Keterangan DPR mengenai Pengujian UU Terhadap UUD 1945

Keterangan DPR Perkara No. 37/PUU-XV/2017 / 21-08-2017

No. 17/2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Kerugian Konstitusional:

Pemohon dalam permohonannya mengemukakan bahwa hak konstitusionalnya telah dirugikan dan dilanggar oleh berlakunya Penjelasan Pasal 79 ayat (3) UU a quo yang pada intinya yaitu, dengan berlakunya penjelasan pasal a quo membuka kemungkinan munculnya tafsir seolah-olah hak angket dapat menjangkau badan/institusi yang mempunyai fungsi melaksanakan undang-undang tanpa memperhatikan apakah badan/institusi yang bersangkutan terlibat dalam hubungan-hubungan ketatanegaraan dengan lembaga perwakilan (Vide Permohonan hlm. 5 angka 8). Pemohon juga beranggapan bahwa pelaksanaan hak angket berdasarkan Penjelasan Pasal 79 ayat (3) UU a quo tersebut diatas tidak hanya mengakibatkan ketidakjelasan jangkauan hak angket itu sendiri dan mengaburkan esensi hak angket sebagai wujud hubungan antar lembaga negara yang berlangsung pada tingkat ketatanegaraan, tetapi juga dikarenakan penjelasan pasal a quo tersebut telah menarik badan-badan dan/atau jabatan-jabatan pemerintahan dibawah presiden ke dalam ranah jangkauan hak angket oleh DPR yang semestinya hanya dapat ditujukan kepada Presiden dalam kedudukan sebagai kepala pemerintahan.

Legal Standing:
Terhadap dalil-dalil yang dikemukakan Para Pemohon dalam perkara Nomor 36/PUU-XV/2017 dan perkara Nomor 37/PUU-XV/2017 terhadap kedudukan hukum (legal standing) tersebut, DPR RI memberikan penjelasan bahwa terhadap kedudukan hukum (legal standing) Para Pemohon dalam perkara Nomor 36/PUU-XV/2017 dan perkara Nomor 37/PUU-XV/2017, DPR RI berpandangan bahwa Para Pemohon baik dalam Perkara Nomor 36/PUU-XV/2017 dan perkara Nomor 37/PUU-XV/2017 secara keseluruhan tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) karena Para Pemohon tidak menguraikan dan mengkonstruksikan secara jelas adanya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional atas berlakunya pasal a quo, Para Pemohon tidak dapat membuktikan secara logis hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian yang dialami Para Pemohon dengan berlakunya Pasal a quo yang dimohonkan pengujian, dan tidak memenuhi ketentuan Pasal 51 ayat (1) dan Penjelasan UU MK, serta tidak memenuhi persyaratan kerugian konstitusional yang diputuskan dalam putusan MK terdahulu.

Bahwa terkait hal tersebut, merujuk Pertimbangan Hukum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU-XIV/2016 yang diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada tanggal 15 Juni 2016, yang pada pertimbangan hukum [3.5.2] Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa menurut Mahkamah:

...Dalam asas hukum dikenal ketentuan umum bahwa tiada kepentingan maka tiada gugatan yang dalam bahasa Perancis dikenal dengan point d’interest, point d’action dan dalam bahasa Belanda dikenal dengan zonder belang geen rechtsingang. Hal tersebut sama dengan prinsip yang terdapat dalam Reglement op de Rechtsvordering (Rv) khususnya Pasal 102 yang menganut ketentuan bahwa “tiada gugatan tanpa hubungan hukum“ (no action without legal connection).

Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, terhadap kedudukan hukum (legal standing), DPR RI menyerahkan sepenuhnya kepada Ketua/Majelis Hakim Konstitusi Yang Mulia untuk mempertimbangkan dan menilai apakah Para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK dan Putusan MK Perkara Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan perkara Nomor 011/PUU-V/2007 mengenai parameter kerugian konstitusional.

Pokok Perkara:
1) Bahwa selain lembaga negara yang dibentuk berdasarkan UUD Tahun 1945, terdapat juga lembaga negara yang dibentuk atas dasar perintah Undang-Undang, di antara lembaga tersebut adalah Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia (Komnas Perlindungan Anak), Komisi Kepolisian Nasional, Komisi Kejaksaan, Dewan Pers, dan Dewan Pendidikan. Lembaga negara yang dibentuk berdasarkan perintah dan kewenangannya diberikan oleh Keputusan Presiden antara lain adalah Komisi Ombudsman Nasional (KON), Komisi Hukum Nasional (KHN), Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Dewan Maritim Nasional (DMN), Dewan Ekonomi Nasional (DEN), Dewan Pengembangan Usaha Nasional (DPUN), Dewan Riset Nasional (DRN), Dewan Pembina Industri Strategis (DPIS), Dewan Buku Nasional (DBN), serta lembaga-lembaga non-departemen.

2) Bahwa Pemohon dalam permohonan a quo mendalilkan: “pokok soalnya bukan apakah penyebutan dalam Penjelasan Pasal 79 ayat (3) UU a quo bersifat limitatif ataukah bersifat enumerative. Pokok soalnya adalah bahwa penjelasan Pasal 79 ayat (3) UU a quo telah memperluas jangkauan hak angket DPR sedemikian rupa sehingga menjangkau juga badan-badan dan/atau jabatan-jabatan yang sesungguhnya tidak terlibat hubungan ketatanegaraan dengan DPR. (Vide perbaikan permohonan halaman 6 butir 9b). Bahwa terhadap dalil Pemohon tersebut, DPR RI berpandangan bahwa hal tersebut tidak benar karena penjelasan hanya berisi tafsir resmi pembentuk perundang-undangan, yang memuat uraian terhadap kata, frasa, kalimat atau padanan kata/istilah asing dalam norma sebagaimana dijelaskan dalam Lampiran II UU 12 Tahun 2011 Nomor 176-178:

176. Penjelasan berfungsi sebagai tafsir resmi pembentuk Peraturan Perundang-undangan atas norma tertentu dalam batang tubuh. Oleh karena itu, penjelasan hanya memuat uraian terhadap kata, frasa, kalimat atau padanan kata/istilah asing dalam norma yang dapat disertai dengan contoh. Penjelasan sebagai sarana untuk memperjelas norma dalam batang tubuh tidak boleh mengakibatkan terjadinya ketidakjelasan dari norma yang dimaksud.

177. Penjelasan tidak dapat digunakan sebagai dasar hukum untuk membuat peraturan lebih lanjut dan tidak boleh mencantumkan rumusan yang berisi norma.

178. Penjelasan tidak menggunakan rumusan yang isinya memuat perubahan terselubung terhadap ketentuan Peraturan Perundangundangan.


3) Bahwa dalam permohonannya Pemohon beranggapan “hak angket itu sendiri adalah hak konstitusional DPR dalam konteks hubungan ketatanegaraannya dengan Pemerintah.”…Mengingat ketentuan Pasal 4 ayat (1) UUD Tahun 1945 yang berbunyi: “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar”, maka yang berwenang untuk mewakili Pemerintah dalam hubungan ketatatanegaraan dengan DPR RI adalah Presiden. (Vide Perbaikan Permohonan butir 9b). Bahwa terhadap anggapan Pemohon tersebut, DPR RI berpandangan bahwa Pasal 4 ayat (1) UUD Tahun 1945 tidak mengatur norma hubungan ketatanegaraan hanya terbatas pada Presiden dan DPR RI sebagaimana anggapan Pemohon. Bahwa lembaga-lembaga negara pasca perubahan konstitusi dibagi dalam tiga kelompok Pertama, lembaga negara yang dibentuk berdasar atas perintah UUD Tahun 1945. Kedua, lembaga negara yang dibentuk berdasarkan perintah undang-undang. Ketiga, lembaga negara yang dibentuk atas dasar perintah keputusan Presiden. Lembaga negara pada kelompok pertama adalah lembaga negara yang kewenangannya diberikan secara langsung oleh UUD 1945, yaitu Presiden dan Wakil Presiden, MPR, DPR, DPD, BPK, MA, MK, dan KY. lembaga negara yang dibentuk atas dasar perintah Undang-Undang, di antara lembaga tersebut adalah Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia (Komnas Perlindungan Anak), Komisi Kepolisian Nasional, Komisi Kejaksaan, Dewan Pers, dan Dewan Pendidikan.Selain lembaga tersebut, masih terdapat beberapa lembaga yang juga disebut dalam UUD Tahun 1945 namun kewenangannya tidak disebutkan secara eksplisit oleh konstitusi. Lembaga yang dimaksud adalah Kementerian Negara, Pemerintah Daerah, Komisi Pemilihan Umum, Bank Sentral, Tentara Nasional Indonesia (TNI), Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), dan Dewan Pertimbangan Presiden.

4) Bahwa Pemohon dalam permohonannya menyatakan…Permohonan pengujian ini bahwa kontrol terhadap badan-badan dan/atau jabatan-jabatan tersebut bukanlah kontrol ketatanegaraan seperti hak angket, karena memang badan-badan dan/atau jabatan-jabatan tersebut tidak terlibat dalam hubungan-hubungan ketatanegaraan dengan DPR. Control terhadap badan-badan dan/atau jabatan-jabatan tersebut diatas adalah control administrative dan control birokratik.. (Vide Perbaikan Permohonan hlm. 7 butir 13a). Bahwa terhadap dalil Pemohon tersebut, DPR RI berpandangan bahwa Hak-hak DPR yang diatur dalam Pasal 79 UU a quo merupakan penjabaran dari ketentuan Pasal 20A ayat (2) UUD Tahun 1945 yang menyatakan dalam melaksanakan fungsinya, selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain Undang-Undang Dasar ini, Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak interpelasi, hak angket dan hak menyatakan pendapat. Artinya hak angket dalam Pasal 20A ayat (1) UUD Tahun 1945 merupakan hak DPR RI dalam rangka melaksanakan fungsinya sebagaimana disebutkan dalam Pasal 20A ayat (1) UUD Tahun 1945, yaitu fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan. Dengan demikian, hak angket merupakan salah satu hak DPR RI yang dapat dijadikan sebagai sarana dalam melaksanakan fungsinya mewujudkan kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang demokratis menurut UUD Tahun 1945;

5) Bahwa diberikannya hak angket kepada DPR oleh UUD Tahun 1945 dimaksudkan agar prinsip checks and balances dan prinsip kesetaraan kedudukan diantara lembaga negara terjaga dengan baik, sehingga DPR dapat melakukan pengawasan terhadap Pemerintah. Sejalan dengan prinsip checks and balances dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, dianut pula prinsip demokrasi dan accountability. Prinsip accountability berarti adanya pertanggungjawaban dari pihak yang diberi mandat untuk memerintah, kepada mereka yang memberi mandat. Dalam hal ini rakyatlah yang memberikan kekuasaan kepada Pemerintah untuk memerintah dan karenanya bertanggung-jawab kepada rakyat. Dalam konteks ini DPR RI sebagai lembaga yang merupakan representasi dari kedaulatan rakyat. Dalam pandangan Meriam Budiardjo, accountability atau pertanggung-jawaban dari pihak yang memerintah kepada rakyat merupakan suatu keharusan, bahkan sebagai syarat mutlak dari konsep kedaulatan rakyat. Dengan demikian, dalam suatu negara yang menganut faham atau asas kedaulatan rakyat (negara demokrasi), terselenggaranya accountability menjadi suatu keniscayaan;

37/PUU-XV/2017

Penjelasan Pasal 79 ayat (3) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD

Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945