Keterangan DPR mengenai Pengujian UU Terhadap UUD 1945


Deprecated: nl2br(): Passing null to parameter #1 ($string) of type string is deprecated in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-keterangan.phtml on line 80
KETERANGAN DPR DALAM PERKARA NOMOR 30/PUU-XXI/2023 / 12-06-2023

Kerugian Konstitusional:
a. Terdapat ketidakselarasan pengaturan antara Pasal 1 angka 3 UU 11/2021 RI dengan Pasal 1 angka 2 dan Pasal 18 ayat (1) UU 11/2021, karena menimbulkan ketidakpastian hukum terkait kedudukan Jaksa Agung yang disebutkan sebagai Penuntut Umum tertinggi di Kejaksaan namun definisi Penuntut Umum dalam Pasal 1 angka 3 UU 11/2021 tidak menyebutkan Jaksa Agung sebagai unsur Penuntut Umum. (vide Perbaikan Permohonan hlm. 7 dan 8)
b. Pasal 19 ayat (2) UU 16/2004 tidak sejalan dengan prinsip Checks and Balances karena proses pengangkatan dan pemberhentian Jaksa Agung tidak meminta persetujuan atau pertimbangan kepada DPR RI. Sehingga Pemohon yang merupakan pegawai internal Kejaksaan merasa hak konstitusionalnya telah dirugikan karena terdapat potensi kepentingan politik Presiden dan/atau kolega politik disekitar Presiden yang dapat mempengaruhi proses pengangkatan dan pemberhentian Jaksa Agung. (vide Perbaikan Permohonan hlm. 9 dan 10).
c. Ketentuan Pasal 20 UU 11/2021 bersifat diskriminatif karena ketentuan a quo membuat dengan mudahnya seseorang tanpa pernah mengikuti dan dinyatakan lulus dalam program Pendidikan dan Pelatihan Pembentukan Jaksa (PPPJ) serta tanpa pernah mengalami suka duka mengabadikan diri di institusi Kejaksaan seperti yang dialami Pemohon, namun dengan mudahnya diangkat menjadi Jaksa Agung. (vide Perbaikan Permohonan hlm. 12 dan 13).
d. Tiadanya ketentuan larangan Jaksa Agung merangkap sebagai anggota partai politik dalam Pasal 21 UU 16/2004 dirasa oleh pemohon tidak selaras dengan cita-cita mewujudkan lembaga peradilan yang independen. Pemohon khawatir ketentuan Pasal 21 UU 16/2004 membuka kesempatan bagi Jaksa Agung untuk merangkap sebagai anggota partai politik yang tentunya sangat berbahaya bagi independensi Kejaksaan. (vide Perbaikan Permohonan hlm. 5, 6, dan 14).

Legal Standing:
1. Adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD NRI Tahun 1945
Bahwa Pemohon berprofesi sebagai Analis Penuntutan (Calon Jaksa) pada Kejaksaan Negeri Tojo Una-Una di Wakai yang mengajukan Permohonan uji materil UU 16/2004 jo. UU 11/2021 dalam perkara a quo sebagai perseorangan. Pemohon mendalilkan Pasal-Pasal a quo melanggar hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagaimana dijamin Pasal 1 ayat (3), Pasal 24 ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28H ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 (vide Perbaikan Permohonan hlm 3 dan hlm 7).
Terhadap batu uji yang didalilkan tersebut, DPR RI menerangkan dengan berdasarkan Naskah Komprehensif Perubahan UUD NRI Tahun 1945 sebagai berikut:
a. Bahwa Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 merupakan penegasan bahwa Indonesia adalah negara hukum sehingga segala sesuatu yang berlaku di Indonesia mengacu pada hukum. Penegasan bahwa “Indonesia adalah negara hukum”, yang di dalamnya juga terkandung arti supremacy of law, demokrasi, penghargaan hak-hak asasi manusia, dan pembatasan kekuasan pemerintah oleh hukum, adalah sangat penting. Paham negara hukum sebagaimana tercantum dalam ketentuan Pasal 1 ayat (3) berkaitan erat dengan paham negara kesejahteraan (welfare state) atau paham negara hukum materiil sesuai dengan bunyi alinea keempat Pembukaan dan ketentuan Pasal 34 UUD NRI Tahun 1945.
b. Pasal 24 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 mengatur mengenai sifat Kekuasaan Kehakiman yang merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Ketentuan tersebut telah jelas tidak mengatur mengenai hak dan/atau kewenangan konstitusional individu. Kejaksaan dalam hal ini bukan menjalankan kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud Pasal 24 UUD NRI Tahun 1945, melainkan Kejaksaan merupakan badan lain yang fungsinya berkaitan dengan Kekuasaan Kehakiman.
c. Bahwa rumusan Pasal 27 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 mengatur mengenai persamaan kedudukan dalam pelaksanaan hak dan kewajiban warga negara atas hukum dan pemerintahan. Persamaan ini telah diterima juga oleh Pemohon dimana Pemohon dapat mengajukan pengujian undang-undang di Mahkamah Konstitusi sebagaimana warga negara Indonesia lainnya. Disamping itu, Pemohon sebagai warga negara juga memiliki kewajiban untuk menjunjung hukum dan pemerintahan.
d. Bahwa Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 mengatur mengenai hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Dalam hal ini tidak ada perlakuan yang berbeda terhadap Pemohon maupun warga negara lainnya untuk memperoleh pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum. Diundangkannya UU 16/2004 jo. UU 11/2021 justru telah memberikan jaminan kepastian hukum yang adil karena pengundangan UU a quo merupakan pembaharuan serta perubahan ketentuan mengenai Kejaksaan yang sebelumnya diatur dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia sehingga pengaturan yang ada telah sesuai dengan perkembangan hukum yang ada dan arah kebijakan pembangunan hukum nasional. Selain itu diundangkannya UU a quo merupakan upaya pembentuk undang-undang memberikan kepastian, jaminan kedudukan, dan peran Kejaksaan dalam melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain menurut undang-undang sesuai kedudukannya sebagai lembaga negara dibawah kekuasaan eksekutif atau Presiden.
e. Amanat Pasal 28H ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 yang memberikan hak perlakuan khusus atau affirmative action mengatur pemberian hak kepada setiap orang untuk memperoleh kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan. Perlu dipahami hak perlakuan khusus atau affirmative action merupakan pengecualian atas ketentuan hak asasi manusia yang antidiskriminasi dengan pertimbangan bahwa orang atau kelompok orang yang berada dalam keadan tertinggal dari perkembangan masyarakat pada umumnya membutuhkan tindakan dan kebijakan yang bersifat khusus untuk mencapai persamaan yang diharapkan seperti misalnya penyandang disabilitas dan kelompok rentan sebagaimana disebutkan dalam naskah komprehensif pembahasan Perubahan UUD NRI Tahun 1945.
Prima Facie, Pemohon tidak termasuk sebagai subjek yang membutuhkan perlakuan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28H ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 sehingga tidak relevan apabila Pemohon menggunakan ketentuan ini sebagai dasar adanya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional atas berlakunya pasal-pasal a quo UU 16/2004 jo. UU 11/2021.

Dengan demikian berdasarkan penjelasan di atas, DPR RI berpandangan bahwa Pemohon tidak memiliki hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD NRI Tahun 1945 untuk dijadikan sebagai dasar adanya kerugian konstitusional dalam pengajuan permohonan a quo.



2. Bahwa hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu undang-undang yang diuji
a. Terhadap dalil kerugian Pemohon terkait ketentuan Pasal 1 angka 3 UU 11/2021 yang dianggap menimbulkan ketidakpastian hukum, DPR RI menerangkan bahwa dalil Pemohon tersebut tidak tepat sebab Pemohon gagal memahami perbedaan tugas, fungsi, dan kewenangan antara Jaksa dan Jaksa Agung. Pasal 1 angka 3 UU 11/2021 memberikan definisi batasan lingkup kewenangan penuntutan kepada jaksa secara umum sedangkan definisi Jaksa Agung harus didefinisikan secara khusus. Perbedaan antara Jaksa dan Jaksa Agung tersebut berimplikasi pada tidak dapat dipersamakannya definisi antara Jaksa dan Jaksa Agung. Dengan memasukkan Jaksa Agung dalam definisi yang sama dengan Jaksa sebagai penuntut umum dalam Pasal 1 angka 3 UU 11/2021 justru akan menimbulkan kerancuan pemaknaan pada pasal-pasal berikutnya dalam UU a quo secara keseluruhan yang akan berimplikasi pada tugas dan tanggung jawab yang diemban masing-masing dan kerancuan tersebut justru akan menimbulkan ketidakpastian hukum. Sehingga, dalil Pemohon atas kerugian Pasal 1 angka 3 UU 11/2021 tidak beralasan menurut hukum.
b. Terhadap dalil kerugian Pasal 19 ayat (2) UU 16/2004 yang menurut Pemohon dapat menimbulkan kegaduhan baik di dalam maupun di luar institusi Kejaksaan, DPR RI menerangkan bahwa dalil Pemohon tersebut tidak benar karena pengangkatan dan pemberhentian Jaksa Agung merupakan kewenangan konstitusional yang dimiliki oleh Presiden untuk membantu Presiden dalam halam hal penegakan hukum khususnya di bidang penuntutan sehingga kewenangan tersebut tidak dapat diintervensi oleh lembaga lainnya. Selain itu, berdasarkan Pasal 24 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 telah jelas bahwa kejaksaan merupakan salah satu badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan Kekuasaan Kehakimannya yang pengaturannya diatur dalam undang-undang. Sehingga berdasarkan ketentuan tersebut maka pengaturan-pengaturan dalam UU a quo merupakan hasil desain yang disepakati oleh pembentuk undang-undang pada saat pembentukannya. Selanjutnya, norma Pasal 19 ayat (2) UU a quo sama sekali tidak diubah dalam UU 11/2021 karena ketentuan terkait mekanisme pengangkatan dan pemberhentian Jaksa Agung oleh Presiden dianggap oleh pembentuk undang-undang masih relevan dan sejalan dengan konstitusi. Oleh karena itu, dalil kerugian Pemohon tidak beralasan menurut hukum.
c. Terhadap dalil kerugian Pasal 20 UU 11/2021 yang dianggap diskriminatif karena bertentangan dengan prinsip persamaan dihadapan hukum dan pemerintahan, DPR RI berpandangan bahwa meskipun norma a quo tidak memuat persyaratan pernah mengikuti dan lulus Diklat PPPJ dan pernah mengabdikan diri di institusi Kejaksaan, akan tetapi hal tersebut tidak menimbulkan kerugian sama sekali kepada Pemohon maupun para Jaksa lainnya. Sebab, ketentuan norma a quo sama sekali tidak menghapuskan peluang dari Jaksa Karir untuk dapat diangkat menjadi Jaksa Agung. Norma a quo dirumuskan demikian agar persyaratan tersebut dapat berlaku untuk semua warga negara tanpa terkecuali, baik dalam posisi sebagai Jaksa Karir maupun bagi setiap orang di luar Kejaksaan. Selain itu, dikarenakan pengangkatan dan pemberhentian Jaksa Agung merupakan kewenangan konstitusional yang dimiliki oleh Presiden untuk membantu Presiden dalam hal penegakan hukum khususnya di bidang penuntutan maka tentunya dalam mengangkat seorang Jaksa Agung Presiden akan mempertimbangkan kompetensi, profesionalitas, dan pengalaman di institusi Kejaksaan untuk dapat menjadi Jaksa Agung. Oleh karena itu, dalil Pemohon hanya berupa kekhawatiran sebab, Pemohon maupun jaksa lainnya tetap dapat berpeluang menjadi Jaksa Agung sepanjang memenuhi persyaratan yang ada di dalam undang-undang dan sepanjang dianggap berkompeten oleh Presiden untuk menjalankan tugas dan wewenang sebagai Jaksa Agung.
 Terhadap dalil Pemohon terkait Pasal 21 UU 16/2004 yang tidak mengatur larangan bagi Jaksa Agung untuk merangkap jabatan sebagai anggota partai politik, DPR RI berpandangan bahwa dengan tidak adanya pembatasan tersebut, maka meskipun seorang Jaksa Agung berasal dari partai politik akan tetapi tetap dituntut untuk memiliki integritas, wibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela yang merupakan salah satu syarat untuk menjadi Jaksa Agung. Dengan demikian, ada atau tidaknya larangan terkait rangkap Jabatan dari anggota partai politik tersebut tidak akan mengurangi kualitas seorang Jaksa Agung dan tidak akan mengurangi hak persamaan di dalam hukum dan pemerintahan.

Dengan demikian, kerugian yang didalilkan Pemohon sebagaimana di atas, sama sekali tidak berkorelasi apapun dengan pasal-pasal a quo sebab tidak menimbulkan dampak secara langsung dengan kedudukan Pemohon saat ini sebagai Calon Jaksa maupun di kemudian hari.

3. Bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi
Bahwa merujuk pada pandangan DPR RI dalam poin 1 dan 2 diatas, kerugian konstitusional yang didalilkan oleh Pemohon tidaklah berdasar sehingga tidak ada kerugian konstitusional yang bersifat spesifik dirasakan oleh Pemohon melainkan hanya asumsi Pemohon saja. Pemohon yang berprofesi sebagai Analis Penuntutan (calon Jaksa) tetap dapat menjalankan profesinya dengan baik meskipun undang-undang a quo berlaku. Selain itu, Pemohon juga masih berpeluang untuk dapat diangkat sebagai calon Jaksa Agung sepanjang memenuhi syarat yang diatur dalam UU a quo dan sepanjang dianggap mampu oleh Presiden untuk mengemban tugas sebagaimana yang diamanatkan oleh undang-undang mengingat pengangkatan dan pemberhentian Jaksa Agung merupakan kewenangan konstitusional yang dimiliki oleh Presiden. Pasal-pasal a quo juga sama sekali tidak membatasi Jaksa Agung yang berasal dari Jaksa karir karena persyaratan tersebut dibuka untuk semua warga negara baik Jaksa karir maupun jaksa non karir. Dengan demikian, tidak terdapat pula kerugian konstitusional yang bersifat potensial akan dialami Pemohon menurut penalaran wajar.

4. Adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional dengan undang-undang yang dimohonkan pengujian
Bahwa sebagaimana telah dikemukakan pada penjelasan angka 1, 2 dan 3 dengan tidak terdapat kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon dan tidak ada kerugian konstitusional yang bersifat spesifik (khusus) dan aktual maupun potensial dialami oleh Pemohon menurut penalaran yang wajar, maka jelas tidak ada hubungan sebab akibat (causal verband) atas kerugian yang didalilkan oleh Pemohon dengan hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang dijamin dengan UUD NRI Tahun 1945. Sebab lahirnya UU a quo justru telah memberikan kepastian hukum atas perbedaan tugas dan wewenang antara jaksa dan jaksa agung serta membuka kesempatan yang sama bagi warga negara untuk dapat menjadi Jaksa Agung.

5. Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi
Mengutip pernyataan Bagir Manan yang selaras dengan Prof. Sudiman Kartohadiprodjo dan Laica Marzuki, yang terdapat dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1/PUU-X/2012: hlm. 57,
“Ada adagium lama yang diketahui oleh setiap ahli hukum yang mengatakan, “Menyamakan sesuatu yang berbeda atau tidak sama, sama tidak adilnya dengan membedakan yang sama.” Dengan bahasa yang lebih mudah, dalam keadaan tertentu membedakan atau unequal treatment itu, justru merupakan syarat dan cara mewujudkan keadilan, sebaliknya dalam keadaan tertentu membuat segala sesuatu serba sama sedangkan didapati berbagai perbedaan juga akan menimbulkan dan melukai rasa keadilan. Kalau demikian, apakah ada syarat objektif agar suatu perbedaan atau unequal itu menjadi syarat untuk mewujudkan keadilan.”

Bahwa karena tidak ada kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional baik yang bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi dan tidak ada hubungan sebab akibat (causal verband) atas kerugian konstitusional dengan ketentuan Pasal-Pasal a quo maka sudah dapat dipastikan bahwa pengujian ketentuan Pasal-Pasal a quo tidak akan berdampak apapun pada Pemohon. Sebaliknya, permohonan Pemohon justru akan menjadikan permasalahan baru dalam pengaturan fungsi, tugas, dan wewenang lembaga negara serta jabatan-jabatan pelaksana dalam lembaga tersebut. Dengan demikian menjadi tidak relevan lagi bagi MK untuk memeriksa lebih lanjut dan mengabulkan Permohonan a quo.

Pokok Permohonan:
1. Bahwa terkait dengan dalil Pemohon yang menyatakan tidak dimasukkannya Jaksa Agung dalam definisi Penuntut Umum pada Pasal 1 angka 3 UU 11/2021 bertentangan dengan kepastian hukum dan konsep negara hukum (vide perbaikan permohonan hlm. 20), DPR RI memberikan pandangan sebagai berikut:
a. Pasal 1 angka 3 UU 11/2021 pada intinya mengatur tentang definisi Penuntut Umum yang menegaskan bahwa yang dimaksud Penuntut Umum adalah Jaksa yang diberikan wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan lain ataupun kewenangan lain berdasarkan undang-undang. Pengaturan tersebut justru telah memberikan kepastian hukum khususnya bagi Jaksa dalam melakukan penuntutan. Berbeda dengan Jaksa Agung yang merupakan pimpinan dan penanggung jawab tertinggi Kejaksaan. Meskipun dalam Pasal 18 ayat (1) UU 11/2021 menyebutkan Jaksa Agung merupakan “Penuntut Umum tertinggi”, akan tetapi Jaksa Agung tidak dapat didefinisikan sebagai Penuntut Umum sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1 angka 3 UU 11/2021. Hal ini mengingat perbedaan kedudukan dan kewenangan yang diemban antara Jaksa dengan Jaksa Agung.
b. Jika frasa “Jaksa Agung” dirumuskan dalam definisi Penuntut Umum pada Pasal 1 angka 3 UU 11/2021 maka akan menimbulkan ketidakpastian hukum dan kerancuan perihal kedudukan dan kewenangan yang dimiliki antara Jaksa dengan Jaksa Agung, serta juga akan berimplikasi pada perubahan makna yang menyeluruh dari UU a quo. Sebab ditinjau dari segi kedudukan, Pasal 1 angka 2 UU 11/2021 menyebutkan bahwa Jaksa adalah “pegawai negeri sipil dengan jabatan fungsional…”, sedangkan Pasal 19 ayat (1) UU 16/2004 menyebutkan bahwa Jaksa Agung adalah pejabat negara. Perbedaan kedudukan tersebut tentunya berimplikasi pada pengaturan yang berbeda sehingga kedudukan Jaksa dan Jaksa Agung sebagai penuntut umum dan penuntut umum tertinggi tidak dapat disamakan definisinya.
c. Selain itu ditinjau dari tugas dan wewenang, apabila merujuk pada Pasal 35 ayat (1) UU 11/2021, Jaksa Agung tidak hanya mengemban tugas terkait dengan penuntutan melainkan melaksanakan tugas dan wewenang yang jauh lebih besar, yaitu:
 menetapkan serta mengendalikan kebijakan penegakan hukum dan keadilan dalam ruang lingkup tugas dan wewenang Kejaksaan;
 mengefektifkan penegakan hukum yang diberikan oleh undang-undang;
 mengesampingkan perkara demi kepentingan umum;
 mengajukan kasasi demi kepentingan hukum kepada Mahkamah Agung dalam lingkup peradilan umum, peradilan tata usaha negara, peradilan agama, dan peradilan militer;
 dapat mengajukan pertimbangan teknis hukum kepada Mahkamah Agung dalam pemeriksaan kasasi dalam lingkup peradilan umum, peradilan tata usaha negara, peradilan agama, dan peradilan militer;
 mencegah atau menangkal orang tertentu untuk masuk atau keluar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia karena keterlibatannya dalam perkara pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
 mengoordinasikan, mengendalikan, dan melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana yang dilakukan bersama oleh orang yang tunduk pada peradilan umum dan peradilan militer;
 sebagai penyidik dan penuntut umum dan pelaksana putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap perkara tindak pidana pelanggaran hak asasi manusia yang berat;
 mendelegasikan sebagian kewenangan Penuntutan kepada Oditur Jenderal untuk melakukan penuntutan;
 mendelegasikan sebagian kewenangan Penuntutan kepada Penuntut Umum untuk melakukan Penuntutan; dan
 menangani tindak pidana yang menyebabkan kerugian perekonomian negara dan dapat menggunakan denda dalam dalam tindak pidana ekonomi berdasarkan peraturan perundang-undangan
Dengan demikian, berdasarkan Pasal 35 ayat (1) UU 11/2021 tersebut, maka norma Pasal 1 angka 3 UU 11/2021 tidak dapat memasukkan Jaksa Agung dalam definisi Penuntut Umum dikarenakan tugas dan wewenang yang diemban oleh Jaksa sangat berbeda dengan Jaksa Agung.
d. Jika frasa “Jaksa Agung” dirumuskan dalam definisi Penuntut Umum pada Pasal 1 angka 3 UU 11/2021 juga akan bertentangan dengan Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana diatur Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 yang telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU Pembentukan PUU). Dalam Lampiran II UU Pembentukan PUU mengatur bahwa Ketentuan Umum suatu undang-undang berisi:
a. batasan pengertian atau definisi;
b. singkatan atau akronim yang dituangkan dalam batasan pengertian atau definisi; dan/ atau
c. hal-hal lain yang bersifat umum yang berlaku bagi pasal atau beberapa pasal berikutnya antara lain ketentuan yang mencerminkan asas, maksud, dan tujuan dapat dirumuskan dalam bab ketentuan umum atau bab tersendiri.
Kata atau istilah yang dimuat dalam ketentuan umum hanyalah kata atau istilah yang digunakan berulang-ulang di dalam pasal atau beberapa pasal selanjutnya. Sebagaimana dilihat pada pengaturan Pasal 1 dalam UU 11/2021, ketentuan Pasal 1 angka 3 telah jelas menyebutkan “Jaksa” tanpa menyebut “Jaksa Agung” karena pengaturan ini telah sejalan dengan pengaturan yang ada pada Pasal 1 angka 2, yang mengatur definisi Jaksa adalah pegawai negeri sipil dengan jabatan fungsional yang memiliki kekhususan dan melaksanakan tugas, fungsi, dan kewenangannya berdasarkan Undang-Undang. Dimasukannya frasa “Jaksa Agung” dalam pengertian Penuntut Umum pada Pasal 1 angka 3, justru akan menyebabkan ambiguitas dalam penerapan norma mengenai Penuntut Umum yang tidak hanya berada dalam UU 11/2021 melainkan dalam undang-undang lain yang mengatur seperti Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan peraturan pelaksananya.
e. Oleh karena itu, jika Pemohon merasa ketentuan pasal a quo tidak memberikan kepastian hukum dan bertentangan dengan konsep negera hukum maka hal tersebut hanya asumsi Pemohon tanpa memahami maksud dan tujuan dibentuknya UU a quo dan tanpa melihat secara seksama dan menyeluruh rancang bangun peraturan perundang-undangan di bidang penegakan hukum dan peradilan.

2. Terhadap dalil Pemohon yang menyatakan Pasal 19 ayat (2) UU 16/2004 yang tidak meminta persetujuan DPR RI dalam pengangkatan dan pemberhentian Jaksa Agung sehingga tidak menerapkan prinsip checks and balances (vide perbaikan permohonan hlm 24), DPR RI menyampaikan pandangan sebagai berikut:
a. Berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU a quo, Kejaksaan adalah Lembaga Pemerintahan yang fungsinya berkaitan dengan Kekuasaan Kehakiman yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasar undang-undang. Sebagai lembaga pemerintahan tersebut maka kedudukan institusi Kejaksaan berada di bawah kekuasaan Eksekutif sehingga dalam melaksanakan tugas, fungsi, dan kewenangannya, Jaksa Agung sebagai pimpinan tertinggi di institusi Kejaksaan bertanggung jawab kepada Presiden. Selain itu berdasarkan Pasal 18 ayat (4) UU 11/2021, Jaksa Agung merupakan pemimpin dan penanggung jawab tertinggi lembaga Kejaksaan.
b. Sesuai dengan Pasal 24 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945, Kejaksaan merupakan lembaga yang fungsinya berkaitan dengan Kekuasaan Kehakiman yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan, yang menempatkan penuntut umum sebagai pengendali perkara, sekaligus menjalankan fungsi diskresi penuntutan (prosecutorial discretion) berdasarkan asas oportunitas (het legaliteits en het opportunitiest beginsel). Dalam melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan, kewenangan Kejaksaan untuk dapat menentukan apakah suatu perkara dapat atau tidak dilimpahkan ke pengadilan memiliki arti penting dalam menyeimbangkan antara aturan yang berlaku (rechmatigheid) dan interpretasi yang bertumpu pada tujuan atau asas kemanfaatan (doelmatigheid) dalam proses peradilan pidana.
c. Pengaturan dalam UU 16/2004 jo. UU 11/2021 merupakan hasil dari komitmen bersama antara Pemerintah dan DPR RI untuk menyelaraskan kedudukan, fungsi, dan wewenang Kejaksaan dengan instrumen internasional, salah satunya adalah Status dan Peran Penuntut Umum (The Status and Role of Prosecutors) sebagaimana diatur dalam Guidelines on The Role of Prosecutors. Perubahan undang-undang ini bertujuan terutama untuk memperkuat independensi dalam proses penuntutan, meningkatkan akuntabilitas dalam penanganan perkara, menetapkan standar profesionalitas yang lebih tinggi, serta memberikan perlindungan yang lebih baik bagi para Jaksa.
d. Dalam menjalankan tugas, fungsi, dan kewenangannya, Jaksa Agung diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Mekanisme pengangkatan dan pemberhentian Jaksa Agung tersebut merupakan kewenangan konstitusional yang dimiliki oleh Presiden, sehingga kewenangan tersebut tidak dapat diintervensi oleh lembaga negara manapun termasuk DPR RI. Pengaturan pengangkatan dan pemberhentian Jaksa Agung oleh Presiden tersebut juga merupakan hasil dari kesepakatan politik dari pembentuk undang-undang. Hal itu sebagaimana terdapat dalam Risalah Rapat Paripurna tanggal 15 Juli 2004 berdasarkan pernyataan yang disampaikan oleh HM. Syaiful Rachman, SH:
“Kejaksaan adalah satu dibawah pimpinan Jaksa Agung sebagai penuntut umum tertinggi. Oleh karena itu kinerja kejaksaan sangat tergantung kepada kebijakan Jaksa Agung. Dengan demikian persyaratan menjadi Jaksa Agung sangat penting. Semua Fraksi DPR dan Pemerintah akhirnya sepakat bahwa dari manapun Jaksa Agung itu berasal sepanjang memenuhi syarat dan sesuai dengan penilaian Presiden dapat diangkat oleh Presiden.”

Oleh karena itu, tidak mungkin Presiden menciderai marwah institusi Kejaksaan dengan menunjuk orang yang tidak kompeten dan profesional untuk menduduki jabatan Jaksa Agung.
e. Akan tetapi, meskipun dalam pengangkatan dan pemberhentian Jaksa Agung merupakan kewenangan Presiden, Jaksa Agung dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya tidak terlepas dari pengawasan banyak pihak. Salah satu bentuk pengawasan terhadap Jaksa Agung dalam melaksanakan tugas, fungsi, dan kewenangannya tersebut telah jelas diatur dalam Pasal 37 ayat (2) UU 16/2004 yang pada intinya mengatur pertanggungjawaban Jaksa Agung atas penuntutan disampaikan kepada Presiden dan DPR RI sesuai dengan prinsip akuntabilitas. Sehingga, meskipun tidak ada mekanisme persetujuan DPR RI dalam pengangkatan dan pemberhentian Jaksa Agung, prinsip checks and balances tersebut tetap terpenuhi.
f. Bahwa dalil Pemohon mengenai “kegaduhan politik” dalam ketentuan pasal a quo disampaikan dalam permohonannya, tidak memiliki argumentasi yang jelas, dalam hal apa, dan kegaduhan politik seperti apa yang dimaksud oleh Pemohon? Selain itu antara posita vis a vis petitum Pemohon saling tidak berkesesuaian. Pemohon dalam positanya menguraikan mengenai adanya kegaduhan politik jika Jaksa Agung hanya diangkat oleh Presiden, tapi di sisi lain dalam petitumnya meminta agar Presiden dalam mengangkat Jaksa Agung perlu meminta persetujuan DPR yang jelas-jelas terdiri dari unsur partai politik. Hal ini memperlihatkan bahwa Pemohon tidak memahami mengenai permohonannya sendiri.
g. Terhadap anggapan Pemohon bahwa pengangkatan dan pemberhentian Jaksa Agung tanpa pertimbangan DPR RI akan berdampak pada pertimbangan subjektif Presiden, DPR RI berpandangan bahwa anggapan tersebut tidak beralasan dikarenakan meskipun diangkat oleh Presiden, terdapat persyaratan yang harus dipenuhi oleh seorang calon Jaksa Agung sebagaimana diatur dalam Pasal 20 UU 11/2021. Selain harus memenuhi persyaratan tersebut, seorang Jaksa Agung dalam menjalankan tugas pokok fungsi dan kewenangannya tetap harus tunduk pada undang-undang yang terdapat dalam sumpah atau janji jabatan Jaksa Agung. Selain itu, independensi pelaksanaan kewenangan penuntutan oleh Jaksa Agung telah dijamin dalam Pasal 37 ayat (1) UU 16/2004 meskipun merupakan bagian dari pemerintahan.
h. Pemberhentian Jaksa Agung juga tidak dapat dilakukan dengan subjektif Presiden tanpa adanya pertimbangan matang dikarenakan terdapat beberapa alasan yang dapat dijadikan dasar bagi Presiden untuk memberhentikan Jaksa Agung sebagaimana diatur dalam Pasal 22 UU 11/2021. Pasal a quo terkait pemberhentian Jaksa Agung tersebut juga tidak mengalami perubahan rumusan sejak UU 16/2004, karena masih dianggap relevan untuk diberlakukan oleh pembentuk undang-undang. Adapun jika Pemohon memahami perbedaan Jaksa dan Jaksa Agung baik dari segi kedudukan, tugas, fungsi, dan kewenangan dengan cermat, maka Pemohon tidak akan mempersoalkan isu kesetaraan antara kedua jabatan tersebut.
i. Terhadap dalil Pemohon yang menyatakan bahwa ketiadaan mekanisme checks and balances dalam pengangkatan Jaksa Agung yang berpotensi adanya sewenang-wenangan Presiden dengan memberhentikan Jaksa Agung atau memerintahkan Jaksa Agung untuk memutasikan Jaksa, DPR RI menerangkan bahwa untuk dapat memutasikan seorang ASN mengacu pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN).
j. Berdasarkan ketentuan Pasal 55 ayat (1) huruf g UU ASN menyebutkan bahwa manajemen ASN meliputi salah satunya terkait dengan mutasi. Lebih lanjut dalam Pasal 73 UU ASN, dijelaskan bahwa mutasi dapat dilakukan dalam satu instansi pusat, antar instansi pusat, antar instansi daerah, antar instansi pusat dan instansi daerah, dan ke perwakilan NKRI di luar negeri. Selanjutnya, dalam Pasal 177 Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil diatur bahwa mutasi merupakan bagian dari manajemen pengembangan karir dalam rangka penyesuaian kebutuhan organisasi, dan pola karier PNS. Mutasi tersebut bukan merupakan sanksi karena jenis dan mekanisme pengenaan sanksi terhadap seorang ASN telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2021 tentang Displin Pegawai Negeri Sipil. In casu, apabila Pemohon merasa dirugikan akibat mutasi maka terdapat berbagai upaya untuk memperjuangkan kepentingannya yang salah satunya Pemohon dapat mengajukan upaya hukum kepada PTUN terkait Surat Keputusan mutasi tersebut. Terhadap dalil Pemohon tersebut juga tidak terdapat relevansi dengan hak konstitusional Pemohon dalam memperoleh keadilan dan perlakuan non- diskriminatif.
k. Selanjutnya, dalam kaitannya dengan upaya menjaga kualitas kinerja kelembagaan Kejaksaan terdapat mekanisme pengawasan baik secara internal maupun eksternal. Secara internal, pengawasan dilakukan oleh Jaksa Agung Muda bidang Pengawasan (JAMWAS). Berdasarkan Pasal 27 ayat (2) Peraturan Presiden Nomor 38 Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 15 Tahun 2021, lingkup bidang pengawasan yang dilakukan oleh JAMWAS adalah meliputi perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian pelaksanaan pengawasan atas kinerja dan keuangan intern Kejaksaan, serta pelaksanaan pengawasan untuk tujuan tertentu atas penugasan Jaksa Agung sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
l. Sedangkan dari sisi eksternal, berdasarkan Pasal 10 Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2005 tentang Komisi Kejaksaan Republik Indonesia, pengawasan terhadap kinerja kelembagaan juga sudah dilakukan oleh Komisi Kejaksaan yang mempunyai tugas untuk melakukan pengawasan, pemantauan, dan penilaian terhadap kinerja, sikap dan perilaku Jaksa dan pegawai kejaksaan dalam melaksanakan tugas kedinasan maupun di luar tugas kedinasan. Serta melakukan pemantauan dan penilaian atas kondisi organisasi, kelengkapan sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia di lingkungan Kejaksaan. Di sisi lain, pengawasan secara eksternal terhadap kinerja kejaksaan juga dilakukan oleh masyarakat dengan melaporkan kepada Komisi Kejaksaan tentang kondisi dan kinerja di lingkungan Kejaksaan jika dianggap terjadi dugaan pelanggaran peraturan kedinasan Kejaksaan maupun berkaitan dengan perilaku Jaksa dan pegawai Kejaksaan di dalam atau di luar kedinasan.
m. Dengan demikian, dalil Pemohon menjadi tidak berdasar menurut hukum sebab prinsip check and balances tersebut tetap terpenuhi meskipun tidak adanya persetujuan DPR dalam pengangkatan dan pemberhentian Jaksa Agung.

3. Bahwa terkait dalil Pemohon yang menyatakan Pasal 20 UU 11/2021 telah membuka ruang pertentangan terhadap prinsip persamaan kedudukan di hadapan hukum dengan sangat mudahnya seseorang untuk menjadi Jaksa Agung karena tidak disyaratkan untuk pernah mengabdikan diri di institusi Kejaksaan dan pernah lulus program Pendidikan dan Pelatihan dan Pembentukan Jaksa telah bertentangan dengan prinsip persamaan kedudukan dihapan hukum dan pemerintahan (vide perbaikan permohonan hlm. 39), DPR RI memberikan pandangan sebagai berikut:
a. Ketentuan Pasal 20 UU 11/2021 terkait syarat untuk dapat diangkat Jaksa Agung, justru telah menjamin hak warga negara untuk diperlakukan sama dihadapan hukum dan pemerintahan sebagaimana dijamin dalam Pasal 27 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Syarat yang diatur dalam pasal a quo justru membuka peluang bagi seluruh warga negara dalam hal ini Jaksa karir maupun profesional di bidang hukum di luar institusi Kejaksaan untuk mendapatkan kesempatan yang sama menjadi Jaksa Agung sepanjang dianggap berkompeten oleh Presiden untuk melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana yang diamanatkan oleh UU a quo. Apabila Pasal 20 UU 11/2021 tersebut diubah dengan menetapkan syarat untuk dapat diangkat sebagai Jaksa Agung secara rigid justru akan menutup ruang bagi warga negara lainnya untuk berkesempatan mengabdikan diri di institusi Kejaksaan serta akan menghilangkan calon-calon potensial untuk bisa duduk menjabat sebagai Jaksa Agung. Bukan berarti Jaksa Agung yang berasal dari luar institusi Kejaksaan tidak memahami hukum, tidak memahami institusi Kejaksaan dan tidak memahami penegakan hukum sesuai visi dan misi Presiden.
b. Dibukanya peluang luas bagi setiap warga negara untuk dapat menduduki jabatan sebagai Jaksa Agung merupakan suatu upaya percepatan pembangunan dan perbaikan hukum dan peradilan nasional karena ruang kontribusi bagi setiap putra putri bangsa dengan kemampuan unggul terbuka lebar. Sebaliknya, jika dibatasi pengaturan hanya Jaksa Agung harus merupakan seseorang yang telah menjalani pengabdian di institusi kejaksaan dan telah menjalani program Pendidikan dan Pelatihan dan Pembentukan Jaksa berarti telah menutup ruang kontribusi bagi calon-calon pemimpin yang potensial yang berasal dari luar institusi kejaksaan. Kekhawatiran Pemohon atas tidak adanya kompetensi bagi seorang Jaksa Agung yang berasal dari luar institusi kejaksaan untuk melaksanakan tugas dan wewenang seorang Jaksa Agung tentunya tidak berdasar argumentasi yang kuat / a fortiori. Selain itu dalam pelaksanaan tugas dan wewenangnya, seorang Jaksa Agung dapat didampingi oleh tim yang terdiri atas Jaksa-Jaksa yang ahli di bidang penuntutan untuk memberikan masukan dan bahan pertimbangan dalam persidangan.
c. Terhadap anggapan Pemohon yang menyatakan bahwa Pasal 20 UU Kejaksaan harus dinyatakan inkonstitusional bersyarat sepanjang tidak diartikan mencakup juga persyaratan harus berstatus Jaksa atau pensiunan Jaksa dan berpangkat jabatan terakhir minimal IV/e, DPR RI berpandangan bahwa ketentuan tersebut justru akan membatasi syarat diangkatnya calon Jaksa Agung dan hal tersebut tentunya bertentangan dengan konstitusi karena membatasi setiap orang untuk mendapatkan pekerjaan yang layak sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945.
d. Persyaratan terkait kepangkatan tersebut juga tidak menjamin kualitas dan kompetensi dari orang tersebut, sebagai contoh adanya Jaksa Utama yang diangkat berpangkat IV/e yang menjelang purna baktinya juga belum tentu memiliki pengalaman dalam jabatan tertinggi di Kejaksaan. Sehingga, menjadi tidak relevan Pemohon mempersoalkan ketidakadilan apabila Pemohon memahami perbedaan antara Jaksa dan Jaksa Agung baik dari sisi kedudukan, tugas, fungsi, maupun wewenang.
e. Secara historis, Kejaksaan pernah dipimpin oleh Jaksa Agung yang berasal dari unsur TNI, Hakim, Jaksa, Pensiunan Jaksa, dan mantan Anggota DPR, mantan anggota Komnas HAM, dan mantan Duta Besar Dari data diatas, dapat dilihat bahwa yang diangkat menjadi Jaksa Agung merupakan orang-orang yang kompeten dan memahami hukum hal tersebut terlihat dari latar belakang yang dimiliki oleh masing-masing mantan Jaksa Agung tersebut. Selain itu, beberapa tahun terakhirterdapat kecenderungan di beberapa periode terakhir, Jaksa Agung berasal dari institusi Kejaksaan. Meskipun terdapat mantan Jaksa Agung yang berasal dari mantan anggota DPR seperti M. Prasetyo dan Marzuki Darusman akan tetapi Presiden melihat kapabilitasnya sebagai pensiunan Jaksa, dan sebagai orang yang memiliki pengalaman sebagai mantan anggota Komnas HAM. Pemohon juga tidak perlu mengkhawatirkan adanya calon Jaksa Agung dari partai politik karena partai politik merupakan pilar demokrasi dan semua keberhasilan jalannya pemerintahan di dukung oleh partai politik.
f. Selanjutnya, penting bagi Pemohon pahami bahwa meskipun dalam Pasal a quo tidak mencantumkan syarat sebagaimana yang diinginkan Pemohon, akan tetapi pengaturan tersebut tidak menutup peluang bagi Jaksa Karir untuk menjadi Jaksa Agung Hal ini merujuk pada Risalah Rapat Paripurna tanggal 15 Juli 2004 (risalah terlampir), beberapa Fraksi menyampaikan pandangannya yang pada intinya menyebutkan bahwa:
“Jaksa Agung merupakan jabatan politik. Implikasi dari jabatan politik tersebut memungkinkan jabatan Jaksa Agung adalah jabatan terbuka bagi setiap warga negara, sehingga tidak hanya berasal dari internal Kejaksaan melainkan juga dimungkinkan dari luar institusi Kejaksaan.”

Dengan demikian, merujuk pada risalah tersebut maka telah jelas terlihat bahwa norma Pasal 20 UU 11/2021 tersebut tidak menutupi peluang bagi siapapun untuk dapat diangkat menjadi Jaksa Agung. Selain itu, tidak terdapat isu ketidakadilan dalam pengaturan mengenai Jaksa Agung apabila dipersandingkan dengan Jaksa. Dengan demikian, dalil Pemohon menjadi tidak relevan dan tidak berdasar.

4. Bahwa terkait dalil Pemohon yang menyatakan tidak adanya larangan rangkap jabatan Jaksa Agung sebagai Anggota Parpol sebagaimana diatur dalam Pasal 21 UU 16/2004 telah bertentangan dengan prinsip Kekuasaan Kehakiman (vide perbaikan permohonan hlm. 51), DPR RI berpandangan:
a. Bahwa rumusan Pasal 21 UU 16/2004 tidak diubah karena tidak terdapat kebutuhan hukum atau urgensi untuk mengubah ketentuan mengenai larangan rangkap jabatan Jaksa Agung sebagai anggota partai politik. Hal ini mengingat belum adanya permasalahan dalam hal terganggunya kinerja institusi Kejaksaan oleh Jaksa Agung yang berasal dari partai politik. Hal tersebut terbukti pada saat mantan Jaksa Agung M. Prasetyo dan Marzuki Darusman yang berlatar belakang pernah menjadi Anggota DPR namun tetap dapat melaksanakan tugasnya sebagai pimpinan tertinggi di institusi Kejaksaan dengan baik.
b. Bahwa dikarenakan Jaksa Agung merupakan unsur Pejabat Negara yang dipersamakan dengan Menteri Negara sehingga jabatan Jaksa Agung tidak hanya melekat pada jabatan publik sebagai pejabat negara, melainkan juga menempatkan kedudukan Jaksa Agung sebagai jabatan politik. Hal ini merujuk pada keterangan dalam Risalah Rapat Paripurna RUU tentang Perubahan UU Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia yang disampaikan pada tanggal 15 Juli 2004 oleh Drs. H.A. Hamid Mappa:
“Jabatan Jaksa Agung adalah “political appointee”, bukan jabatan karier. Jaksa Agung bisa berasal dari jaksa karier dan bisa dari luar institusi kejaksaan, tetapi yang jelas jabatan itu adalah jabatan politik. Itulah posisi Jaksa Agung dalam paradigma demokrasi dan sistem presidensiil bukan paradigma birokrasi”

c. Merujuk pada risalah rapat tersebut, dikarenakan sebagai jabatan politik maka dimungkinkan bagi Jaksa Agung untuk didukung oleh partai politik maupun menjadi anggota partai politik. Hal tersebut juga berkaca pada kondisi riil selama ini yang terjadi utamanya di era reformasi yang terdapat Jaksa Agung tidak berasal dari unsur internal Kejaksaan tetapi didukung oleh partai politik dan menjadi anggota partai politik.
d. Tidak adanya larangan bagi Jaksa Agung sebagai anggota partai politik tidak dapat serta merta dinyatakan bertentangan dengan kekuasaan kehakiman, sebab meskipun demikian Jaksa Agung dalam menjalankan tugas, fungsi, dan kewenangannya bertanggung jawab langsung kepada presiden sehingga apabila Jaksa Agung melampaui kewenangannya dan dianggap tidak mampu menjalankan tugas maka Presiden dapat memberhentikannya sewaktu-waktu.

30/PUU-XXI/2023

Pasal 1 angka 3, Pasal 19 ayat (2), Pasal 20, dan Pasal 21 UU 16/2004 jo. UU 11/2021

Pasal 1 ayat (3), Pasal 24 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28H ayat (2) UUD NRI Tahun 1945