No. 35/2009 tentang Narkotika
KERUGIAN KONSTITUSIONAL PEMOHON
1. Bahwa berdasarkan putusan Pengadilan negeri Jakarta Barat
Nomor 1591/Pid.Sus/2014/PN.Jkt.Bar tanggal 18 Februari 2015 pemohon
dikenakan dakwaan berdasarkan Pasal 114 ayat (1) dan Pasal 112 ayat
(1) UU Narkotika dengan barang bukti dalam tindak pidana narkotika
atas nama pemohon jenis metamphetamine (sabu) sebanyak (netto)
0,7393 gram dan pengujian tes urine Pemohon atas kandungan narkotika
dinyatakan positif. (vide hlm. 4 Perbaikan Permohonan) yang telah
diputus dengan putusan Pengadilan bahwa Pemohon dikenakan Pasal 112
ayat (1) UU Narkotika (vide hlm. 8 Perbaikan Permohonan) padahal
menurut Pemohon yang menganggap dirinya selaku penyalah guna yang
pada hakekatnya dipandang sebagai korban dan seharusnya dapat
dilakukan rehabilitasi atau setidaknya dikenakan ketentuan Pasal 127 UU
Narkotika berdasarkan fakta hukum sebagaimana disebutkan dalam
Perbaikan Permohonan Pemohon (Vide hlm. 8 Perbaikan Permohonan).
2. Bahwa menurut Pemohon, dengan tidak adanya ketentuan jumlah
atau berapa banyaknya barang bukti yang ditemukan untuk seseorang
dapat dikenai ketentuan Pasal 112 ayat (1) dan Pasal 114 ayat (1) UU
Narkotika sehingga dalam penerapannya terjadi kesewenang-wenangan
yang mengakibatkan hak seseorang tersangka atau terdakwa untuk
diakui maupun diperlakukan sebagai pribadi (subjek) di hadapan hukum
telah dilanggar (vide hlm. 9 Perbaikan Permohonan).
LEGAL STANDING
1. Bahwa Pemohon dalam perbaikan permohonan a quo
mengemukakan bahwa hak konstitusionalnya telah dirugikan dan
dilanggar oleh berlakunya Pasal Pasal 112 ayat (1) dan Pasal 114 ayat (1)
UU Narkotika. Namun pada penjelasan legal standing Pemohon tidak
menjelaskan hak konstitusional yang dilanggar dengan diberlakukannya
Pasal-Pasal a quo karena Pemohon tidak menjelaskan uraian kerugian
yang dialami Pemohon dalam permohonan a quo. Pemohon juga tidak
menjelaskan secara spesifik dan aktual atau setidaknya bersifat potensial
berdasarkan penalaran yang wajar dipastikan akan terjadi sesuai dengan
parameter kerugian konstitusional yang ditetapkan Mahkamah Konstitusi
(vide Putusan Perkara Nomor 006/PUU-III/2005 dan Perkara Nomor
011/PUU-V/2007).
2. Bahwa dalam permohonan yang diajukan, Pemohon tidak dapat
membuktikan secara logis hubungan sebab akibat (causal verband)
antara kerugian yang dialami Pemohon dengan berlakunya ketentuan
Pasal-Pasal a quo yang dimohonkan pengujian. Pemohon beranggapan
bahwa ketentuan Pasal-Pasal a quo tidak jelas pelaksanaannya karena
berdasarkan putusan Pengadilan Pemohon didakwa Penuntut Umum
dengan permohonan pengenaan ketentuan Pasal 112 dan/atau Pasal 114
UU Narkotika (vide hlm 5 Perbaikan Permohonan), yang diputus hakim
dengan pengenaan ketentuan Pasal 112 ayat (1) UU Narkotika tanpa
menerapkan ketentuan Pasal 127 UU Narkotika (vide hlm. 8 Perbaikan
Permohonan). Sebagaimana diuraikan dalam permohonan Pemohon
sehingga permohonan menjadi samar dan kabur (obscuur lible) karena
tidak ditemukan pelanggaran hak konstitusional pada setiap Pemohon
dengan diberlakukannya pasal-pasal a quo. Dengan tidak adanya hal
tersebut, Para Pemohon a quo tidak memenuhi kualifikasi sebagai pihak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang tentang
Mahkamah Konstitusi.
3. Bahwa dalam asas hukum dikenal ketentuan umum bahwa tiada
kepentingan maka tiada gugatan yang dalam bahasa Perancis dikenal
dengan point d’interest, point d’action dan dalam bahasa Belanda dikenal
dengan zonder belang geen rechtsingang. Hal tersebut sama dengan
prinsip yang terdapat dalam Reglement op de Rechtsvordering (Rv)
khususnya Pasal 102 yang menganut ketentuan bahwa “tiada gugatan
tanpa hubungan hukum“ (no action without legal connection). Syarat
adanya kepentingan hukum juga telah digariskan dalam syarat
kedudukan hukum (legal standing) sebagaimana termuat dalam Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005, tanggal 31 Mei 2005, dan
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-V/2007, tanggal 20
September 2007 huruf d yang menentukan adanya hubungan sebab-
akibat (causal verband) antara kerugian hak dan/atau kewenangan
konstitusional dimaksud dengan berlakunya Undang-Undang yang
dimohonkan pengujian.
Meskipun demikian pendapat DPR RI, terhadap kedudukan hukum (legal
standing) pemohon, DPR RI menyerahkan sepenuhnya kepada
Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang mulia untuk
mempertimbangkan dan menilai apakah Pemohon memiliki kedudukan
hukum (legal standing) atau tidak sebagaimana yang diatur oleh Pasal 51
ayat (1) UU Mahkamah Konstitusi dan berdasarkan Putusan Mahkamah
Konstitusi Perkara Nomor 006/PUU-III/2005 dan Perkara Nomor
011/PUU-V/2007.
POKOK PERKARA
1. Bahwa Pasal 27 ayat (1) UUD Tahun 1945 menyatakan “Segala
warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan
pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu
dengan tidak ada kecualinya.”, dalam hal ini DPR RI berpandangan
bahwa Pasal 27 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 mengandung makna
segala warga negara termasuk Para Pemohon memiliki kesamaan
kedudukan di dalam hukum dan pemerintahan dan ada kewajiban
menjunjung hukum dan pemerintahan tanpa pengecualian. Begitu pula
para Pemohon sudah sepatutnya menjunjung hukum sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
2. Bahwa dalam rangka mencapai kehidupan bernegara yang adil,
makmur, sejahtera, untuk mencipakan lingkungan hidup yang baik serta
melindungi kepentingan masyarakat luas khususnya generasi muda dari
bahaya penyalahgunaan narkotika sebagaimana diamanatkan konstitusi,
UU Narkotika mengatur larangan segala bentuk perbuatan yang terkait
dengan penyalahgunaan narkotika seperti menanam, memelihara,
memiliki, menyimpan, menguasai, memproduksi, mengimpor,
mengekspor, menyalurkan, menjual, membeli, mengedarkan, dan
menerima. Sehingga terhadap larangan tersebut diancam pidana berupa
penjara dan/atau denda dan setiap jenis perbuatan diancam dengan
ancaman hukuman yang berbeda.
3. Bahwa pengujian terhadap Pasal 112 ayat (1) UU Narkotika sudah
pernah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi dalam perkara Nomor
48/PUU/IX/2011 yang dalam amar putusannya menolak permohonan
pemohon. Namun ketentuan Pasal 60 ayat (2) UU Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi yang telah diubah berdasarkan UU Nomor 8
Tahun 2011 dinyatakan bahwa :
"Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika
materi muatan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda".
4. Bahwa pertimbangan hakim mahkamah konstitusi pada Perkara
Nomor 48/PUU-IIX/2011 terhadap Pasal 112 ayat (1) UU Narkotika, tata
cara pengaturan penggunaan narkotika oleh pembentuk Undang-Undang
diselaraskan dengan tradisi, kebudayaan dan filosofi dari suatu bangsa.
Bagi negaranegara yang mengutamakan kebebasan individual, seperti
negara-negara Eropa, maka pengaturan mengenai peredaran narkotika
diatur secara rinci dalam hal penggunaan narkotika untuk konsumsi
pribadi. Artinya, kepemilikan dan penggunaan narkotika untuk
kepentingan pribadi adalah tidak melawan hukum dalam batas-batas
yang ditetapkan oleh pembentuk Undang-Undang. Bagi bangsa
Indonesia, penggunaan narkotika meskipun untuk konsumsi yang bersifat
pribadi, termasuk pelanggaran hukum atau penggunaan narkotika yang
dilakukan secara melawan hukum. Ada keterkaitan erat antara
penggunaan narkotika dengan pelanggaran terhadap kepentingan umum.
Apabila narkotika disalahgunakan atau digunakan tidak sesuai dengan
standar pengobatan dapat menimbulkan akibat yang sangat merugikan
bagi perseorangan dan membahayakan kehidupan masyarakat, bangsa
dan negara (vide Penjelasan Umum UU Narkotika). Oleh karena itu,
pembentuk Undang-Undang secara tegas mengatur mengenai sanksi
pidana terhadap penyalahgunaan narkotika. Selain itu, narkotika
termasuk zat yang dapat menyebabkan seseorang menjadi mabuk atau
tidak sadar dan bahkan akan menyebabkan kecanduan dan
ketergantungan yang pada gilirannya akan mengurangi produktivitas
kerja, merusak kesehatan, dan moral, sehingga hal tersebut dianggap
sebagai perbuatan tercela oleh masyarakat Indonesia yang berKetuhanan
Yang Maha Esa (vide Putusan Perkara 48/PUU-IX/2011 hlm. 95-96)
Bahwa persoalan narkoba merupakan persoalan yang harus ditangani
secara sungguh-sungguh oleh seluruh komponen masyarakat. Bukan saja
penanganan bagi penggunanya, melainkan juga perkembangan bisnis
narkoba yang ada di Indonesia sudah mulai menggelisahkan.
4. Bahwa menurut Dadang Hawari (Sofyan, 2005:157) bahwa orang yang
telah bergantung pada narkotika, maka hidupnya mengalami gangguan
jiwa sehingga tidak lagi mampu berfungsi secara wajar dalam
masyarakat. Kondisi demikian dapat dilihat dari rusaknya fungsi sosial,
pekerjaan atau sekolah, serta tidak mampu mengendalikan dirinya.
5. Bahwa dalam ketentuan menimbang UU Nomor 36 Tahun 2009
tentang Kesehatan dinyatakan bahwa kesehatan merupakan hak asasi
manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan
sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945; bahwa setiap kegiatan dalam upaya untuk memelihara dan
meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya
dilaksanakan berdasarkan prinsip nondiskriminatif, partisipatif, dan
berkelanjutan dalam rangka pembentukan sumber daya manusia
Indonesia, serta peningkatan ketahanan dan daya saing bangsa bagi
pembangunan nasional; bahwa setiap hal yang menyebabkan terjadinya
gangguan kesehatan pada masyarakat Indonesia akan menimbulkan
kerugian ekonomi yang besar bagi negara, dan setiap upaya peningkatan
derajat kesehatan masyarakat juga berarti investasi bagi pembangunan
negara; bahwa setiap upaya pembangunan harus dilandasi dengan
wawasan kesehatan dalam arti pembangunan nasional harus
memperhatikan kesehatan masyarakat dan merupakan tanggung jawab
semua pihak baik Pemerintah maupun masyarakat, yang dituangkan
dalam ketentuan dalam UU Kesehatan.
6. Bahwa dalam ketentuan Pasal 10 dan Pasal 11 UU Kesehatan
dinyatakan bahwa setiap orang berkewajiban menghormati hak orang
lain dalam upaya memperoleh lingkungan yang sehat, baik fisik, biologi,
maupun sosial dan setiap orang berkewajiban berperilaku hidup sehat
untuk mewujudkan, mempertahankan, dan memajukan kesehatan yang
setinggi-tingginya. Ketentuan Pasal 15 UU Kesehatan mengatur bahwa
Pemerintah bertanggung jawab atas ketersediaan lingkungan, tatanan,
fasilitas kesehatan baik fisik maupun sosial bagi masyarakat untuk
mencapai derajat kesehatan yang setinggi-tingginya. Oleh karenanya,
ketentuan Pasal 112 ayat (1) dan ketentuan Pasal 114 ayat (1) UU
Narkotika dipandang perlu untuk memenuhi tanggung jawab Pemerintah
dalam bidang kesehatan sebagaimana tercantum dalam UU Kesehatan.
Selain itu, ketentuan Pasal 112 ayat (1) dan Pasal 114 ayat (1) UU
Narkotika tidak berlaku surut sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal
28I ayat (1) UUD NRI Tahun 1945.
7. Bahwa terkait dengan Petitum Pemohon untuk memaknai Pasal 112
ayat (1) dan Pasal 114 ayat (1) UU Narkotika, DPR RI berpandangan
dalam hal ini DPR RI berpendapat bahwa hal tersebut bukan merupakan
pemaknaan tetapi secara tidak langsung merupakanpenambahan norma
baru yang sama sekali berbeda dan merupakan usulan perubahan norma.
Bahwa dalam hal ini perumusan norma baru merupakan kewenangan
pembentuk undang-undang, dalam hal ini DPR dan Pemerintah sesuai
dengan Pasal 20 ayat (1) UUD Tahun 1945.
8. Bahwa atas pendapat-pendapat tersebut, maka DPR RI menyatakan
bahwa ketentuan Pasal 112 ayat (1) dan Pasal 114 ayat (1) UU Narkotika
tidak bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 khususnya ketentuan
Pasal 28I ayat (1).
31/PUU-XV/2017
Pasal 112 ayat (1) dan Pasal 114 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35
Tahun 2009 tentang Narkotika
1. Pasal 112 ayat (1) :
Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan,
menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanaman,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan
paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).
2. Pasal 114 ayat (1) :
Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk
dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli,
menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan I, dipidana dengan
pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima)
tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling
sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
Pasal 28 D ayat (1) UUD Tahun 1945
"Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati
nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai
pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum
yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi
dalam keadaan apapun.”
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430