold) bagi partai politik yang mengusulkan pasangan calon Presiden
dan Wakil Presiden.
4) Bahwa terkait dengan pemberlakuan ambang batas di Pasal 222 UU
No. 7 Tahun 2017 ini, seringkali pula dipertanyakan bahwa apakah
ambang batas tidak lagi diberlakukan dalam Pemilu serentak di tahun
2019 nanti, terkait dengan hal ini DPR RI menjawab bahwa hal ini adalah
keliru. Apalagi jikalau melihat Putusan MK No. 14/PUU-XI/2013 dimana
terkait pengaturan ambang batas sejatinya tidak pernah dibatalkan.
Effendi Gozali sebagai Pemohon perkara MK No. 14/PUU-XI/2013 juga
mengujikan mengenai ambang batas dalam Perkara MK No. 14/PUU-
XI/2013 tersebut. Namun demikian, dalam perkara tersebut MK tidak
mengabulkannya. Oleh karena itu bilamana sesuai dengan amanat yang
terkandung di pertimbangan Putusan MK No. 14/PUU-XI/2013, maka
dapat diketahui bahwa tujuan dilakukan keserentakan Pemilu Legislatif
dengan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden adalah untuk memperkuat
sistem presidensial. Dan dalam rangka itu, maka aturan tanpa adanya
ambang batas, yang mengakibatkan tidak akan adanya koalisi sejak awal
untuk mencalonkan Presiden dan Wakil Presiden adalah tidak sejalan
dengan niatan untuk memperkuat sistem Presidensial tersebut. Oleh
karena itulah makanya sejalan dengan tidak dikabulkannya permohonan
Pemohon dalam Perkara MK No. 14/PUU-XI/2013 terkait hal ini.
5) Bahwa hal lainnya, menyangkut gugatan terkait masih adanya
ambang batas ini pula di UU Pemilu, maka DPR RI menjawab terkait
dengan apakah diberlakukannya presidential threshold itu konstitusional
atau tidak dengan menggunakan Pendapat Mahkamah pada point [3.17]
Putusan MK No 51-52-59/PUU-VI/2008
6) Bahwa ketika membentuk UU Pemilu ini pula, pembentuk undang-
undang terutama DPR RI yang diwakili oleh Pansus RUU tentang
Penyelenggaraan Pemilu sudah pernah mendatangi MK pada tanggal 14
Desember 2016 untuk berkonsultasi mengenai pembentukan UU Pemilu
ini, salah satunya mengenai perlu atau tidaknya penggunaan presidential
threshold. Adapun jawaban lisan dari MK saat itu ketika didatangi
langsung oleh Pansus RUU tentang Penyelenggaraan Pemilu adalah hal ini
merupkan open legal policy (kebijakan hukum terbukan pembentuk
undang-undang), sesuai dengan Pendapat Mahkamah pada point [3.17]
Putusan MK No 51-52-59/PUU-VI/2008.
7) Bahwa terkait norma Pasal 222 UU Pemilu yang di ujikan oleh
Pemohon ini pula merupakan suatu norma yang merupakan kebijakan
hukum terbukan pembentuk undang-undang. Hal ini dikarenakan
terdapat delegasi kewenangan yang diberikan kepada pembentuk
undang-undang dalam melaksanakan Pemilu ini. Hal ini nyata terlihat
dalam Pasal 22E UUD Tahun 1945. Oleh karena Pasal 22E UUD Tahun
1945 terutama pada ayat (6) mendelegasikan kepada pembentuk
undang-undang, maka sejatinya pengaturan mengenai Pemilu termasuk
yang diujikan oleh Pemohon yakni norma Pasal 173 dan Pasal 222 UU
Pemilu merupan open legal policy. Hal yang sama juga ika merujuk
kepada Pendapat Mahkamah pada point [3.17] Putusan MK No 51-52-
59/PUU-VI/2008 maka sebetulnya norma yang sifatnya kebijakan hukum
terbuka ini jikalau dirasakan buruk oleh Pemohon bukanlah pelanggaran
konstitusi. Karena walaupun Pemohon menilai hal ini adalah buruk dan
lain sebagainya maka Pemohon juga bisa melihat bahwa yang dikatakan
buruk tersebut tidak selalu berarti melanggar konstitusi, keduali jika
norma tersebut jelas-jelas melanggar moralitas, rasionalitas dan
ketidakadilan yang intolerable.
8) Terkait dengan itu bahwa pelaksanaan Pilkada langsung pun hanya
dalam rangka memaknai frasa “...dipilih secara demokratis.” Oleh karena
itu kebutuhan ambang batas dalam pengaturan pencalonan di UU Pilkada
ini adalah penting karena hal ini terkait dengan legitimasi calon terpilih
dari kepala daerah maupun wakil kepala daerah. Hal ini pula merupakan
wujud open legal policy (kebijakan hukum terbuka pembentuk undang-
undang). Hal yang sama pula dengan pengaturan di Pemilu yang dalam
baik Pasal 22E maupun Pasal 6A UUD Tahun 1945 merupakan open legal
policy seperti dinyatakan pula pada point [3.17] Putusan MK No 51-52-
59/PUU-VI/2008.
9) Bahwa Pasal 222 UU Pemilu bukanlah pasal yang terpisah dari
pasal-pasal lainnya yang selaras dengan pengaturan ambang batas ini
pula. Sehingga, jikalau pun Para Pemohon menginginkan pasal ini
dibatalkan, lalu bagaimana dengan pasal-pasal lainnya pula yang terkait
dengan tata cara pengajuan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden
yang akan tidak harmonis / berkesesuaian karena masih menggunakan
acuan ambang batas 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau
memperoleh 25% (dua puiluh lima persen) dari suara sah secara nasional
pada Pemilu anggota DPR sebelumnya. Terkait ini pula Para Pemohon
pula perlu memahami bahwa MK pula tidak bisa Ultra petita yakni
memutus perkara lebih dari yang diminta oleh para Pemohon. Sehingga
apa asas manfaat dari putusan ini jikalau dikabulkan? Oleh karena itu
pula, dalam pula kita mempertanyakan pemahaman dari para Pemohon
baik dari hukum maupun kepemiluan berikut juga dari sisi kompetensi
mengenai UU No. 7 Tahun 2017 itu pula.
70/PUU-XV/2017
Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan
Umum
Pasal 222
"Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik
Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit
20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25%
(dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu
Anggota DPR periode sebelumnya."
Pasal 6A ayat (2); Pasal 22E ayat (1), ayat (2), ayat (3); dan Pasal 28D
ayat (1) UUD Tahun 1945
Pasal 6A ayat (2)
"(2) Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai
politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum
pelaksanaan pemilihan umum."
Pasal 22E ayat (1), ayat (2), ayat (3)
"(1) Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas,
rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.
(2) Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil
Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
(3) Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan
Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai
politik.";
Pasal 28D ayat (1)
"(1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan
hukum."
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430