Keterangan DPR mengenai Pengujian UU Terhadap UUD 1945

Keterangan DPR Perkara No. 68/PUU-XV/2017 / 06-09-2017

No. 11/2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

Kerugian Konstitusional
Para Pemohon dalam permohonannya mengemukakan bahwa hak
konstitusionalnya telah dirugikan dan dilanggar oleh
berlakunya ketentuan Pasal 99 Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (selanjutnya
disebut UU SPPA) sebagaimana dikemukakan dalam permohonannya
yang pada intinya sebagai berikut:
1. Akibat yang ditimbulkan dari pemberlakuan pasal a quo
menyebabkan jaksa berpotensi mengalami kerugian
konstitusional akibat adanya kriminalisasi yang berlebihan
terhadap jaksa dan mengancam independensi jaksa dalam
wewenangnya melakukan penuntutan. Menurut Para Pemohon,
independensi jaksa ini adalah prinsip dan jaminan utama yang
dipegang oleh jaksa dalam melaksanakan wewenangnya. (Vide
perbaikan permohonan hal. 5)
2. Bahwa pasal a quo tidak memuat tujuan yang jelas dari
pemidanaan tersebut sehingga tidak mencerminkan asas
keadilan secara proporsional bagi Para Pemohon. (Vide
perbaikan permohonan hal. 8)

Legal Standing
Terhadap kedudukan hukum (legal standing) Para Pemohon, DPR
RI memberikan pandangan bahwa yang dimohonkan Para Pemohon
adalah sesuatu yang belum dibuktikan kerugiannya bersifat
spesifik atau aktual yang ditimbulkan akibat berlakunya
pasal-pasal a quo). Bahwa tujuan pembentukan UU SPPA
sebagaimana tercantum dalam bagian Penjelasan Umum UU SPPA
adalah penekanan pada peran dan tugas masyarakat,
pemerintah, dan lembaga negara lainnya yang berkewajiban dan
bertanggung jawab untuk meningkatkan kesejahteraan Anak
serta memberikan pelindungan khusus kepada Anak yang
berhadapan dengan hukum untuk meningkatkan kesejahteraan
anak, sementara Para Pemohon mendalilkan kerugian
konstitusional yang dialami adalah karena pasal a quo
mengakibatkan adanya kriminalisasi yang berlebihan terhadap
jaksa (Vide perbaikan permohonan hal. 8). Dengan demikian
antara kerugian konstitusional yang didalilkan oleh Para
Pemohon dengan berlakunya pasal a quo yang dimohonkan
pengujian tidak memiliki hubungan sebab akibat (causal verband).

Pokok Perkara
Terhadap pokok perkara dalam Permohonan a quo, DPR RI
berpandangan sebagai berikut:
1. Bahwa untuk menjaga harkat dan martabatnya, anak berhak
mendapatkan pelindungan khusus, terutama pelindungan hukum
dalam sistem peradilan. Penegak hukum yang menangani perkara
anak yang berhadapan dengan hukum mulai dari tingkat
penyidikan sampai tingkat persidangan harus mendalami
masalah anak agar pasca perkaranya diputus, anak tersebut
baik secara fisik dan mental siap menghadapi masa depannya
secara lebih baik.
2. Bahwa fokus tujuan pengaturan dalam UU SPPA adalah
pengaturan tentang hukum acara yang bertujuan melindungi
anak dan meminimalisir dampak buruk akibat anak harus
diproses secara hukum.
3. Bahwa sebagai suatu sistem penegakkan hukum pidana, UU
SPPA memiliki tiga aspek penegakan hukum yaitu aspek hukum
pidana materiil, aspek hukum pidana formil, dan aspek hukum
pelaksanaan pidana. Terkait permohonan a quo, permasalahan
materi pasal a quo adalah pada ranah penegakkan hukum pidana
formil dimana jaksa akan diberikan sanksi pidana penjara
paling lama 2 (dua) tahun jika menyalahi ketentuan Pasal 34
ayat (3) UU SPPA. Meskipun aspek pidana formil secara umum
telah diatur dalam KUHAP, namun karena UU SPPA telah
mengatur secara khusus terkait aspek pidana formil dalam
sistem peradilan pidana anak, terutama terkait penyidikan
dan penuntutan, maka yang seharusnya menjadi ketentuan
rujukan untuk digunakan oleh penuntut umum adalah ketentuan
dalam UU SPPA.
4. Bahwa Para Pemohon telah mendalilkan tidak dilepasnya
pelaku anak dari tahanan setelah berakhirnya waktu
perpanjangan penahanan merupakan tanggung jawab pihak extra
judicial yaitu petugas dimana tempat anak ditahan
sebagaimana diatur dalam Pasal 39 UU SPPA. Terhadap dalil
Para Pemohon tersebut DPR RI berpandangan bahwa yang
menjadi materi dalam pasal a quo adalah kesengajaan penuntut
umum untuk tidak melaksanakan kewajiban mengeluarkan anak
dari tahanan. Sehingga yang memiliki kewajiban untuk
melakukan perintah untuk mengeluarkan anak dari tahanan
setelah perpanjangan penahanan berakhir adalah penuntut umum
in casu jaksa pada Kejaksaan RI.
5. Bahwa ketentuan Pasal 99 UU SPPA diawali dengan rumusan
frase “dengan sengaja”. Tentunya pengadilan harus
membuktikan dulu unsur kesengajaan dari pelaku yakni
menentukan niat dari pelaku. Pengadilan harus membuktikan
bahwa pelaku mengetahui dan menghendaki (weten and willen)
untuk melakukan suatu kejahatan. Dengan demikian, ketentuan
Pasal 99 UU SPPA dalam penerapannya tetap dilakukan secara
hati-hati.
6. Bahwa Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor
34/PUU-VIII/2010 menyatakan bahwa: “Tanpa adanya ketentuan
pidana maka larangan atau kewajiban tersebut tidak akan
mempunyai akibat hukum sama sekali karena aturan tersebut
tidak dapat ditegakkan dengan penggunaan kekuasaan negara.
Larangan hanya berarti sebagai himbauan saja” (Vide putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-VIII/2010 halaman 118).
Dengan demikian DPR berpendapat bahwa ketentuan Pasal 99 UU
SPPA bertujuan untuk penegakan ketentuan Pasal 34 ayat (3)
UU SPPA serta bukan untuk melakukan intervensi kepada
penuntut umum.

68/PUU-XV/2017

Pasal 99 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak

Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2)
UUD Tahun 1945