No. 1/1974 tentang Perkawinan.
Kerugian Konstitusional Pemohon :
1. Bahwa dalam permohonan a quo, Para Pemohon beranggapan
Negara masih memperbolehkan adanya perkawinan anak, khusus pada
anak perempuan yang mengakibatkan jaminan hak konstitusional berupa
batas usia kawin Para Pemohon untuk diperlakukan sama kedudukannya
di dalam hukum (terhadap anak laki-laki) telah dilanggar. Selain itu
perkawinan anak berdampak menghambat pemenuhan hak-hak
konstitusional Para Pemohon sebagai anak perempuan seperti halnya hak
atas pendidikan, hak atas kesehatan, serta hak untuk tumbuh dan
berkembang yang telah dijamin pemenuhan dan perlindungannya oleh
UUD Tahun 1945.
(Vide permohonan halaman 7 angka 42)
2. Bahwa menurut Para Pemohon perbedaan ketentuan usia pada
pasal a quo merupakan wujud nyata dan konkrit tidak tercapainya
persamaan kedudukan di dalam hukum antara laki-laki dan perempuan
yang sebagaimana diatur pada Pasal 27 ayat (1) UUD Tahun 1945
maupun Undang-Undang Perkawinan itu sendiri. Bahwa pembedaan usia
laki-laki dan perempuan dalam pasal a quo tidak didasari oleh
argumentasi alasan ilmiah yang jelas, dan hanya didasari oleh alasan
jenis kelamin semata.
(Vide permohonan halaman 10 angka 61 dan angka 62)
3. Bahwa menurut Para Pemohon pasal a quo yang menetapkan usia
kawin 16 (enam belas) tahun untuk perempuan sudah tidak lagi dapat
dipertahankan. Sebab dalam perkembangan dunia medis, perempuan
yang masih berusia 16 (enam belas) tahun sangat rentan terhadap resiko
gangguan kesehatan ketika menjalani perkawinan. Baik dalam proses
hubungan seksual suami istri atau pada saat proses kehamilan dan
melahirkan.
(Vide permohonan halaman 12 angka 24)
Legal Standing :
1) Bahwa pada dasarnya permohonan Para Pemohon tidak jelas dan
tidak fokus (obscuur libels). Bahwa hak konstitusional Para Pemohon yang
telah dirugikan tersebut bukan berdasarkan berlakunya pasal a quo,
tetapi karena dinikahkan oleh orangtua masing-masing pada saat umur
Para Pemohon kurang dari 16 (enam belas) tahun. Bahwa secara faktual
pada saat dinikahkan Pemohon I dan Pemohon II berumur 14 (empat
belas) tahun, sedangkan Pemohon III berumur 13 (tiga belas) tahun.
2) Bahwa alasan orangtua Para Pemohon menikahkan Para Pemohon
yaitu karena keadaan keluarga yang miskin, hutang piutang dan kondisi
ekonomi yang sulit. Bahwa kerugian Para Pemohon bukan merupakan
permasalahan konstitusionalitas norma. Para Pemohon tidak menguraikan
dan mengkonstruksikan secara jelas adanya kerugian hak dan/atau
kewenangan konstitusionalitas atas berlakunya pasal a quo yang bersifat
spesifik dan aktual atau setidaknya potensial menurut penalaran yang
wajar dapat dipastikan akan terjadi. Para Pemohon mengujikan pasal a
quo yang merupakan syarat batas minimal umur perkawinan pria sudah
mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan wanita sudah mencapai
umur 16 (enam belas) tahun. Bahwa tidak adanya hubungan sebab akibat
(causal verband) antara kerugian Para Pemohon dan berlakunya pasal a
quo yang dimohonkan pengujian. Bahwa tidak adanya kemungkinan
dengan dikabulkannya permohonan Para Pemohon maka kerugian
dan/atau kewenangan konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak
lagi terjadi.
3) Bahwa terkait hak konstitusional Para Pemohon yang didalilkan,
adalah benar Para Pemohon mempunyai hak konstitusional sebagaimana
dikemukakan dalam permohonan a quo. Akan tetapi kerugian terhadap
hak konstitusional yang dialami Para Pemohon bukan merupakan
kerugian konstitusionalitas norma atau akibat dari berlakunya pasal a
quo. Para Pemohon tidak menguraikan kerugian atas berlakunya norma
dalam pasal a quo yang dimohonkan pengujian.
Pokok Perkara :
1) Bahwa konstitusi telah secara tegas menyebutkan perkawinan
merupakan hak konstitusional bagi setiap orang yang harus dihormati,
dilindungi dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara. Hal tersebut dinyatakan dalam Pasal 28B ayat (1): “Setiap
orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui
perkawinan yang sah”.
2) Bahwa terhadap dalil Para Pemohon yang menyebutkan ketentuan
pasal yang diuji sepanjang frasa “16 (enam belas) tahun” UU Nomor 1
Tahun 1974 telah melanggar prinsip “Segala warga negara bersamaan
kedudukannya di dalam hukum”, sehingga bertentangan dengan pasal 27
ayat (1) UUD Tahun 1945. Para Pemohon berpendapat perbedaan usia
antara pria dan wanita pada pasal a quo merupakan wujud nyata dan
konkrit tidak tercapainya persamaan kedudukan dalam hukum antara pria
dan wanita. Mengenai hal tersebut DPR RI berpandangan sebagai berikut:
a) Bahwa perkawinan Para Pemohon dilakukan tidak berdasarkan
syarat sebagaimana yang disebutkan dalam pasal a quo, yakni pihak
wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun. Para Pemohon
menikah atas kehendak orangtuanya pada saat berumur kurang dari 16
(enam belas) tahun. Sehingga pasal a quo bukan merupakan ketentuan
yang telah melanggar atau sedikitnya mengurangi hak konstitusional Para
Pemohon.
b) Bahwa ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 adalah
salah satu bentuk kodifikasi yang disepakati mengenai batasan
persyaratan pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan
wanita sudah mencapai 16 (enam belas) tahun untuk melakukan
perkawinan. Batasan minimal umur perkawinan dianggap sebagai
kesepakatan nasional yang merupakan kebijakan (open legal policy)
pembentuk undang-undang yang melihat secara bijaksana dengan
berbagai pertimbangan dengan memperhatikan nilai-nilai yang ada pada
saat itu. Bahwa pengaturan batasan umur pria dan wanita untuk
melakukan perkawinan dalam undang-undang a quo, didasarkan pada
prinsip calon suami-isteri harus telah masak jiwa raganya untuk dapat
melangsungkan perkawinan secara baik.
c) Bahwa perkawinan mempunyai hubungan dengan masalah
kependudukan dimana batas umur yang lebih rendah bagi seorang wanita
mengakibatkan laju kelahiran yang lebih tinggi. Sehubungan dengan hal
tersebut, maka undang-undang perkawinan menentukan batasan umur
perkawinan bagi pria 19 (sembilan belas) tahun dan wanita (enam belas)
tahun. Pembatasan umur tersebut salah satunya dimaksudkan sebagai
pencegahan terhadap perkawinan di bawah umur.
d) Bahwa pasal a quo justru memberikan perlindungan kepada anak
khususnya anak perempuan yaitu upaya pencegahan perkawinan di
bawah umur. Begitu pula dengan ketentuan dalam Pasal 6 ayat (2), Pasal
7 ayat (2), Pasal 13 dan Pasal 14 UU Nomor 1 Tahun 1974, yang
mengatur mengenai mekanisme perizinan dari orang tua bagi calon
mempelai yang berumur di bawah 21 (dua puluh satu) tahun dan
mekanisme pembatalan perkawinan yang tidak memenuhi persyaratan.
3) Bahwa Indonesia merupakan Negara yang memiliki beragam
budaya, agama, adat istiadat dan juga beberapa aturan hukum yang
berlaku. Sebelum berlakunya UU Nomor 1 Tahun 1974, ada beberapa
hukum perkawinan untuk berbagai golongan warga negara dari berbagai
daerah dan juga hukum yang berlaku bagi beberapa agama. Beragamnya
pengaturan mengenai perkawinan tersebut mengakibatkan perbedaan
persyaratan perkawinan antar agama, antar warga Negara, antar adat
istiadat. Sebagai contoh dalam Hukum Islam, sebagaimana ditentukan
dalam Al-Qur’an dan hadits tidak menyebutkan secara spesifik tentang
usia minimum untuk menikah. Persyaratan umum yang lazim dikenal
adalah sudah aqil baligh, berakal sehat, mampu membedakan yang baik
dengan yang buruk sehingga dapat memberikan persetujuan untuk
menikah. Hal tersebut secara jelas disebutkan dalam Pasal 16 Kompilasi
Hukum Islam yaitu perkawinan didasarkan atas persetujuan calon
mempelai. Bentuk persetujuan calon mempelai wanita, dapat berupa
pernyataan tegas dan nyata dengan tulisan, lisan, atau isyarat, tapi dapat
berupa diam dalam arti selama tidak ada penolakan yang tegas.
Disamping itu dalam melakukan perkawinan pertimbangan yang utama
adalah dari segi kesiapan pria dan wanita untuk menjalani hidup bersama
sebagai pasangan suami istri. Karena dalam perkawinan pasangan akan
menemui banyak tantangan dan hambatan. Jika pria dan wanita sudah
dianggap cukup umur tetapi tidak siap untuk melakukan perkawinan,
namun tetap dipaksakan melakukan perkawinan, maka resiko yang
diterima tetap bisa saja terjadi, misalnya percekcokan antara suami dan
istri, dilanggarnya hak masing-masing (suami dan istri) yang dilakukan
pasangan atau keluarga pasangan, kekerasan dalam rumah tangga
hingga perceraian.
4) Bahwa terhadap anggapan Para Pemohon adanya Peraturan yang
berbeda diantara batas usia wanita dan pria telah menimbulkan
diskriminasi mengenai batasan usia dalam satu undang-undang. Bahwa
batasan umur sebagai Batasan pengertian dari sebuah undang-undang
dapat berbeda dengan undang-undang yang lain Akan tetapi hal tersebut
bisa saja dimungkinkan karena berdasarkan butir 104 lampiran Ketentuan
Umum UU 12 Tahun 2011 mengenai rumusan Batasan pengertian dari
suatu Peraturan perundang-undangan dapat berbeda dengan rumusan
perundang-undangan yang lain karena disesuaikan dengan kebutuhan
terkait dengan Materi muatan yang akan diatur.
5) Bahwa dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap orang
wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-
undang, sebagaimana diatur dalam Pasal 28J ayat (2) UUD Tahun 1945
yang menyatakan:
Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk
kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan
maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan
atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang
adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan
ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
6) Bahwa terhadap dalil Para Pemohon yang menyatakan ketentuan a
quo menimbulkan pembedaan kedudukan hukum dan diskriminasi
terhadap anak perempuan dalam hak kesehatan, hak pendidikan, resiko
eksploitasi. Bahwa DPR RI berpandangan hal tersebut tidak tepat dan
keliru, karena justru dengan diberikannya batasan umur perkawinan
memberikan kepastian hukum dan keadilan sebagaimana karakteristik
bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai macam adat istiadat dan
agama yang dipeluk oleh penduduknya.
7) Bahwa terkait dengan norma yang mengatur batasan usia dalam
perkawinan telah ada pertimbangan hukum dari Mahkamah Konstitusi
(vide Putusan Nomor 30-74/PUU-XII/2014 bertanggal 18 Juni 2015,
Putusan Nomor 49/PUU-IX/2011 bertanggal 18 Oktober 2011, Putusan
Nomor 37-39/PUU-VIII/2010 bertanggal 15 Oktober 2010, dan Putusan
Nomor 15/PUU-V/2007 bertanggal 27 November 2007), yakni bahwa
batasan usia minimum merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal
policy) yang sewaktu-waktu dapat diubah oleh pembentuk undang-
undang sesuai dengan tuntutan kebutuhan perkembangan yang ada.
Selanjutnya kebutuhan untuk menentukan batasan usia perkawinan
khusunya perempuan adalah relatif menyesuaikan dengan perkembangan
beragam aspek baik itu aspek kesehatan hingga aspek sosial-ekonomi.
Bahkan, tidak ada jaminan yang memastikan bahwa dengan
ditingkatkannya batas usia kawin untuk wanita dari 16 (enam belas)
tahun menjadi 18 (delapan belas) tahun, akan semakin mengurangi
angka perceraian, menanggulangi permasalahan kesehatan, maupun
meminimalisir permasalahan sosial lainnya.
8) Bahwa apabila persyaratan tersebut tidak dapat dipenuhi maka
dapat meminta dispensasi kepada pengadilan ataupun pejabat lain yang
ditunjuk oleh kedua orang tua dari pihak pria maupun wanita. Selain itu
Pasal 6 ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 1974 juga mengatur persyaratan
kawin harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai dan izin
dari orang tua bagi mempelai yang belum berusia 21 (dua puluh satu)
tahun. Selain itu juga diatur mengenai mekanisme pembatalan
perkawinan apabila tidak memenuhi persyaratan yang ditentukan UU
Perkawinan. Mengenai pencegahan perkawinan yang diatur dalam Pasal
14 ayat (1) dan ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 1974:
(1) Yang dapat mencegah perkawinan ialah para keluarga dalam garis
keturunan lurus ke atas dan ke bawah, saudara, wali nikah, wali,
pengampu dari salah seorang calon mempelai dan pihak-pihak yang
berkepentingan.
(2) Mereka yang tersebut pada ayat (1) pasal ini berhak juga mencegah
berlangsungnya perkawinan apabila salah seorang dari calon mempelai
berada di bawah pengampuan, sehingga dengan perkawinan tersebut
nyata-nyata mengakibatkan kesengsaraan bagi calon mempelai yang
lainnya, yang mempunyai hubungan dengan orang-orang seperti tersebut
dalam ayat (1) pasal ini.
9) Bahwa studi terbaru yang dilakukan para peneliti dari Newcastle
University dapat menjelaskan kaum wanita lebih cepat menjadi dewasa
dari laki-laki. Para peneliti mengungkap, otak anak gadis lebih cepat
berkembang untuk membuat otak lebih efisien dalam bekerja ketimbang
anak laki-laki. Ketika orang bertambah tua, bagian tertentu dari otak akan
menyusut. Ini karena otak secara otomatis "membuang" hubungan antara
sel-sel yang tidak perlu, maka kerja otak pun semakin efisien. Hubungan-
hubungan sel yang tidak terpakai itu pun menyusut dan mati. Hasil
pemindaian bagian dalam otak yang dilakukan para peneliti pun
menunjukkan bahwa proses penyusutan ini mulai terjadi pada anak gadis
berusia sekitar 10 tahun. Namun belum terjadi bahkan pada pria berusia
20 tahun. Bahwa secara biologis, wanita lebih cepat mengalami pubertas
daripada laki-laki. Seorang wanita mengalami pubertas di rentang usai
11-15 tahun sedangkan pria mengalami pubertas di rentang usia 13-15
tahun. Hal itu pula yang mempengaruhi psikologis wanita. Seorang wanta
berusia 12 tahun memiliki pikiran yang lebih dewasa dari laki-laki berusia
12 tahun. (http://www.kompasiana.com/sauqiizzudin/mengapa-
perempuan-lebih-cepat-dewasa-dari-laki-
laki_54f3bc25745513932b6c7ef5)
10) Bahwa berdasarkan fakta hasil penelitian tersebut, DPR RI
berpandangan bahwa sudah sepatutnya apabila terjadi perbedaan dalam
pembatasan batas usia perkawinan antara pria dan wanita. Hal ini
dikarenakan wanita lebih cepat dewasa baik secara biologis maupun
psikologis dibandingkan dengan pria.
11) Bahwa terhadap dalil-dalil Para Pemohon a quo, DPR RI
berpandangan bahwa pasal a quo tidak bertentangan dengan Pasal 27D
ayat (1) UUD Tahun 1945 karena tidak ada hak konstitusi yang dilanggar
secara aktual dan kausalitas.
22/PUU-XV/2017
Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Pasal 27 ayat (1) UUD Tahun 1945
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430