Keterangan DPR mengenai Pengujian UU Terhadap UUD 1945

Keterangan DPR Perkara No. 51/PUU-XV/2017 / 16-08-2017

No. 34/2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji

Kerugian Konstitusional:
1. Perihal “kewenangan menginvestasikan keuangan haji”:
Bahwa berlakunya pasal a quo mengakibatkan dana haji hasil setoran Pemohon tidak mendapat pelindungan hukum yang pasti. Frasa “berwenang menempatkan dan menginvestasikan keuangan haji sesuai standar syariah, kehati-hatian, keamanan, dan nilai manfaat” dalam Pasal a quo tidak ada dasar hukumnya. Menurut Pemohon, tidak pernah ada mandat dari Pemohon yang memberikan kepercayaan kepada Badan Pengelola Keuaangan Haji (BPKH) untuk menginvestasikan dana setoran haji Pemohon agar berkembang lebih besar dari yang disetorkan.
(Vide permohonan halaman 11)

2. Perihal “investasi keuangan haji”:
Bahwa pembuat Undang-Undang telah salah menafsirkan makna investasi yang penuh kehati-hatian dengan prinsip syariah pasti menguntungkan. Padahal investasi dalam bentuk apapun akan mengalami risiko kerugian. Selain itu, sejak awal pembuat Undang-Undang sudah meninggikan biaya setoran awal Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) yang bertujuan agar terjadi penumpukan dana BPIH sehingga pembuat Undang-Undang melalui BPKH bisa mengelola dana BPIH milik Pemohon dan calon jemaah haji lainnya.
(Vide permohonan halaman 13)

Legal Standing:
Jika kelima syarat tersebut tidak dipenuhi oleh Pemohon dalam perkara pengujian undang-undang a quo, maka Pemohon tidak memiliki kualifikasi kedudukan hukum (legal standing) sebagai Pemohon. Menanggapi permohonan Pemohon a quo, DPR RI berpandangan bahwa Para Pemohon harus dapat membuktikan terlebih dahulu apakah benar Para Pemohon sebagai pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan atas berlakunya ketentuan yang dimohonkan untuk diuji, khususnya dalam mengkonstruksikan adanya kerugian terhadap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagai dampak dari diberlakukannya ketentuan yang dimohonkan untuk diuji.

Terhadap kedudukan hukum (legal standing) Pemohon, DPR RI menyerahkan sepenuhnya kepada Mahkamah Konstitusi untuk mempertimbangkan dan menilainya apakah Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) atau tidak dalam permohonan Pengujian Undang-Undang a quo, sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahu 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 maupun berdasarkan putusan-putusan Mahkamah Konstitusi terdahulu (vide Putusan Nomor 006/PUU-I11/2005 dan Putusan Nomor 011/PUU-V12007).

Pokok Perkara:
1) Bahwa penyelenggaraan ibadah haji yang melibatkan jumlah jemaah haji yang sangat besar dan berbagai instansi, baik di dalam maupun luar negeri yang berhubungan dengan berbagai aspek pelayanan antara lain bimbingan, transportasi, kesehatan, dan akomodasi serta aspek keamanan dan perlindungan bagi jamaah haji. Oleh karena itu, dalam konteks Indonesia, penyelenggaraan haji merupakan suatu bentuk pelayanan publik kepada masyarakat yang harus dijamin dan dilindungi oleh Negara, sehingga penyelenggaraan ibadah haji harus menjadi tanggung jawab negara dan merupakan tugas nasional. Selain itu, sesuai dengan pendapat Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 12/PUU-XIII/2015, dinyatakan bahwa “Pemerintah sebagai penanggung jawab yang diamanatkan konstitusi mempunyai tugas mengatur tentang persyaratan bagi setiap warga negaranya yang hendak menunaikan ibadah haji termasuk mengenai biaya pengelolaan keuangan ibadah haji itu sendiri”. (Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 12/PUU-XIII/2015: 88)

2) Bahwa setoran awal Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) merupakan uang titipan masyarakat yang akan digunakan untuk tujuan tertentu, yakni biaya penyelenggaraan ibadah haji yang pengelolaannya memerlukan pengaturan tersendiri. Berdasarkan amanat UU Pengelolaan Keuangan Haji, pengelolaannya dilakukan oleh BPKH sebagai badan hukum publik dan wakil yang sah dari jemaah haji yang bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri Agama. Tujuan yang diharapkan dari pengelolaan yang dilakukan oleh BPKH adalah untuk memberikan nilai tambah dan rasionalisasi biaya bagi kemaslahatan jemaah haji dan umat Islam.

3) Bahwa berdasarkan pendapat Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 12/PUU-XIII/2015, pengelolaan keuangan haji dalam bentuk setoran awal biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) dan tambahan nilai manfaat dari setoran BPIH ke rekening Badan Pengelolaan Keuangan Haji (BPKH) yang diatur dalam UU 34/2014 bukan merupakan suatu bentuk pengambilalihan paksa secara sewenang-wenang hak milik calon jemaah haji atau masyarakat, melainkan pengaturan tersebut untuk efisiensi dan efektifitas agar dapat diperoleh manfaat yang optimal dalam rangka memberikan nilai tambah dan rasionalisasi biaya bagi kemaslahatan jemaah haji dan umat Islam dan tidak merugikan para calon jemaah haji. Pengaturan tersebut justru memberikan kepastian hukum dan perlindungan kepada masyarakat, khususnya para calon jemaah haji demi keadilan dan ketertiban masyarakat yang dapat terkontrol pelaksanaannya. (Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 12/PUU-XIII/2015: 90)

4) Bahwa terhadap Pasal 24 huruf a UU Pengelolaan Keuangan Haji yang menyatakan:
“Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22, BPKH berwenang:
a. menempatkan dan menginvestasikan Keuangan Haji sesuai dengan prinsip syariah, kehati-hatian, keamanan, dan nilai manfaat;...”
Pada dasarnya pasal a quo mengatur mengenai salah satu kewenangan BPKH untuk menempatkan dan menginvestasikan Keuangan Haji sesuai dengan prinsip syariah, kehati-hatian, keamanan, dan nilai manfaat. Terhadap argumentasi Pemohon dalam permohonannya, menurut DPR RI pengaturan mengenai kewenangan BPKH sebagai penanggung jawab dalam pengelolaan keuangan haji merupakan bagian dari kewenangan atribusi yang diberikan oleh pembuat undang-undang (Pemerintah dan DPR RI) kepada BPKH. Kewenangan BPKH yang diberikan oleh UU Pengelolaan Keuangan Haji tersebut merupakan bentuk tanggung jawab negara untuk memberikan pelayanan publik kepada masyarakat sesuai dengan amanat konstitusi. Selain itu, keberadaan BPKH yang bertindak untuk dan atas nama jemaah haji dalam menempatkan dan menginvestasikan keuangan haji dengan batasan-batasan yang jelas dalam UU Pengelolaan Keuangan Haji merupakan upaya negara untuk memberikan kepastian hukum dan memberikan jaminan pelindungan atas harta atau dana jemaah haji sesuai dengan amanat Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945. Hal ini juga sesuai dengan pendapat Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 12/PUU-XIII/2015 yang menyatakan bahwa pengelolaan keuangan haji dalam undang-undang a quo bukan merupakan suatu bentuk pengambilalihan paksa secara sewenang-wenang hak milik calon jemaah haji atau masyarakat, melainkan pengaturan tersebut untuk efisiensi dan efektifitas agar dapat diperoleh manfaat yang optimal dalam rangka memberikan nilai tambah dan rasionalisasi biaya bagi kemaslahatan jemaah haji dan umat Islam dan tidak merugikan para calon jemaah haji.

5) Selain itu, berdasarkan pendapat Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 13/PUU-XIII/2015, dinyatakan bahwa “pengaturan dalam Undang-Undang yang dimaksudkan untuk menyelenggarakan ibadah haji secara profesional dan akuntabel karena bersangkut paut dengan daya guna dan hasil guna dana yang berasal dari masyarakat (c.q. umat Islam) tidaklah dapat dikatakan sebagai tindakan pengambilalihan harta benda warga negara secara sewenang-wenang”. Meskipun pendapat Mahkamah di atas merupakan putusan terhadap Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji (UU Penyelenggaraan Ibadah Haji), namun menurut DPR RI tetap relevan dalam hal kewenangan menginvestasikan keuangan haji, karena sebelum adanya UU Pengelolaan Keuangan Haji, dana haji juga telah diinvestasikan oleh Menteri Agama dalam bentuk giro, deposito, tabungan, dan SBSN. Dalam UU Pengelolaan Keuangan Haji, justru masalah pengelolaan dana haji telah tegas-tegas diatur sehingga akan memberikan kepastian hukum kepada calon jemaah haji.

6) Bahwa kewenangan BPKH dalam menempatkan dan menginvestasikan keuangan haji dalam Pasal a quo dibatasi harus berdasarkan prinsip syariah, kehati-hatian, keamanan, dan nilai manfaat. Yang dimaksud dengan investasi sesuai dengan prinsip syariah adalah transaksi yang dilakukan oleh para pihak harus adil, halal, thayyib dan maslahah, serta terbebas dari unsur larangan seperti riba, maysir, dan gharar. Prinsip kehati-hatian dan keamanan dalam pengelolaan keuangan haji diwujudkan melalui sistem pengawasan terhadap BPKH yang dilakukan secara eksternal dan internal, internal dilakukan oleh Dewan Pengawas dan eksternal oleh DPR RI berdasarkan hasil audit dari Badan Pemeriksa Keuangan. Selain itu, adanya ketentuan mengenai tanggung jawab renteng anggota Badan Pelaksana dan anggota Dewan Pengawas terhadap kerugian atas penempatan dan/atau investasi keuangan haji yang ditimbulkan atas kesalahan dan/atau kelalaian dalam pengelolaannya juga merupakan pelaksanaan dari prinsip kehati-hatian dan keamanan. Adapun nilai manfaat dari pengelolaan keuangan haji, salah satunya akan diperoleh oleh calon jemaah haji sendiri melalui rekening virtualnya secara berkala sesuai dengan persentase dari nilai manfaat keuangan haji. Calon jemaah haji akan dapat memonitor perkembangan besaran nilai manfaat masing-masing secara berkala. Dengan demikian, berlakunya ketentuan Pasal a quo telah sejalan dan sesuai dengan ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945.

7) Bahwa investas dalam melakukan penempatan dan/atau investasi, maka BPKH telah mempertimbangkan beberapa aspek seperti yang tercantum dalam pasal 46 ayat (3) Undang-Undang a quo menyatakan bahwa “Dalam melakukan penempatan dan/atau investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus sesuai dengan prinsip syariah dan mempertimbangkan aspek keamanan, kehati-hatian, nilai manfaat, dan likuiditas.”
- “Aspek keamanan” adalah pengelolaan Keuangan Haji harus dilaksanakan dengan mengedepankan aspek keamanan dalam mengantisipasi adanya risiko kerugian atas pengelolaan Keuangan Haji untuk menjamin pembiayaan Penyelenggaraan Ibadah Haji. Selain itu, dalam melakukan investasi juga mempertimbangkan aspek risiko antara lain risiko gagal bayar, reputasi, pasar, dan operasional.
- “Aspek kehati-hatian” adalah pengelolaan Keuangan Haji dilakukan dengan cermat, teliti, aman, dan tertib serta dengan mempertimbangkan aspek risiko keuangan
- “Aspek likuiditas” adalah mempertimbangkan kemampuan dan kelancaran pembayaran dalam rangka Penyelenggaraan Ibadah Haji yang sedang berjalan dan yang akan datang.
Berdasarkan keterangan diatas, sesungguhnya resiko dalam investasi keuangan haji telah diantisipasi oleh BPKH dan hal ini sekaligus menegaskan bahwa pasal a quo bukanlah merupakan bentuk kesewenang-wenangan pembuat UU yang melanggar hak-hak konstitusional pemohon justru memberikan kepastian dan perlindungan hukum terhadap pemohon.

8) keuangan haji berdasarkan prinsip syariah. Pengertian investasi syariah adalah aktivitas penempatan dana yang tidak mengandung perbuatan “maysir (perjudian/spekulasi)”, “gharar (ketidakjelasan/samar-samar)”, dan “riba” pada sebuah aset atau lebih. Ada beberapa prinsip dasar transaksi menurut syariah dalam investasi keuangan:
a. Transaksi dilakukan atas harta yang memberikan nilai manfaat dan menghindari setiap transaksi yang zalim.
b. Uang sebagai alat pertukaran bukan sebagai komoditas perdagangan dimana fungsinya adalah alat pertukaran nilai yang menggambarkan daya beli suatu barang atau harta.
c. Setiap transaksi harus transparan, tidak menimbulkan kerugian atau unsur penipuan di salah satu pihak baik secara sengaja maupun tidak sengaja.
d. Manajemen yang diterapkan adalah manajemen islami yang tidak mengandung unsur spekulatif dan menghormati hak asasi manusia serta menjaga lestarinya lingkungan hidup.

9) Adapun terhadap argumentasi Pemohon bahwa “disatu sisi pembuat undang-undang mengakui jika BPKH adalah sebagai wakil yang sah dari jemaah haji, disisi lain fakta di lapangan tidak pernah ada nota kesepahaman antara Pemohon dengan BPKH yang mengakui sebagai wakil Pemohon. BPKH lahir pada tahun 2014 berdasarkan undang-undang, sementara Pemohon menyetor BPIH pada tahun 2008 saat BPKH belum ada, kapan Pemohon memberikan mandat kepada BPKH sebagai wakil Pemohon?” [vide permohonan halaman 12]. Menurut DPR RI, argumentasi Pemohon merupakan hal-hal yang bersifat transisional yang telah diatur dengan jelas dalam UU Pengelolaan Keuangan Haji, dalam ketentuan penutup dinyatakan bahwa “dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak terbentuknya BPKH, semua aktiva dan pasiva serta hak dan kewajiban hukum atas Keuangan Haji beserta kekayaannya beralih menjadi aktiva dan pasiva serta hak dan kewajiban hukum BPKH” [vide Pasal 59 UU Pengelolaan Keuangan Haji]. Dengan demikian, segala hal yang berkaitan dengan keuangan haji yang sebelumnya berada di bawah Menteri Agama berdasarkan UU Pengelolaan Ibadah Haji akan beralih kepada BPKH berdasarkan UU Pengelolaan Keuangan Haji. Adanya pengaturan dalam ketentuan penutup di atas dimaksudkan untuk memberikan pelindungan dan jaminan kepastian hukum sesuai dengan amanat ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945.

10) Bahwa terhadap Pasal 46 ayat (2) dan Pasal Pasal 48 ayat (1) UU Pengelolaan Keuangan Haji yang menyatakan:
“Keuangan Haji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditempatkan dan/atau diinvestasikan.”
“Penempatan dan/atau investasi Keuangan Haji dapat dilakukan dalam bentuk produk perbankan, surat berharga, emas, investasi langsung dan investasi lainnya.”
Pada dasarnya pasal a quo mengatur mengenai keuangan haji yang dapat ditempatkan dan/atau dinvestasikan dalam bentuk produk perbankan, surat berharga, emas, investasi langsung dan investasi lainnya. Terhadap argumentasi Pemohon dalam permohonannya, menurut DPR RI masalah pengelolaan keuangan haji telah diatur dengan jelas dan tegas dalam UU Pengelolaan Keuangan Haji untuk memberikan kepastian hukum dan jaminan pelindungan atas dana jemaah haji sesuai dengan amanat Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945. Pengaturan tersebut antara lain: investasi keuangan haji harus sesuai dengan prinsip syariah dan mempertimbangkan aspek keamanan, kehati-hatian, nilai manfaat, dan likuiditas [vide Pasal 46 ayat (3) UU Pengelolaan Keuangan Haji]; penempatan dan/atau investasi Keuangan Haji dilakukan atas persetujuan dewan pengawas [vide Pasal 49 UU Pengelolaan Keuangan Haji]; kewajiban menyampaikan laporan pertanggungjawaban kepada dewan pengawas, Presiden, dan DPR RI [vide Pasal 52 UU Pengelolaan Keuangan Haji].

11) Pengelolaan Keuangan Haji oleh BPKH melalui pengaturan yang jelas dan tegas dalam UU Pengelolaan Keuangan Haji justru akan memberikan keuntungan kepada jemaah haji berupa pembayaran nilai manfaat berdasarkan persentase dari nilai manfaat keuangan haji yang diberikan secara berkala ke rekening virtual jemaah haji [vide Pasal 16 UU Pengelolaan Keuangan Haji], sehingga setiap calon jemaah haji akan memperoleh tambahan dana dari hasil investasi keuangan haji yang dilakukan BPKH. Dengan demikian, keraguan Pemohon dalam argumentasinya bahwa “nilai uang BPIH tidak dapat menahan tekanan inflasi yang menyebabkan nilainya tergerus dan mengikis daya beli di masa depan” [vide permohonan halaman 7] menjadi tidak relevan karena adanya keuntungan nyata yang akan diperoleh oleh calon jemaah haji dengan adanya pengelolaan keuangan haji oleh BPKH. Adapun jika terjadi kerugian dalam pengelolaan keuangan haji, maka akan menjadi tanggung jawab anggota badan pelaksana dan anggota dewan pengawas secara tanggung renteng [vide Pasal 53 ayat (1) UU Pengelolaan Keuangan Haji]. Ketentuan mengenai tanggung jawab renteng tersebut semata-mata dimaksudkan agar keuangan haji dikelola dengan penuh kesungguhan dan komitmen yang terbaik demi terus meningkatkan pelayanan kepada calon jemaah haji, sehingga argumentasi Pemohon yang menyatakan bahwa “investasi dalam bentuk apapun akan mengalami resiko kerugian” [vide permohonan halaman 13] juga telah diantisipasi dan diatur dengan jelas dalam UU Pengelolaan Keuangan Haji.

12) Adapun terhadap argumentasi Pemohon bahwa “Pemohon menyetorkan dana awal BPIH adalah kewajiban sepihak yang dipaksakan oleh Pemerintah dengan nilai tinggi sebesar Rp.20.000.000,00 yang berarti sejak awal pembuat Undang-Undang sudah meninggikan biaya setoran awal BPIH bertujuan agar terjadi penumpukan dana BPIH dan dengan begitu pembuat Undang-Undang melalui BPKH bisa mengelola dana BPIH milik Pemohon”. Menurut DPR RI, adanya setoran awal BPIH dimaksudkan sebagai indikator kesiapan atau kemampuan (istitaah) serta komitmen dari jemaah haji untuk menunaikan ibadah haji yang dibayarkan pada saat pendaftaran. Hal ini merupakan pengejawantahan syarat istitaah dari ibadah haji dalam Qs. Al Imran: 97, artinya: "Dan (di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, yaitu bagi orang-orang yang mampu/istitaah mengadakan perjalanan ke sana". Ketentuan ini juga sesuai dengan pendapat Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 12/PUU-XIII/2015, bahwa “setoran awal tersebut pada dasarnya merupakan sarana seleksi yang mengendalikan pendaftar calon jamaah haji”. Dengan demikian, pengaturan mengenai setoran awal BPIH justru untuk memberikan kepastian hukum yang adil dan pelindungan kepada setiap calon jemaah haji sesuai dengan ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945.

51/PUU-XV/2017

Pasal 24 huruf a, Pasal 46 ayat (2), Pasal 48 ayat (1) Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuanagan Haji

Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945