Keterangan DPR mengenai Pengujian UU Terhadap UUD 1945


Deprecated: nl2br(): Passing null to parameter #1 ($string) of type string is deprecated in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-keterangan.phtml on line 80
KETERANGAN DPR DALAM PERKARA NOMOR 112/PUU-XX/2022 / 07-02-2023

Kerugian Konstitusional:
Bahwa Pemohon menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya telah dirugikan akibat pemberlakuan ketentuan a quo yang pada intinya:
a. Mengenai persyaratan usia mengalami perubahan sebagaimana diatur dalam Pasal 29 huruf e UU KPK Perubahan Kedua, semula usia minimal mencalonkan diri sebagai Pimpinan KPK berusia 40 tahun menjadi 50 tahun. Sementara Pemohon yang saat ini aktif sebagai wakil ketua merangkap anggota pimpinan KPK, yang pada saat proses seleksi masih dengan persyaratan usia 40, sehingga hingga selesai masa jabatannya berusia 49 tahun. Maka Pemohon berdasarkan Pasal 29 huruf e UU KPK Perubahan Kedua memiliki hak untuk dipilih kembali pada periode berikutnya sebagaimana diatur dalam Pasal 34 UU KPK Perubahan Kedua menjadi tidak memenuhi syarat. Ketentuan Pasal 29 huruf e secara nyata mengakibatkan problematika kelembagaan KPK, karena norma yang diharapkan menjamin Independensi KPK dan kontinuitas program kerja tidak dapat dilaksanakan (vide Perbaikan Permohonan hlm. 14 dan hlm. 19)
b. Bahwa akibat berlakunya Pasal 34 UU KPK Perubahan Kedua, Pemohon dirugikan selama 1 (satu) tahun dibandingkan dengan masa jabatan 12 lembaga non kementerian lainnya. Kerugian waktu selama 1 tahun tersebut diakibatkan secara langsung oleh norma Pasal 34 UU KPK Perubahan Kedua yang berbeda/diskriminatif dengan 12 Komisi atau Lembaga Negara non kementerian lainnya. Selain itu, Pasal 34 menimbulkan menimbulkan masalah hukum tentang status, kedudukan dan derajat lembaga KPK dalam struktur ketatanegaraan di Indonesia (vide Perbaikan Permohonan hlm. 9 dan hlm. 11).

Legal Standing:
1. Adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD NRI Tahun 1945
Pemohon mendalilkan memiliki hak konstitusional berdasarkan Pasal 28D ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) dan Pasal 28I ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 (vide Perbaikan Permohonan hlm. 10). Terhadap dalil tersebut, DPR RI menerangkan sebagai berikut:
a. Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang mengatur mengenai hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum justru telah tercermin dalam pasal a quo dikarenakan pasal yang diujikan tersebut telah memberikan perlakuan yang sama terkait persyaratan Pimpinan KPK terutama terkait persyaratan umur.
b. Pasal 28D ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 yang mengatur mengenai hak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja justru teraktualisasikan dalam pasal a quo karena Pemohon tetap dapat ikut serta sebagai calon Pimpinan KPK setelah persyaratan umur dipenuhi sehingga menjadi tidak relevan jika dipertautkan dengan ketentuan dalam Pasal 28D ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 sebagai salah satu pasal batu uji dari Pemohon.
c. Pasal 28D ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 yang mengatur mengenai hak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan. DPR RI berpandangan bahwa pasal a quo juga tidak melarang Pemohon untuk ikut serta dalam pemerintahan karena Pemohon tetap dapat ikut serta sebagai calon Pimpinan KPK setelah persyaratan umur dipenuhi sehingga menjadi tidak relevan jika dipertautkan dengan ketentuan dalam Pasal 28D ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 sebagai salah satu pasal batu uji dari Pemohon.
d. Pasal 28I ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 yang pada pokoknya mengatur mengenai hak pada pokoknya menjamin setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat “diskriminatif”. DPR RI berpandangan bahwa Pemohon perlu memahami terlebih dahulu makna diskriminasi sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 73 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (selanjutnya disebut UU HAM). Bahwa “diskriminasi” yang dimaksud dalam UU HAM adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan, politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan, atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan, atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya. Masalah persyaratan dan batasan usia sebagaimana diatur dalam pasal a quo tidak ada kaitannya dengan makna “diskriminasi” sebagaimana dimaksud UU HAM.
e. Bahwa dengan demikian Pasal 28D ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) dan Pasal 28I ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 tidak dapat dijadikan sebagai dalil adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang dirugikan dalam pengujian pasal UU a quo dan tidak ada kaitannya dengan makna “diskriminasi” sebagaimana dimaksud sehingga Pemohon jelas tidak memiliki hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD NRI Tahun 1945.

2. Hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu undang-undang yang diuji
a. Pemohon mendalilkan hak dan/atau kewenangan konstitusional yang dijamin dalam Pasal 28D ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) dan Pasal 28I ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 telah dirugikan oleh berlakunya ketentuan pasal a quo. DPR RI berpandangan bahwa persyaratan usia dalam pasal a quo lazim ditentukan dalam suatu perundang-undangan untuk menentukan bahwa seseorang dengan batas usia tertentu dianggap telah memiliki kapasitas/kemampuan baik dari sisi intelektualitas, kecerdasan spiritual, kecerdasan emosi, maupun kematangan perilaku dalam memegang dan menjalankan suatu jabatan tertentu, sehingga seseorang calon diharapkan ketika memegang jabatan tertentu dapat menjalankan tugas dan kewajibannya secara bijak dan bertanggung jawab kepada masyarakat, bangsa dan negara.
b. Pemohon yang ingin mencalonkan diri kembali menjadi pimpinan KPK namun terbentur persyaratan usia berarti Pemohon tidak memenuhi persyaratan formil yang ditentukan UU a quo untuk menjadi Pimpinan KPK. Namun tidak berarti hak konstitusional Pemohon yang dijamin dalam Pasal 28D ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) dan Pasal 28I ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 menjadi dirugikan sebab Pemohon tetap dapat menjadi Pimpinan KPK setelah memenuhi ambang batas umur yang telah ditentukan oleh UU a quo.
c. Lebih lanjut persoalan yang didalilkan Pemohon sudah berkaitan dengan implementasi norma sehingga bukan menjadi ranah kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menilainya. Termasuk dalam hal ini, apabila salah satu calon pimpinan KPK yang tidak memenuhi usia minimum yang dipersyaratkan dalam UU a quo hal tersebut sudah merupakan kasus konkrit dan bukan berkaitan dengan inkonstitusionalitas norma.
d. Oleh karena itu, persyaratan usia dalam pasal a quo tidak menyebabkan kerugian hak konstitusional Pemohon yang dijamin Pasal 28D ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) dan Pasal 28I ayat (2) UUD NRI Tahun 1945. Oleh karena itu, tidak ada kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon atas berlakunya pasal UU a quo.

3. Adanya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
Persyaratan dan batasan usia sebagaimana dalam pasal a quo konstitusional berdasarkan Pasal 28J ayat (2) UUD NRI Tahun 1945, karena merupakan open legal policy pembentuk undang-undang. Dalam berbagai undang-undang yang mengatur jabatan publik pun, pembentuk undang-undang memiliki kekuasaan untuk menentukan syarat dan batas usia menurut berbagai pertimbangan pembentuk undang-undang. Dengan demikian, jelas tidak ada kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi.

4. Adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;
Bahwa sebagaimana telah dikemukakan pada angka 1, 2, dan 3 telah jelas tidak terdapat kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang dirugikan dengan keberlakuan Pasal a quo yang dimohonkan pengujian oleh Pemohon. Dengan demikian tidak ada hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian yang didalilkan Pemohon dengan berlakunya Pasal a quo yang dimohonkan pengujian.

5. Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi;
Bahwa karena tidak ada kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional baik yang bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi dan tidak ada hubungan sebab akibat (causal verband) atas kerugian konstitusional dengan ketentuan Pasal a quo maka sudah dapat dipastikan bahwa pengujian ketentuan Pasal a quo tidak akan berdampak apapun pada Pemohon. Dengan demikian menjadi tidak relevan lagi bagi Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa dan memutus Permohonan a quo karena Pemohon tidak memenuhi 5 batas kerugian konstitusional berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan perkara Nomor 011/PUU-V/2007 mengenai parameter kerugian konstitusional yang harus dipenuhi secara kumulatif sehingga Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam pengujian pasal a quo.

Pokok Permohonan:
1. Persyaratan usia agar seseorang dapat menduduki suatu jabatan dalam lembaga negara merupakan hal yang telah lazim diatur dalam peraturan perundang-undangan sebagai bentuk tertib administrasi dan wujud kepastian hukum. Beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur persyaratan usia suatu jabatan dalam lembaga negara tersebut diantaranya:
a. UU MK, persyaratan untuk dapat diangkat menjadi calon hakim konstitusi dengan batas usia paling rendah 47 tahun.
b. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Persyaratan untuk dapat diangkat menjadi hakim agung berusia sekurang-kurangnya 45 tahun.
c. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksan Keuangan. Persyaratan usia menjadi anggota Badan Pemeriksa Keuangan adalah minimal berusia 35 tahun.
d. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Persyaratan untuk dapat diangkat menjadi Jaksa adalah berusia paling rendah 25 (dua puluh lima) tahun dan paling tinggi 35 (tiga puluh lima) tahun.
Persyaratan usia untuk dapat diangkat menjadi calon pejabat atau pejabat dalam suatu jabatan tertentu digunakan sebagai parameter untuk menentukan seseorang dengan batas usia tertentu dianggap telah memiliki kapasitas/kemampuan baik dari sisi intelektualitas, kecerdasan spiritual, kecerdasan emosi, maupun kematangan perilaku dalam memegang dan menjalankan tugas dan wewenang suatu jabatan tertentu. Seorang calon pejabat negara diharapkan ketika memegang jabatan tertentu dapat menjalankan tugas dan kewajibannya secara bijak dan bertanggung jawab kepada masyarakat, bangsa dan negara.

2. Bahwa Pemohon mendalilkan merasa kehilangan haknya untuk dipilih kembali berdasarkan Pasal 34 UU KPK Perubahan Kedua karena tidak memenuhi syarat batasan usia sebagaimana diatur dalam Pasal 29 huruf e UU KPK Perubahan Kedua dan merasa dirugikan hak konstitusionalnya sebagaimana dijamin dalam ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 (vide Perbaikan Permohonan hlm. 14). Terhadap dalil Pemohon tersebut maka DPR RI perlu untuk memberikan pandangan terlebih dahulu mengenai prinsip-prinsip yang perlu untuk diperhatikan mengenai perlakuan sama di hadapan hukum sebagai berikut:
a. Firstly, it stipulates that those individuals who are in similar situations should receive similar treatment and no be treated less favourably simply because of a particular ‘protected’ characteristic that they posses. This is known as ‘direct’ discrimination. Secondly, [it] law stipulates that those individuals who are in different situations should receive different treatment to the extent that this is needed to allow them to enjoy particular opportunities on the same basis as others. Thus, those same ‘protected grounds’ should be taken into account when carrying out particular practices or creating particular rules. This is known as ‘indirect discrimination.’ (Handbook on European Non-Discrimination Law: The European Court of Human Rights and the European Union Agency for Fundamental Rights: hlm.21-22).
b. Equality before the law and the equal protection of the law do not mean identity or abstract symmetry of treatment. Distinctions need to be made for different classes and groups of persons, and a classification based on reasonable and objective criteria is permitted. (The Judicial Application of Human Rights Law: National, Regional and International Jurisprudence: Nihal Jayawickrama: hlm.818-819)

Bahwa berdasarkan prinsip tersebut di atas senada dengan pernyataan Prof. Sudiman Kartohadiprodjo bahwa, “Menyamakan sesuatu yang tidak sama, sama tidak adilnya dengan membedakan yang sama.” (Pers dan Kaum Perempuan di Indonesia: Bagir Manan: hlm. 8). Demikian juga yang dinyatakan oleh Laica Marzuki bahwa ketidakadilan (ungenrechtigkeit) bukan hanya membedakan dua hal yang sama, tetapi juga menyamakan dua hal yang berbeda (Putusan MK Nomor 1/PUU-X/2012: hlm.84). Bagir Manan juga menyatakan hal yang serupa dengan Prof. Sudiman Kartohadiprodjo dan Laica Marzuki, yaitu:
Ada adagium lama yang diketahui oleh setiap ahli hukum yang mengatakan, “Menyamakan sesuatu yang berbeda atau tidak sama, sama tidak adilnya dengan membedakan yang sama.” Dengan bahasa yang lebih mudah, dalam keadaan tertentu membedakan atau unequal treatment itu, justru merupakan syarat dan cara mewujudkan keadilan, sebaliknya dalam keadaan tertentu membuat segala sesuatu serba sama sedangkan didapati berbagai perbedaan juga akan menimbulkan dan melukai rasa keadilan. Kalau demikian, apakah ada syarat objektif agar suatu perbedaan atau unequal itu menjadi syarat untuk mewujudkan keadilan. (Putusan MK Nomor 1/PUU-X/2012: hlm.57)

3. Bahwa persamaan di hadapan hukum bukan berarti mendudukkan semua hal dalam posisi yang sama tanpa adanya pembedaan, melainkan memberikan perlakuan yang sama bagi siapapun dihadapan hukum. Adanya perbedaan pengaturan mengenai batas usia pimpinan KPK pada Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK 2002) dengan UU KPK Perubahan Kedua tentunya dibuat oleh pembentuk undang-undang dengan mempertimbangkan aspek dan kondisi yang ada pada saat undang-undang tersebut dibentuk dan yang diharapkan oleh pembentuk undang-undang pada seorang pimpinan KPK yang terpilih nantinya serta implikasinya terhadap pelaksanaan tugas KPK. Justru dengan petitum Pemohon yang meminta MK untuk memberikan penafsiran baru terhadap pengaturan pasal a quo, hal ini memiliki konsekuensi hukum persyaratan batasan usia yang diatur oleh pembentuk undang-undang menjadi tidak jelas jika juga dimaknai telah berpengalaman menjadi pimpinan KPK.

4. Bahwa ketentuan batasan usia dalam pasal a quo memang dimaksudkan oleh pembentuk undang-undang berlaku untuk semua orang tanpa memandang seseorang tersebut pernah menjadi pimpinan KPK atau belum. Jika dimaknai seperti petitum yang dimohonkan oleh Pemohon, maka seakan-akan lebih mempriotitaskan pengalaman sebagai pimpinan KPK meskipun tidak memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam pasal a quo. Selain itu, Pemohon masih dijamin haknya untuk mengajukan diri kembali sebagai pimpinan KPK sepanjang memenuhi persyaratan dalam ketentuan peraturan undangan-undangan khususnya mengenai ketentuan batasan usia sebagaimana diatur dalam pasal a quo. Oleh karena itu, persyaratan usia sebagaimana diatur dalam pasal a quo tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945.

5. Bahwa Pemohon mendalilkan akibat berlakunya Pasal 34 UU KPK Perubahan Kedua, Pemohon dirugikan selama 1 (satu) tahun dibandingkan dengan masa jabatan 12 lembaga non kementerian lainnya sehingga pengaturan tersebut diskriminatif (vide Perbaikan Permohonan hlm. 9). Terhadap dalil Pemohon tersebut, DPR RI berpandangan bahwa Pemohon perlu memahami terlebih dahulu makna diskriminasi sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 ayat (3) UU HAM yang menyatakan:
Diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengecualian yang langsung ataupun tidak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat, pengurangan, penyimpangan atau penghapusan, pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kuloktif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya.

Demikian juga dengan Pasal 2 International Covenant on Civil and Political Right (ICCPR) yang telah diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 yang menyatakan bahwa:
Each State Party to the present Covenant undertake to respect and ensure to all individuals within its territory and subject to its juridiction the rights recognized in the present Covenant without dictinction of any kind such us race, color, sex, language, religion, political or other opinion, national or sosial origin, property, birth or other status.

Dengan demikian diskriminasi harus diartikan sebagai setiap pembatasan, pelecehan atau pengucilan yang didasarkan pada perbedaan manusia atas dasar agama (religion), ras (race), warna (color), jenis kelamin (sex), bahasa (language), dan keyakinan politik (political opinion). Persyaratan dan Batasan usia sebagaimana diatur dalam pasal a quo tidak ada kaitannya dengan agama, suku, ras, etnis, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, dan keyakinan politik. Sebaliknya, ketentuan pasal a quo berlaku bagi siapapun yang hendak menjadi pimpinan KPK. Dengan demikian, sangat tidak beralasan jika pasal a quo dianggap diskriminatif dan bertentangan dengan Pasal 28I ayat (2) UUD Tahun 1945.

6. Bahwa DPR RI merujuk pada pendapat hukum MK yang telah beberapa kali menguji pengaturan persyaratan usia untuk menduduki suatu jabatan dalam lembaga negara, diantaranya:
a. Poin [3.13] Putusan MK No. 102/PUU-XIV/2016
“Menurut Mahkamah pemenuhan hak untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan bukan berarti negara tidak boleh mengatur dan menentukan syarat-syaratnya, sepanjang syarat-syarat demikian secara objektif memang merupakan kebutuhan yang dituntut oleh jabatan atau aktivitas pemerintahan yang bersangkutan dan tidak mengandung unsur diskriminatif. Dalam kaitan dengan kriteria usia, UUD 1945 tidak menentukan Batasan usia minimum tertentu sebagai kriteria yang berlaku umum untuk semua jabatan atau aktivitas pemerintahan. Artinya UUD 1945 menyerahkan kepada pembentuk Undang-Undang untuk mengaturnya. Terlebih lagi, Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-V/2007, tanggal 27 November 2007 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 37-39/PUU-VIII/2010, tanggal 15 Oktober 2010 pada intinya telah mempertimbangkan bahwa dalam kaitannya dengan kriteria usia, UUD 1945 tidak menentukan Batasan usia minimum tertentu untuk menduduki semua jabatan dan aktivias pemerintahan. Hal ini merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy), yang sewaktu-waktu dapat diubah oleh pembentuk undang-undang sesuai dengan tuntutan kebutuhan perkembangan yang apapun pilihannya tidak dapat dianggap bertentangan dengan UUD 1945.”

b. Poin [3.14] Putusan MK Nomor 37/PUU-VIII/2010
 Pemenuhan hak untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan bukan berarti negara tidak boleh mengatur dan menentukan syarat-syaratnya, sepanjang syarat-syarat demikian secara objektif memang merupakan kebutuhan yang dituntut oleh jabatan atau aktivitas pemerintahan yang bersangkutan dan tidak mengandung unsur diskriminasi. Jabatan maupun aktivitas pemerintahan banyak macam ragamnya, sehingga kebutuhan dan ukuran yang menjadi tuntutannya pun berbeda-beda di antara bermacam-macam jabatan atau aktivitas pemerintahan tersebut. Dalam kaitannya dengan kriteria usia, UUD 1945 tidak menentukan batasan usia minimal atau maksimal tertentu sebagai kriteria yang berlaku umum untuk semua jabatan atau aktivitas pemerintahan. Hal itu berarti, UUD 1945 menyerahkan penentuan batasan usia tersebut kepada pembentuk Undang-Undang untuk mengaturnya. Dengan kata lain, oleh UUD 1945 hal itu dianggap sebagai bagian dari kebijakan hukum (legal policy) pembentuk Undang-Undang. Oleh sebab itulah, persyaratan usia minimal untuk masing-masing jabatan atau aktivitas pemerintahan diatur secara berbeda-beda dalam berbagai peraturan perundang-undangan sesuai dengan karakteristik kebutuhan jabatan masing-masing;
 Persyaratan tersebut tidak hanya berlaku untuk Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi, tetapi juga untuk jabatan publik lainnya yang telah diatur dalam Undang-Undang, seperti persyaratan untuk menjadi Hakim Konstitusi, “berusia sekurang-kurangnya 40 (empat puluh) tahun pada saat pengangkatan”, [vide Pasal 16 ayat (1) huruf c UU MK], persyaratan untuk menjadi Hakim Agung, berusia sekurang-kurangnya 45 (empat puluh lima) tahun”, (vide Pasal 7 huruf a angka 1 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung), batas usia minimal untuk berhak memilih dalam pemilihan umum ditentukan 17 tahun atau sudah kawin atau sudah pernah kawin (vide Pasal 1 angka 22 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Pasal 1 angka 21 UndangUndang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden). Dapat saja batas usia minimal ataupun maksimal bagi keikutsertaan warga negara dalam jabatan atau kegiatan pemerintahan itu diubah sewaktu-waktu oleh pembentuk Undang-Undang sesuai dengan tuntutan kebutuhan perkembangan yang ada. Hal itu sepenuhnya merupakan kewenangan pembentuk Undang-Undang yang tidak dilarang. Bahkan, seandainya pun suatu Undang-Undang tidak mencantumkan syarat usia minimal (maupun maksimal) tertentu bagi warga negara untuk dapat mengisi suatu jabatan atau turut serta dalam kegiatan pemerintahan tertentu, melainkan menyerahkan pengaturannya kepada peraturan perundang-undangan di bawahnya, hal demikian pun merupakan kewenangan pembentuk Undang-Undang dan tidak bertentangan dengan UUD 1945. Bahwa ketetapan pembentuk Undang-Undang mengenai syarat usia seseorang pejabat adalah suatu kebijakan hukum terbuka (opened legal policy) yang berapa pun usia minimal dan maksimal yang ditetapkan tidak dapat dikategorikan sebagai ketentuan yang tidak konstitusional.

c. Putusan MK Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008
Menimbang bahwa Mahkamah dalam fungsinya sebagai pengawal konstitusi tidak mungkin untuk membatalkan Undang-Undang atau sebagian isinya, jikalau norma tersebut merupakan delegasi kewenangan terbuka yang dapat ditentukan sebagai legal policy oleh pembentuk Undang-Undang. Meskipun seandainya isi suatu Undang-Undang dinilai buruk, Mahkamah tetap tidak dapat membatalkannya, sebab yang dinilai buruk tidak selalu berarti inkonstitusional, kecuali kalau produk legal policy tersebut jelas-jelas melanggar moralitas, rasionalitas dan ketidakadilan yang intolerable.

d. Poin [3.20], nomor 6, Putusan MK Nomor 15/PUU-V/2007
Dalam hubungan ini, Mahkamah menegaskan kembali bahwa jabatan maupun aktivitas pemerintahan itu banyak macam-ragamnya, sehingga kebutuhan dan ukuran yang menjadi tuntutannya pun berbeda-beda di antara bermacam-macam jabatan atau aktivitas pemerintahan tersebut. Dalam kaitannya dengan kriteria usia, UUD 1945 tidak menentukan batasan usia minimum tertentu sebagai kriteria yang berlaku umum untuk semua jabatan atau aktivitas pemerintahan. Hal itu berarti, UUD 1945 menyerahkan penentuan batasan usia tersebut kepada pembentuk undang-undang untuk mengaturnya. Dengan kata lain, oleh UUD 1945 hal itu dianggap sebagai bagian dari kebijakan hukum (legal policy) pembentuk undang-undang. Oleh sebab itulah, persyaratan usia minimum untuk masing-masing jabatan atau aktivitas pemerintahan diatur secara berbeda-beda dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Misalnya, batas usia minimum untuk menjadi Hakim Konstitusi ditentukan 40 tahun [vide Pasal 16 Ayat (1) huruf c UU MK], batas usia minimum untuk menjadi Hakim Agung ditentukan 50 tahun [vide Pasal 7 Ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung], batas usia minimum untuk berhak memilih dalam pemilihan umum ditentukan 17 tahun atau sudah kawin atau sudah pernah kawin [vide Pasal 7 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden dan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah]. Mungkin saja batas usia minimum bagi keikutsertaan warga negara dalam jabatan atau kegiatan pemerintahan itu diubah sewaktu-waktu oleh pembentuk undang-undang sesuai dengan tuntutan kebutuhan perkembangan yang ada. Hal itu sepenuhnya merupakan kewenangan pembentuk undang-undang yang tidak dilarang. Bahkan, seandainya pun suatu undang-undang tidak mencantumkan syarat usia minimum (maupun maksimum) tertentu bagi warga negara untuk dapat mengisi suatu jabatan atau turut serta dalam kegiatan pemerintahan tertentu, melainkan menyerahkan pengaturannya kepada peraturan perundangundangan di bawahnya, hal demikian pun merupakan kewenangan pembentuk undang-undang dan tidak bertentangan dengan UUD 1945. Dengan demikian, dalil Pemohon yang menyatakan Pasal 58 huruf d UU Pemda bertentangan dengan Pasal 28D Ayat (3) UUD 1945 juga tidak beralasan.

Berdasarkan beberapa pendapat hukum MK diatas terkait dengan uji materi pengaturan persyaratan usia untuk menduduki suatu jabatan dalam lembaga negara, telah jelas bahwa persyaratan usia dalam suatu jabatan merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy) pembentuk undang-undang (DPR RI dan Presiden). Oleh karena itu pengaturan syarat usia dalam suatu undang-undang tidak dapat dikategorikan sebagai ketentuan yang inkonstitusional

7. Bahwa berdasarkan pertimbangan hukum dalam Putusan MK Nomor 62/PUU-XIX/2021, 22/PUU-XV/2017, 30-74/PUU-XII/2014, 56/PUU-X/2012, 49/PUU-IX/2011, 7/PUU-IX/2011, dan 15/PUU-V/2007, penentuan batas usia dalam undang-undang merupakan kebijakan hukum terbuka pembentuk undang-undang (open legal policy). Dalam beberapa putusan tersebut diatas, MK menyatakan bahwa kebijakan hukum terbuka (open legal policy) dimaksud terdapat poin penting pertimbangan hukum MK terkait dengan penentuan batas usia sebagai berikut:
a. Ketentuan mengenai batas usia sewaktu-waktu dapat diubah sesuai dengan tuntutan kebutuhan perkembangan yang ada dan sesuai dengan jenis serta spesifikasi dan kualifikasi jabatan tersebut atau dapat pula melalui upaya legislative review.
b. Penentuan batas usia sepenuhnya merupakan kewenangan pembentuk undang-undang yang apapun pilihannya, tidak dilarang dan selama tidak bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945. Hal ini karena menurut MK, UUD NRI Tahun 1945 tidak menentukan batasan usia minimum tertentu sebagai kriteria yang berlaku umum untuk semua jabatan atau aktivitas pemerintahan. Menurut MK, UUD NRI Tahun 1945 menyerahkan kepada pembentuk undang-undang untuk mengatur perihal penentuan batas usia.
c. Dalam Putusan MK No. 22/PUU-XV/2017, MK memberikan penjelasan lebih lanjut terkait pendiriannya menguji ketentuan batas usia suatu jabatan yakni MK dapat menguji permohonan batas usia jabatan yang dinyatakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy) apabila kebijakan hukum terbuka dimaksud melanggar moralitas, rasionalitas, dan menimbulkan ketidakadilan yang intollerable, bertentangan dengan hak politik, kedaulatan rakyat, serta sepanjang kebijakan tersebut tidak melampaui kewenangan pembentuk undang-undang dan tidak merupakan penyalahgunaan kewenangan, serta tidak nyata-nyata bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945.

8. Bahwa Pemohon mendalilkan ketentuan Pasal 29 huruf e UU KPK Perubahan Kedua secara nyata mengakibatkan problematika kelembagaan KPK, karena norma yang diharapkan menjamin Independensi KPK dan kontinuitas program kerja tidak dapat dilaksanakan (vide Perbaikan Permohonan hlm. 19). Terhadap dalil Pemohon tersebut, DPR RI berpandangan bahwa:
a. Pengaturan yang ada dalam Pasal 29 huruf e UU KPK Perubahan Kedua adalah pengaturan mengenai kriteria batas usia pimpinan KPK yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan independensi KPK dalam pelaksanaan tugas dan wewenangnya. Terkait dengan independensi KPK tersebut telah dinyatakan diantaranya dalam pertimbangan hukum Putusan MK Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006 dan Putusan MK Nomor 36/PUU-XV/2017.
b. Pasca diubahnya UU KPK 2002 dengan UU KPK Perubahan Kedua, kedudukan KPK termasuk dalam rumpun cabang kekuasaan pemerintah (vide Pasal 1 angka 3 dan Pasal 3 UU KPK Perubahan Kedua). Perubahan terhadap kedudukan KPK bukanlah tanpa sebab, berdasar pada putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-XV/2017, KPK termasuk lembaga cabang kekuasaan pemerintah yang menjalankan tugasnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. Komisi Pemberantasan Korupsi sendiri merupakan suatu lembaga negara yang memiliki fungsi pemberantasan dan pencegahan tindak pidana korupsi di Indonesia. United Nations Convention Against Corruption sebagai konvensi anti korupsi internasional telah mengamanatkan bagi negara dapat memberantas dan mencegah korupsi secara efektif serta efisien melalui intitusi-institusi pemberantasan korupsi. Indonesia pun telah meratifikasi konvensi anti korupsi tersebut dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption (Konvensi Perserikatan BangsaBangsa Anti Korupsi) tahun 2003 guna menjalin kerjasama internasional dalam rangka pemberantasan dan pencegahan tindak pidana korupsi secara lokal dan internasional.
c. Sebagai sebuah lembaga, KPK sebagai komisi independen negara yang diberi kewenangan pro justitia dalam melakukan penindakan tindak pidana korupsi selama ini banyak di kritisi oleh para ahli hukum mengenai kelembagaannya yang berstatus “independen” tersebut seperti Romli Atmasasmita. Romli Atmasasmita berpendapat jika kelembagaan KPK merupakan ad hoc sehingga dalam melaksanakan tugas dan fungsinya harus mendorong Kepolisian dan Kejaksaan memberantas tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam UU KPK 2002. Hal ini pula yang menjadi salah satu perhatian pembentuk undang-undang dalam perumusan ketentuan dalam UU KPK Perubahan Kedua.
d. Bahwa meskipun berganti rezim kepimpinan KPK, kontinuitas program kerja tetap dapat dilaksanakan sesuai dengan fungsi, tugas dan wewenang KPK yang diatur di dalam UU KPK. Oleh karena itu dalil kerugian Pemohon tersebut hanya sebatas asumsi dan kurang relevan untuk diajukan sebagai alasan untuk mengajukan pengujian pasal a quo.

9. Bahwa Pemohon mendalilkan pada intinya membandingkan ketentuan mengenai jabatan Hakim Konstitusi yang tidak memenuhi kriteria batasan usia tetapi dianggap memenuhi syarat secara hukum menurut undang-undang, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 87 UU MK dengan ketentuan UU KPK Perubahan Kedua yang tidak memberikan pengaturan yang serupa (vide Perbaikan Permohon hlm. 21). Terhadap dalil Pemohon tersebut, DPR RI berpandangan bahwa sebagaimana dikemukakan sebelumnya pada setiap jabatan memiliki keadaan, kebutuhan, dan pertimbangan yang berbeda-beda yang ditentukan oleh pembentuk undang-undang. Serta jabatan kebutuhan hakim konstitusi dengan pimpinan KPK adalah dua karakteristik jabatan dan lembaga yang berbeda dan tentu saja pembentuk undang-undang memiliki pertimbangan yang berbeda juga dalam menentukan kualifikasi dan kompetensi pemegang setiap jabatan tersebut. Sebagaimana yang telah disampaikan DPR RI pada poin sebelumnya, bahwa menyamakan sesuatu yang berbeda atau membedakan sesuatu yang sama, itu adalah bentuk ketidakadilan.

10. Bahwa Pemohon dalam permohonannya mendalilkan secara kelembagaan bagi KPK yang memiliki perbedaan masa jabatannya dengan masa jabatan pimpinan lembaga negara independen lainnya, menimbulkan masalah hukum tentang status, kedudukan dan derajat Lembaga KPK dalam struktur ketatanegaraan di Indonesia (vide, Perbaikan Permohonan hlm.11). Terhadap dalil tersebut, DPR RI berpandangan kriteria tentang status, kedudukan, dan derajat lembaga negara didasarkan pada dua kriteria, yaitu:
a. Kriteria hierarki bentuk sumber normatif yang menentukan kewenangannya; dan
b. Kualitas fungsinya yang bersifat utama atau penunjang dalam sistem kekuasaan negara. (Zaki Ulya, Hukum Kelembagaan Negara (Kajian Teoritis Kedudukan Lembaga Negara Pasca Reformasi), 2014, hal. 1.)
Berdasarkan kriteria tersebut, maka terlihat pengaturan batas usia pimpinan lembaga yang berbeda antar lembaga satu dengan yang lain tidak memiliki relevansi dengan status, kedudukan, dan derajat lembaga negara karena pengaturan tersebut tidak berdampak terhadap pelaksanaan kewenangan maupun fungsi KPK yang bersifat utama maupun penunjang.

11. DPR RI memberikan keterangan bahwa MK tidak pernah membatalkan undang-undang atau sebagian isinya, jikalau norma tersebut merupakan delegasi kewenangan terbuka yang dapat ditentukan sebagai open legal policy oleh pembentuk undang-undang, sebagaimana terdapat dalam Pendapat Mahkamah pada poin [3.17] Putusan MK No 51-52-59/PUU-VI/2008 yang menyatakan sebagai berikut:
“Menimbang bahwa Mahkamah dalam fungsinya sebagai pengawal konstitusi tidak mungkin untuk membatalkan Undang-Undang atau sebagian isinya, jikalau norma tersebut merupakan delegasi kewenangan terbuka yang dapat ditentukan sebagai open legal policy oleh pembentuk Undang-Undang. Meskipun seandainya isi suatu Undang-Undang dinilai buruk, seperti halnya ketentuan presidential threshold dan pemisahan jadwal Pemilu dalam perkara a quo, Mahkamah tetap tidak dapat membatalkannya, sebab yang dinilai buruk tidak selalu berarti inkonstitusional, kecuali kalau produk legal policy tersebut jelas-jelas melanggar moralitas, rasionalitas dan ketidakadilan yang intolerable. Pandangan hukum yang demikian sejalan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 010/PUU-III/2005 bertanggal 31 Mei 2005 yang menyatakan sepanjang pilihan kebijakan tidak merupakan hal yang melampaui kewenangan pembentuk Undang-Undang, tidak merupakan penyalahgunaan kewenangan, serta tidak nyata-nyata bertentangan dengan UUD 1945, maka pilihan kebijakan demikian tidak dapat dibatalkan oleh Mahkamah”.

12. Bahwa berdasarkan uraian-uraian yang telah disampaikan, pemberlakuan ketentuan pasal UU a quo tersebut tidak bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945.

112/PUU-XX/2022

Pasal 29 huruf e dan Pasal 34 UU KPK Perubahan Kedua

Pasal 28D ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dan Pasal 28I ayat (2) UUD NRI Tahun 1945