No. 7/2017 tentang Pemilihan Umum
KERUGIAN KONSTITUSIONAL PEMOHON
a. Bahwa Pemohon Perkara 61 adalah anggota DPRA, dan oleh
karenaya berpendapat bahwa Pasal 557 ayat (1) huruf a, huruf b dan
ayat (2) serta Pasal 571 huruf d UU PEMILU telah merugikan hak yang
dimiliki oleh Pemohon I dan Pemohon II. Hal ini dikarenakan dengan
ketentuan yang ada dan diatur di UU PEMILU tersebut maka ketentuan
untuk mengisi kelembagaan Pemilu di Aceh wajib berdasarkan UU
PEMILU setelah sebelumnya umum menggunakan UU No. 11 Tahun 2006
tentang Pemerintahan Aceh (UUPA). (vide permohonan Pemohon hal 10-
11).
b. Bahwa pasal-pasal a quo oleh Pemohon Perkara 61 dianggap
bertentangan dengan Pasal 18A ayat (1); Pasal 18B ayat (1); Pasal 18
ayat (3); dan Pasal Pasal 28C ayat (2) UUD Tahun 1945
LEGAL STANDING
Terhadap dalil-dalil yang dikemukakan Para Pemohon dalam perkara
Nomor 44, 53, 59, 60, 61, dan 62/PUU-XV/2017 terhadap kedudukan
hukum (legal standing) tersebut, DPR RI berpandangan bahwa Para
Pemohon a quo, harus membuktikan dahulu kedudukan hukum (legal
standing) mengenai adanya kerugian hak dan/atau kewenangan
konstitusional atas berlakunya pasal a quo, Para Pemohon juga perlu
membuktikan secara logis hubungan sebab akibat (causal verband)
antara kerugian yang dialami Para Pemohon dengan berlakunya Pasal a
quo yang dimohonkan pengujian sebagaimana syarat-syarat yang harus
dipenuhi oleh ketentuan Pasal 51 ayat (1) dan Penjelasan UU MK, serta
memenuhi persyaratan kerugian konstitusional yang diputuskan dalam
putusan MK terdahulu.
Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, terhadap kedudukan hukum
(legal standing), DPR RI menyerahkan sepenuhnya kepada Ketua/Majelis
Hakim Konstitusi Yang Mulia untuk mempertimbangkan dan menilai
apakah Para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing)
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK dan Putusan MK
Perkara Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan perkara Nomor 011/PUU-
V/2007 mengenai parameter kerugian konstitusional.
POKOK PERKARA
Pandangan DPR RI terhadap pengujian Pasal 557 dan Pasal 571 huruf d
UU PEMILU.
a) Bahwa Pemohon I dan Pemohon II mendalilkan bahwa dengan
berlakunya Pasal 557 ayat (1) huruf a, huruf b dan ayat (2) serta Pasal
571 huruf d UU PEMILU, maka hak yang sebelumnya dimiliki oleh
Pemohon I dan Pemohon II untuk membentuk penyelenggara di Aceh
menjadi hilang. Lebih lanjut pula bahwa hal ini juga menurut Pemohon I
dan Pemohon II hal ini telah bertentangan dengan kekhususan yang
dimiliki oleh Aceh. Bahwa terhadap dalil Pemohon tersebut, DPR RI
berpandangan bahwa hal tersebut merupakan asumsi Pemohon sendiri.
Bahwa Pemohon perlu memahami bahwa dibentuknya UU No. 7 Tahun
2017 selaku UU PEMILU terbaru adalah tindak lanjut Putusan Mahkamah
Konstitusi No 14/PUU-XI/2013. Bahwa salah satu landasan ide yang
dibangun di UU PEMILU yang baru ini adalah perbaikan pengaturan dan
kewenangan bagi penyelenggara Pemilu. Beberapa hal baru di UU
PEMILU ini adalah seperti pengawas pemilu di tingkat Kabupaten/Kota
diberikan status yang baru yakni menjadi permanen dan karenanya
berubah nama menjadi Bawaslu Kabupaten/Kota, begitu juga dengan
jumlahnya di tiap kabupaten/kota dan, dan juga kewenangannya (saat ini
ada kewenangan untuk mengeluarkan putusan yang wajib dilaksanakan
oleh KPU) sebelumnya tidak ada. Bahwa penguatan kelembagaan dan
kewenangan yang ada ini memiliki alasan yang sangat penting karena
kedepannya ada event Pemilu 2019 dan perlu penyelenggara yang lebih
kuat. Bahwa hal ini pula yang menjadi alasan mengapa dirumuskan
norma Pasal 557 ayat (1) huruf a, huruf b dan ayat (2) serta Pasal 571
huruf d UU PEMILU yang diajukan oleh Para Pemohon, karena
pengaturan UUPA telah tertinggal jauh. Bagaimanapun Para Pemohon
perlu memahami bahwa hukum selalu berkembang (tidaklah statis), dan
oleh karena itu perlu diatur kembali mengenai hal tersebut dalam UU
PEMILU ini karena norma yang ada tidak sinkron dengan pengaturan
lama di UUPA. Oleh karena itu demi menjamin kepastian hukum dan
mencegah dualisme pengaturan yang yang saling tumpang tindih maka
dirumuskan norma pengaturan Pasal 557 ayat (1) huruf a, huruf b dan
ayat (2) serta Pasal 571 huruf d UU PEMILU tersebut;
b) Bahwa Pemohon I dan Pemohon II jikalau merasa hak
konstitusionalnya hilang, hal tersebut adalah keliru. Karena yang dicabut
di UUPA hanya Pasal 57 dan Pasal 60 ayat (1), ayat (2), dan ayat (4).
Karena di Pasal 56 ayat (4) UUPA misalnya, begitu juga Pasal 60 ayat (3)
UUPA keduanya masih berlaku, sehingga jelas bahwa DPRA masih
berwenang memilih KIP dan Panwaslih di Aceh.
c) Bahwa benar UUPA harus dipahami sebagai konsensus besar dalam
sebuah kesepakatan perdamaian antara GAM dan Pemerintah RI yang
dituangkan dalam MoU Helsinki dan diaktualisasikan dalam UUPA. (vide
permohonan Pemohon hal 13-14). Namun demikian, perubahan-
perubahan dalam rangka penyesuaian dengan berkembangnya hukum
termasuk hukum kepemiluan tidaklah dapat dihindari. Seperti misalnya
Pasal 56 ayat (1) UUPA yang menyatakan bahwa: “KIP Aceh
menyelenggarakan pemilihan umum Presiden/Wakil Presiden, anggota
Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, anggota
DPRA, dan pemilihan gubernur/wakil gubernur”.
Bahwa fakta hukum pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No. 97/PUU-
XI/2013 secara tegas Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa Pilkada
bukanlah rezim Pemilu, maka norma di Pasal 56 ayat (1) UUPA menjadi
tidak relevan.
d) Bahwa perlu dipahami oleh Para Pemohon bahwa pembentuk undang-
undang selalu tetap mempertimbangkan adanya kekhususan yang ada di
Aceh yakni pembentuk undang-undang sama sekali tidak mengganti
kekhususan penyebutan nama penyelenggara di Aceh yakni masih tetap
Komisi Independen Pemilihan Provinsi Aceh (KIP Provinsi Aceh) yang
setara dengan KPU Provinsi untuk daerah lainnya pada umumnya dan
Komisi Independen Pemilihan Kabupaten/Kota (KIP Kabupaten/Kota)
yang setara dengan KPU Kabupaten/Kota. Sedangkan untuk lembaga
pengawasnya untuk setingkat Bawaslu Provinsi untuk Aceh ada Panitia
Pengawas Pemilhan Provinsi Aceh (Panwaslih Aceh) dan untuk setingkat
Bawaslu Kabupaten/Kota ada Panitia Pengawas Pemilihan
Kabupaten/Kota (Panwaslih Kabupaten/Kota). Penyebutan nama ini yang
masih konstan digunakan oleh Pembentuk Undang-Undang dalam UU
Pemilu terbaru ini sejalan pula dengan Pasal 569 UU No. 7 Tahun 2017
e) Bahwa terkait norma Pasal 557 ayat (1) huruf a, huruf b dan ayat (2)
serta Pasal 571 huruf d UU PEMILU yang di ujikan oleh Pemohon ini pula
merupakan suatu norma yang merupakan kebijakan hukum terbukan
pembentuk undang-undang. Hal ini dikarenakan terdapat delegasi
kewenangan yang diberikan kepada pembentuk undang-undang dalam
melaksanakan Pemilu ini.
61/PUU-XV/2017
Pasal 557 ayat (1) huruf a, huruf b, dan ayat (2) serta Pasal 571 huruf d
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum
Pasal 557
"(1) Kelembagaan Penyelenggara Pemilu di Aceh terdiri atas:
a. Komisi Independen Pemilihan Provinsi Aceh dan Komisi Independen
Pemilihan Kabupaten/Kota merupakan satu kesatuan kelembagaan yang
hierarkis dengan KPU; dan
b. Panitia Pengawas Pemilihan Provinsi Aceh dan Panitia Pengawas
Pemilihan Kabupaten/Kota merupakan satu kesatuan kelembagaan yang
hierarkis dengan Bawaslu.
(2) Kelembagaan Penyelenggara Pemilu di Aceh sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib mendasarkan dan menyesuaikan
pengaturannya berdasarkan Undang-Undang ini"
Pasal 571
"Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:
d. Pasal 57 dan Pasal 60 ayat (1), ayat (2), serta ayat (4) Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 62, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4633), dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku."
Pasal 18A ayat (1); Pasal 18B ayat (1); Pasal 18 ayat (3); dan Pasal 28C
ayat (2) UUD Tahun 1945
Pasal 18A ayat (1)
"(1) Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintahan
daerah provinsi, kabupaten, dan kota, atau antara provinsi dan kabupaten
dan kota, diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan
kekhususan dan keragaman daerah.";
Pasal 18B ayat (1)
"(1) Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan
daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan
undang-undang.";
Pasal 18 ayat (3)
"(3) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih
melalui pemilihan umum.";
Pasal 28C ayat (2)
"(2) Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam
memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat,
bangsa, dan negaranya"
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430