Keterangan DPR mengenai Pengujian UU Terhadap UUD 1945

Keterangan DPR Perkara No. 28/PUU-XV/2017 / 07-06-2017

No. 1/1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.

Kerugian Konstitusional:
Dengan diberlakukannya pasal-pasal a quo, para pemohon merasa bahwa ketentuan: (1) ketentuan makar (2) pemberontakan; dan (3) permufakatan jahat sering disalahgunakan dan dimanfaatkan oleh penguasa untuk membungkam pendapat kritis rakyatnya, bahkan mengancam hingga membubarkan serikat-serikat dan organisasi yang menurut subjektif penguasa dapat mengancam keamanan dan kesatuan bangsa dan wilayah Indonesia. (Vide Perbaikan permohonan hlm. 39 angka 152). Pasal-pasal a quo dirumuskan secara samar-samar, elastis terlalu luas, rumit dan tidak dirumuskan secara jelas dan rinci mengenai perbuatan yang dikualifikasi sebagai tindak pidana sehingga memberikan peluang dan rawan terhadap penyalahgunaan oleh penguasa dan aparat penegak hukum (kepolisian), oleh karenanya berpotensi dan secara faktual menimbulkan ketidakpastian hukum dan melanggar hak asasi para pemohon yang diatur dalam Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28 serta Pasal 28E ayat (2) dan (3) UUD NRI Tahun 1945 yaitu bertentangan dengan nilai-nilai Negara hukum, asas kepastian hukum, kebebasan menyatakan pikiran, sikap dan pendapat, kebebasan untuk berekspresi dan melakukan perkumpulan.

Legal Standing:
1) Adanya hak konstitusional yang diberikan oleh UUD NRI Tahun 1945:
Para Pemohon tidak menguraikan mengenai hak konstitusional yang secara nyata dirugikan dengan berlakunya UU a quo, tetapi Para Pemohon hanya menguraikan hak konstitusional yang diberikan oleh Pasal 1 ayat (3), Pasal 28, Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28E ayat (2) dan (3) UUD NRI Tahun 1945.
2) Adanya hak konstitusional yang dianggap oleh Para Pemohon telah dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang
Bahwa Para Pemohon yang merupakan pastor dan aktivis HAM seharusnya mendukung penuh upaya menciptakan kondisi damai dan kondusif di Papua sehingga tidak memiliki kerugian konstitusional dengan adanya pasal-pasal a quo. Kerugian konstitusional Pemohon IV yang dalam hal ini sebagai pastor tidak memiliki keterkaitan secara langsung dan tidak adanya potensi kerugian konstitusional yang akan terjadi. Kegiatan Pastor, pasal a quo tidak berimplikasi langsung terhadap pastor, pastor tidak pernah mengalami permasalahan hukum. Para Pemohon tidak menguraikan dan mengkonstruksikan secara jelas adanya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional atas berlakunya pasal a quo.

3) Adanya kerugian hak konstitusional yang bersifat spesifik dan aktual, atau setidak-tidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi
Bahwa Pemohon IV, Pemohon V dan Pemohon VI sama sekali tidak memiliki kerugian konstitusional sebagaimana diuraikan dalam permohonan a quo sehingga permohonan menjadi samar dan kabur (obscuur lible) karena tidak ditemukan pelanggaran hak konstitusional pada sebagian Pemohon dalam perkara a quo dengan diberlakukannya pasal-pasal a quo. Kemudian adanya ketidakjelasan kedudukan hukum para pemohon dalam permohonan a quo yang menyatakan bahwa Pemohon V merupakan individu warga negara Indonesia (Vide Perbaikan permohonan hlm. 4 angka 12 dan 13), namun Pemohon V bersama dengan Pemohon VI dalam bagian yang lain pada permohonan a quo merupakan badan hukum privat yang dalam perkara ini menunjuk salah satu anggotanya untuk bertindak mewakili badan hukum tersebut (Vide Perbaikan permohonan hlm. 6 angka 26). Selanjutnya dalam permohonan a quo tidak dicantumkan potensi kerugian konstitusional yang dapat dialami oleh Pemohon IV, Pemohon V dan Pemohon VI, sehingga potensi kerugian sebagaimana yang harus dipenuhi oleh Pemohon IV, Pemohon V dan Pemohon VI tidak dapat dibuktikan dan tidak dapat ditemukan hubungan sebab akibatnya. Sehingga hak konstitusional Pemohon IV, Pemohon V dan Pemohon VI yang berpotensi dirugikan tidak dapat dinalar apakah akan terjadi lagi atau tidak di masa mendatang dengan dikabulkannya permohonan para pemohon dalam perkara a quo.

4) Adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian hak konstitusional dengan undang-undang yang dimohonkan pengujian
Para pemohon tidak menguraikan kerugian konstitusional yang nyata maka tidak terdapat hubungan sebab akibat antara kerugian konstitusional para Pemohon dengan berlakunya UU a quo.
5) Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian hak konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi

Bahwa sesungguhnya, berlakunya ketentuan pasal-pasal a quo sama sekali tidak menghalangi hak dan kerugian konstitusional Para Pemohon sebagai warga Negara, sehingga apabila pasal-pasal a quo diputuskan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, maka tidak memberikan pengaruh apapun terhadap Para Pemohon.
Bahwa kerugian yang didalikan oleh Pemohon I dan Pemohon II merupakan salah satu unsur penegakkan hukum, yaitu adanya kelemahan dari aparat penegak hukum untuk tidak mematuhi Putusan MK. Oleh karena itu, masalah ini bukan dikarenakan tidak lengkapnya rumusan pasal-pasal a quo.
Oleh karena itu, DPR RI memberikan pandangan senada dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU-XIV/2016 yang diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari tanggal 15 Juni 2016, yang pada pertimbangan hukum [3.5.2] Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa menurut Mahkamah:
...Dalam asas hukum dikenal ketentuan umum bahwa tiada kepentingan maka tiada gugatan yang dalam bahasa Perancis dikenal dengan point d’interest, point d’action dan dalam bahasa Belanda dikenal dengan zonder belang geen rechtsingang. Hal tersebut sama dengan prinsip yang terdapat dalam Reglement op de Rechtsvordering (Rv) khususnya Pasal 102 yang menganut ketentuan bahwa “tiada gugatan tanpa hubungan hukum“ (no action without legal connection).

Pokok Perkara:
1) Dalam Pokok Perkara
1. Bahwa dalam menjalankan pemerintahan dalam suatu Negara hukum, wajib dibatasi oleh hukum sebagai panglima dalam rangka menciptakan ketertiban dan keadilan di dalam masyarakat. Negara hukum (rechstaat) secara sederhana adalah negara yang menempatkan hukum sebagai dasar kekuasaan negara dan penyelenggaraan kekuasaan tersebut dalam segala bentuknya dilakukan di bawah kekuasaan hukum (Teori Perundang-Undangan Indonesia: A. Hammid S.Attamimi: hlm.8). Dalam negara hukum, segala sesuatu harus dilakukan menurut hukum (everything must be done according to the law). Pemerintahan pada pokoknya adalah hukum sebagai sistem, bukan orang per orang yang hanya bertindak sebagai ‘wayang’ dari skenario sistem yang mengaturnya. (Jimly Asshiddiqie, Implikasi Perubahan UUD 1945 Terhadap Pembangunan Hukum Nasional). Dalam sebuah negara hukum, harus dipahami dan dikembangkan bahwa hukum merupakan satu kesatuan sistem, yang terdiri dari ketiga unsur yang saling berkaitan, yaitu (1) kelembagaan (institutional), (2) kaedah aturan (instrumental), (3) perilaku para subyek hukum yang menyandang hak dan kewajiban yang ditentukan oleh norma aturan itu. (Jimly Asshiddiqie, Membangun Budaya Sadar Berkonstitusi Untuk Mewujudkan Negara Hukum Yang Demokratis, hlm. 8) Ketiga unsur dalam sistem hukum sebagaimana disebutkan diatas mencakup 3 (tiga) kegiatan meliputi: (a) pembuatan hukum (law making), (b) pelaksanaan hukum atau penerapan hukum (law administrating), dan (c) peradilan atas pelanggaran hukum (law adjudicating) atau yang bisa disebut dengan penegakan hukum dalam arti sempit (law enforcement). (Jimly Asshiddiqie, Pembangunan Hukum Dan Penegakan Hukum di Indonesia, hlm.1) Negara Indonesia juga mendeklarasikan diri sebagai negara yang berlandaskan atas hukum (Rechsstaat). Penegasan bahwa Indonesia adalah Negara hukum secara konstitusional dinyatakan dalam pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 hasil perubahan ketiga yang berbunyi “Negara Indonesia adalah Negara Hukum” yang artinya hukum menjadi acuan bagi pembentuk undang-undang dalam menyusun dan mengundangkan peraturan perundang-undangan yang menjadi rujukan pelaksanaan hukum di Indonesia;

2. Bahwa hal yang paling mendasar dari hukum adalah untuk memberikan kepastian hukum kepada setiap orang untuk menjalankan hak dan kewajibannya sehingga dapat tercipta keadilan dan kemanfaatan didalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Jika kepastian hukum tidak dapat diberikan oleh hukum, maka sesungguhnya hukum atau undang-undang itu tidak mempunyai nilai atau manfaat sama sekali.

3. Bahwa dalam pembukaan alinea ke-4 UUD NRI Tahun 1945 menegaskan bahwa tujuan dibentuknya Pemerintahan Negara Republik Indonesia antara lain untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

4. Bahwa makar merupakan suatu tindakan yang dapat mengancam kesatuan, ketahanan dan keamanan wilayah negara kesatuan republik Indonesia dan pelaksanaan pemerintahan, maka perlu adanya pengaturan mengenai tindak pidana makar. Adanya anggapan ketidakjelasan ketentuan Pasal a quo dan anggapan bahwa Pasal a quo merupakan pasal ‘karet’ hal ini dikarenakan potensi perkembangan bentuk-bentuk tindak pidana makar sebagaimana perkembangan pengetahuan, budaya dan teknologi dalam masyarakat secara nasional maupun global, sehingga ketentuan dalam pasal a quo berusaha mengadopsi kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi dalam rangka menjaga kesatuan, ketahanan dan keamanan nasional;

5. Bahwa dengan banyaknya bentuk kejahatan yang diatur dalam ketentuan Undang-undang, berarti banyak pula kepentingan hukum yang dilindungi oleh hukum pidana. Walaupun begitu banyak kepentingan hukum yang dilindungi, tetapi berbagai kepentingan hukum tersebut dapat dikelompokkan menjadi 3 golongan besar kepentingan hukum (R. Tresna, 1959), yaitu:

a. Kepentingan Hukum Perorangan/Individu (individuale belangen);
b. Kepentingan Hukum Masyarakat (sociale belangen); dan
c. Kepentingan Hukum Negara (staat belangen).

Bahwa makar masuk dalam kategori kejahatan atas kepentingan hukum negara, makar berasal dari kata aanslag, yang menurut arti harfiahnya adalah penyerangan atau serangan yang lebih diarahkan pada menjaga kepentingan hukum negara atas kejahatan serangan. Terdapat kemiripan antara unsur perbuatan makar dengan unsur di dalam Pasal 53 KUHP yang menentukan secara eksplisit bahwa perbuatan percobaan itu tidak dapat dihukum apabila pelaksanaan kehendak itu terhenti karena keinginan sendiri secara sukarela. Namun, dalam Pasal 104 KUHP, perbuatan makar tetap dapat dihukum meskipun pelaksanaan kehendaknya terhenti karena keinginan sendiri secara sukarela. Dalam melakukan makar ini tersirat suatu perbuatan berencana. Namun demikian, rumusan Pasal 104 KUHP dalam hal ini bukan hanya ditujukan kepada makar dengan perbuatan berencana saja, namun bahkan makar paling ringan saja yang menimbulkan akibat bahaya terhadap keamanan Negara, sudah dapat dikenakan ancaman hukuman (H.AK. Moch. Anwar. Hukum Pidana Bagian Khusus, Bandung, 1982. Hlm. 218);

6. Bahwa selain beberapa pendapat ahli diatas, perlu diketahui pula bahwa KUHP telah mengalami beberapa perubahan salah satunya melalui Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1999 tentang Perubahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang Berkaitan Dengan Kejahatan Keamanan Negara, dengan menambahkan 6 (enam) ketentuan baru di antara Pasal 107 dan Pasal 108 Bab I Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang Kejahatan Terhadap Keamanan Negara yang dijadikan Pasal 107 huruf a, Pasal 107 huruf b, Pasal 107 huruf c, Pasal 107 huruf d, Pasal 107 huruf e, dan Pasal 107 huruf f. Di dalam perubahan Pasal 107 KUHP tersebut ketentuan tentang apa yang dimaksud dengan makar diperinci kembali dan diuraikan unsur-unsurnya sehingga menjadi lebih jelas dan terukur kriterianya serta terhindar dari multitafsir. Adanya perubahan ini didasari oleh pertimbangan bahwa Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terutama yang berkaitan dengan ketentuan mengenai kejahatan terhadap keamanan negara belum memberi landasan hukum yang kuat dalam usaha mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berlandaskan Pancasila sebagai dasar negara;

2) Terhadap Pokok Permohonan
1. Bahwa terhadap dalil Para Pemohon yang menyatakan sebagaimana kutipan Para Pemohon berikut ini:
…Nyatalah bahwa frasa yang terdapat dalam Pasal 104 KUHP dirumuskan secara samar-samar dan tidak dirumuskan secara jelas dan rinci mengenai perbuatan yang dikualifikasi sebagai tindak pidana. Pengertiannya terlalu luas dan rumit. Sehingga, setiap kali aparat penegak akan menerapkan dan mengkualifikasikan suatu perbuatan sebagai “makar”, aparat penegak hukum harus berusaha untuk menginterpretasikan frasa dalam ketentuan Pasal 104 tersebut untuk kemudian dicocokkan dengan perbuatan yang nyata terjadi (Vide Perbaikan permohonan hlm. 23 angka 88). Ketentuan Pasal 104 KUHP juga dirumuskan secara elastis sehingga memberikan peluang dan rawan terhadap penyalahgunaan oleh aparat penegak hukum dalam upayanya membuktikan adanya sebuah kejahatan terjadap setiap orang yang disangka atau didakwa Pasal 104. Bahwa substansi Pasal 104 KUHP berpotensi disalahgunakan oleh penguasa dan kepolisian, oleh karenanya berpotensi dan secara faktual menimbulkan ketidakpastian hukum dan melanggar hak asasi para pemohon… (Vide Perbaikan permohonan hlm. 24 angka 90 dan 96).
…Pasal 104 telah menyalahi asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, yang salah satu materinya mewajibkan tegaknya asas kejelasan rumusan. Pasal 104 telah nyata-nyata dirumuskan tanpa mengindahkan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan sebagimana diatur UU No. 12 Tahun 2011. Dengan demikian pembentukan ketentuan dalam Pasal 104 KUHP nyata-ntara telah melanggar ketentuan hukum… (Vide Perbaikan permohonan hlm. 24 angka 91 dan 92).
…Bahwa Pasal 104 KUHP tidak sesuai dan melanggar kepastian hukum. Hal ini adalah karena rumusan Pasal 104 KUHP mengandung penafsiran yang berbeda-beda dan objek dari perbuatan makar yang disebut adalah Presiden dan Wakil Presiden serta tidak memberikan batasan yang tegas tentang kategori perbuatan yang dianggap “makar”… (Vide Perbaikan permohonan hlm. 25 angka 95 dan 98).
Berdasarkan pernyataan para pemohon di atas, DPR RI berpandangan bahwa ketentuan Pasal 104 tidak bertentangan dengan ketentuan dalam UUD NRI Tahun 1945. Adanya ketentuan hukum yang menjadi rujukan pelaksanaan suatu hukum dan tindakan hukum merupakan perwujudan dari ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD Tahun 1945. Permasalahan terhadap Pasal 104 KUHP yang disampaikan oleh para pemohon adalah penafsiran dan penterjemahan ketentuan Pasal a quo yang dilakukan oleh lembaga-lembaga negara dan kepolisian berdasarkan pada kebiasaan yang ada tanpa memperhatikan konfigurasi sosial yang ada dalam masyarakat (Vide Hlm. 26 nomor 102) sehingga dalam pelaksanaannya cenderung bertentangan dengan ketentuan-ketentuan tentang Hak Asasi Manusia. Sebagaimana telah dijabarkan pada angka 3), pelaksanaan dan pemaknaan terhadap ketentuan suatu pasal dalam peraturan Perundang-undangan tidak dapat dilakukan secara terpisah tanpa mengkaitkan dengan ketentuan-ketentuan Pasal lainnya dengan kata lain, suatu ketentuan pasal tidak dapat berdiri sendiri dan saling berkaitan dengan ketentuan pasal lain. Terhadap ketentuan Pasal 104 KUHP, Djoko Prakoso menguraikan unsur-unsurnya sebagai berikut :
Makar dengan maksud :
 menghilangkan jiwa presiden atau wakil presiden;
 merampas kemerdekaan Presiden dan Wakil Presiden;
 menjadikan Presiden atau Wakil Presiden tidak mampu menjalankan pemerintahan.
Dengan maksud :
disini pelaku harus memiliki niat, kehendak atau tujuan. Tujuan tersebut tidak perlu terlaksana dan maksudnya meliputi ketiga unsur tersebut diatas.
Membunuh :
meliputi percobaan pembunuhan (Pasal 338 jo 53 KUHP), pembunuhan biasa (Pasal 338 KUHP), dan pembunuhan yang direncanakan (Pasal 340 KUHP).

Merampas kemerdekaan :
meliputi Pasal 333 KUHP dan Pasal 334 KUHP.
Tidak mampu menjalankan pemerintahan :
hal ini dapat dilakukan dengan berbagai cara yang tidak diatur limitatifnya, sebagaimana telah disampaikan pada angka 2) diatas, bahwa hal ini terkait dengan perkembangan pengetahuan, budaya dan teknologi dalam masyarakat secara nasional maupun global. Apabila dilakukan pembatasan, maka apabila perbuatan yang mengakibatkan presiden maupun wakil presiden tidak mampu menjalankan pemerintahan tidak diatur dalam ketentuan limitatif tersebut, maka perbuatan tersebut tidak dapat dikenai sanksi hukum dan tidak dapat dilakukan tindakan pengamanan presiden maupun wakil presiden atas ancaman yang tidak termasuk dalam ketentuan limitatif sebagaimana dimohon oleh pemohon dalam permohonan a quo.
Presiden atau Wakil Presiden :
disini jelas bahwa obyeknya adalah tertentu, yakni Presiden dan Wakil Presiden.

Terkait dengan ketentuan "makar", dalam Pasal 87 KUHP dinyatakan bahwa
Dikatakan ada makar untuk melakukan suatu perbuatan, apabila niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan, seperti dimaksud dalam pasal 53,

Pasal 53 KUHP berisi ketentuan yang menyatakan bahwa
(1) Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri.
(2) Maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dalam hal percobaan dikurangi sepertiga.
(3) Jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
(4) Pidana tambahan bagi percobaan sama dengan kejahatan selesai.

Bahwa Pasal 104 KUHP memuat tindak pidana makar yang dilakukan dengan tujuan akan menghilangkan nyawa atau kemerdekaan Presiden atau Wakil Presiden Republik Indonesia, atau dengan tujuan akan menjadikan mereka tidak dapat menjalankan sebagaimana mestinya. Adapun pidana yang dijatuhkan yaitu penjara selama 20 (dua puluh) tahun. Kata makar jika dihubungkan dengan Pasal 104 KUHP diartikan sebagai serangan atau penyerangan dengan maksud tidak baik. Dari Pasal 104 KUHP dapat dijabarkan menjadi 3 (tiga) macam tindak pidana, yaitu:
1. Makar yang dilakukan dengan tujuan (oogmerk) untuk membunuh kepala negara.
2. Makar yang dilakukan dengan tujuan menghilangkan kemerdekaan kepala negara.
3. Makar yang dilakukan dengan tujuan menjadikan kepala negara tidak dapat menjalankan pemerintahan.

Pasal 104 KUHP tersebut bertujuan melindungi kepentingan negara, dalam arti luas melindungi kehidupan berbangsa, bernegara karena batasan delik makar dalam pasal-pasal tersebut merupakan pencegahan terhadap tindakan-tindakan yang akan mengancam keamanan negara dalam hal ini Presiden dan Wakil Presiden, sehingga apabila makar diartikan hanya dengan serangan, maka risiko yang ditimbulkan terhadap negara akan lebih besar. Dalam melakukan makar ini tersirat suatu perbuatan berencana namun pembuat undang-undang tidak bermaksud demikian, tidak hanya makar dengan perbuatan berencana namun bahkan makar paling ringan saja sudah merupakan bahaya bagi keamanan negara, sehingga ancaman hukuman yang terberat terhadap perbuatan makar itu sudah dapat dipertanggung jawabkan menurut keadilan. Makar tidak selalu dapat diartikan atau diidentikkan dengan suatu tindakan kekerasan saja atau serangan untuk dapat memenuhi ketentuan Pasal 104 tersebut sebagai suatu bentuk perbuatan pidana makar. Makar sebenarnya merupakan segala tindakan yang dilakukan untuk merugikan kepentingan hukum tertentu dari Presiden dan Wakil Presiden.

Dengan demikian DPR berpandangan bahwa makar yang diatur dalam KUHP sampai saat ini masih dianggap relevan dengan perkembangan saat ini dalam rangka mempertahankan kehormatan kepala negara sebagai salah satu simbol pemerintahan.

2. Bahwa terhadap dalil Para Pemohon yang menyatakan sebagaimana kutipan Para Pemohon berikut ini:
…Demikian halnya dengan Pasal 106 KUHP juga dirumuskan dan memgandung frasa yang tidak sejalan dan tidak sesuai dengan asas kepastian hukum. Bahwa substansi Pasal 106 KUHP secara nyata telah dirumuskan secara samar-samar dan tidak dirumuskan secara jelas dan rinci mengenai perbuatan yang dikualifikasi sebagai ‘makar’ sehingga berpotensi disalahgunakan oleh penguasa dan kepolisian, oleh karenanya berpotensi dan secara faktual menimbulkan ketidakpastian hukum dan melanggar hak asasi para pemohon… (Vide Perbaikan permohonan hlm. 27 angka 98 dan 100)
…Masalah kekaburan juga terjadi dalam frasa yang terdapat dalam Pasal 106 KUHP disebabkan karena seseorang tidak dapat memastikan apakah perbuatannya dikualifikasikan sebagai ”supaya wilayah negara seluruhnya tau sebagian jatuh ke tangan musuh, atau dengan maksud untuk memisahkan sebagian wilayah negara dari negara lain”. Akibatnya peraturan tersebut menimbulkan penegakan hukum yang berbeda-beda dan sewenang-wenang… (Vide Perbaikan permohonan hlm. 28 angka 105).
…adanya ketentuan Pasal 106 KUHP juga berpotensi mengakibatkan para pemohon dikriminalisasi ketika menyuarakan demonstrasi menuntut hak-hak para pemohon… (Vide Perbaikan permohonan hlm. 29 angka 108).
Berdasarkan pernyataan para pemohon di atas, DPR RI berpandangan bahwa hal tersebut tidak benar. Ketentuan Pasal 106 mengenai pelaksanaan tindak pidana makar dengan tujuan menaklukkan suatu wilayah maupun memisahkan sebagian wilayah negara tidak dapat dilakukan dalam waktu singkat dan membutuhkan sumber daya, modal dan persiapan yang terstruktur dan sistematis yang selanjutnya oleh para pemohon dianggap disederhanakan dengan adanya ketentuan pidana terhadap pelaku tindak pidana makar.
Formulasi rumusan dan pelaksanaan ketentuan Pasal 106 KUHP kaitannya dengan kebebasan berpendapat dan berserikat yang telah dijamin oleh UUD NRI Tahun 1945 dan UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia tidak membatasi dan melanggar kebebasan yang merupakan hak asasi para pemohon, selain itu tujuan dan rumusan pasal tersebut sudah sesuai dengan asas kepastian hukum
Perbuatan makar dalam Pasal 106 jo Pasal 87 KUHP adalah perbuatan-perbuatan atau tindakan-tindakan sebagai berikut:
a. Melakukan “penyiapan alat, sarana dan prasarana” untuk membuat sebagian atau seluruh Negara jatuh ke tangan musuh atau menjadikan sebagian wilayah Negara terpisah dari wilayah Negara kesatuan Republik Indonesia.
b. Melakukan “pengumpulan semua informasi yang diperlukan” untuk membuat sebagian atau seluruh wilayah Negara jatuh ke tangan musuh atau menjadikan sebagian wilayah Negara terpisah dari wilayah kesatuan Republik Indonesia.
c. Melakukan “penyusunan suatu perencanaan” untuk membuat sebagian atau seluruh wilayah jatuh ketangan musuh atau menjadikan sebagian wilayah Negara terpisah dari wilayah NKRI.
Tidak diperlukan bukti nyata tentang pemisahan sebagian wilayah dari NKRI, tetapi dukup bukti tentang adanya niat dan permulaan pelaksanaan untuk membuat sebagian wilayah NKRI terpisah dengan sebagian wilayah Negara lain atau mewujudkan sebagian wilayah Negara berdiri sendiri dan terlepas dari NKRI. Bukti yang diperlukan cukup pada bukti adanya upaya memisahkan sebagian wilayah negara keluar dari NKRI, dan tidak diperlukan sampai benar-benar berakibat timbulnya keadaan dimana wilayah itu benar-benar terpisah dari NKRI.
Bahwa Pasal 106 KUHP dengan pertimbangan berdasarkan unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 106 KUHP yaitu unsur dengan maksud yang berarti adanya maksud pribadi dari para pelakunya untuk membawa seluruh atau sebagian wilayah negara kebawah kekuasaan asing atau untuk memisahkan sebagian wilayah negara, yang berarti bahwa pelaku tersebut harus mempunyai pengetahuan bahwa makar yang dilakukannya itu memang telah ditujukannya untuk membawa seluruh atau sebagian wilayah negara kebawah kekuasaan asing atau untuk memisahkan sebagian wilayah negara. Makar merupakan sebuah serangan dimana objek dalam penyerangan ini adalah kedaulatan atas daerah negara. Para pelaku tindak pidana makar berusaha memisahkan sebagian daerah dari NKRI. Makar dapat menyerang keamanan dan keutuhan wilayah negara dimana integritas suatu negara adalah terciptanya keamanan dan keutuhan wilayah negara. Oleh karena itu keamanan dan keutuhan wilayah negara adalah wajib dipertahankan. Meletakkan wilayah negara ke dalam kekuasaan musuh itu artinya menyerahkan wilayah negara pada kekuasaan asing sedangkan memisahkan wilayah negara adalah memisahkan wilayah Papua dan menjadikannya negara yang berdiri sendiir.

3. Bahwa terhadap dalil Para Pemohon yang menyatakan sebagaimana kutipan Para Pemohon berikut ini:
…Rumusan norma dalam Pasal 107 KUHP tersebut merupakan ketentuan dengan kriteria yang tidak terukur dan multitafsir, karena sifatnya yang subjektif dan berpotensi terjadinya penyelewengan kekuasaan yang bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi dan negara hukum (Vide Perbaikan permohonan hlm. 30 angka 115). Rumusan norma yang terdapat dalam Pasal 107 KUHP juga tidak jelas, berpotensi dan dapat mengkebiri hak atas kebebasan menyatakan pikiran dengan lisan, tulisan dan ekspresi yang digunakan oleh penguasa melalui tangan-tangan penegak hukum, baik ketika melakukan unjuk rasa atau juga dapat mengancam kebebasan pers dan lain sebagainya (Vide Perbaikan permohonan hlm. 30 angka 118).…
…Ketentuan Pasal 107 KUHP mencerminkan ketidakadilan dan ketidakpastian hukum terhadap para pemohon karena dengan adanya ketentuan ini tindakan yang dilakukan dalam rangka mempertahankan dan memperjuangan hak-haknya serta membela hak-hak masyarakat untuk menyuarakan kritiknya terhadap kinerja pemerintah dapat dikualifikasi secara sewenang-wenang menjadi suatu perbuatan sebagai ”maksud untuk menggulingkan pemerintahan”… (Vide Perbaikan permohonan hlm. 32 angka 125).
Berdasarkan pernyataan para pemohon di atas, DPR RI berpandangan bahwa hak asasi terkait kebebasan sesungguhnya telah dijamin oleh Pasal 28 dan Pasal 28E ayat (3) UUD Tahun 1945. Terkait dengan hak asasi manusia yang berkenaan dengan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum; kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya; dan kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat sebagaimana diatur dan dijamin oleh UUD NRI Tahun 1945 kebebasan tersebut tidak berlaku secara mutlak. Berdasarkan ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUD Tahun 1945 yang berisi :
(2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.

Pasal tersebut dapat diartikan bahwa pelaksanaan kebebasan hak asasi seseorang tidak dapat dilaksanakan sebebas-bebasnya tanpa tanggung jawab, karena wajib pula tunduk pada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. Dalam hal ini pelaksanaan kebebasan menyatakan pikiran dengan Iisan maupun tulisan telah diatur baik oleh KUHP maupun Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum. Kedua peraturan perundang-undangan tersebut merupakan sebagian dari pembatasan yang dimaksud oleh Pasal 28J ayat (2) UUD Tahun 1945. Dengan demikian ketentuan Pasal 104, Pasal 106, Pasal 107, Pasal 108, dan Pasal 110 KUHP tidak memberangus kebebasan untuk menyatakan pikiran dengan lisan maupun tulisan dan tidak menghambat ekspresi seseorang untuk memajukan diri dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya sehingga tidak bertentangan dengan Pasal 28 dan Pasal 28E ayat (2) UUD Tahun 1945.

Ketentuan suatu pasal dalam peraturan perundang-undangan tidak dapat berdiri sendiri melainkan saling berkaitan.Prof. Satochid Kartanegara SH dan Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro SH berpendapat bahwa masalah kejahatan makar pada pasal 107 KUHP merupakan suatu kejahatan yang berdiri sendiri (selfstandings delicten), karena kejahatan makar dianggap kejahatan yang paling berbahaya bagi keamanan/keselamatan Bangsa dan Negara (mengganggu stabilitas nasional), sehingga kejahatan makar baik itu merupakan perbuatan voorbereidingshandeling maupun uitvoeringshandeling dapat dihukum dengan ancaman yang sesuai dengan perbuatannya untuk mempertanggungjawabkannya dengan keadilan Bangsa dan Negara.

Dengan demikian, berdasarkan uraian tersebut, maka kejahatan itu dikatakan kejahatan makar apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. Sudah ada niat/kesengajaan untuk melakukan kejahatan.
2. Pelaku/orang tersebut sudah mulai berbuat jahat.
Demikian pula dalam hal percobaan (poging) dalam kejahatan makar sudah dapat dihukum, apabila juga sudah memenuhi 2 (dua) syarat tersebut di atas, sehingga untuk unsur/syarat yang ketiga tidak perlu dibuktikan, inilah yang membedakannya dengan kejahatan-kejahatan biasa.

4. Bahwa tidak diuraikannya dan tidak adanya penjelasan terhadap unsur-unsur makar tidak mengurangi substansi makar yang pada intinya merupakan bagian dari delik-delik terhadap keamanan negara. Makar terhadap negara dan bentuk pemerintahan negara merupakan tindak pidana yang berbahaya yang mengancam kelestarian bangsa dan negara Indonesia. Ketertiban hukum yang harus dilindungi dalam hal ini adalah keamanan negara termasuk Keamanan kepala negara, keamanan wilayah negara, dan keamanan bentuk pemerintahan negara. Bahwa frasa “makar” dalam ketentuan Pasal 87, Pasal 104, Pasal 106, Pasal 107, Pasal 139a, Pasal 139b, dan Pasal 140 KUHP meskipun tidak dimaknai secara an sich sebagai “aanslag” atau “serangan” tidaklah bertentangan dengan Pasal 28D Ayat (1) dan Pasal 28G Ayat (1) UUD 1945. Pasal a quo telah sejalan dengan amanat konstitusi dan tidak bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945, dan tidak merugikan hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon. Ketentuan pasal-pasal a quo telah jelas dan tidak bersifat multitafsir, karena pada kenyataannya Para Pemohon tetap dapat menjalankan kewenangan konstitusional Para Pemohon untuk menjalankan tugas dan peranannya untuk mendorong perlindungan, pemajuan, dan pemenuhan hak asasi manusia, keadilan dalam hukum pidana di Indonesia;
5. Bahwa terhadap dalil Para Pemohon yang menyatakan sebagaimana kutipan Para Pemohon berikut ini:
…Pasal ini telah menyebabkan ketidakjelasan dan ambiguitas dalam penerapannya, sehingga sangat berpotensi mengkriminalisasi warga Negara dan menyebabkan kerugian konstituional para pemohon. Ambiguitas Pasal 108 KUHP terdapat dalam frasa “pemberontakan” karena tidak ada penjelasan resmi dan jelas yang diberikan undang-undang sehingga mengalami inkonsistensi penerapan…(Vide Perbaikan permohonan hlm. 33 angka 133 dan 134)
Berdasarkan pernyataan para pemohon di atas, DPR RI berpandangan bahwa ketentuan Pasal 108 mengatur tentang tindak kejahatan terhadap pemerintah Indonesia yang berarti adalah kejahatan terhadap negara. Apabila dicermati ulang, ketentuan Pasal 108 KUHP tidak menentukan bahwa kejahatan tersebut ditujukan pada pegawai pemerintahan melainkan dalam rangka melawan pemerintah Indonesia yang dengan kata lain ditujukan untuk menggulingkan pemerintahan maupun menjadikan pemerintah melalui Presiden dan Wakil Presiden Indonesia tidak dapat memerintah maupun melaksanakan tugas dan fungsinya dalam pemerintahan. Ketentuan ini masih berkaitan dengan ketentuan Pasal 104 KUHP. Ketentuan Pasal 108 ayat (1) mengatur tentang hukuman 15 tahun penjara bagi pelaku pemberontakan yang terdiri atas orang yang melawan Pemerintah Indonesia dengan senjata maupun orang yang bermaksud melawan Pemerintah Indonesia menyerbu bersama-sama atau menggabungkan diri pada gerombolan yang melawan Pemerintah dengan senjata, sehingga jelas ketentuan ini berlaku bagi perorangan maupun kelompok orang yang bergabung dengan kelompok maupun yang menyerbu bersama-sama untuk melawan Pemerintah Indonesia dengan menggunakan senjata. Lebih lanjut, dalam Pasal 108 ayat (2) ditentukan bahwa para pemimpin dan para pengatur pemberontakan diancam penjara seumur hidup atau penjara sementara hingga paling lama 20 tahun. Tindakan melawan Pemerintah Indonesia dapat disebut dengan pemberontakan berdasarkan ketentuan dalam Pasal ini. Namun sebagaimana telah disebutkan oleh DPR RI dalam penjelasan sebelumnya, ketentuan Pasal ini menuntut adanya pembuktian adanya maksud untuk melawan Pemerintah Indonesia melalui mekanisme Pengadilan. Dalam ketentuan Pasal 108 KUHP diatur bahwa :
(1) Barang siapa bersalah karena pemberontakan, diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun: 1. orang yang melawan pemerintah Indonesia dengan senjata; 2. orang yang dengan maksud melawan Pemerintah Indonesia menyerbu bersama-sama atau menggabungkan diri pada gerombolan yang melawan Pemerintah dengan senjata.
(2) Para pemimpin dan para pengatur pemberontakan diancam dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun.

Bahwa menurut Satochid Kartanegara, perlawanan bersenjata yang dilarang dalam Pasal 108 KUHP bukanlah hanya perlawanan bersenjata terhadap Pemerintah Indonesia secara keseluruhan semata-mata, melainkan juga mencakup perbuatan melakukan perlawanan bersenjata terhadap suatu kekuasaan umum, baik di pusat maupun di daerah, seperti kepolisian setempat, kejaksaan setempat, dan sebagainya. dengan maksud untuk merampas dan menduduki bagunan-bangunan tersebut, apabila untuk mencapai maksud mereka, mereka telah dianggap melakukan pemberontakan dengan senjata. Bahwa Pasal 108 KUHP merupakan hukum normatif, sedangkan hak Sebagai hukum normatif, Pasal 108 KUHP, tetap dapat digunakan oleh pengadilan sebagai dasar yuridis untuk menyatakan pelaku pemberontakan bersalah. Pembelaan dari sudut hak asasi manusia, yaitu keinginan untuk merdeka dari pemerintah yang ada, pada umumnya bukan merupakan alasan pembenar atau alasan pemaaf yang bersifat yuridis untuk pemberontakan. Hal ini karena pemerintah suatu negara berkewajiban menjaga keutuhan negara dan kewibawaan pemerintah. Rumusan hak-hak asasi yang dikenal juga tidak ada yang menegaskan adanya hak memberontak dari pemerintah yang ada. Pengecualiannya hanyalah apabila pemberontakan itu merupakan pemberontakan dari suatu bangsa untuk bebas dari penjajahan bangsa lain. Dalam alinea pertama Pembukaan UUD Tahun 1945 ditegaskan bahwa “kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan”.

6. Bahwa terhadap dalil Para Pemohon yang menyatakan sebagaimana kutipan Para Pemohon berikut ini:
…Ketentuan Pasal 110 ayat (2) KUHP tidak mencerminkan aturan yang jelas, mudah dipahami dan dapat dilaksanakan secara adil, karena untuk menyatakan seseorang dapat di hukum menurut Pasal 110 KUHP harus benar-benar melakukan keseluruhan perbuatan sehingga ketentuan pasal ini sangat luas dan terlalu rumit serta akan memunculkan ketidakpastian hukum…(Vide Perbaikan permohonan hlm. 37 angka 143)
Bahwa Pasal 88 KUHP, menyatakan “dikatakan ada permufakatan jahat, apabila dua orang atau lebih telah sepakat akan melakukan kejahatan” kemudian pasal 110 ayat (1) KUHP, menyatakan “Permufakatan jahat untuk melakukan kejahatan menurut pasal 104, pasal 106, pasal 107, dan pasal 108 diancam berdasarkan ancaman pidana dalam pasal-pasal tersebut”. Adapun Pasal 104, Pasal 106, Pasal 107, dan pasal 108 KUHP tersebut mengatur terkait tindak pidana yang sangat berbahaya dan dapat mengancam keamanan negara, seperti upaya makar dan/atau pemberontakan. Permufakatan jahat menurut Pasal 88 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terjadi apabila dua orang atau lebih sepakat akan melakukan kejahatan.

Permufakatan jahat dianggap telah terjadi setelah dua orang atau lebih mencapai suatu kesepakatan untuk melakukan kejahatan, meskipun pada akhirnya tindak pidana tidak atau belum dilakukan. Jadi, baru pada tahapan niat untuk melakukan perbuatan jahat saja dapat dikenakan delik. Tindak pidana permufakatan jahat ini berbeda dengan tindak pidana percobaan (poging) yang diatur dalam Pasal 53 KUHP. Dalam tindak pidana percobaan harus memenuhi tiga unsur, yaitu niat, permulaan pelaksanaan dan perbuatan tersebut tidak jadi selesai di luar kehendak pelaku. Namun demikian, tindak pidana permufakatan jahat cukup dengan niat saja telah dapat dihukum. Berdasarkan Pasal 110 ayat (1) KUHP, perbuatan jahat yang dapat dikaitkan dengan permufakatan jahat hanya terkait dengan kejahatan yang diatur dalam Pasal 104, 106, 107 dan 108 KUHP. Pasal-pasal tersebut terkait kejahatan yang sangat berbahaya dan dapat mengancam keselamatan negara (staatsgevaarlijke misdrijven), seperti upaya makar dan pemberontakan. Bahwa permufakatan jahat untuk melakukan kejahatan dalam Pasal 104, Pasal 106, Pasal 107, dan Pasal 108 KUHP sudah memidanakan suatu perbuatan yang masih dalam tingkat persiapan. Bahwa tidak perlu apakah “niat” tersebut telah terpenuhi, melainkan cukup telah diwujudkan dalam permulaan pelaksanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 KUHP, maka makar itu telah terpenuhi, cukup dengan bermufakat, menyetujui atau bersepakat untuk melakukan makar maka si terdakwa dapat dihukum;

Berdasarkan pernyataan para pemohon di atas, DPR RI berpandangan bahwa ketentuan Pasal 110 KUHP bukanlah aturan yang berdiri sendiri namun berkaitan dengan ketentuan Pasal 104, Pasal 106, Pasal 107 dan Pasal 108 KUHP yang mana telah dinyatakan dalam ketentuan Pasal 110 ayat (1) dan merupakan kejahatan terhadap negara. Ketentuan Pasal 110 KUHP tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD Tahun 1945 dimana Rule of Law sebagaimana disebutkan oleh Para Pemohon a quo merupakan sistem hukum yang jelas, mudah dipahami dan menjaga tegaknya keadilan Terhadap anggapan para pemohon bahwa Pasal 110 KUHP bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28E ayat (3) UUD Tahun 1945, DPR RI menjelaskan bahwa frasa "permufakatan jahat" yang dianggap para pemohon multi interpretatif, dalam penjelasan Djoko Prakoso dinyatakan bahwa perbuatan mufakat jahat dalam Pasal 110 KUHP ayat (1) merupakan perbuatan yang dilarang yang sesuai dengan ketentuan Pasal 88 KUHP yaitu suatu perbuatan pemufakatan atau kesempatan untuk melakukan kejahatan yang mana kejahatannya sendiri belum nampak dan masih dalam tahap persiapan atau perencanaan. Dalam kaitannya dengan pemerintahan negara dan keamanan negara, dalam ketentuan Pasal 88 bis dinyatakan :
dengan penggulingan pemerintahan dimaksud meniadakan atau mengubah secara tidak sah bentuk pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar.
Dalam kaitannya dengan anggapan para pemohon bahwa ketentuan Pasal 110 KUHP bertentangan dengan ketentuan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28E ayat (3) UUD Tahun 1945 karena melanggar kepastian hukum dan kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat maka terhadap anggapan tersebut, DPR RI beranggapan hal tersebut tidaklah benar. Kepastian hukum sebagaimana dimaksud oleh Para pemohon dalam Pasal 110 KUHP tersebut telah tercapai dan terhadap kebebasan berekspresi dan berkumpul dan menyatakan pendapat, ketentuan Pasal 110 KUHP ini tidak melanggar hak Para Pemohon a quo. Dalam kaitannya dengan melakukan protes terhadap kinerja pemerintah, hal ini dapat dilakukan oleh siapapun yang tentunya harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan dilakukan dengan tertib dan santun.

7. Bahwa Djoko Prakoso menyatakan tindak pidana makar terbagi atas beberapa jenis berdasarkan kepentingan hukum yang dilanggar selain itu suatu kejadian selalu berkaitan dengan kejadian yang lain, dengan kata lain, suatu kejadian merupakan akibat dari kejadian yang lain. (Djoko Prakoso, Tindak Pidana Makar Menurut KUHP. Jakarta : Ghalia Indah, 1985, hllm. 49-56) sehingga ketentuan Pasal 104 saja tidak cukup untuk menyatakan bahwa seseorang telah melakukan tindak pidana makar. Pasal ini perlu didukung dengan pasal lain untuk memperkuatnya karena pelaku memiliki niat yang lain. Adapun pasal yang berkaitan dengan ketentuan Pasal 104, Pasal 106, Pasal 107 dan Pasal 108 KUHP adalah Pasal 4 ayat (1), Pasal 110, Pasal 128, Pasal 131, Pasal 140, Pasal 164, Pasal 328, Pasal 338, dan Pasal 487. Ketentuan Pasal 4 ayat (1) mengatur tentang kejahatan yang dilakukan oleh orang yang berada di luar wilayah Indonesia yang termasuk komponen dalam ketentuan Pasal-Pasal a quo mengingat tindak pidana makar dapat dilakukan tidak hanya oleh orang yang berada di wilayah Indonesia tetapi juga yang berada di luar wilayah Indonesia, sehingga ketentuan ini merupakan perwujudan dari asas perlindungan atau asas nasional pasif yang mana memuat prinsip bahwa peraturan hukum pidana Indonesia berlaku terhadap tindak pidana yang menyerang kepentingan hukum Indonesia, baik dilakukan oleh warga negara Indonesia maupun warga negara asing. Kejahatan tersebut dapat dibagi dalam 5 kategori, yaitu :
a) kejahatan terhadap keamanan negara dan martabat presiden (Pasal 4 sub 1);
b) kejahatan terhadap materi atau merek yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia (Pasal 4 sub 2);
c) pemalsuan surat-surat utang dan sertifikat utang atas beban Indonesia yang dipalsukan (Pasal 4 sub 3);
d) kejahatan yang tercantum dalam titel XXIX Buku II yang dilakukan oleh pegawai negeri Indonesia di luar negeri (Pasal 7);
e) kejahatan pelayaran yang tercantum dalam titel XXIX Buku III, pelanggaran pelayaran dan juga tindak pidana yang tercantum dalam peraturan-peraturan umum tentang surat-surat laut dan pas kapal di Indonesia dan di dalam Ordonansi kapal tahun 1972, yang dilakukan oleh nakhoda dan penumpang alat pelayar Indonesia, baik mereka berada di dalam kapal maupun di luar kapal (Pasal 8)

8. Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 30 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang menyatakan bahwa :

“Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara”

Para Pemohon seyogianya berkepentingan dalam turut menciptakan kedamaian dan kondisi kondusif di tanah Papua sebagai badan hukum yang bertujuan memelihara persaudaraan di antara golongan umat sesama manusia untuk bekerjasama membangun masayrakat, bangsa dan negara dalam segala bidang. Para Pemohon tetap dapat melaksanakan kegiatan dalam bidang sosial dan kemanusiaan dengan berperan aktif dalam upaya terwujudnya perilaku dan kebijakan dalam penyelenggaraan negara dan pemerintahan serta mewujudkan kesadaran warga negara pada umumnya akan hak dan kewajibannya sebagai subyek hukum. Sehingga seharusnya Para Pemohon mendukung pemerintah dalam menjaga ketahanan dan keamanan bangsa Indonesia.

9. DPR RI berpendapat sesuai dengan pendirian Mahkamah Konstitusi pada Putusan Nomor 5/PUU-V/2007 halaman 57 mengenai MK sebagai negative legislator, yang menyatakan bahwa:
..”Mahkamah bukanlah pembentuk undang-undang yang dapat menambah ketentuan undang-undang dengan cara menambahkan rumusan kata-kata pada undang-undang yang diuji. Namun demikian, Mahkamah dapat menghilangkan kata-kata yang terdapat dalam sebuah ketentuan undang-undang supaya norma yang materinya terdapat dalam ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang tidak bertentangan lagi dengan UUD 1945. Sedangkan terhadap materi yang sama sekali baru yang harus ditambahkan dalam undang-undang merupakan tugas pembentuk undang-undang untuk merumuskannya.”

Demikian juga mengutip pendapat Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna bahwa:

..”Mahkamah Konstitusi adalah sebagai negative legislator. Artinya, Mahkamah Konstitusi hanya bisa memutus sebuah norma dalam undang-undang bertentangan dengan konstitusi, tanpa boleh memasukkan norma baru ke dalam undang-undang itu. Itu hakikat Mahkamah Konstitusi.” (Conditionally Constitutional Pintu Masuk Penambahan Norma : www.hukumonline.com).”

Dengan demikian Mahkamah Konstitusi sebagai negative legislator, pada dasarnya tidak dapat mengabulkan petitum konstitusional bersyarat yang diajukan oleh Para Pemohon.

28/PUU-XV/2017

Pasal 104, Pasal 106, Pasal 107, Pasal 108 dan Pasal 110 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Pasal 1 ayat (3), Pasal 28, Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (2) dan ayat
(3) UUD Tahun 1945