Keterangan DPR mengenai Pengujian UU Terhadap UUD 1945

Keterangan DPR Perkara No. 33/PUU-XV/2017 / 21-06-2017

No. 35/2014 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

KERUGIAN KONSTITUSIONAL PEMOHON
1. Bahwa Pemohon menganggap dengan diberlakukannya Pasal 76I
UU Perlindungan Anak merasa hak konstitusionalnya dirugikan untuk
memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
(Vide perbaikan permohonan halaman 5 poin b)
2. Bahwa Pasal a-quo tidak dapat memberikan kepastian hukum bagi
Pemohon. Hal ini terjadi karena ketentuan tersebut bisa ditafsirkan
berbeda, baik dengan ataupun tanpa dimaknai sebagau upaya untuk
mendidik, melatih, membantu orang tua dan memfasilitasi perekonomian
keluarga, serta menanamkan nilai-nilai kemandirian pada diri anak. (Vide
perbaikan permohonan halaman 6 poin c)
3. Bahwa adanya ketentuan dalam pasal Undang-Undang a quo, jika
ditafsirkan sebagaimana mestinya, dapat merugikan masyarakat luas
yang tidak terpenuhi hak untuk memperoleh hidup sejahtera lahir dan
batin. (Vide perbaikan permohonan halaman 7 poin d)
4. Bahwa Pemohon menilai dengan adanya pasal dalam Undang-
Undang a quo menghambat masyarakat untuk memperoleh kemudahan
dan perlakuan khusus sebagaimana dijelaskan didalam UUD NRI 1945
Pasal 28H Ayat (2). (Vide perbaikan permohonan halaman 7 poin e)
5. Bahwa Pemohon merasa dengan berlakunya UU a quo itu tidak
selaras dengan nilai-nilai yang hidup di masyarakat Indonesia yang
notabene adalah masyarakat yang humanis dan mengepankan nilai etika
dan moral apalagi dalam hal tolong-menolong terutama dalam hal
pekerjaan. Pemohon merasa dengan diberlakukannya UU a quo
menghambat masyarakat untuk melakukan perbuatan tolong-menolong
sesama keluarga dan masyarakat. (Vide perbaikan permohonan halaman
8 poin f)
LEGAL STANDING
1) Bahwa pada dasarnya permohonan Pemohon tidak jelas dan tidak
fokus (obscuur libels), karena Pemohon tidak menguraikan dan
mengkonstruksikan secara jelas adanya kerugian hak dan/atau
kewenangan konstitusional atas berlakunya pasal a quo. Pemohon tidak
mengurai jelas, spesifik, dan konkret baik materil maupun immateril
terkait pengalaman kerugian yang dimaksud. Dengan demikian tidak
adanya pembuktian tersebut pemohon a quo tidak memenuhi kualifikasi
sebagai pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) dan
Penjelasan Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi.
2) Bahwa Pemohon sama sekali tidak memiliki kerugian konstitusional.
Bukti adanya kerugian yang diajukan oleh Pemohon dalam Permohonan a
quo sebagian besar sifatnya hanya dugaan (spekulatif) yang mungkin
akan terjadi sehingga Pemohon belum dapat membuktikan adanya
hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya
UU Perlindungan Anak.
3) Bahwa menurut pandangan DPR RI UU yang dimohonkan pengujian
jelas tidak memberikan hubungan sebab akibat langsung kepada
Pemohon atas berlakunya pasal a quo. DPR RI berpandangan hak
konstitusional yang dimaksud Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945
terkait kepastian hukum dalam hal ini memberikan perlindungan hukum
terhadap anak dari eksploitasi secara ekonomi.
Berdasarkan pada hal-hal yang telah disampaikan tersebut DPR RI
berpandangan bahwa Pemohon secara keseluruhan tidak memiliki
kedudukan hukum (legal standing) karena tidak memenuhi ketentuan
Pasal 51 ayat (1) dan Penjelasan Undang-Undang tentang Mahkamah
Konstitusi, serta tidak memenuhi persyaratan kerugian konstitusional
yang diputuskan dalam putusan Mahkamah Konstitusi terdahulu. Bahwa
Pemohon dalam permohonan a quo tidak menguraikan secara konkrit
mengenai hak dan/atau kewenangan konstitusionaInya yang dianggap
dirugikan atas berlakunya ketentuan yang dimohonkan untuk diuji,
utamanya dalam mengkonstruksikan adanya kerugian hak dan/atau
kewenangan konstitusionaInya yang dirugikan atas berlakunya ketentuan
yang dimohonkan untuk diuji tersebut.
Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, terhadap kedudukan hukum
(legal standing) Pemohon, DPR RI menyerahkan sepenuhnya kepada
Ketua/Majelis Hakim Konstitusi Yang Mulia untuk mempertimbangkan dan
menilai apakah Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing)
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang
tentang Mahkamah Konstitusi dan Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara
Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan perkara Nomor 011/PUU-V/2007
mengenai parameter kerugian konstitusional.
POKOK PERKARA
a) Bahwa terhadap dalil Pemohon yang beranggapan ketentuan Pasal
76I UU Perlindungan Anak tidak lagi efektif karena dinilai bertentangan
dengan UUD NRI 1945 Pasal 27 Ayat (2), Pasal 28 D, Pasal 28 H Ayat (1)
dan (2) dan pasal 28 I Ayat (3). Terhadap dalil Pemohon tersebut, DPR RI
berpandangan bahwa UU Perlindungan anak dibentuk adalah untuk
Penyelenggaraan perlindungan anak berasaskan Pancasila dan
berlandaskan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 serta prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak-Hak Anak meliputi :
a) Non diskriminasi;
b) Kepentingan yang terbaik bagi anak;
c) Hak untuk hidup;
d) Penghargaan terhadap anak.
Bahwa perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-
hak anak agar dapat hidup, tumbuh,berkembang, dan berpartisipasi
secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta
mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi
terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan
sejahtera. Sehingga ketentuan dalam pasal a quo tidak bertentangan
dengan Pasal 27 Ayat (2), Pasal 28 D, Pasal 28 H Ayat (1) dan (2) dan
pasal 28 I Ayat (3) UUD NRI 1945.
b) Bahwa terhadap dalil Pemohon yang menganggap dengan
berlakunya Pasal 76I UU Perlindungan Anak hak konstitusionalnya
dirugikan untuk memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan, sehingga bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2) UUD NRI
1945.
DPR RI berpandangan bahwa sejarah awal munculnya Undang-Undang
Perlindungan Anak ini adalah pada saat itu tidak dapat dihindari bahwa
anak sering menjadi korban perilaku orang dewasa, tidak terkecuali orang
tuanya sendiri, serta masalah pekerja anak yang belum memperoleh
perlindungan hukum yang memadai yang sering mengalami eksploitasi
dan kekerasan terhadap anak. Pada umumnya, Orang tua, keluarga dan
masyarakat bertanggung jawab untuk menjaga dan memelihara hak asasi
ini sesuai dengan kewajiban yang dibebankan oleh hukum. Demikian pula
dalam rangka perlindungan anak, negara bertanggung jawab
menyediakan fasilitas dan aksesibilitas bagi anak, terutama dalam
menjamin pertumbuhan dan perkembangan secara wajar dan terarah.
Hal ini karena anak adalah masa depan bangsa, generasi penerus cita-cita
bangsa, sehingga setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh,
dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi.
Pada prinsipnya Negara tidak pernah melarang warga negaranya untuk
melakukan pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, hal
tersebut muncul karena setiap orang berhak untuk memperoleh
kesejahteraan. Undang-Undang Perlindungan Anak tidak serta merta
melarang anak untuk melakukan pekerjaan, hanya saja Undang-Undang
memang mengatur secara khusus terhadap anak dalam kategori tertentu
saja yang dapat dipekerjakan.
Undang-Undang Perlindungan Anak menyatakan larangan terhadap setiap
orang untuk menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh
melakukan, atau turut serta melakukan eksploitasi secara ekonomi dan
atau seksual terhadap Anak. Perlu digarisbawahi bahwa yang dimaksud
dengan “eksploitasi secara ekonomi” adalah tindakan dengan atau tanpa
persetujuan anak yang menjadi korban yang meliputi tetapi tidak terbatas
pada pelacuran, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik
serupa perbudakan, penindasan, pemerasan, pemanfaatan fisik, seksual,
organ reproduksi, atau secara melawan hukum memindahkan atau
mentransplantasi organ dan/atau jaringan tubuh atau memanfaatkan
tenaga atau kemampuan anak oleh pihak lain untuk mendapatkan
keuntungan materiil. Kemudian Yang dimaksud dengan “dieksploitasi
secara seksual” adalah segala bentuk pemanfaatan organ tubuh seksual
atau organ tubuh lain dari Anak untuk mendapatkan keuntungan,
termasuk tetapi tidak terbatas pada semua kegiatan pelacuran dan
pencabulan.
Setiap anak tanpa diskriminasi apapun terlindungi dari kekerasan dan
ekploitasi seksual komersial dan dapat terpenuhi semua hak-haknya. Oleh
karena itu, keluarga, masyarakat, dan pemerintah mempunyai tugas dan
kewajiban untuk memberikan perlindungan kepada setiap anak tanpa
diskriminasi. Hal tersebut harus diwujudkan karena anak adalah generasi
penerus bangsa yang akan sangat menentukan nasib dan masa depan
bangsa secara keseluruhan di masa yang akan datang.
Pengaturan Perlindungan Anak di dalam Undang-Undang ini juga
dikuatkan dengan Undang-Undang HAM yang memuat ketentuan
perlindungan anak terutama perlindungan anak sebagai pekerja yang
diatur dalam Pasal 64 yang berbunyi “setiap anak berhak mempeoleh
perlindungan dari kegiatan eksploitasi ekonomi dan setiap pekerjaan yang
membahayakan dirinya ,sehingga menggangu pendidikan,kesehatan
fisik,moral,kehidupan sosial dan spritual.”
Selain itu, pengaturan dalam Undang-Undang Perlindungan Anak juga
dikuatkan dengan aturan di dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan dalam Pasal 68 sampai dengan Pasal 75 secara tegas
mengatur mengenai aturan bekerja bagi anak.
Selain itu, Sebagai anggota PBB dan Organisasi Ketenagakerjaan
Internasional atau International Labour Organization (ILO), Indonesia
menghargai, menunjang tinggi, dan berupaya menerapkan keputusan-
keputusan lembaga internasional tersebut dengan meratifikasi konvensi
ILO mengenai batas usia minimum untuk diperbolehkan bekerja yang
disahkan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1999 yang
mewajibkan setiap negara anggota ILO yang telah meratifikasi,
menetapkan batas usia menimum untuk diperbolehkan bekerja, serta
meratifikasi konvensi tentang hak-hak anak dengan Keputusan Presiden
Nomor 36 Tahun 1990 tentang pengesahan Convention on Rights of
Child. Selain itu juga meratifikasi konvensi ILO Nomor 182 mengenai
pelarangan dan tindakan segera penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan
terburuk untuk anak melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000.
Pengesahan Konvensi ini dimaksudkan untuk menghapuskan segala
bentuk terburuk dalam praktek mempekerjakan anak serta meningkatkan
perlindungan dan penegakkan hukum secara efektif sehingga akan lebih
menjamin perlindungan anak dari segala tindakan perbudakan dan
tindakan atau pekerjaan yang berkaitan dengan praktek pelacuran,
pornografi, narkotika, dan psikotropika. Perlindungan ini juga mencakup
perlindungan dari pekerjaan yang sifatnya dapat membahayakan
kesehatan, keselamatan atau moral anak-anak.
Kesimpulannya adalah bahwa anak masih dapat diperbolehkan bekerja
dengan adanya pengecualian dalam batas usia minimal tertentu dan
pekerjaan tersebut tidak boleh mengganggu pendidikan, kesehatan fisik,
moral, kehidupan sosial dan spritual, serta tumbuh kembang anak. Selain
itu, mempekerjakan anak dilarang melakukan eksploitasi ekonomi dan
eksploitasi seksual. Dengan demikian, atas penjelasan yang diuraikan
tersebut diatas maka dapat ditegaskan bahwa Pasal 76I UU Perlindungan
Anak tidak bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2) UUD NRI 1945.
a) Pemohon menilai bahwa beberapa norma yang terkandung di dalam
Pasal a quo mempunyai makna yang multitafsir, sehingga Pemohon
berpendapat bahwa ketidakadanya kepastian hukum dalam beberapa
norma yang termaktub di dalam UU a quo maka menghilangkan hak
konstitusional Pemohon di dalam memperoleh jaminan dan perlindungan
hukum, sehingga bertentangan dengan Pasal 28D Ayat (1) UUD NRI
1945.
b) Selanjutnya, Pasal 76I UU Perlindungan anak sudah mengatur dengan
tegas dan jelas bahwa adanya larangan bagi setiap orang untuk
menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau
turut serta melakukan eksploitasi secara ekonomi dan atau seksual
terhadap anak. Mencermati norma tersebut, bahwa sudah jelas bunyi
norma hukumnya dan tidak ada multitafsir. Selain itu, dengan lahirnya UU
Perlindungan Anak ini justru memberikan kepastian hukum terkait
perlindungan terhadap anak dan pengakuan negara atas hak-hak anak.
Dengan demikian, atas penjelasan yang diuraikan tersebut diatas maka
dapat ditegaskan bahwa Pasal 76I UU Perlindungan Anak tidak
bertentangan dengan Pasal 28D Ayat (1) UUD NRI 1945
c) DPR RI berpandangan bahwa dalam penjelasan sebelumnya sudah
dijelaskan bahwa Undang-Undang Perlindungan Anak dibentuk untuk
memberikan kepastian hukum dan memberikan perlindungan bagi anak.
Selain itu, apabila mempekerjakan anak dibawah umur justru akan
dikhawatirkan kehidupan sejahtera lahir dan batin, kualitas kesehatan,
pendidikan, dan tempat tinggal yang layak akan menjadi terhambat.
Dengan demikian, atas penjelasan yang diuraikan tersebut diatas maka
dapat ditegaskan bahwa Pasal 76I UU Perlindungan Anak tidak
bertentangan dengan Pasal 28H ayat (1) UUD NRI 1945.
d) Pada prinsipnya Negara tidak pernah melarang warga negaranya untuk
melakukan pekerjaan dan penghidupan yang layak, hal tersebut muncul
karena setiap orang berhak untuk memperoleh kesejahteraan lahir dan
batin. Hanya saja khusus terhadap anak, negara wajib memberikan
perlindungan terhadap anak melalui peraturan perundang-undangan
salah satunya adalah Undang-Undang Perlindungan Anak. Oleh karena
itu, dengan adanya Undang-Undang Perlindungan Anak ini menjadi
penegasan bahwa negara tidak serta merta melarang anak untuk
melakukan pekerjaan untuk mencapai kesejahteraan dan penghidupan
layak bagi dirinya sendiri, hanya saja Undang-Undang Perlindungan Anak
membatasi pekerjaan tertentu bagi anak demi mewujudkan kepastian
hukum dan jaminan perlindungan terhadap anak yang melakukan
pekerjaan tersebut agar tetap terlindungi hak-haknya sebagai anak.
Dengan demikian, Pasal a quo memberikan hak kepada anak untuk
memperoleh kemudahan, kesempatan, dan manfaat dalam kehidupan
sehari-hari, sekaligus memberikan perlindungan terhadap anak. Maka,
atas penjelasan yang diuraikan tersebut diatas maka dapat ditegaskan
bahwa Pasal 76I UU Perlindungan Anak tidak bertentangan dengan Pasal
28H ayat (2) UUD NRI 1945.
e) Anak adalah masa depan bangsa, generasi penerus cita-cita bangsa,
sehingga setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan
berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi. Oleh karena itu, melalui Undang-Undang Perlindungan Anak
dalam rangka memberikan perlindungan terhadap anak, negara
bertanggung jawab menyediakan fasilitas dan aksesibilitas bagi anak,
terutama dalam menjamin pertumbuhan dan perkembangan secara wajar
dan terarah. Sehingga di masa yang akan datang, anak generasi penerus
bangsa dapat hidup sejahtera lahir dan batin, memiliki kualitas kesehatan,
pendidikan, dan tempat tinggal yang layak bagi dirinya.
Dengan demikian, atas penjelasan yang diuraikan tersebut diatas maka
dapat ditegaskan bahwa Pasal 76I UU Perlindungan Anak tidak
bertentangan dengan Pasal 28I ayat (3) UUD NRI 1945.
f) Bahwa terhadap dalil Pemohon yang menyatakan sebagaimana
kutipan Pemohon berikut ini:
“Pasal 76I UU Perlindungan Anak penting sebagai bentuk perlindungan
atas warga negara, namun pada sisi yang lain Pemohon juga meyakini
bahwa adanya frasa “eksploitasi secara ekonomi” dalam pasal itu
haruslah tidak dimaknai sebagai adanya unsur melawan hukum. Hal ini
penting, sebab secara sosiologis terdapat kenyataan bahwa seorang anak
misalnya, melakukan pekerjaan dalam rangka membantu orang tua. Hal
ini penting, sebab secara sosiologis terdapat kenyataan bahwa seorang
anak misalnya, melakukan pekerjaan dalam rangka membantu orang tua.
Tujuan orang tua mempekerjakan anak jelas bukan dalam rangka
eksploitasi, tapi justru untuk menanankan nilai kemandirian bagi anak.
(Vide Perbaikan Permohonan halaman 12)
Bahwa frasa kata “dieksploitasi secara ekonomi” telah ditegaskan dalam
Penjelasan Pasal 66 UU Perlindungan Anak yaitu bahwa “dieksploitasi
secara ekonomi” adalah tindakan dengan atau tanpa persetujuan Anak
yang menjadi korban yang meliputi tetapi tidak terbatas pada pelacuran,
kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik serupa perbudakan,
penindasan, pemerasan, pemanfaatan fisik, seksual, organ reproduksi,
atau secara melawan hukum memindahkan atau mentransplantasi organ
dan/atau jaringan tubuh atau memanfaatkan tenaga atau kemampuan
Anak oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan materiil.
Berdasarkan ketentuan tersebut maka, telah dijelas bahwa tindakan yang
dikategorikan eksploitasi secara ekonomi terhadap anak adalah apabila
tindakan tersebut dilakukan dengan atau tanpa persetujuan anak yang
menjadi korban untuk mendapatkan keuntungan materiil. Rumusan Pasal
a quo yang dimohonkan pengujian dimaksudkan untuk memberikan
perlindungan pada anak dari tindakan tersebut dan suatu larangan yang
merupakan criminal policy. Dalam dalil pemohon juga meyakini bahwa
ketentuan dalam Pasal a quo adalah penting sebagai bentuk perlindungan
atas warga negara.
g) Bahwa terhadap dalil Pemohon yang menyatakan sebagaimana
kutipan Pemohon berikut ini:
“bahwa frasa “eksploitasi” secara ekonomi dapat ditafsirkan berbeda
dalam perkara konkrit, baik dengan ataupun tanpa adanya tujuan untuk
mendidik anak, melatih, membantu orang tua, serta memfasilitasi dalam
membantu perekonomian keluarga, dan menanamkan nilai-nilai
kemandirian pada diri anak”. (Vide Perbaikan Permohonan halaman 10).
“Bahwa Pemohon tidak terpenuhi hak untuk hidup sejahtera lahir dan
batin, maka jika 2 (dua) orang keponakannya meminta bantuan kepada
Pemohon, Pemohon tidak dapat memenuhinya. Karena itu mereka
meminta bantuan kepada Pemohon agar dapat membantu berjualan
cobek. Hal itu dilakukan untuk membantu orang tua mereka atas dasar
kemauan sendiri tanpa ada paksaan dari pihak manapun. (Vide Perbaikan
Permohonan halaman 7).
Terhadap dalil Pemohon tersebut, DPR RI berpandangan Bahwa makna
kata “eksploitasi anak secara ekonomi” adalah pemanfaatan anak-anak
secara tidak etis demi mendapatkan keuntungkan secara ekonomi baik
berupa uang ataupun yang setara dengan uang. (Martaja:2005).
Implikasi terhadap penafsiran eksploitasi secara ekonomi tidak termasuk
apabila dengan tujuan mendidik anak, melatih, membantu orang tua
adalah akan memudahkan anak dieksploitasi secara ekonomi dengan
dalih untuk tujuan mendidik. Selain itu, di dalam UU Nomor 4 Tahun 1979
tentang Kesejahteraan Anak, Pasal 9 menjelaskan bahwa orang tua
bertanggung jawab atas terwujudnya kesejahteraan anak baik secara
rohani, jasmani, maupun sosial. Selanjutnya, di Pasal 10 UU
Kesejahteraan Anak menjelaskan bahwa apabila orang tua terbukti
melalaikan tanggungjawabnya untuk mewujudkan kesehahteraan anak
sebagaimana dimaksud pada Pasal 9 UU Kesejahteraan Anak, sehingga
mengakibatkan timbulnya hambatan dalam pertumbuhan dan
perkembangan anak, maka dapat dicabut kuasa asuhnya sebagai orang
tua terhadap anaknya. Dengan demikian bahwa penjelasan diatas dapat
ditarik kesimpuan bahwa seharusnya orang tua bertanggung jawab untuk
memenuhi kesejahteraan anak baik secara rohani, jasmani, maupun
sosial, bukan untuk mengarahkan anak yang belum cukup usia kerja
untuk melakukan suatu pekerjaan tertentu, apalagi untuk diekploitasi
secara ekonomi.
h) Pemohon tersebut secara a contrario menerima adanya eksploitasi
secara ekonomi sepanjang dilakukan untuk tujuan mendidik anak,
melatih, membantu orang tua serta memfasilitasi dalam membantu
perekonomian keluarga, dan menanamkan nilai-nilai kemandirian pada
diri anak. Hal ini menyalahi semangat UU Perlindungan Anak yang
melindungi anak dari korban eksploitasi ekonomi.
i) Bahwa terhadap dalil pemohon yang menyatakan “eksploitasi secara
ekonomi dapat ditafsirkan berbeda dalam perkara konkrit”, dan “Pemohon
yang sebelumnya menjadi korban kriminalisasi akibat tidak tepatnya tafsir
dalam frasa tersebut, dalam perkara Nomor: 1608/Pid.Sus/2016/PN.Tng.
(Vide Perbaikan Permohonan halaman 10) merupakan akibat dari
penerapan norma yang salah dari penegak hukum yang seharusnya
mematuhi pasal tersebut, dan bukan permasalahan Pasal 76 I UU
Perlindungan Anak (bukan inkonstitusional norma). Mahkamah Konstitusi
tidak mempunyai kewenangan dalam persoalan implementasi norma
j) Bahwa persoalan yang disampaikan sebagai materi muatan
permohonan uji materiil Pemohon a quo sesungguhnya bukan merupakan
persoalan konstitusionalitas norma hukum dalam Pasal 76 I UU
Perlindungan Anak dan maupun persoalan perlunya penambahan
pemaknaan konstitusionalitas bersyarat terhadap ketiga materi muatan
tersebut untuk bisa sesuai dengan norma dalam Pasal 28D ayat (1) UUD
NRI Tahun 1945

33/PUU-XV/2017

Pasal 76l Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Noomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
“Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh
melakukan, atau turut serta melakukan eksploitasi secara ekonomi dan/atau
seksual terhadap anak”

Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D, Pasal 28H ayat (1) dan (2), dan Pasal 28I
ayat (3) UUD Tahun 1945
1. Pasal 27 Ayat (2) UUD NRI Tahun 1945:
"Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang
layak bagi kemanusiaan."
2. Pasal 28 D Ayat (1) UUD NRI Tahun 1945:
Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang adil serta perlakuan
yang sama di hadapan hukum.
3. Pasal 28 H Ayat (1) dan (2) UUD NRI Tahun 1945:
"(1) Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat
tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta
berhak memperoleh pelayanan kesehatan.’ (2) Setiap orang berhak
mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh
kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan
keadilan."
4. Pasal 28 I Ayat (3) UUD NRI Tahun 1945:
"Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras
dengan perkembangan zaman dan peradaban"