Keterangan DPR mengenai Pengujian UU Terhadap UUD 1945


Deprecated: nl2br(): Passing null to parameter #1 ($string) of type string is deprecated in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-keterangan.phtml on line 80
KETERANGAN DPR DALAM PERKARA NOMOR 5 DAN 6/PUU-XXI/2023 / 27-03-2023

Kerugian Konstitusional:
a. Dalam Perkara Nomor 5/PUU-XXI/2023
Para Pemohon beranggapan bahwa Perppu 2/2022 bertentangan dengan Pasal 28C ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Bahwa pada intinya Para Pemohon menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya telah dirugikan akibat penerbitan Perppu 2/2022 karena Perppu a quo diterbitkan dengan mengabaikan Putusan 91/PUU-XVIII/2020 dan telah merusak pemahaman atas tindak lanjut Putusan Mahkamah Konstitusi pada ruang akademik serta telah menimbulkan ketidakpastian hukum yang berdampak baik secara langsung ataupun potensial yang dalam penalaran wajar dapat dipastikan akan terjadi. (vide Perbaikan Permohonan hlm. 14)
alam Perkara Nomor 6/PUU-XXI/2023
Para Pemohon Perkara 6 mendalilkan bahwa memiliki hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon sangat dirugikan dalam proses perencanaan, penyusunan dan pembahasan Perppu 2/2022 yaitu terabaikannya hak memperjuangkan hak secara kolektif dan hak mengeluarkan pendapat untuk berperan aktif dalam proses pengambilan keputusan politik terhadap kebijakan pemerintah sebagaimana dijamin dan dilindungi dalam Pasal 28C ayat (2) dan Pasal 28E ayat (3).

Legal Standing:
Terhadap kedudukan hukum (legal standing) Para Pemohon dalam pengujian Perppu 2/2022 secara formil dalam Perkara a quo, DPR RI menyerahkan sepenuhnya kepada Majelis Hakim Yang Mulia untuk menilai apakah Para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam pengujian Perppu 2/2022.

Pokok Permohonan:
1. Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 22 UUD NRI Tahun 1945 mengatur bahwa:
Pasal 22 UUD NRI Tahun 1945
(1) Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undangundang.
(2) Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut.
(3) Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut.

Berdasarkan ketentuan tersebut, wewenang penetapan Perppu merupakan hak yang dimiliki oleh Presiden. Pembentukan Perppu dimaksud dilakukan dalam hal adanya kebutuhan ihwal kegentingan yang memaksa dan pengaturan secara cepat dikarenakan apabila menggunakan mekanisme pembentukan undang-undang akan memakan waktu yang cukup lama sehingga berpotensi tidak memiliki dasar hukum untuk mengatasi kegentingan yang memaksa tersebut.

2. Selanjutnya, apabila mencermati ketentuan dalam Pasal 22 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945, pengaturan tersebut mengharuskan bagi DPR RI untuk memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap Perppu yang diajukan oleh Presiden pada masa persidangan berikut. Untuk memberikan penjelasan lebih lanjut terkait dengan mekanisme pemberian persetujuan ataupun tidak memberikan persetujuan Perppu maka Pasal 22A UUD NRI Tahun 1945 mengamanatkan tata cara pembentukan undang-undang diatur dengan undang-undang. Yang berketentuan sebagai berikut:
“Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pembentukan undang-undang diatur dengan undang-undang.”
Berdasarkan landasan yuridis tersebut maka dibentuk Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU Pembentukan PUU). Adapun pengaturan terkait dengan mekanisme penetapan perppu menjadi undang-undang tersebut diatur dalam Pasal 52 dan Pasal 71 ayat (1) UU Pembentukan PUU yang mengatur sebagai berikut:
Pasal 52
(1) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang harus diajukan ke DPR dalam persidangan yang berikut.
(2) Pengajuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam bentuk pengajuan Rancangan Undang-Undang tentang penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang menjadi Undang-Undang.
(3) DPR hanya memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.
(4) Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang mendapat persetujuan DPR dalam rapat paripurna, Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang tersebut ditetapkan menjadi Undang-Undang.
(5) Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tidak mendapat persetujuan DPR dalam rapat paripurna, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tersebut harus dicabut dan harus dinyatakan tidak berlaku.
(6) Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang harus dicabut dan harus dinyatakan tidak berlaku sebagaimana dimaksud pada ayat (5), DPR atau Presiden mengajukan Rancangan UndangUndang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.
(7) Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (6) mengatur segala akibat hukum dari pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.
(8) Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (7) ditetapkan menjadi Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang dalam rapat paripurna yang sama sebagaimana dimaksud pada ayat (5).

Pasal 71 ayat (1)
Pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang dilaksanakan melalui mekanisme yang sama dengan pembahasan Rancangan Undang-Undang.
Oleh karena pembahasan Perppu disamakan mekanismenya dengan pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU), maka dipersamakan dengan Pasal 50 UU Pembentukan PUU yang mengatur mengenai saat waktu dimulainya pembahasan RUU, yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut:
Pasal 50
(1) Rancangan Undang-Undang dari Presiden diajukan dengan surat Presiden kepada pimpinan DPR.
(2) Surat Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat penunjukan menteri yang ditugasi mewakili Presiden dalam melakukan pembahasan Rancangan Undang-Undang bersama DPR.
(3) DPR mulai membahas Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) hari terhitung sejak surat Presiden diterima.
(4) Untuk keperluan pembahasan Rancangan Undang-Undang di DPR, menteri atau pimpinan lembaga pemrakarsa memperbanyak naskah Rancangan Undang-Undang tersebut dalam jumlah yang diperlukan.
3. Selanjutnya, berdasarkan Pasal 52 UU Pembentukan PUU maka Perppu tersebut harus diajukan ke DPR RI dalam persidangan yang berikut, dalam hal ini DPR RI hanya memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap Perppu yang diajukan oleh Presiden. Selanjutnya dalam Pasal 71 UU Pembentukan PUU pada intinya mengatur bahwa terkait mekanisme pembahasan rancangan undang-undang tentang penetapan Perppu tersebut dilakukan dengan mekanisme yang sama dengan pembahasan rancangan undang-undang biasa maka perlu mengacu pada ketentuan Pasal 65 sampai dengan Pasal 70 UU Pembentukan PUU yang pada intinya mengatur mengenai mekanisme pembahasan tersebut melalui dua tingkat pembicaraan yang terdiri dari Pembicaraan Tingkat I dan Pembicaraan Tingkat II. Namun dikarenakan pengaturan dalam Pasal 52 UU Pembentukan PUU hanya memberikan ruang bagi DPR RI untuk menyetujui atau tidak menyetujui Perppu, maka pembahasan atas RUU Penetapan Perppu menjadi Undang-Undang hanya berisi:
a. Perppu ditetapkan menjadi undang-undang dan melampirkan Perppu sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari undang-undang; dan
b. Keberlakuan undang-undang dimulai pada tanggal diudangkan.
4. Konsekuensi selanjutnya, mengenai pembahasan RUU penetapan Perppu ini maka DPR RI juga harus melaksanakan ketentuan Pasal 96 UU Pembentukan PUU yang mengharuskan adanya partisipasi masyarakat dalam setiap tahapan pembentukan undang-undang, hal ini juga merupakan amanat dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang mengharuskan adanya partisipasi masyarakat yang bermakna. Ketentuan Pasal 96 UU Pembentukan PUU dijelaskan sebagai berikut:
Pasal 96
(1) Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam setiap tahapan Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
(2) Pemberian masukan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara daring dan/atau luring.
(3) Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan orang perseorangan atau kelompok orang yang terdampak langsung dan/atau mempunyai kepentingan atas materi muatan Rancangan Peraturan Perundang-undangan.
(4) Untuk memudahkan masyarakat dalam memberikan masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap Naskah Akademik dan/atau Rancangan Peraturan Perundang-undangan, dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat.
(5) Dalam melaksanakan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pembentuk Peraturan Perundang-undangan menginformasikan kepada masyarakat tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
(6) Untuk memenuhi hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pembentuk Peraturan Perundang-undangan dapat melakukan kegiatan konsultasi publik melalui:
a. rapat dengar pendapat umum;
b. kunjungan kerja;
c. seminar, lokakarya, diskusi; dan/atau
d. kegiatan konsultasi publik lainnya.
(7) Hasil kegiatan konsultasi publik sebagaimana dimaksud pada ayat (6) menjadi bahan pertimbangan dalam perencanaan, penyusunan, dan pembahasan Rancangan Peraturan Perundang-undangan.
(8) Pembentuk Peraturan Perundang-undangan dapat menjelaskan kepada masyarakat mengenai hasil pembahasan masukan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(9) Ketentuan lebih lanjut mengenai partisipasi masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (8) diatur dalam Peraturan DPR, Peraturan DPD, dan Peraturan Presiden.

5. Ketentuan Pasal 96 UU Pembentukan PUU memberikan kewajiban kepada DPR RI untuk menginformasikan kepada masyarakat tentang pembentukan undang-undang, melakukan kegiatan konsultasi publik melalui Rapat Dengar Pendapat Umum, kunjungan kerja, seminar, lokakarya, diskusi dan/atau kegiatan konsultasi publik lainnya, menjadikan hasil kegiatan konsultasi publik sebagai bahan pertimbangan dalam perencanaan, penyusunan, dan pembahasan RUU, dan DPR RI dapat menjelaskan kepada masyarakat mengenai hasil pembahasan masukan masyarakat tersebut. Mengingat ketentuan Pasal 96 UU Pembentukan PUU tersebut membutuhkan waktu, maka ketentuan mengenai Pasal 22 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 yang mengharuskan DPR RI menyetujui pada persidangan berikutnya tidak dapat secara rigid diterapkan. Hal ini selaras dengan concurring opinion Hakim Mahkamah Konstitusi yaitu Moch. Mahfud MD dalam perkara Nomor 138/PUU-VII/2009 sebagai berikut:
"Namun akhir-akhir ini ada perkembangan penting dalam ketatanegaraan kita sehingga saya ikut menyetujui agar Perpu dapat diuji konstitusionalitasnya oleh Mahkamah Konstitusi terutama melalui titik tekan dalam penafsiran konstitusi. Dalam kaitan antara perkembangan ketatanegaraan dan pengujian Perpu ini saya melihat perlunya penafsiran atas isi UUD 1945 tidak hanya bertumpu pada original intent, tafsir historik, dan tafsir gramatik melainkan harus menekankan pada penafsiran sosiologis dan teleologis. Perkembangan ketatanegaraan di lapangan yang menjadi alasan bagi saya untuk menyetujui dilakukannya judicial review terhadap Perpu oleh Mahkamah Konstitusi adalah hal-hal sebagai berikut:
1. Akhir-akhir ini timbul perdebatan, apakah penilaian untuk memberi persetujuan atau tidak atas Perpu oleh DPR dilakukan pada masa sidang berikutnya persis pada masa sidang setelah Perpu itu dikeluarkan ataukah pada masa sidang berikutnya dalam arti kapan saja DPR sempat sehingga pembahasannya dapat diulur-ulur. Dalam kenyataannya Perpu yang dimohonkan pengujian dalam perkara a quo baru dibahas oleh DPR setelah melampaui masa sidang pertama sejak Perpu ini dikeluarkan. Seperti diketahui Perpu a quo diundangkan pada tanggal 22 September 2009, sedangkan masa sidang DPR berikutnya (DPR baru, hasil Pemilu 2009) adalah tanggal 1 Oktober sampai dengan tanggal 4 Desember 2009, tetapi Perpu a quo tidak dibahas pada masa sidang pertama tersebut. Kalau Perpu tidak dapat diuji oleh Mahkamah maka sangat mungkin suatu saat ada Perpu yang dikeluarkan tetapi DPR tidak membahasnya dengan cepat dan mengulur-ulur waktu dengan berbagai alasan, padahal Perpu tersebut mengandung hal-hal yang bertentangan dengan konstitusi. Oleh sebab itu menjadi beralasan, demi konstitusi, Perpu harus dapat diuji konstitusionalitasnya oleh Mahkamah Konstitusi agar segera ada kepastian dapat atau tidak dapat terus berlakunya sebuah Perpu.
2. Timbul juga polemik tentang adanya Perpu yang dipersoalkan keabsahan hukumnya karena tidak nyata-nyata disetujui dan tidak nyata-nyata ditolak oleh DPR. Dalam kasus ini DPR hanya meminta agar Pemerintah segera mengajukan RUU baru sebagai pengganti Perpu. Masalah mendasar dalam kasus ini adalah bagaimana kedudukan hukum sebuah Perpu yang tidak disetujui tetapi tidak ditolak secara nyata tersebut. Secara gramatik, jika memperhatikan bunyi Pasal 22 UUD 1945, sebuah Perpu yang tidak secara tegas mendapat persetujuan dari DPR “mestinya” tidak dapat dijadikan Undang-Undang atau tidak dapat diteruskan pemberlakuannya sebagai Perpu, tetapi secara politis ada fakta yang berkembang sekarang ini bahwa “kesemestian” tersebut masih dipersoalkan, sehingga sebuah Perpu yang tidak disetujui oleh DPR (meski tidak ditolak secara nyata) masih terus diberlakukan sampai dipersoalkan keabsahan hukumnya karena dikaitkan dengan satu kasus. Dalam keadaan ini menjadi wajar jika Mahkamah diberi kewenangan untuk melakukan pengujian terhadap Perpu.
3. Terkait dengan tidak disetujuinya sebuah Perpu oleh DPR ada juga pertanyaan, sampai berapa lama atau kapan sebuah Perpu yang tidak mendapat persetujuan DPR harus diganti dengan Undang-Undang Pencabutan atau Undang-Undang Pengganti. Karena tidak ada kejelasan batas atau titik waktu maka dalam pengalaman sekarang ini ada Perpu yang tidak mendapat persetujuan DPR tetapi RUU penggantinya atau pencabutannya baru diajukan setelah timbul kasus yang berkaitan dengannya. Oleh sebab itu menjadi wajar pula, demi tegaknya konstitusi, Mahkamah Konstitusi diberi kewenangan untuk melakukan pengujian terhadap Perpu.
4. Dapat terjadi suatu saat Perpu dibuat secara sepihak oleh Presiden tetapi secara politik DPR tidak dapat bersidang untuk membahasnya karena situasi tertentu, baik karena keadaan yang sedang tidak normal maupun karena sengaja dihambat dengan kekuatan politik tertentu agar DPR tidak dapat bersidang. Bahkan dapat juga dalam keadaan seperti itu ada Perpu yang melumpuhkan lembaga-lembaga negara tertentu secara sepihak dengan alasan kegentingan yang memaksa sehingga ada Perpu yang terus dipaksakan berlakunya sementara persidangan-persidangan DPR tidak dapat diselenggarakan. Dengan memerhatikan kemungkinan itu menjadi wajar apabila Mahkamah diberi kewenangan untuk melakukan pengujian atas Perpu.”

Berdasarkan hal tersebut maka dapat disimpulkan bahwa praktik penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menjadi undang-undang yang tidak dilakukan pada masa sidang berikutnya bukan merupakan permasalahan konstitusional dan hal tersebut menjadi alasan bagi Mahkamah Konstitusi untuk menguji konstitusionalitas Perppu. Terlebih DPR RI membutuhkan waktu yang cukup untuk dapat memenuhi partisipasi bermakna sebagaimana diatur dalam Pasal 96 UU Pembentukan PUU.
6. Bahwa DPR RI menjelaskan kronologis pembahasan RUU Penetapan Perppu 2/2022 Menjadi Undang-Undang sebagai berikut:
a. Bahwa tertanggal tertanggal 9 Januari 2023 DPR RI telah menerima Surat dari Presiden RI Nomor: R-01/Pres/01/2023 perihal Rancangan Undang-Undang tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja. Selanjutnya, berdasarkan ketentuan Pasal 50 ayat (3) UU Pembentukan PUU, yang memberikan jangka waktu 60 (enam puluh) hari untuk mulai membahas sejak surat Presiden diterima, maka DPR RI melakukan serangkaian kegiatan pembahasan Perppu 2/2022 dengan melakukan Rapat Kerja antara Badan Legislasi DPR RI dengan Pemerintah dan DPD RI pada tanggal 14-15 Februari 2023 lalu untuk melakukan pembahasan RUU Penetapan Perppu 2/2022 Menjadi Undang-Undang.
b. Bahwa tertanggal 14 Februari 2023 melalui Surat Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor T/157/PW.01/02/2023 perihal Penugasan untuk membahas RUU tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang, dan setelah memperhatikan pendapat Pimpinan Fraksi dan Pimpinan Alat Kelengkapan Dewan yang sesuai dengan Pasal 54 Peraturan DPR RI Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib, Badan Legislasi DPR RI ditugaskan untuk melakukan rapat konsultasi pengganti rapat Badan Musyawarah yang menyetujui pembahasan RUU Penetapan Perppu 2/2022 Menjadi Undang-Undang.
c. Bahwa pada tanggal 14 Februari 2023 menindaklanjuti surat tersebut Badan Legislasi melakukan rapat pembahasan yang terdiri atas:
1) Rapat Kerja dengan Pemerintah dan DPD RI dalam rangka Pembahasan RUU Penetapan Perppu 2/2022 Menjadi Undang-Undang dengan agenda Penjelasan Pemerintah atas Perppu 2/2022 dengan pokok-pokok sebagai berikut:
a) Dalam rangka putusan MK 91/PUU-XVIII/2020, telah dilakukan pertama dengan persetujuan bersama, DPR RI telah menetapkan Undang-Undang Nomor 13 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang telah mengatur dan memuat metode omnibus sebagai landasan hukum baku dalam penyusunan undang-undang dan telah memperjelas partisipasi masyarakat yang bermakna dalam pembentukan peraturan perundang-undangan;
b) Membentuk Satgas Undang-Undang Cipta Kerja untuk meningkatkan partisipasi bermakna atau meaningfull participation yang mencakup tiga komponen yaitu hak untuk didengarkan pendapatnya (right to be heard), hak untuk dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered), dan hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban (right to be explained);
c) Penyelesaian penelitian, penelusuran, pengecekan kembali atas kesalahan teknis penulisan dalam Undang-Undang Cipta Kerja menyangkut huruf yang tidak lengkap, perujukkan pasal atau ayat yang tidak tepat, salah ketik nomor urut, bab, bagian, paragraf, pasal, ayat, atau butir yang bersifat tidak substansial.
2) Rapat Dengar Pendapat Umum dalam rangka Pembahasan RUU Tentang Penetapan Perppu 2/2022 Menjadi Undang-Undang, RDPU tersebut dilakukan dengan narasumber-narasumber dari unsur akademisi

d. Bahwa pada tanggal 15 Februari 2023 dalam Rapat Kerja antara Badan Legislasi DPR RI dengan Pemerintah pada pembicaraan tingkat I tersebut, dihasilkan keputusan bahwa RUU Penetapan Perppu 2/2022 Menjadi Undang-Undang disetujui untuk dilanjutkan ke pembicaraan tingkat II, yaitu dalam Rapat Paripurna DPR RI. Pengambilan keputusan tersebut diambil setelah mendengar pendapat 9 (sembilan) fraksi di DPR RI, yang di dalamnya terdapat 7 (tujuh) fraksi yang menyetujui dan 2 (dua) fraksi yang menolak.
e. Bahwa mengingat masa persidangan III Tahun Sidang 2022-2023 berakhir pada 16 Februari 2023 lalu, maka pembahasan pembicaraan tingkat II, yaitu dalam Rapat Paripurna DPR RI mengenai RUU Penetapan Perppu 2/2022 Menjadi Undang-Undang tersebut baru dapat dilakukan pada Masa Persidangan IV Tahun Sidang 2022-2023. Perlu disampaikan agenda pembahasan pembicaraan tingkat II, yaitu dalam Rapat Paripurna DPR RI mengenai RUU Penetapan Perppu 2/2022 Menjadi Undang-Undang dilakukan pada Masa Persidangan IV Tahun Sidang 2022-2023 agar DPR RI dapat mendengar dan mencermati masukan-masukan dari publik. Pada masa reses Badan Legislasi DPR RI akan menerima aspirasi masyarakat sehingga pembahasan pembicaraan tingkat II, yaitu dalam Rapat Paripurna DPR RI mengenai RUU Penetapan Perppu 2/2022 Menjadi Undang-Undang segera berjalan setelah pembukaan Masa Persidangan IV Tahun Sidang 2022-2023.
f. Bahwa pada tanggal 14 Maret 2023 dilakukan pembukaan Masa Persidangan IV Tahun Sidang 2022-2023, DPR RI menyetujui bahwa pengambilan keputusan atas pembicaraan Tingkat II RUU Penetapan Perppu 2/2022 Menjadi Undang-Undang diagendakan pada tanggal 21 Maret 2023.
g. Bahwa pada tanggal 21 Maret 2023 dilakukan Rapat Paripurna dengan salah satu agenda Pembicaraan Tingkat II RUU Penetapan Perppu 2/2022 Menjadi Undang-Undang. Dalam rapat tersebut tercatat terdapat 7 (tujuh) fraksi yang menyetujui dan 2 (dua) fraksi yang menolak untuk menyetujui Perppu 2/2022 menjadi undang-undang. Selanjutnya merupakan kewenangan Pemerintah untuk menindaklanjuti hasil Pembicaraan Tingkat II tersebut dengan mengesahkan dan mengundangkan RUU Penetapan Perppu 2/2022 Menjadi Undang-Undang untuk menjadi undang-undang.
h. Bahwa DPR RI berpandangan dikarenakan pada tanggal 21 Maret 2023 Perppu 2/2022 sudah disetujui oleh DPR RI menjadi undang-undang, maka sudah seharusnya permohonan a quo menjadi tidak relevan untuk dilanjutkan karena telah kehilangan objek pengujian dan seyogyanya Mahkamah Konstitusi tidak melanjutkan permohonan pengujian a quo.

5 DAN 6/PUU-XXI/2023

pengujian formil Perppu 2/2022 terhadap UUD NRI Tahun 1945

pengujian formil Perppu 2/2022 terhadap UUD NRI Tahun 1945