Keterangan DPR mengenai Pengujian UU Terhadap UUD 1945

Keterangan DPR Perkara No. 43/PUU-XV/2017 / 27-07-2017

No. 2/2014 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris

Kerugian Konstitusional Pemohon :
1. Bahwa Pejabat Notaris yang membuat akta tanah Pemohon yang
telah menahan akta autentik Pemohon dalam pembuatan akta hibah atas
tanah hibah yang diterima Pemohon mengakibatkan Pemohon tidak dapat
menjual tanahnya dan hak milik pribadinya dianggap berkurang (Vide
Permohonan Hal 2 Nomor 2B) sehingga Pemohon memohon agar akta
otentik tidak perlu dibukukan dan disimpan di kantor notaris tersebut
(Vide Permohonan Hal 2 Nomor 2E).

2. Selain itu, Pejabat Notaris tidak menyampaikan ketentuan larangan
mengenai pelaksanaan perjanjian diluar tempat kedudukannya, sehingga
ketentuan "diluar tempat kedudukannya" dianggap Pemohon bermakna
ganda atau multitafsir (Vide Permohonan Hal 2-3 huruf B).

3. Adanya desakan Pejabat di Kantor Notaris agar Pemohon
mengajukan pembatalan akta melalui Putusan Pengadilan ditolak oleh
Pemohon dengan anggapan bahwa pembatalan melalui mekanisme
Peradilan tidak sesuai dengan asas Demokrasi Pancasila yang menganut
hukum civil law (Vide Hal 3 huruf F) dan ketentuan PP Nomor 24 Tahun
2016 tentang Perubahan atas PP Nomor 37 Tahun 1998 dianggap
Pemohon menguatkan anggapan frasa "diluar wilayah jabatannya" pada
Pasal 17 ayat (1) UUJN multitafsir (Vide Permohonan Hal. 4 Angka 2).

Legal Standing :
a. Bahwa terhadap kedudukan hukum (legal standing) tersebut, DPR
RI berpendapat bahwa Pemohon tidak memiliki legal standing. Ketentuan
Pasal 17 ayat (1) UUJN adalah ketentuan yang diberlakukan bagi setiap
orang yang berprofesi sebagai Notaris, sedangkan profesi Pemohon
bukanlah seorang notaris;

b. Bahwa dalam asas hukum dikenal ketentuan umum bahwa tiada
kepentingan maka tiada gugatan yang dalam bahasa Perancis dikenal
dengan point d’interest, point d’action dan dalam bahasa Belanda dikenal
dengan zonder belang geen rechtsingang. Hal tersebut sama dengan
prinsip yang terdapat dalam Reglement op de Rechtsvordering (Rv)
khususnya Pasal 102 yang menganut ketentuan bahwa “tiada gugatan
tanpa hubungan hukum“ (no action without legal connection). Syarat
adanya kepentingan hukum juga telah digariskan dalam syarat
kedudukan hukum (legal standing) sebagaimana termuat dalam Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005, tanggal 31 Mei 2005, dan
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-V/2007, tanggal 20
September 2007 huruf d yang menentukan adanya hubungan sebab-
akibat (causal verband) antara kerugian hak dan/atau kewenangan
konstitusional dimaksud dengan berlakunya Undang-Undang yang
dimohonkan pengujian;

c. Bahwa meskipun DPR RI berpendapat sebagaimana telah
dinyatakan, DPR RI menyerahkan sepenuhnya kepada Ketua/Majelis
Hakim Mahkamah Konstitusi yang mulya untuk mempertimbangkan dan
menilai apakah Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing)
atau tidak sebagaimana yang diatur oleh Pasal 51 ayat (1) UU Mahkamah
Konstitusi dan berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor
006/PUU-III/2005 dan Perkara Nomor 011/PUU-V/2007.

Pokok Perkara :
1) Bahwa terhadap Pasal 17 ayat (1) UUJN DPR RI berpandangan
bahwa ketentuan Pasal a quo tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal
27 ayat (1) UUD Tahun 1945. Ketentuan tersebut tidak menghalangi
Pemohon akan hak konstitusionalnya untuk mendapatkan persamaan
kedudukan Pemohon dalam hukum. Jika Pemohon merasa dirugikan oleh
malpraktek yang dilakukan oleh Notaris maka Pemohon dapat
mengajukan permohonan maupun gugatan melalui lembaga peradilan
yang ada di Indonesia apabila secara hukum haknya telah dilanggar oleh
pihak-pihak tertentu.

2) Bahwa DPR RI beranggapan bahwa Pasal a quo tidak bertentangan
dengan ketentuan dalam Pasal 28G ayat (1), Pasal 28H ayat (4) dan Pasal
28J ayat (2) UUD Tahun 1945 karena ketentuan Pasal a quo mengatur
tentang larangan-larangan terhadap seorang Notaris dalam melaksanakan
tugas dan fungsinya sebagai Notaris. Hal ini ditujukan untuk memberikan
kepastian hukum dan ketertiban terhadap notaris dalam melaksanakan
tugas dan fungsinya. Ketentuan mengenai kewenangan Notaris untuk
membuat akta otentik diatur dalam Pasal 1 angka 1 UUJN, disebutkan
bahwa Notaris merupakan pejabat umum, yang berwenang untuk
membuat akta otentik dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana
dimaksud dalam UU ini atau berdasarkan UU lainnya.

3) Frasa “di tempat dimana akta dibuat” berhubungan dengan tempat
kedudukan Notaris, bahwa Notaris mempunyai tempat kedudukan di
wilayah kabupaten atau kota (Pasal 18 ayat (1) UUJN). Wilayah jabatan
Notaris meliputi seluruh wilayah provinsi dari tempat kedudukannya
(Pasal 18 ayat (2) UUJN). Maka anggapan Pemohon bahwa ketentuan
wilayah jabatan yang diidentikkan dengan kekuasaan sehingga multitafsir
(Vide Hlm 2-3 poin 3B) dan tidak berlaku efektif (Vide Hlm 3 poin 4A)
menurut DPR RI sangat tidak beralasan dan mengada-ada.

4) Anggapan Pemohon bahwa kewenangannya atas hak milik pribadi
untuk dijual telah berkurang selama pembuatan akta-akta otentik di
kantor notaris dan hak milik pribadi Pemohon atas hibah tidak sesuai
dengan tata krama atau norma sopan santun di kantor notaris sehingga
Pemohon turut bertanggung jawab. Terhadap anggapan Pemohon, DPR
RI berpandangan bahwa Akta sebagai alat bukti, Pasal 1867 KUH Perdata
menyebutkan bahwa pembuktian dengan tulisan dapat dilakukan dengan
tulisan otentik atau dengan tulisan di bawah tangan. Seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya, sebuah akta dapat dikatakan mempunyai
kekuatan sebagai akta otentik apabila akta tersebut dibuat oleh pejabat
yang diangkat oleh pihak yang berwenang, yang dalam urusan
pertanahan merupakan kewenangan PPAT yang seringkali dijabat juga
oleh seorang Notaris. Hal tersebut tidak berkaitan dengan ketentuan
Pasal 17 ayat (1) UUJN. Dalam hal pembuatan akta otentik atas
kepemilikan tanah, merujuk pada ketentuan mengenai PPAT yang
dipayungi oleh UU Agraria dan diatur secara khusus dalam Peraturan
Pemerintah (PP) tentang Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), yang
mana hal ini telah diketahui oleh Pemohon (Vide Hlm 4 poin 4B).

5) Bahwa adanya kerugian materil terhadap Pemohon atas adanya
pelanggaran yang dilakukan oleh Notaris dimana Pemohon melakukan
pengurusan akta atas hibah tanah yang diterima Pemohon dapat
dilakukan gugatan secara perdata terhadap Notaris tersebut melalui
Pengadilan Negeri di daerahnya dengan mengikuti ketentuan hukum yang
berlaku. Akibat adanya pelanggaran atas ketentuan tersebut menurut
Pemohon ketentuan Pasal 17 ayat (1) UUJN telah bertentangan dengan
ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUD Tahun 1945 adalah tidak benar karena
sebenarnya ketentuan Pasal 17 ayat (1) UUJN tidak inkonstitusional
dengan ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 tetapi akibat
pelanggaran Pasal a quo lah yang menyebabkan pelanggaran terhadap
ketentuan konstitusi.

6) Bahwa atas terhadap dalil-dalil yang disampaikan oleh Pemohon dan
keterangan yang telah disampaikan oleh DPR RI, maka DPR RI
menyatakan bahwa permohonan Pemohon tidak jelas atau obscuur lible.

43/PUU-XV/2017

Pasal 17 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan
Notaris

Pasal 27 ayat (1), Pasal 28G ayat (1), Pasal 28H ayat (4) dan Pasal 28J ayat
(2) UUD Tahun 1945