Kerugian Konstitusional:
Pemohon dalam permohonannya pada intinya mengemukakan bahwa permasalahan masa berlaku SIM yang hanya 5 (lima) tahun tidak sebanding dengan fungsi, bobot, dan pentingnya Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan apabila masa berlaku SIM adalah seumur hidup maka Pemohon tidak perlu repot-repot tenaga, waktu, dan biaya (vide Perbaikan Permohonan hal. 5-6).
Legal Standing:
1. Adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD NRI Tahun 1945
a. Bahwa Pemohon hanya menuliskan pasal a quo bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 (vide Perbaikan Permohonan hal. 8) tanpa menguraikan keterkaitan dan pertentangannya dengan pasal a quo.
b. Bahwa ketentuan pasal a quo mengatur mengenai keberlakuan SIM selama 5 tahun dan dapat diperpanjang. Pasal a quo justru merupakan pengejawantahan atau konkritisasi dari pasal-pasal yang dijadikan batu uji oleh Pemohon.
Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 tidak mengatur mengenai hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon melainkan mengatur mengenai negara Indonesia adalah negara hukum;
Pasal 27 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 mengatur mengenai kewajiban warga negara Indonesia untuk menaati hukum dan pemerintahan. Melalui pasal ini, Pemohon justru seharusnya memahami kewajibannya sebagai warga negara Indonesia untuk menaati hukum yang dalam hal ini adalah UU 22/2009, terlebih kapasitas Pemohon sebagai pensiunan anggota Polri dan saat ini masih konsisten sebagai aparat penegak hukum tepatnya sebagai advokat. Oleh karena itu Pasal 27 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 tidak memberikan hak dan/atau kewenangan konstitusional bagi Pemohon;
Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang mengatur hak dan/atau kewenangan konstitusional warga negara atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum telah tercermin dalam rumusan pasal a quo karena mengatur mengenai keberlakuan SIM yang dapat diperpanjang dan berlaku bagi seluruh warga negara Indonesia; dan
Pasal 28I ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 mengatur bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan, pasal tersebut tidak ada kaitannya dengan pengaturan pasal a quo UU 22/2009 mengenai keberlakuan SIM.
Bahwa Pemohon mendalilkan Pasal 28I ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 sebagai batu uji tetapi dalam uraian mengenai batu uji tersebut Pemohon menguraikan mengenai keberlakuan Pasal a quo berpotensi mendiskriminasi Pemohon. Terhadap dalil kerugian tersebut DPR RI berpandangan bahwa Pemohon tidak konsisten dalam menguraikan hak konstitusionalnya yang dilanggar dari ketentuan pasal a quo karena uraian Pemohon tersebut tidak berkaitan dengan ketentuan Pasal 28I ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Pasal a quo bukanlah bentuk perlakuan diskriminatif terhadap warga negara. Justru dengan kepemilikan SIM, warga negara diberikan legalitas dan standar yang sama untuk berkendara sehingga telah jelas tidak ada diskriminasi.
Dengan demikian DPR RI berpandangan bahwa Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 tidak relevan dijadikan batu uji oleh Pemohon.
2. Bahwa hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu undang-undang yang diuji
Bahwa Pemohon mendalilkan kerugian yang diawali dari permasalahan kehilangan SIM C dan ketika mendapatkan SIM C yang baru masa berlakunya terhitung dari tanggal penggantian SIM C tersebut, yang kemudian dipertautkan dengan masa berlaku SIM yang hanya 5 tahun sebagaimana ketentuan dalam pasal a quo yang dianggap tidak sebanding dengan fungsi, bobot, dan pentingnya Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan apabila masa berlaku SIM adalah seumur hidup maka Pemohon tidak perlu repot-repot tenaga, waktu, dan biaya.
(vide Perbaikan Permohonan hal. 5-6).
Bahwa dalil kerugian Pemohon tersebut tidak fokus dan tidak jelas mengingat ketentuan pasal a quo tidak berhubungan dengan masa keberlakuan KTP. Selain itu fungsi KTP dan SIM memiliki perbedaan dan didasarkan pada pengaturan yang berbeda. Hal ini telah memberikan perlindungan dan kepastian hukum terhadap semua warga negara Indonesia termasuk Pemohon sehingga tidak tepat apabila pengaturan tersebut dianggap diskriminatif. Oleh karena itu tidak ada kerugian hak konstitusional Pemohon dari berlakunya ketentuan pasal a quo.
3. Bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi
Bahwa Pemohon tidak menguraikan secara jelas keterkaitan ketentuan dalam UUD NRI Tahun 1945 yang dijadikan batu uji dengan Pasal 85 ayat (2) UU 22/2009 sehingga menjadi tidak tergambar kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang telah dialami oleh Pemohon. Hal ini juga menjadikan kerugian hak konstitusional yang didalilkan oleh Pemohon tidak jelas, tidak bersifat spesifik (khusus), dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi.
4. Adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional dengan undang-undang yang dimohonkan pengujian
Bahwa sebagaimana telah dikemukakan di atas maka sudah dapat dipastikan tidak terdapat hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian hak konstitusional yang didalilkan oleh Pemohon dengan keberlakuan ketentuan pasal a quo UU 22/2009. Permasalahan yang disampaikan Pemohon telah terang bukan merupakan persoalan konstitusionalitas norma.
5. Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi
Bahwa dengan tidak adanya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon baik yang bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi dan tidak ada hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian yang didalilkan Pemohon dengan berlakunya ketentuan pasal a quo, maka sudah dapat dipastikan bahwa pengujian ketentuan pasal a quo tidak relevan untuk dilanjutkan.
Pokok Permohonan:
1. Bahwa Pemohon mendalilkan pada intinya pengaturan mengenai keberlakuan SIM selama 5 tahun harusnya mengacu atau diatur lebih dahulu di dalam konstitusi (vide Perbaikan Permohonan hal. 12). Terhadap dalil tersebut, DPR RI menerangkan sebagai berikut:
a. Konstitusi adalah salah satu norma hukum dibawah dasar negara. Dalam arti yang luas, konstitusi adalah hukum tata negara, yaitu keseluruhan aturan dan ketentuan (hukum) yang menggambarkan sistem ketatanegaraan suatu negara. Dalam arti tengah, konstitusi adalah hukum dasar, yaitu keseluruhan aturan dasar, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Dalam arti sempit, konstitusi adalah Undang-Undang Dasar, yaitu satu atau beberapa dokumen yang memuat aturan-aturan yang bersifat pokok. Dengan demikian, konstitusi bersumber dari dasar negara. Isi norma tersebut bertujuan mencapai cita-cita yang terkandung dalam dasar negara.
b. Bahwa sebagai hukum dasar, UUD NRI Tahun 1945 tidak mengatur hal-hal terperinci, melainkan menjabarkan prinsip-prinsip yang menjadi dasar ketatanegaraan yang kemudian didelegasikan untuk diatur secara lebih terperinci ke dalam peraturan yang ada di bawahnya. Di dalam ketentuan Pasal 30 ayat (5) UUD NRI Tahun 1945 diamanatkan bahwa hal-hal yang terkait dengan keamanan diatur dengan undang-undang. Bahwa undang-undang yang telah terbentuk sesuai dengan ketentuan delegasi dari UUD NRI Tahun 1945 yang berkaitan tentang keamanan tersebut adalah UU 22/2009 dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Polri).
c. Bahwa secara filosofis pembentukan UU a quo berdasarkan pemikiran bahwasanya lalu lintas dan angkutan jalan mempunyai peran strategis dalam mendukung pembangunan dan integrasi nasional sebagai bagian dari upaya memajukan kesejahteraan umum sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945. Sedangkan secara sosiologis, lalu lintas dan angkutan jalan sebagai bagian dari sistem transportasi nasional harus dikembangkan potensi dan peranna untuk mewujudkan keamanan, keselamatan, ketertiban, dan kelancaran berlalu lintas dan angkutan jalan.
d. Berdasarkan ketentuan Pasal 15 ayat (2) huruf c UU Polri, Polri sesuai dengan peraturan perundang-undangan lainnya berwenang memberikan surat izin mengemudi kendaraan bermotor. Ketentuan tersebut pernah dilakukan pengujian di Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 89/PUU-XIII/2015 dan dalam putusannya Hakim Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa:
“…., kewenangan untuk menyelenggarakan registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor serta memberikan surat izin mengemudi kendaraan bermotor, sebagaimana diatur dalam ketentuan undang-undang yang dimohonkan pengujian dalam permohonan a quo, adalah bagian dari persoalan keamanan dan ketertiban dalam arti luas.” (vide hal. 173 Putusan MK Nomor 89/PUU-XIII/2015).
e. Dengan demikian pengaturan kewenangan Polri dalam penerbitan SIM dan pengaturan masa berlakunya jelas tidak perlu dituangkan dalam konstitusi karena UUD NRI Tahun 1945 telah mendelegasikan untuk diatur lebih lanjut dalam suatu undang-undang.
f. Bahwa jika Pemohon bersikeras menganggap bahwa ketentuan mengenai jangka waktu keberlakuan SIM harus diatur dalam konstitusi adalah argumen yang tidak berdasar karena UUD NRI Tahun 1945 sebagai hukum dasar tentunya mengatur hal-hal umum yang bersifat fondasi ketatanegaraan. Adapun pengaturan mengenai masa berlaku SIM selama 5 (lima) tahun di dalam UU a quo dan dapat diperpanjang yang tidak atau belum diatur secara jelas dalam UUD NRI Tahun 1945 merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy) pembentuk undang-undang.
2. Bahwa Pemohon mendalilkan pada intinya tolak ukur materi ujian teori dan praktik untuk mendapatkan SIM tidak jelas dasar hukumnya dan tidak berdasarkan kajian dari lembaga yang sah serta berkompeten (vide Perbaikan Permohonan hal. 9-13). Terhadap dalil tersebut, DPR RI menerangkan sebagai berikut:
a. Bahwa berdasarkan UU a quo, untuk menjamin terwujudnya penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang memenuhi standar keselamatan dan keamanan, diatur persyaratan teknis dan uji berkala kendaraan bermotor. Setiap jenis Kendaraan Bermotor yang berpotensi menyebabkan Kecelakaan Lalu Lintas dan menimbulkan pencemaran lingkungan wajib dilakukan uji berkala. Disamping itu, pengendara kendaraan bermotor wajib memiliki ijin berkendara yang ditunjukkan dengan kepemilikan SIM. Pengendara kendaraan bermotor yang ingin memiliki SIM, harus memenuhi prosedur administrasi, identifikasi, dan kesehatan yang memadai. Pengemudi juga harus dapat menjalankan kendaraan bermotor secara terampil sesuai dengan rambu-rambu dan peraturan lalu-lintas yang berlaku.
b. Bahwa identifikasi pengemudi sebagai bagian dari Identifikasi lalu lintas memegang peranan penting dalam mewujudkan budaya tertib berlalu lintas dalam masyarakat. Seperti diketahui, bahwa lalu lintas merupakan cermin budaya masyarakatnya, bahkan secara nasional dapat dikatakan bahwa lalu lintas adalah cermin budaya bangsa. tingkat pengetahuan, kemampuan ketrampilan, kesadaran serta tanggung jawab akan keselamatan berlalu lintas baik bagi dirinya sendiri maupun orang lain. Karena itu untuk mewujudkan dan memelihara keamanan, keselamatan, ketertiban dan kelancaran berlalu lintas perlu diwujudkan budaya tertib berlalu lintas dalam masyarakat salah satunya dengan adanya pengaturan mengenai kewajiban memiliki SIM bagi pengemudi kendaraan bermotor sebagaimana diatur dalam Pasal 77 ayat (1) UU 22/2009.
c. Selanjutnya di dalam Pasal 88 UU 22/2009 mengatur bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara, persyaratan, pengujian, dan penerbitan Surat Izin Mengemudi diatur dengan peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.
d. Bahwa amanat Pasal 88 UU 22/2009 tersebut telah ditindaklanjuti dengan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2012 tentang Surat Izin Mengemudi (Perkapolri 9/2012) pada 29 Februari 2012 yang saat ini telah diperbarui dengan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penerbitan dan Penandaan Surat Izin Mengemudi (Perkapolri 5/2021) yang mulai berlaku pada 19 Februari 2021.
e. Dalam Perkapolri 5/2021 tersebut, diatur bahwa:
SIM adalah bukti legitimasi kompetensi pengemudi sesuai jenis dan golongan SIM yang dimilikinya setelah memenuhi persyaratan administrasi, usia, kesehatan jasmani maupun rohani, serta dinyatakan lulus melalui proses pengujian.
SIM juga berfungsi sebagai alat kontrol dan data forensik bagi seseorang yang telah lulus uji pengetahuan, kemampuan, dan keterampilan untuk mengemudikan kendaraan bermotor di jalan sesuai dengan persyaratan yang ditentukan berdasarkan UU 22/2009.
Dalam Perkapolri 5/2021 juga diatur bab-bab mengenai penerbitan SIM, penandaan SIM, pengendalian dan pengawasan SIM.
Lebih lanjut dalam Pasal 14 ayat (3) dan ayat (4) Perkapolri 5/2021 juga telah diatur bahwa sebelum melaksanakan ujian teori, pemohon SIM diberikan pencerahan. Pencerahan dimaksud berupa pemberian materi pengetahuan mengenai peraturan perundang-undangan di bidang lalu lintas, teknis dasar, kendaraan bermotor, cara mengemudikan kendaraan bermotor, tata cara berlalu lintas, serta kecelakaan lalu lintas.
Begitupun halnya dengan ujian praktik, dalam Pasal 18 ayat (4) Perkapolri 5/2021 juga telah diatur bahwa “Sebelum pelaksanaan ujian praktik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemohon diberikan penjelasan mengenai tata cara ujian praktik, sistem penilaian ujian praktik, dan contoh ujian praktik sesuai materi yang diujikan”.
Melalui Pasal 14 ayat (3), ayat (4), dan Pasal 18 ayat (4) Perkapolri 5/2021 dapat dipahami bahwa ujian teori dan ujian praktik telah jelas tolak ukurnya. Dengan demikian dalil Pemohon yang menyatakan bahwa tolak ukur materi ujian dan praktik untuk mendapatkan SIM tidak jelas dasar hukumnya adalah tidak tepat.
f. Berdasarkan uraian diatas dan penjelasan yang telah disampaikan DPR RI tersebut, Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan lembaga yang sah dan berkompeten untuk melakukan ujian teori dan praktik untuk mendapatkan SIM karena delegasi dari UU 22/2009 memang memerintahkan agar ketentuan mengenai tata cara, persyaratan, pengujian, dan penerbitan SIM diatur dalam Peraturan Kapolri. Dan berdasarkan delegasi tersebut, maka Kapolri berhak untuk mengatur hal teknis seperti ujian teori dan praktek untuk mendapatkan SIM.
3. Bahwa Pemohon mendalilkan ujian teori dan praktik SIM dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab/calo untuk mendapatkan keuntungan finansial dari pengendara yang ingin mendapatkan SIM (vide Perbaikan Permohonan hal. 11). Terhadap dalil tersebut, DPR RI menerangkan sebagai berikut:
a. Bahwa pada dasarnya dalil yang dikemukakan Pemohon tersebut merupakan implementasi di lapangan yang bukan dikarenakan adanya permasalahan konstitusionalitas norma. Berkaitan dengan potensi penyimpangan dalam implementasinya, Polri telah mengupayakan adanya perbaikan mekanisme pembuatan SIM untuk meminimalisir adanya pihak yang tidak bertanggungjawab/calo yang merugikan masyarakat. Selain dengan pemanfaatan teknologi yang berkembang, Polri juga memperbaiki aturan dasar dalam penerbitan SIM.
b. Bahwa berdasarkan Pasal 20 Perkapolri 5/2021, mekanisme penerbitan SIM kendaraan bermotor perseorangan dan SIM kendaraan bermotor umum baik pembuatan SIM baru maupun SIM perpanjangan meliputi: pendaftaran; identifikasi; pencerahan dan pengujian; pencetakan dan penyerahan; dan pengarsipan.
c. Bahwa pada tahap pendaftaran hingga tahap pencerahan dan pengujian harus dihadiri oleh Pemohon SIM secara langsung karena terdapat proses verifikasi data Pemohon. Kegiatan verifikasi data Pemohon dilakukan secara manual atau elektronik, mengambil foto, sidik jari, dan tanda tangan Pemohon secara elektronik. Oleh karena itu, terlihat jelas bahwa terdapat upaya yang telah dilakukan oleh Polri untuk meminimalisir adanya pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab/calo dalam proses penerbitan SIM.
4. Bahwa Pemohon dalam permohonannya mengusulkan prosedur baru untuk mendapatkan SIM bagi pengemudi yang pertama kali mendapatkan SIM (vide Perbaikan Permohonan hal. 12). Terhadap masukan tersebut, DPR RI memberikan apresiasi kepada Pemohon atas upayanya untuk berkontribusi dalam perbaikan mekanisme penerbitan SIM. Masukan ini akan lebih tepat apabila disampaikan kepada Polri selaku instansi yang berwenang untuk mengatur penerbitan SIM berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh undang-undang. Selain itu masukan tersebut juga dapat disampaikan kepada DPR RI khususnya Komisi III DPR RI selaku komisi yang membidangi hukum, keamanan, dan hak asasi manusia dengan mitra kerja yang salah satunya adalah Polri.
5. Bahwa Pemohon mendalilkan seseorang baru boleh mengurus dan mempunyai SIM setelah mempunyai Kartu Tanda Penduduk (KTP) hal mana KTP yang terbit lebih dulu saja berlakunya seumur hidup sehingga sudah seharusnya SIM juga berlaku seumur hidup (vide Perbaikan Permohonan hal. 12-13). Terhadap dalil tersebut, DPR RI menerangkan sebagai berikut:
a. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 14 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (UU Administrasi Kependudukan), KTP merupakan identitas resmi penduduk yang telah berusia 17 tahun sebagai bukti diri yang diterbitkan oleh perangkat pemerintah kabupaten/kota yang bertanggung jawab dan berwenang melaksanakan pelayanan dalam urusan administrasi kependudukan. KTP berisikan data diri dari nama hingga alamat. Begitu terjadi hal diluar dugaan seperti kecelakaan, kejahatan, bencana alam dan lainnya penduduk tetap bisa dikenali melalui KTP. Sedangkan bagi yang belum berusia 17 tahun, Pemerintah mengeluarkan Kartu Identitas Anak sebagai identitas kependudukan kepada seluruh penduduk warga negara Indonesia yang berlaku secara nasional. Selain sebagai identitas diri, KTP juga berfungsi sebagai syarat layanan publik (pernikahan, perceraian, pembelian tanah dan rumah, pengurusan surat kehilangan, surat kematian, melamar pekerjaan, perbankan, asuransi dan kepemilikan aset berharga) hingga program pemerintah (bantuan sosial dan jaminan sosial). Tanpa memiliki KTP, seseorang tidak dapat memperoleh layanan administrasi kependudukan. Oleh karena itu, KTP merupakan dokumen dasar yang wajib dimiliki oleh setiap penduduk dalam lingkup administrasi kependudukan.
b. Terkait dengan SIM, secara historis telah diatur dalam 3 (tiga) undang-undang mengenai lalu lintas dan angkutan jalan yaitu: Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1951 tentang Perubahan dan Tambahan Undang-Undang Lalu Lintas Jalan (UU 7/1951), Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1965 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya (UU 3/1965), dan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU 14/1992) yang dalam masing-masing undang-undang tersebut mengatur bahwa setiap pengendara kendaraan bermotor wajib memiliki SIM. Dalam Pasal 16 ayat (4) UU 3/1965, disebutkan bahwa “Surat izin mengemudi berlaku selama lima tahun terhitung dari tanggal pemberiannya”. Artinya pengaturan masa berlaku SIM selama 5 (lima) tahun bukan pengaturan yang tiba-tiba atau baru diberlakukan pada tahun 2009 yang merupakan tahun diundangkannya UU a quo melainkan telah digagas sejak tahun 1965. Disamping itu, pengaturan masa berlaku 5 (lima) tahun ini pun dilakukan dengan banyak pertimbangan dengan memperhatikan berbagai aspek yang ada khususnya berkaitan dengan kondisi kesehatan seseorang.
c. Pengaturan masa berlaku SIM selama 5 (lima) tahun dalam Perkapolri 9/2012 dan Perkapolri 5/2021 telah diperhitungkan untuk memastikan kelayakan mengemudi seseorang yang mencakup kesehatan fisik dan kesehatan kejiwaan demi keselamatan berlalu-lintas. Lebih jauh, jika SIM diberlakukan seumur hidup tanpa adanya pemeriksaan kelayakan seseorang dalam berkendara di lalu lintas, justru akan memperbesar ancaman risiko keselamatan di jalan. Sebagai ilustrasi, seorang pengendara lanjut usia (katakan berumur 100 (seratus) tahun) mengendarai kendaraannya sendiri karena SIMnya berlaku seumur hidup, tentu hal ini mengkhawatirkan dan cenderung membahayakan keselamatan jiwa pemegang SIM dan pengguna jalan. Oleh karena itu, berdasarkan penjelasan tersebut, aturan masa berlaku SIM di Indonesia tidak dibuat seumur hidup.
d. SIM tentunya tidak dapat disamakan dengan KTP yang dapat berlaku seumur hidup dikarenakan keduanya memiliki fungsi yang berbeda. KTP merupakan identitas resmi Penduduk sebagai bukti diri yang dikeluarkan secara resmi oleh Pemerintah melalui instansi pelaksana sedangkan SIM adalah surat izin yang dikeluarkan oleh pejabat/institusi berwenang dalam rangka pelayanan masyarakat berdasarkan permintaan yang berkepentingan. Meskipun masa berlaku KTP adalah seumur hidup, tetapi pemegang KTP memiliki kewajiban untuk melaporkan peristiwa kependudukannya untuk dicatat dan apabila diperlukan akan dilakukan perubahan sebagai penyesuaian data pada KTP tersebut. Disamping itu, kewajiban memiliki KTP diberlakukan keapda semua orang tanpa kecuali, sedangkan kewajiban kepemilikan SIM diberlakukan hanya bagi orang yang mengendarai kendaraan bermotor di jalan. Dengan demikian SIM tidak dapat dipersamakan dengan KTP.
e. Mengutip pendapat Prof. Sudiman Kartohadiprodjo bahwa,
“Menyamakan sesuatu yang tidak sama, sama tidak adilnya dengan membedakan yang sama.” (Pers dan Kaum Perempuan di Indonesia: Bagir Manan: hlm. 8).
Demikian juga yang dinyatakan oleh Laica Marzuki bahwa ketidakadilan (ungenrechtigkeit) bukan hanya membedakan dua hal yang sama, tetapi juga menyamakan dua hal yang berbeda (Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1/PUU-X/2012: hlm.84). Bagir Manan juga menyatakan hal yang serupa dengan Prof. Sudiman Kartohadiprodjo dan Laica Marzuki, yaitu:
Ada adagium lama yang diketahui oleh setiap ahli hukum yang mengatakan, “Menyamakan sesuatu yang berbeda atau tidak sama, sama tidak adilnya dengan membedakan yang sama.” Dengan bahasa yang lebih mudah, dalam keadaan tertentu membedakan atau unequal treatment itu, justru merupakan syarat dan cara mewujudkan keadilan, sebaliknya dalam keadaan tertentu membuat segala sesuatu serba sama sedangkan didapati berbagai perbedaan juga akan menimbulkan dan melukai rasa keadilan. Kalau demikian, apakah ada syarat objektif agar suatu perbedaan atau unequal itu menjadi syarat untuk mewujudkan keadilan. (Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1/PUU-X/2012: hlm.57)
f. Sebagai pembanding, masa berlaku SIM di beberapa negara tidaklah sama, mengingat pertimbangan dan kondisi kesehatan masyarakat di setiap negara yang berbeda satu sama lain. Indonesia menetapkan masa berlaku SIM selama 5 (lima) tahun yang sebenarnya jangka waktu tersebut merupakan kelaziman dan jamak karena memang setiap 5 (lima) tahun sekali perlu adanya pembaruan SIM agar pihak otoritas dapat mengetahui kemampuan dan kondisi kesehatan pengemudi selama 5 (lima) tahun tersebut. Bahkan sejatinya Pemohon pun telah memahami rasionalisasi masa berlaku SIM ditentukan selama 5 (lima) tahun yakni untuk memastikan kesehatan dan kondisi fisik tubuh pengendara. Hal ini sebagaimana telah dipahami oleh Pemohon dengan pernyataan-pertanyaan dalam Perbaikan Permohonannya. Dengan demikian, semakin jelas tidak ada persoalan konstitusional yang merugikan hak konstitusional Pemohon.
g. Berikut disampaikan data perbandingan masa berlaku SIM di beberapa negara lain.
h. Berdasarkan komparasi dari berbagai negara tersebut, masa berlaku SIM selama 5 (lima) tahun tidak hanya diterapkan di Indonesia saja melainkan juga diterapkan di negara-negara tersebut di atas sehingga dapat dianggap berlaku secara umum dan universal. Adapun Prancis sebagai negara yang menjadi acuan Pemohon dalam argumennya terkait masa berlaku SIM-nya seumur hidup dalam Perbaikan Permohonannya, berdasarkan penelusuran DPR RI, Prancis tidak memberlakukan SIM nya seumur hidup melainkan selama 15 (lima belas) tahun sehingga data dari argumen Pemohon tersebut jelas tidak valid.
6. Bahwa Pemohon mendalilkan secara kodrati dan alami, semakin banyak jam terbang seseorang mengendarai kendaraan bermotor maka orang tersebut semakin mahir, cakap, berhati-hati, dan aman dalam mengendarai kendaraan bermotor (vide Perbaikan Permohonan hal. 15). Terhadap dalil tersebut, DPR RI menerangkan bahwa jam terbang berkendara bukan satu-satunya faktor yang menjamin perilaku keselamatan dalam berkendara. Mengingat masih maraknya kasus kecelakaan yang terjadi di jalanan yang disebabkan oleh pengendara yang sudah memiliki jam terbang tinggi dalam berkendara, hal ini tentunya membahayakan diri pengendara tersebut dan pengguna jalan lainnya. Oleh karena itu selain jam terbang, juga diperlukan faktor lain dalam menjaga keselamatan berkendara seperti memastikan kondisi kendaraan, kondisi tubuh, dan kesadaran penuh tentang pentingnya keselamatan dan keamanan untuk diri sendiri dan orang lain. Adapun mekanisme untuk memastikan kemampuan seseorang dalam berkendara dilakukan dengan cara pemeriksaan fisik dan psikis secara berkala yang dilakukan saat perpanjangan SIM sehingga pengaturan jangka waktu keberlakuan SIM menjadi rasional untuk dilakukan. Terlepas dari penjelasan DPR RI tersebut, permasalahan utama yang disampaikan Pemohon dalam Perbaikan Permohonannya tidak memiliki relevansi dengan pasal yang diajukan pengujian.
42/PUU-XXI/2023
Pasal 85 UU 22/2009
Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (1) UUD NRI Tahun 1945
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430