No. 7/2017 tentang Pemilihan Umum
KERUGIAN KONSTITUSIONAL PEMOHON
a. Bahwa Pemohon Perkara 62 beranggapan bahwa Pasal 173 (3) UU
PEMILU bersifat dikriminatif kepada Partai PERINDO. Diskriminatif ini
timbul dikarenakan berdasarkan ketentuan Pasal 173 ayat (3) UU PEMILU
maka ada ketidakadilan karena ada perbedaan perlakuan antara partai
politik yang sudah pernah diverifikasi sebelumnya di tahun 2014 dengan
partai politik yang baru saja berbadan hukum dan akan mengikuti Pemilu
di tahun 2019. (vide permohonan Pemohon hal 8)
b. Bahwa pasal-pasal a quo oleh Pemohon Perkara 62 dianggap
bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3); Pasal 22E ayat (1); Pasal 27 ayat
(1); Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3); dan Pasal 28I ayat (2) UUD Tahun
1945.
LEGAL STANDING
Terhadap dalil-dalil yang dikemukakan Para Pemohon dalam perkara
Nomor 44, 53, 59, 60, 61, dan 62/PUU-XV/2017 terhadap kedudukan
hukum (legal standing) tersebut, DPR RI berpandangan bahwa Para
Pemohon a quo, harus membuktikan dahulu kedudukan hukum (legal
standing) mengenai adanya kerugian hak dan/atau kewenangan
konstitusional atas berlakunya pasal a quo, Para Pemohon juga perlu
membuktikan secara logis hubungan sebab akibat (causal verband)
antara kerugian yang dialami Para Pemohon dengan berlakunya Pasal a
quo yang dimohonkan pengujian sebagaimana syarat-syarat yang harus
dipenuhi oleh ketentuan Pasal 51 ayat (1) dan Penjelasan UU MK, serta
memenuhi persyaratan kerugian konstitusional yang diputuskan dalam
putusan MK terdahulu.
Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, terhadap kedudukan hukum
(legal standing), DPR RI menyerahkan sepenuhnya kepada Ketua/Majelis
Hakim Konstitusi Yang Mulia untuk mempertimbangkan dan menilai
apakah Para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing)
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK dan Putusan MK
Perkara Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan perkara Nomor 011/PUU-
V/2007 mengenai parameter kerugian konstitusional.
POKOK PERKARA
a) Bahwa Para Pemohon menyatakan Pasal 173 ayat (1) UU PEMILU
sepanjang frasa “telah ditetapkan” dan Pasal 173 ayat (3) bersifat
diskriminatif. Menurut Para Pemohon adanya frasa “telah ditetapkan” di
Pasal 173 ayat (1) UU PEMILU bertentangan terutama dengan Pasal 28
ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945. Bahwa terhadap dalil
Para Pemohon tersebut, DPR RI berpandangan bahwa:
1) Bahwa hal tersebut merupakan pernyataan yang bersifat asumtif
belaka. Pasal 173 ayat (1) sepanjang frasa “telah ditetapkan” dan Pasal
173 ayat (3) UU PEMILU tidak bertentangan dengan Pasal 28 ayat (1)
UUD Tahun 1945 karena norma Pasal yang dimohonkan untuk diuji tidak
mengandung larangan atau pembatasan untuk membentuk partai politik
maupun melaksanakan fungsinya sebagai partai partai politik;
2) Bahwa Pasal 173 ayat (1) sepajang frasa “telah ditetapkan” dan
Pasal 173 ayat (3) UU PEMILU tidak bertentangan dengan Pasal 28D
ayat (1) UUD Tahun 1945 karena norma Pasal yang dimohonkan untuk
diuji justru memberikan kesempatan bagi seluruh partai politik untuk
dapat ditetapkan sebagai peserta pemilu sepanjang memenuhi
persyaratan yang ditentukan oleh Undang-Undang untuk kepastian
hukum yang adil bagi semua parti politik peserta pemilu;
3) Bahwa perlakuan yang tidak sama tidak serta merta bersifat
diskriminatif, demikian pula bahwa esensi keadilan bukan berarti harus
selalu sama, melainkan perlu pula dilihat secara proporsional;
b) Bahwa norma yang dimohonkan untuk diuji tersebut pada pokoknya
mengandung maksud bahwa peserta Pemilu adalah partai-partai politik
yang telah ditetapkan oleh KPU sebagai partai politik peserta Pemilu.
Pada prinsipnya UU mengatur bahwa Partai Politik yang ditetapkan
sebagai Peserta Pemilu adalah Partai Politik yang ditetapkan KPU karena
telah memenuhi persyaratan Pasal 173 ayat (2) berdasarkan hasil
verifikasi. Selanjutnya terdapat partai-partai yang sudah pernah
diverifikasi berdasarkan Pasal 173 ayat (2) (yang substansinya memang
disamakan persis dengan persyaratan yang ada pada UU sebelumnya)
dan dinyatakan lulus, namun ada pula partai politik yang belum pernah
diverifikasi dengan persyaratan tersebut. Dengan kata lain ada 2 (dua)
kategori, yakni partai politik yang lulus karena memenuhi persyaratan
verifikasi yang diatur di Pasal 173 ayat (2) UU PEMILU dan partai politik
yang sudah pernah lulus verifikasi yang diatur di Pasal 173 ayat (2) UU
PEMILU tersebut. Dengan demikian penekanannya adalah verifikasi,
bukan mengenai partai politik lama atau partai politik baru sebagai
dinyatakan oleh Para Pemohon dalam pemohonannya;
c) Bahwa dari sisi implementasinya maka Pasal 173 ayat (1) UU
PEMILU sepanjang frasa “telah ditetapkan” dan ayat (3) tersebut
membawa implikasi bahwa bagi partai-partai politik yang belum pernah
diverifikasi berdasarkan ketentuan Pasal 173 ayat (2) UU PEMILU maka
harus dilakukan verifikasi dan harus lulus verifikasi tersebut, sementara
partai-partai politik yang sudah pernah diverifikasi berdasarkan norma
Pasal 173 ayat (2) UU PEMILU maka tidak perlu diverifikasi kembali.
Partai Politik yang sudah pernah diverifikasi tidak hanya terbatas pada
Partai Politik yang berhasil menempatkan wakilnya di DPR RI, melainkan
juga seluruh Partai Politik Peserta Pemilu yang dinyatakan lulus verifikasi
pada pemilu sebelumnya, meskipun tidak dapat menempatkan wakilnya
di DPR RI karena tidak memenuhi ambang batas. Hal tersebut
menunjukkan bahwa asumsi Para Pemohon yang beranggapan
pembentuk UU tendensius dan hanya mementingkan partai politik yang
memperoleh kursi di DPR RI adalah tidak benar dan tidak berdasar.
d) Bahwa adapun untuk partai-partai politik yang tidak perlu
diverifikasi kembali karena sudah pernah diverfikasi dan lulus sesuai
dengan ketentuan Pasal 173 ayat (2) UU PEMILU, tetap memiliki
kewajiban untuk memasukkan data partai politik ke dalam Sipol
(sebagaimana diatur dalam Rancangan Peraturan KPU tentang
Pendaftaran Verifikasi, dan Penetapan Partai Politik Peserta Pemilu
Anggota DPR dan DPRD yang telah dikonsultasikan dengan Komisi II DPR
RI dan Pemerintah). Termasuk untuk diverifikasi di DOB (daerah otonomi
baru). Dengan demikian hal ini menjawab dalil yang dinyatakan Para
Pemohon pada angka 19. (vide permohonan Pemohon hal 12);
e) Bahwa Para Pemohon juga mendalilkan bahwa Pasal 173 ayat (1)
UU PEMILU sepanjang frasa “telah ditetapkan” dan ayat (3) tersebut
adalah bertentangan dengan kemerdekaan berserikat dan berkumpul
yang diatur di dalam Pasal 28 ayat (1) dan perlakuan yang setara yang
diatur di Pasal 28D ayat (3) UUD Tahun 1945. Bahwa terhadap dalil Para
Pemohon tersebut, DPR RI berpandangan bahwa hal tersebut tidak benar
dan tidak berdasar. Hal ini dapat dilihat dengan mencermati Putusan
Mahkamah Konstitusi No. 52/PUU-X/2012, mengingat dalam pembahasan
perumusan norma tersebut, pembentuk undang-undang sangat
mencermati putusan tersebut dan dijadikan pegangan oleh pembentuk
undang-undang. Pada halaman 93 Putusan MK tersebut disebutkan:
“Untuk mencapai persamaan hak masing-masing partai politik ada dua
solusi yang dapat ditempuh yaitu, pertama, menyamakan persyaratan
kepesertaan Pemilu antara partai politik peserta Pemilu tahun 2009 dan
partai politik peserta Pemilu tahun 2014, atau kedua, mewajibkan seluruh
partai politik yang akan mengikuti Pemilu tahun 2014 dengan persyaratan
baru yang ditentukan dalam Undang-Undang a quo”;
f) Bahwa berdasarkan pendapat Mahkamah dalam Putusan Mahkamah
Konstitusi tersebut, pembentuk undang-undang memutuskan pilihan
dengan menyamakan persyaratan kepesertaan Pemilu antara partai
politik peserta Pemilu 2014 dengan partai politik peserta pemilu 2019.
Meskipun dalam pembahasan terdapat keinginan untuk merumuskan
syarat-syarat baru, namun pada akhirnya disepakati untuk tetap
menggunakan syarat sama seperti yang sebelumnya, sesuai pendapat
Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut;
g) Bahwa hal lainnya adalah kemanfaatan yang muncul dari norma
dalam Pasal 173 ayat (1) dan (3) UU PEMILU. Adapun sebagaimana
diketahui bahwa sebelum pembentukan UU PEMILU ini, DPR RI sudah
pernah mendapatkan gambaran biaya dari KPU mengenai besaran biaya
yang dibutuhkan untuk Pemilu 2019, dan dana yang begitu besar
dikeluarkan untuk kepentingan verifikasi faktual partai politik yakni
sebesar 600 miliar. Oleh karena itu pula, maka pembentuk undang-
undang rela untuk tidak diverifikasi kembali hal ini dengan niatan mulia
atas dasar menghemat anggaran negara. Sehingga dengan ini pula maka
nilai kemanfaatan norma ini begitu besar;
h) Bahwa sebagaimana diketahui bahwa pembentuk undang-undang
dalam membentuk suatu norma selalu dihadapkan dengan kewajiban
bahwa suatu norma harus dapat membawa kemanfaatan. Apalah artinya
norma yang ada dibuat namun memunculkan keresahan. Hal ini juga
tidak sejalan dengan prinsip hukum itu sendiri yang seharusnya
mengandung nilai-nilai dasar yakni nilai keadilan (gerechtigkeit), nilai
kemanfaatan (zweckmassigkeit) dan nilai kepastian (rechtssicherheit).
Radbruch menyebut nilai kemanfaatan sebagai tujuan keadilan atau
finalitas. Kemanfaatan menentukan isi hukum, sebab isi hukum memang
sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai. Isi hukum berkaitan secara
langsung dengan keadilan dalam arti umum, sebab hukum menurut isinya
merupakan perwujudan keadilan tersebut. Tujuan keadilan umum adalah
tujuan hukum itu sendiri yaitu memajukan kebaikan dalam hidup
manusia. Menurut Sudikno Mertokusumo, hukum yang dimaksud dibuat
untuk manusia, maka pelaksanaan hukum atau penegakan hukum harus
memberikan manfaat atau kegunaan bagi masyarakat. Jangan sampai
justru karena hukumnya dilaksanakan atau ditegakkan, timbul keresahan
di dalam masyarakat. Oleh karena itu pembentuk undang-undang dalam
hal ini membuat norma yang membawa kemanfaatan dalam Pasal 173
ayat (1) dan ayat (3) UU PEMILU;
i) Bahwa ketentuan mengenai verifikasi partai politik peserta Pemilu
dalam Pasal a quo merupakan bentuk upaya penyederhanaan jumlah
partai politik yang akan ikut dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
Hal tersebut sejalan dengan tujuan dibentuknya UU PEMILU, dalam
penjelasan umum yang mengemukakan bahwa pengaturan terhadap
Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dalam UU a quo dimaksudkan untuk
menegaskan sistem presidensiil yang kuat dan efektif, dimana Presiden
dan wakil Presiden terpilih tidak hanya memperoleh legitimasi yang kuat
dari rakyat, namun dalam rangka mewujudkan efektivitas pemerintahan
juga diperlukan basis dukungan DPR RI. Pemerintahan tanpa dukungan
parlemen yang kuat sangat sulit untuk merealisasikan program yang telah
disusun. Bahwa DPR RI mengutip pendapat Mahkamah dalam Putusan
Mahkamah Konstitusi No. 52/PUU-X/2012, Point 3.17, terkait pembatasan
jumlah partai politik, sebagai berikut:
“bahwa dalam membatasi jumlah partai politik, terutama yang akan
mengikuti pemilihan umum, pembentuk undang-undang tidak melakukan
pembatasan dengan menetapkan jumlah partai politik sebagai peserta
Pemilu, melainkan, antara lain dengan menentukan syarat-syarat
administratif sebagaimana diatur dalam Pasal 8 UU 8/2012. Tidak
dibatasinya jumlah partai politik sebagai peserta Pemilu yang akan
mengikuti pemilihan umum merupakan perwujudan dari maksud
pembentuk undang-undang dalam mengakomodasi kebebasan warga
negara untuk berserikat dan berkumpul, sekaligus menunjukkan bahwa
semua warga negara memiliki hak yang sama untuk mendirikan atau
bergabung dengan partai politik tertentu, tentunya setelah memenuhi
syarat-syarat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Atas dasar pengertian yang demikian, menurut Mahkamah,
tindakan pembentuk undang-undang yang membatasi jumlah partai
politik peserta pemilihan umum dengan tanpa menyebut jumlah partai
peserta Pemilu adalah pilihan kebijakan yang tepat dan tidak
bertentangan dengan UUD 1945 karena pembatasan tersebut tidak
ditentukan oleh pembentuk undang-undang melainkan ditentukan sendiri
oleh rakyat yang memiliki kebebasan untuk menentukan pilihannya
secara alamiah”;
j) Bahwa ketika membentuk UU No. 7 Tahun 2017 ini (UU PEMILU),
pembentuk undang-undang terutama DPR RI yang diwakili oleh Pansus
RUU tentang Penyelenggaraan Pemilu sudah pernah mengunjungi
Mahkamah Konstitusi pada tanggal 14 Desember 2016 untuk
berkonsultasi mengenai sejumlah Putusan Mahkamah Konstitusi terkait
dengan kepemiluan, salah satunya adalah Putusan Mahkamah Konstitusi
No. 52/PUU-X/2012. Adapun jawaban lisan dari Mahkamah Konstitusi
bahwa hal ini merupkan open legal policy (kebijakan hukum terbuka
pembentuk undang-undang);
k) Bahwa terkait dengan ketentuan Pasal 173 ayat (2) huruf e UU
PEMILU yang dipersoalkan Para Pemohon, DPR RI berpandangan bahwa
Pemohon perlu memahami ketentuan keterwakilan perempuan dalam
kepengurusan partai politik di tingkat pusat adalah sesuai dengan UU No.
2 Tahun 2008 tentang Partai Politik sebagaimana diubah terakhir dengan
UU No. 2 Tahun 2011. Bahwa dalam Pasal 2 ayat (5) UU Partai Politik
tersebut adalah jelas bahwa keterwakilan perempuan diperntahkan wajib
hanya di tingkat pusat saja. Bahwa adanya norma tersebut tidaklah
membatasi sama sekali keikutsertaan perempuan dalam partai politik
sebagaimana didalilkan oleh Pemohon. Karena norma tersebut berbunyi
minimal 30% sehingga kalau mau lebih boleh, tidak dibatasi. Namun
demikian ketika ingin diubah seperti yang dimuat dalam petitum Pemohon
dimana di tiap tingkatan perlu ada ketrwakilan kepengurusan perempuan
maka tentu hal yang dikehendaki Pemohon a quo, yang pertama
bertentangan dengan UU Partai Politik kemudian yang kedua norma yang
tercipta akan bersifat mewajibkan. Bahwa terkait dengan keikutsertaan
perempuan dalam partai politik ini pula perlu kiranya Pemohon membaca
dan memahami sejumlah Putusan Mahkamah Konstitusi yang terkait
yakni seperti misalnya Putusan Mahkamah Konstitusi No. 89/PUU-
XII/2014, Putusan Mahkamah Konstitusi No. 82/PUU-XII/2014, Putusan
Mahkamah Konstitusi No. 22-24/PUU-VI/2008, dan Putusan Mahkamah
Konstitusi No. 20/PUU-XI/2013.
62/PUU-XV/2017
Pasal 173 ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang
Pemilihan Umum
Pasal 173
"(3) Partai politik yang telah lulus verifikasi dengan syarat sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) tidak diverifikasi ulang dan ditetapkan sebagai
Partai Politik Peserta Pemilu"
Pasal 1 ayat (3); Pasal 22E ayat (1); Pasal 27 ayat (1); Pasal 28D ayat (1)
dan ayat (3); dan Pasal 28I ayat (2) UUD Tahun 1945.
Pasal 1 ayat (3)
"(3) Negara Indonesia adalah negara hukum";
Pasal 22E ayat (1)
"(1) Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas,
rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali";
Pasal 27 ayat (1)
"(1) Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan
pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu
dengan tidak ada kecualinya";
Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3)
"(1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan
hukum.
(3) Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama
dalam pemerintahan";
Pasal 28I ayat (2)
"(2) Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif
atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap
perlakuan yang bersifat diskriminatif itu"
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430