No. 17/2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kerugian Konstitusional:
1. Bahwa Para Pemohon dalam permohonannya mengemukakan bahwa Pasal 79 ayat (3) UU 17 Tahun 2014 bertentangan dengan UUD Tahun 1945 secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “Tidak termasuk didalamnya lembaga-lembaga Independen dan/atau lembaga dalam ruang lingkup tugas dan wewenang berkaitan dengan Kekuasaan Kehakiman seperti KPK, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial, dan lembaga-lembaga Independen dan/atau lembaga dalam ruang lingkup tugas dan wewenang berkaitan dengan Kekuasaan Kehakiman lainnya”. (vide perbaikan permohonan mengenai pokok perkara poin [3.2], halaman 14).
2. Bahwa menurut Para Pemohon bentuk kata “dan/atau” dalam pasal tersebut merupakan ketentuan yang lumrah dalam bahasa perundang undangan. Kata “dan/atau” itu menjelaskan konsep alternatif-kumulatif terhadap dua norma atau lebih. Maksudnya norma-norma tersebut dapat dilaksanakan tunggal atau bersamaan sekaligus. Dalam konteks pasal tersebut di atas bentuk kata “dan/atau” mengarah kepada tindakan subjek yang sama, yaitu pemerintah (vide perbaikan permohonan mengenai pokok perkara, halaman 14).
3. Bahwa Para Pemohon memohon kepada Mahkamah Konstitusi perlu menafsirkan Pasal 199 ayat (3) mengikat DPR untuk dilaksanakan dengan kejelasan jumlah anggota DPR yang setuju dan tidak setuju dan ditentukan dalam secara jelas dalam persidangan (vide perbaikan permohonan poin [3.5], halaman 25).
legal Standing:
Terhadap dalil-dalil yang dikemukakan Para Pemohon dalam perkara Nomor 40/PUU-XV/2017 dan perkara Nomor 47/PUU-XV/2017 terhadap kedudukan hukum (legal standing) tersebut, DPR RI memberikan penjelasan bahwa terhadap kedudukan hukum (legal standing) Para Pemohon dalam perkara Nomor 40/PUU-XV/2017 dan perkara Nomor 47/PUU-XV/2017, DPR RI berpandangan bahwa Para Pemohon a quo, secara keseluruhan tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) karena Para Pemohon tidak menguraikan dan mengkonstruksikan secara jelas adanya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional atas berlakunya pasal a quo, Para Pemohon tidak dapat membuktikan secara logis hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian yang dialami Para Pemohon dengan berlakunya Pasal a quo yang dimohonkan pengujian, dan tidak memenuhi ketentuan Pasal 51 ayat (1) dan Penjelasan UU MK, serta tidak memenuhi persyaratan kerugian konstitusional yang diputuskan dalam putusan MK terdahulu.
Bahwa sebagaimana diamanatkan Pasal 20A ayat (2) UUD Tahun 1945, hak angket merupakan hak konstitusional DPR RI, sehingga tidak relevan apabila berlakunya UU a quo yang mengatur hak angket DPR RI dianggap oleh Para Pemohon merugikan hak konstitusional Para Pemohon. Berlakunya ketentuan Pasal a quo sama sekali tidak menghalangi dan mengurangi hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon sebagai warga negara yang bukan merupakan anggota DPR RI. Meskipun apabila Pasal a quo diputuskan secara inkostitusional bersyarat, maka tidak memberikan pengaruh apapun terhadap Para Pemohon. Bahwa terkait hal tersebut, merujuk Pertimbangan Hukum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU-XIV/2016 yang diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada tanggal 15 Juni 2016, yang pada pertimbangan hukum [3.5.2] Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa menurut Mahkamah:
...Dalam asas hukum dikenal ketentuan umum bahwa tiada kepentingan maka tiada gugatan yang dalam bahasa Perancis dikenal dengan point d’interest, point d’action dan dalam bahasa Belanda dikenal dengan zonder belang geen rechtsingang. Hal tersebut sama dengan prinsip yang terdapat dalam Reglement op de Rechtsvordering (Rv) khususnya Pasal 102 yang menganut ketentuan bahwa “tiada gugatan tanpa hubungan hukum“ (no action without legal connection).
Bahwa demikian juga pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi terhadap legal standing Pemohon [3.8] dalam Perkara Nomor 8/PUU-VIII/2010 yang mengujikan Undang-Undang No. 6 Tahun 1954 tentang Penetapan Hak Angket DPR, yang menyatakan bahwa: Menimbang bahwa Mahkamah dalam menilai ada tidaknya kepentingan para Pemohon dalam pengujian formil UU 6/1954, akan mendasarkan kepada Putusan Nomor 27/PUU-VIII/2010, tanggal 16 Juni 2010 yang mensyaratkan adanya pertautan antara para Pemohon dengan Undang-undang yang dimohonkan pengujian.
Bahwa UUD Tahun 1945 telah mengamanatkan hak konstitusional DPR RI sebagaimana yang diatur dalam Pasal 20a ayat (2) UUD Tahun 1945 yang menyatakan, “Dalam melaksanakan fungsinya, selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain dalam Undang-Undang Dasar ini, Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak interpleasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat”. Bahwa mengingat hak angket merupakan hak konstitusional DPR RI yang dijamin Pasal 20A ayat (2) UUD Tahun 1945, maka DPR RI berpendapat bahwa Para Pemohon a quo yang tidak berkedudukan sebagai anggota DPR RI serta tidak ada satu pun kerugian konstitusional yang kongkrit dan aktual yang dialami Para Pemohon dari berlakunya UU a quo, maka jelas Para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam permohonan perkara pengujian UU a quo.
Bahwa pengaturan ketentuan Pasal-pasal a quo UU 17 Tahun 2014 mengenai hak angket tidaklah mengakibatkan menghalangi, mengurangi, dan melanggar hak Para Pemohon untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya sebagaimana diatur dalam Pasal 28C ayat (2) UUD Tahun 1945. Bahwa ketentuan Pasal-pasal a quo UU 17 Tahun 2014 mengenai hak angket juga tidak mengakibatkan menghalangi, mengurangi, dan melanggar hak Para Pemohon atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945.
Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, terhadap kedudukan hukum (legal standing), DPR RI menyerahkan sepenuhnya kepada Ketua/Majelis Hakim Konstitusi Yang Mulia untuk mempertimbangkan dan menilai apakah Para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK dan Putusan MK Perkara Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan perkara Nomor 011/PUU-V/2007 mengenai parameter kerugian konstitusional
Pokok Perkara:
1) Bahwa menurut Para Pemohon dalam Perkara Nomor 40/PUU-XV/2017, perluasan dan penafsiran ketentuan Pasal 79 ayat (3) UU 17 Tahun 2014 bertentangan dengan Pasal 28 D ayat (1) UUD Tahun 1945 sepanjang ditafsirkan bahwa penyelidikan angket dapat dilakukan oleh DPR terhadap pelaksanaan suatu Undang-Undang dan/atau kebijakan oleh badan-badan, lembaga atau pejabat yang berada diluar Presiden, Wakil Presiden, menteri negara, panglima TNI, Kapolri, Jaksa Agung, atau pemerintah non kementerian yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara diduga bertentangan dengan peraturan Perundang-undangan. Bahwa terhadap dalil Para Pemohon tersebut, DPR RI berpandangan bahwa sesuai dengan prinsip-prinsip Negara hukum dan Pasal 1 ayat (3) UUD Tahun 1945, dalam pembentukan Pansus Hak Angket KPK yang mendasarkan pada ketentuan norma Pasal 79 ayat (3) UU a quo yang menyatakan “Hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang” justru dalam kerangka melaksanakan hukum dan undang-undang sesuai dengan prinsip-prinsip negara hukum yang dianut Pasal 1 ayat (3) UUD Tahun 1945. Artinya pembentukan Pansus Hak Angket KPK oleh DPR RI sudah berdasarkan hukum dan undang-undang, karena KPK merupakan lembaga Negara yang melaksanakan UU KPK. Adapun anggapan Para Pemohon bahwa norma ketentuan Pasal 79 ayat (3) UU a quo ditafsirkan secara limitatif sebagaimana yang ada di dalam Penjelasannya, hal ini merupakan tafsir dari Para Pemohon.
2) Bahwa dalil Para Pemohon dalam Perkara Nomor 40/PUU-XV/2017yang menyatakan hilangnya kepastian hukum berpotensi menimbulkan kerugian konstitusional salah satunya APBN telah digunakan untuk kegiatan yang tidak sah. (vide perbaikan permohonan halaman 35). Bahwa menurut DPR dalil Para Pemohon tersebut tidak berdasar, sebab pembentukan Pansus angket KPK telah melalui mekanisme yang konstitusional yaitu dengan dilakukan pengesahan Pansus angket KPK tersebut yang dimulai dari Rapat Paripurna tanggal 28 April 2017, dimana perwakilan pengusul (T.Taufiqulhadi/F-P. Nasdem/A-19) membacakan alasan usulan penggunaan hak angket tersebut dan Rapat Paripurna menyetujui penggunaan hak angket terhadap pelaksanaan tugas dan kewenangan KPK, yang selanjutnya pembentukan pansus angket KPK ditetapkan dengan Keputusan DPR RI Nomor 1/DPR RI/V/2016-2017 tentang Pembentukan Panitia Angket Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Terhadap Pelaksanaan Tugas dan Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada tanggal 30 Mei 2017. Pengesahan Rapat Paripurna DPR dan Keputusan DPR RI Nomor 1/DPR RI/V/2016-2017 tentang Pembentukan Panitia Angket Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Terhadap Pelaksanaan Tugas dan Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah diumumkan dalam Berita Negara Nomor 53 tanggal 4 Juli 2017. Dengan demikian pembentukan pansus angket KPK sudah sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan karenanya sangat beralasan hukum Mahkamah menolak permohonan provisi para pemohon.
3) Bahwa dalil Para Pemohon dalam Perkara Nomor 40/PUU-XV/2017 yang menyatakan pelaksanaan hak angket oleh Pansus DPR berdasarkan penafsiran keliru terhadap Pasal 79 ayat (3) UU 17 Tahun 2014 dapat merusak tatanan hukum yaitu bekerjanya sistem hukum di Indonesia (vide perbaikan permohonan halaman 37). Bahwa dalil Para Pemohon tersebut tidak berdasar, karena itu DPR RI perlu memberikan penjelasan bahwa penggunaan hak angket DPR RI kepada KPK lebih pada pertimbangan bahwa DPR RI berkepentingan bahkan berkewajiban menjaga keberadaan KPK yang kuat dalam melaksanakan tugas dan fungsinya berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku. KPK juga diharapkan menerapkan standar yang tinggi sesuai dengan prinsip due process of law dalam penegakan hukum dan menerapkan prinsip transparansi dan akuntabilitas yang benar dalam tata kelola kelembagaannya, sehingga mekanisme pengawasan oleh DPR dianggap perlu dilakukan.
4) Bahwa dalil Para Pemohon dalam Perkara Nomor 40/PUU-XV/2017 menyatakan ketentuan Pasal 79 ayat (3) UU 17 Tahun 2014 mengandung ketidakjelasan rumusan atau multitafsir sehingga tidak memenuhi azas kejelasan rumusan serta kepastian hukum sebagaimana dimaksud pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945, implikasinya timbul beberapa penafsiran berbeda dan berakibat pada kekeliruan DPR dalam menggunakan hak angket terhadap KPK. (vide perbaikan permohonan halaman 35). Bahwa terhadap dalil Para Pemohon tersebut, DPR RI berpandangan bahwa rumusan Pasal 79 ayat (3) UU 17 Tahun 2014 sudah sangat jelas dan terang bahwa hak angket adalah hak konstitusional DPR RI untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Dengan demikian rumusan Pasal 79 ayat (3) UU 17 Tahun 2014 tersebut tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945. Bahwa hak angket DPR RI merupakan hak konstitusional DPR RI yang harus diakui, dijamin dan dilindungi sebagaimana yang diatur dalam Pasal 79 ayat (3) UU 17 Tahun 2014 tersebut.
5) Bahwa Para Pemohon dalam Perkara Nomor 47/PUU-XV/2017 dalam permohonannya menyatakan bahwa bentuk kata “dan/atau” dalam pasal tersebut merupakan ketentuan yang lumrah dalam bahasa perundang-undangan. Kata “dan/atau” itu menjelaskan konsep alternatif-kumulatif terhadap dua norma atau lebih. Maksudnya norma-norma tersebut dapat dilaksanakan tunggal atau bersamaan sekaligus. Dalam konteks pasal tersebut di atas bentuk kata “dan/atau” mengarah kepada tindakan subjek yang sama, yaitu pemerintah (vide perbaikan permohonan mengenai pokok perkara, halaman 14). Bahwa Para Pemohon perlu memahami secara utuh ketentuan Pasal 79 ayat (3) UU a quo, yang menyatakan: “Hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.”
Bahwa apabila diurai ketentuan Pasal 79 ayat (3) UU a quo Hak DPR untuk melakukan penyelidikan yaitu:
• pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau
• kebijakan Pemerintah
Kedua objek tersebut berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Bahwa frasa “dan/atau”, bersifat alternatif kumulatif yang mengandung 3 pengertian :
• Hak angket adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang.
• Hak angket adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap kebijakan Pemerintah.
• Hak angket adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan kebijakan Pemerintah.
6) Bahwa penjelasan demikian sesuai dengan angka 264 Lampiran II UU 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang menyatakan bahwa “Untuk menyatakan sifat kumulatif sekaligus alternatif, gunakan frasa dan/atau.” Bahwa atas dasar UU 12 Tahun 2011 tersebut, pasal a quo tidak hanya ditujukan pada kebijakan Pemerintah saja, tapi juga terhadap pelaksanaan suatu UU. Oleh karena itu, sudah berdasarkan hukum jika KPK sebagai lembaga negara yang melaksanakan undang-undang dapat menjadi objek hak angket, karena:
a. KPK sebagai pelaksana undang-undang, dalam hal ini UU Nomor 30 Tahun 2002 dan undang-undang lain yang terkait dengan pemberantasan korupsi dan keuangan negara.
b. KPK merupakan lembaga negara pendukung penyelenggaraan pemerintahan dalam penegakan hukum, yaitu penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, yang tujuan dibentuknya sebagai trigger mechanism untuk Kejaksaan dan Kepolisian dalam pemberantasan korupsi.
c. KPK adalah mitra kerja dari alat kelengkapan DPR, yaitu Komisi III.
7) Bahwa secara teknik penyusunan peraturan perundang-undangan penggunaan kata ‘dapat berupa’ berarti tidak memberikan arti yang limitatif, melainkan dapat dimaknai lebih luas daripada sekedar yang tertuang dalam rumusan pasal atau penjelasan. Sebagai contoh dapat dilihat pada angka 66 Lampiran II UU 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan bahwa: “Sanksi administratif dapat berupa, antara lain, pencabutan izin, pembubaran, pengawasan, pemberhentian sementara, denda administratif, atau daya paksa polisional. Sanksi keperdataan dapat berupa, antara lain, ganti kerugian”. Bahwa dengan demikian, penjelasan a quo secara gramatikal tidak terbatas pada subjek “Presiden, Wakil Presiden, menteri negara, Panglima TNI, Kapolri, Jaksa Agung, atau pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian.”
8) Bahwa ketentuan Pasal 79 ayat (3) UU a quo tidak mengatur norma yang bersifat limitatif yang membatasi terhadap lembaga tertentu yang melaksanakan undang-undang. Bahwa ketentuan Pasal 79 ayat (3) UU a quo, mengandung makna bahwa lembaga yang melaksanakan undang-undang tidak terbatas pada lembaga eksekutif (Pemerintah), tetapi juga lembaga negara selain lembaga eksekutif seperti KPK juga lembaga negara yang melaksanakan undang-undang. Bahwa terkait dengan hal tersebut, DPR RI juga pernah menggunakan hak angket untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan tugas KPU pada Hak Angket mengenai Daftar Pemilih dalam Pemilu 2009. Bahwa selain kepada KPK, hak angket juga pernah ditujukan kepada lembaga independen lainnya, yaitu kepada Bank Indonesia dalam Hak Angket Century. Padahal Bank Indonesia juga merupakan lembaga negara yang independen, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 23D UUD Tahun 1945 yang menyatakan, “Negara memiliki suatu bank sentral susunan, kedudukan, kewenangan, tanggungjawab, dan independensinya diatur dengan undang-undang.” Bahwa atas dasar itu, objek dari hak angket juga dapat ditujukan kepada KPK, Bahwa berdasarkan Pasal 20A ayat (2) dan ayat (4) jo Pasal 79 ayat (3) UU a quo sudah tepat dan berdasar pembentukan Pansus Hak Angket DPR RI untuk menyelidiki KPK dalam melaksanakan UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 dan UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
9) Bahwa DPR RI berpandangan, terkait dengan pelaksanaan undang-undang oleh lembaga yudikatif dalam kerangka pelaksanaan kekuasaan kehakiman yang merdeka guna menegakkan hukum dan keadilan sebagaimana dimanatkan secara tegas dalam Pasal 24 UUD Tahun 1945 tentu kekuasaan kehakiman yang merdeka tersebut tidak dapat dipengaruhi oleh lembaga negara manapun, termasuk dalam penggunaan hak angket oleh DPR RI.
10) Bahwa apabila Pasal 79 ayat (3) UU a quo diterapkan pada Panitia Khusus Hak Angket KPK, maka dapat dilihat pemenuhan unsur-unsur tersebut sebagai berikut:
11) Bahwa dalam Rapat Dengar Pendapat di DPR pada 10 Juli 2017, Pukul 14.00-17.00 WIB konstitusional hak angket terhadap KPK menurut Prof. Yusril Ihza Mahendra dinyatakan bahwa;
o Hak Angket bukanlah istilah baru dalam ketatanegaraan Indonesia. Sejak 1954 telah ada Angket yang ditandai dengan diaturnya hak angket didalam undang-undang tersendiri, yaitu UU Nomor 7 Tahun 1954 tentang Angket
o Hanya saja ketika itu hak angket berada dalam parlemen yang menerapkan sistem parlementer bukan presidensial. Namun demikian, angket merupakan hak melekat di Dewan Perwakilan Rakyat, itulah mengapa hak angket juga diadopsi di dalam UU MD3. Terlebih pasca amandemen UUD 1945, hak angket disebutkan normanya dalam Pasal 20A ayat (2).
o Dapatkah DPR melakukan Angket terhadap KPK?
Pertama, karena KPK dibentuk oleh undang-undang, maka jawab saya iya, DPR dapat melakukan angket terhadap KPK untuk melihat sejauh mana pelaksanaan UU oleh KPK. Kedua, Yusril memandang KPK dapat dikategorikan sebagai lembaga eksekutif. Itu karena KPK melakukan sejumlah tugas yang seharusnya hanya dapat dilakukan oleh lembaga ekskutif, seperti melakukan supervise, penyelidikan, penyidikan dan penuntutan. KPK independen tapi eksekutif. Ketiga, KPK dibiayai oleh APBN. Dan keempat, Yusril menyinggul pasal di UUD 1945 terkait alas an DPR dapat mengajukan angket kepada KPK dan dihubungkan soal Pansus Angket Century dahulu. Pasal 23 UUD 1945 menyebut BI independen dan independensinya diatur UU. DPR sudah angket Century yang berarti sedikit banyaknya mengangket BI.
o Terkait dengan kedudukan KPK, KPK bukan lembaga yudikatif atau legislatif. KPK masuk dalam lembaga eksekutif sebagaimana diatur dalam Pasal 43 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut UU Tipikor) yaitu: Pasal 43 ayat (1) UU Tipikor: “Dalam waktu paling lambat 2 (dua) Tahun sejak Undang-undang ini mulai berlaku, dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.” Pasal 43 ayat (2) UU Tipikor: “Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai tugas dan wewenang melakukan koordinasi dan supervisi, termasuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
Pada saat pembentukan undang-undang, seluruh pembahasan dan pendapat fraksi-fraksi yang pada saat itu mengkhawatirkan soal tumpang tindih dengan lembaga lain yakni Kepolisian dan Kejaksaan yang merupakan lembaga eksekutif. Tumpang tindih biasanya terjadi di dalam satu organ lembaga kekuasaan itu sendiri.
o Pada saat itu dijelaskan ada kekhawatiran timbulnya overlapping (tumpang tindih) dengan tugas Polisi dan Jaksa maka dilakukanlah pembatasan terhadap perkara korupsi yang dapat ditangani KPK dengan syarat-syarat tertentu (melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara; mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/atau menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp. 1.000.000.000 (satu miliar rupiah)). Tiga batasan inilah yang juga dapat menjadi obyek angket yakni pelaksanaan terhadap pelaksanaan UU KPK.
12) Bahwa Para Pemohon dalam Perkara Nomor 47/PUU-XV/2017 dalam permohonannya menyatakan bahwa Pasal 79 ayat (3) UU 17 Tahun 2014 bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “Tidak termasuk didalamnya lembaga-lembaga Independen dan/atau lembaga dalam ruang lingkup tugas dan wewenang berkaitan dengan Kekuasaan Kehakiman seperti KPK, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial, dan lembaga-lembaga Independen dan/atau lembaga dalam ruang lingkup tugas dan wewenang berkaitan dengan Kekuasaan Kehakiman lainnya”. (vide perbaikan permohonan mengenai pokok perkara poin [3.2], halaman 14). Bahwa terhadap dalil Para Pemohon, DPR RI berpandangan bahwa untuk memahami ruang lingkup kekuasaan kehakiman perlu melihat Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan dengan tegas: “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.” Bahwa terkait dengan lingkup fungsi kekuasaan kehakiman telah diatur dalam UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yaitu dalam Pasal 18 yang mengatur, “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.”. Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 24 UUD Tahun 1945 jo Pasal 18 UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman tersebut sudah jelas bahwa pelaku kekuasaan kehakiman ialah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Bahwa karena yang dimaksud kekuasaan kehakiman dalam Pasal 1 angka 1 UU Nomor 48 Tahun 2009 adalah “kekuasaan negara yangmerdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.” Bahwa KPK tidak melaksanakan fungsi peradilan tetapi melaksanakan fungsi supervisi, penyelidikan, penyidikan dan penuntukan sebagaimana diatur dalam UU KPK.
13) Bahwa apabila Para Pemohon mengajukan tafsir sebagaimana dalam permohonannya yang menafsirkan bahwa KPK masuk kekuasaan kehakiman, hal ini justru bertentangan dengan Pasal 24 ayat (2) UUD Tahun 1945 dan UU 48 Tahun 2009. Karena KPK melaksanakan fungsi supervisi, penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sebagaimana yang dilakukan oleh fungsi Kepolisian dan fungsi Kejaksaan. Bahwa berdasarkan penjelasan umum UU KPK, fungsi dari dibentuknya KPK adalah sebagai pemicu dan pemberdayaan institusi yang telah ada dalam pemberantasan korupsi (trigger mechanism) dan untuk melakukan supervisi, memantau institusi yang telah ada, dan dalam keadaan tertentu dapat mengambil alih tugas dan wewenang penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan (superbody) yang sedang dilaksanakan oleh kepolisian dan/atau kejaksaan. Tidak ada satu dasar hukumpun yang menyebutkan dengan jelas bahwa KPK melakukan fungsi kekuasaan kehakiman.
14) Bahwa Para Pemohon dalam Perkara Nomor 47/PUU-XV/2017 dalam permohonannya menyatakan bahwa mengenai apa yang dimaksud kata “Pemerintah” dalam Pasal 79 ayat (3) UU 17 Tahun 2014 dimana Para Pemohon pada intinya beranggapan bahwa KPK tidak masuk dalam lembaga pemerintah nonkementerian (vide perbaikan permohonan mengenai pokok permohonan, halaman 15-16). Bahwa terhadap dalil Para Pemohon tersebut, DPR RI berpandangan bahwa Para Pemohon perlu memahami secara utuh ketentuan Pasal 79 ayat (3) UU a quo, yang menyatakan: “Hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.” Artinya ketentuan Pasal 79 ayat (3) UU 17 Tahun 2014 tidak mengatur sebgaimana yang ditafsirkan Para Pemohon. Bahwa KPK dapat menjadi objek hak angket, karena:
a. KPK adalah pelaksana UU dibidang pemberantasan korupsi sebagaimana diatur dalam UU 30 Tahun 2002. Jika seandainya pun KPK tidak masuk ke dalam kategori sebagai lembaga negara, lembaga pemerintah, ataupun lembaga pemerintah nonkementerian, tetapi yang pasti KPK merupakan lembaga yang melaksanakan undang-undang sehingga dapat menjadi obyek hak angket oleh DPR RI.
b. KPK adalah lembaga pengguna APBN di mana DPR RI memiliki kewenangan mengawasi pelaksanaan UU dan penggunaan APBN. Maka angket adalah ekstensi dari tugas pengawasan DPR RI.
c. KPK merupakan lembaga penegakan hukum, yaitu penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, yang tujuan dibentuknya sebagai trigger mechanism untuk pelaksanaan fungsi Kejaksaan dan Kepolisian dalam pemberantasan korupsi.
15) Bahwa Para Pemohon dalam Perkara Nomor 47/PUU-XV/2017 dalam permohonannya menyatakan bahwa di dalam Pasal 199 ayat (3) UU 17 Tahun 2014 tersebut tidak jelas definisi daripada jumlah anggota DPR yang hadir, sehingga tidak jelas juga berapa jumlah anggota yang seharusnya setuju untuk menggulirkan hak angket. Dan Para Pemohon berpendapat bahwa “jumlah anggota DPR” merupakan jumlah seluruh anggota DPR, yaitu yang saat ini berjumlah sebanyak 560 orang, dan frasa “jumlah anggota DPR yang hadir” dalam pasal tersebut harus dimaknai sebagai jumlah anggota yang hadir yang setuju untuk melaksanakan hak angket (vide perbaikan permohonan Para Pemohon mengenai pokok permohonan, halaman 26). Bahwa terhadap dalil Para Pemohon tersebut, DPR RI berpandangan bahwa Para Pemohon keliru dalam memaknai ketentuan pasal a quo. Bahwa didalam rumusan Pasal 199 ayat (3) UU 17 Tahun 2014 tidak menyebut angka tetap karena jumlah anggota DPR tidak bisa diasumsikan berjumlah tetap sebanyak 560 orang setiap periode keanggotaannya, karena jumlah anggota DPR RI dapat berubah sesuai dengan dinamika UU Pemilu. Sebagai contoh periode keanggotaan DPR RI Tahun 2004-2009 berjumlah 550 anggota, periode keanggotaan DPR RI Tahun 2009-2014 berjumlah 560 anggota, periode keanggotaan DPR RI Tahun 2014-2019 berjumlah 560 anggota. Bahwa rumusan norma Pasal 199 ayat (3) UU 17 Tahun 2014 sejalan dengan rumusan pasal yang tidak menggunakan angka tetap tetapi menggunakan angka pecahan “1/3 dan 2/3 dari jumlah” juga sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 37 ayat (1) dan ayat (3) UUD Tahun 1945 sebagaimana disebutkan sebagai berikut:
(1) Usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar dapat diagendakan dalam sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat apabila diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.
(3) Untuk mengubah pasal-pasal Undang-Undang Dasar, Sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.
16) Bahwa terkait dengan Pasal 201 UU 17 Tahun 2014 yang dipersoalkan Para Pemohon dalam Perkara Nomor 47/PUU-XV/2017, dipandang perlu memahami ketentuan Pasal 201 UU 17 Tahun 2014 secara utuh, adapun Pasal 201 menyatakan:
(1) DPR memutuskan menerima atau menolak usul hak angket sebagaimana dimaksud dalam Pasal 199 ayat (1).
(2) Dalam hal DPR menerima usul hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1), DPR membentuk panitia khusus yang dinamakan panitia angket yang keanggotaannya terdiri atas semua unsur fraksi DPR.
(3) Dalam hal DPR menolak usul hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1), usul tersebut tidak dapat diajukan kembali.
Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 201 ayat (2) UU 17 Tahun 2014 DPR RI berpandangan bahwa:
a. Rumusan ini tidak boleh dibaca secara sepenggal bahwa: "keanggotaan panitia angket terdiri atas semua unsur fraksi". Frasa tersebut harus ditafsir secara sistematis dalam satu keseluruhan rangkaian Pasal.
b. Secara sistematis, pasal ini mengatur diterima atau ditolaknya usul hak angket. Dalam hal DPR RI menerima, DPR RI membentuk panitia khusus yang dinamakan panitia angket yang keanggotaannya terdiri atas semua unsur fraksi DPR RI. Makna dari rumusan ini, meskipun dalam pengambilan keputusan terdapat fraksi yang tidak setuju, bukan berarti DPR RI membentuk Pansus dengan keanggotaan fraksi yang setuju saja dan menutup peluang fraksi yang tidak setuju untuk ikut serta dalam panitia angket. DPR RI tidak boleh menutup hak fraksi yang tidak setuju untuk duduk dalam panitia angket. Demikian seharusnya pemaknaan bahwa panitia angket harus terdiri atas semua unsur fraksi. Di sinilah makna demokrasinya. Terlepas apakah semua fraksi mengirimkan wakilnya atau tidak, sepanjang keanggotaan dan rapat-rapat panitia angket memenuhi kuorum, Panitia Angket tersebut sah dan dapat bekerja.
c. Sementara persoalan apakah semua fraksi mengirimkan wakilnya dalam panitia angket merupakan hal yang berbeda. Sepanjang panitia angket tersebut dapat kuorum untuk mengadakan rapat (dalam hal ini lebih dari setengah jumlah fraksi (minimal 6 fraksi) dan lebih dari setengah jumlah anggota (minimal 16 anggota), maka panitia angket tetap dapat bekerja.
d. Fraksi yang memutuskan untuk tidak mengirimkan wakilnya di kepanitiaan angket juga masih dapat menyuarakan pendapatnya pada saat rapat paripurna DPR RI, mengingat hasil panitia angket akan diambil keputusan pula dalam rapat paripurna.
17) Bahwa diberikannya hak angket kepada DPR oleh UUD Tahun 1945 dimaksudkan agar prinsip checks and balances dan prinsip kesetaraan kedudukan diantara lembaga negara terjaga dengan baik, sehingga DPR dapat melakukan pengawasan terhadap Pemerintah. Sejalan dengan prinsip checks and balances dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, dianut pula prinsip demokrasi dan accountability. Prinsip accountability berarti adanya pertanggungjawaban dari pihak yang diberi mandat untuk memerintah, kepada mereka yang memberi mandat. Dalam hal ini rakyatlah yang memberikan kekuasaan kepada Pemerintah untuk memerintah dan karenanya bertanggung-jawab kepada rakyat. Dalam konteks ini DPR RI sebagai lembaga yang merupakan representasi dari kedaulatan rakyat.
18) Bahwa terhadap permohonan Para Pemohon yang keberatan dengan pembentukan Pansus hak angket DPR RI terhadap KPK, maka hal tersebut bukanlah persoalan konstitusionalitas norma. Bahwa menurut DPR RI pasal-pasal a quo sudah konstitusional karena tidak bertentangan dengan UUD Tahun 1945;
19) Bahwa Pasal 20A UUD Tahun 1945 telah memberikan kewenangan yang bersifat open legal policy kepada DPR RI dan Pemerintah untuk mengatur mengenai hak angket DPR RI. UUD Tahun 1945 tidak memberikan batasan atau limitasi mengenai hak angket tersebut sepanjang dalam rangka melaksanakan kepentingan bangsa dan negara serta sejalan dengan UUD Tahun 1945. Dengan demikian pilihan kebijakan DPR RI dan Pemerintah berkenaan hak merupakan pilihan hukum (legal policy) dari DPR RI dan Pemerintah dan pilihan kebijakan demikian tidaklah dapat diuji, kecuali dilakukan secara sewenang-wenang (willekeur) dan melampaui kewenangan pembuat undang-undang (detournement de pouvoir);
47/PUU-XV/2017
Pasal 79 ayat (3), Pasal 199 ayat (3), Pasal 201 ayat (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD
Pasal 1 ayat (3), Pasal 24 ayat (1) dan (3), Pasal 28C ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430