Kerugian Konstitusional:
Para Pemohon dalam permohonannya mengemukakan bahwa Pemohon I dan Pemohon II diberikan sanksi melalui Keputusan MKDKI nomor 37/KKI/KEP/X/2022 tentang Sanksi Disiplin Profesi Kedokteran dan Keputusan KKI Nomor HK.01.01/03/KKI/X/2527/2022 perihal pelaksanaan Putusan MKDKI tertanggal 21 Oktober 2022, dimana Pemohon I diberikan sanksi pencabutan Surat Tanda Registrasi (STR) untuk sementara selama 12 (dua belas) bulan, dan Pemohon II diberikan sanksi pencabutan STR untuk sementara selama 8 (delapan) bulan. Terhadap Keputusan tersebut, tidak terbuka ruang bagi Para Pemohon untuk mendapatkan upaya lanjutan (keberatan/banding) atau upaya untuk mengkoreksi (evaluasi) keputusan MKDKI melalui KKI untuk membuktikan bahwa Para Pemohon tidak melakukan pelanggaran disiplin dengan berlakunya Pasal 69 ayat (1) UU Praktik Kedokteran (vide perbaikan permohonan hlm 8-13).
Legal Standing:
1. Adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon yang diberikan oleh UUD NRI Tahun 1945
Bahwa Para Pemohon menjadikan ketentuan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28G ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 sebagai dasar pengujian atau batu uji atas pengujian Pasal 69 ayat (1) UU Praktik Kedokteran (vide Perbaikan Permohonan hlm. 2). Terhadap dalil tersebut DPR RI menerangkan bahwa ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 tidak mengatur mengenai hak dan/atau kewenangan konstitusional warga negara melainkan mengatur mengenai Indonesia adalah negara hukum. Selain itu, terkait dengan batu uji Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28G ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, ketentuan Pasal 69 (1) UU Praktik Kedokteran sama sekali tidak menghilangkan hak Para Pemohon atas kepastian hukum serta perlakuan yang sama di hadapan hukum, dan juga sama sekali tidak mengancam hak atas perlindungan diri pribadi Para Pemohon.
2. Bahwa hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon tersebut dianggap oleh Para Pemohon telah dirugikan oleh suatu undang-undang yang diuji
Bahwa Para Pemohon menyatakan telah dirugikan hak dan/atau kewenangan konstitusionalitasnya atas keberlakuan Pasal 69 ayat (1) UU Praktik Kedokteran. Terhadap dalil kerugian tersebut, DPR RI menerangkan sebagai berikut:
Bahwa UU Praktik Kedokteran telah mengatur mengenai kewajiban, tanggung jawab, dan kewenangan MKDKI sebagai badan yang memiliki otoritas dalam pengawasan dan penegakkan disiplin dokter dan dokter gigi yang merupakan moralitas praktik kedokteran. Kedudukan, kewenangan, dan kewajiban MKDKI dalam UU Praktik Kedokteran ini justru ditujukan untuk dapat memberikan jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum bagi profesi dokter dan dokter gigi yang memiliki keistimewaan profesi dan keilmuan yang secara hakikatnya lebih dekat dengan risiko keselamatan, atau berhubungan dengan nyawa setiap orang yag menjadi pasien.
Bahwa berdasarkan UU Praktik Kedokteran, dalam rangka penegakkan disiplin dokter dan dokter gigi, MKDKI berhak untuk menyusun pedoman dan tata cara penanganan pelanggaran disiplin, menerima aduan, memeriksa, dan memutuskan kasus pelanggaran disiplin dokter dan dokter gigi. Keputusan MKDKI yang telah dikeluarkan tersebut diatur mengikat dokter, dokter gigi, dan Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) dalam Pasal a quo. Dengan keputusan MKDKI yang bersifat mengikat tersebut maka terdapat kewajiban bagi para pihak terkait untuk menjalankan keputusan tersebut. Hal ini justru memberikan jaminan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum bagi para dokter dan dokter gigi yang melaksanakan praktik kedokteran dan juga masyarakat umum yang menjadi penerima manfaat layanan praktik kedokterannya, serta perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang dimiliki baik oleh dokter atau dokter gigi yang melaksanan praktik kedokterannya, juga terhadap masyarakat umum yang menerima manfaat dari praktik kedokteran.
Bahwa berdasarkan penjelasan tersebut maka dengan berlakunya Pasal 69 ayat (1) UU Praktik Kedokteran, Para Pemohon justru menjadi terpenuhi dan terlindungi hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya untuk mendapatkan jaminan, kepastian hukum yang adil, perlakuan hukum yang sama dihadapan hukum yang merupakan amanat Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 dan juga mendapatkan perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan dan martabatnya yang merupakan amanat Pasal 28G ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Oleh karena itu, dalil Para Pemohon yang menyatakan dengan berlakunya Pasal a quo merugikan hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon menjadi tidak berdasar.
3. Bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi
Bahwa karena kerugian yang didalilkan oleh Para Pemohon bukan merupakan kerugian konstitusional yang diakibatkan oleh berlakunya Pasal a quo, maka jelas tidak terdapat kerugian konstitusional yang bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial menurut penalaran yang wajar dipastikan akan terjadi. Sedangkan Pemohon III yang mendalilkan berpotensi mengalami kerugian sebagaimana didalilkan oleh Pemohon I dan Pemohon II, hal tersebut hanya merupakan bentuk kekhawatiran semata karena Pemohon III hanya menyatakan berpotensi mengalami kerugian tapi tidak memberikan argumentasi atau dalil kerugian yang dialaminya sendiri yang diakibatkan oleh berlakunya ketentuan pasal a quo.
4. Adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional dengan undang-undang yang dimohonkan pengujian
Bahwa setelah DPR RI memperhatikan dalil yang disampaikan oleh Para Pemohon dan uraian permasalahan yang dialami oleh Para Pemohon, maka jelas tidak terdapat pertautan dengan pasal a quo yang dimohonkan pengujian oleh Para Pemohon. Keputusan KKI yang mencabut sementara STR Pemohon I dan Pemohon II berdasarkan Keputusan MKDKI telah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, telah jelas tidak ada hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian konstitusional yang didalilkan oleh Para Pemohon dengan ketentuan Pasal a quo yang dimohonkan pengujiannya di Mahkamah Konstitusi.
5. Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi
Bahwa dengan tidak adanya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon dan tidak ada hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian yang didalilkan Para Pemohon dengan berlakunya ketentuan Pasal a quo, maka dikabulkan atau tidak permohonan Para Pemohon oleh Mahkamah Konstitusi tidak akan berimplikasi apapun bagi Para Pemohon. Sebaliknya apabila permohonan Para Pemohon dikabulkan, hal ini justru mereduksi upaya perlindungan yang dilakukan oleh pembentuk undang-undang terhadap masyarakat selaku penerima manfaat layanan medis dari praktik kedokteran serta dokter dan dokter gigi selaku pelaksana praktik kedokteran tersebut, serta akan mengakibatkan suatu kekosongan hukum karena tidak terdapat pengaturan mekanisme upaya keberatan ke KKI terhadap Keputusan MKDKI. Sehingga sudah sepatutnya Mahkamah Konstitusi tidak mempertimbangkan permohonan Para Pemohon.
Pokok Permohonan:
1. Terhadap dalil Para Pemohon yang menyatakan bahwa permohonan a quo tidak ne bis in idem dengan perkara Nomor 119/PUU-XX/2022 yang telah diputus oleh Mahkamah Konstitusi (vide perbaikan permohonan hlm.16-18), DPR RI berpandangan sebagai berikut:
a. Bahwa permohonan a quo dengan perkara Putusan Nomor 119/PUU-XX/2022 tetap memiliki kesamaan materi muatan dalam Pasal yang diuji yaitu Pasal 69 ayat (1) UU Praktik Kedokteran dan juga kesamaan pasal yang dijadikan batu uji, yaitu Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, dan atas pertimbangan Mahkamah Konstitusi terkait hal ini, Mahkamah Konstitusi telah menyatakan Pasal 69 ayat (1) UU Praktik Kedokteran tidak bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945.
b. Bahwa pokok permohonan Para Pemohon dalam Perkara Nomor 119/PUU-XX/2022 juga menyatakan bahwa berlakukan Pasal a quo menyebabkan KKI harus tunduk dan patuh kepada MKDKI sehingga tidak memberikan kesempatan yang adil bagi teradu untuk dapat menempuh upaya apabila terdapat kekhilafan atau subjektifitas atau ketidakseimbangan dan ketidakadilan yang dilakukan oleh Majelis Pemeriksa Disiplin (MPD). Pokok permasalahan yang diuraikan dalam perkara Nomor 119/PUU-XX/2022 maupun dalam Perkara Nomor 21/PUU-XXI/2023, pada dasarnya sama. Selain itu, Pemohon I dan Pemohon II dalam permohonan a quo adalah orang yang sama dengan Pemohon I dan Pemohon II dalam perkara nomor 119/PUU-XX/2022.
c. Dengan demikian DPR RI berpandangan permohonan pengujian Undang-Undang a quo yang diajukan oleh Para Pemohon tidak dapat diajukan kembali (ne bis in idem) sebagaimana diatur dalam Pasal 60 UU 7/2022 dan Pasal 78 PMK Nomor 2 Tahun 2021 yang mensyaratkan terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang yang telah diuji tidak dapat dimohonkan pengujian kembali apabila materi muatan dalam UUD NRI Tahun 1945 yang dijadikan dasar pengujian sama atau terdapat alasan permohonan yang sama.
2. Terhadap dalil Para Pemohon yang menyatakan bahwa ketentuan norma Pasal 69 ayat (1) UU Praktik Kedokteran menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil karena mendudukkan KKI sebagai lembaga yang berada di bawah MKDKI dengan adanya pengaturan keputusan MKDKI langsung mengikat KKI dalam membuat Keputusan KKI bagi teradu (vide perbaikan permohonan hlm.22), DPR RI berpandangan sebagai berikut:
a. Bahwa KKI dan MKDKI adalah 2 (dua) lembaga penting yang diatur dalam UU Praktik Kedokteran dengan tugas dan tanggungjawab yang berbeda. KKI merupakan suatu badan otonom, mandiri, non struktural, dan bersifat independen, yang bertanggungjawab kepada Presiden. KKI mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang yang diamanatkan dalam Pasal 7 dan Pasal 8 UU Praktik Kedokteran yaitu melakukan registrasi dokter dan dokter gigi, mengesahkan standar Pendidikan profesi dan dokter gigi, dan melakukan pembinaan terhadap penyelenggaraan praktik kedokteran yang dilaksanakan bersama lembaga terkait dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan medis. Dalam menjalankan tugas fungsi tersebut, KKI berwenang menyetujui dan menolak permohonan registrasi dokter dan dokter gigi, menerbitkan dan mencabut surat tanda registrasi, mengesahkan standar kompetensi, melakukan pengujian terhadap persyaratan registrasi dokter dan dokter gigi, mengesahkan standar profesi, melakukan pembinaan dokter dan dokter gigi dalam pelaksanaan etika profesi, dan melakukan pencatatan terhadap dokter dan dokter gigi yang dikenakan sanksi oleh organisasi profesi.
b. Bahwa sedangkan MKDKI berdasarkan ketentuan Pasal 55 sampai dengan Pasal 69 UU Praktek Kedokteran adalah lembaga yang berwenang untuk menentukan ada tidaknya kesalahan yang dilakukan dokter dan dokter gigi dalam penerapan disiplin ilmu kedokteran dan kedokteran gigi serta menetapkan sanksi terhadap pelanggaran disiplin tersebut. MKDKI merupakan lembaga otonom dari dan bertanggung jawab kepada KKI, dan dalam menjalankan tugasnya MKDKI bersifat independen. MKDKI sebagai pelaksana peradilan disiplin terhadap perkara pelanggaran disiplin dokter dan dokter gigi, memiliki tugas menerima pengaduan, memeriksa, dan memutuskan kasus pelanggaran disiplin dokter dan dokter gigi yang diajukan, serta menyusun pedoman dan tata cara penanganan kasus pelanggaran disiplin dokter atau dokter gigi. Terhadap penanganan kasus pelanggaran disiplin dokter atau dokter gigi tersebut, MKDKI berwenang menetapkan Keputusan MKDKI yang bersifat final dan mengikat dokter, dokter gigi, dan KKI.
c. Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 70 UU Praktik Kedokteran, pengaturan lebih lanjut mengenai pelaksanaan fungsi, dan tugas MKDI di delegasikan oleh pembentuk undang-undang untuk diatur dengan Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia. Berdasarkan Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 50 Tahun 2017 tentang Tata Cara Penanganan Pengaduan Disiplin Dokter dan Dokter Gigi (Perkonsil 50/2017) Pasal 84, 85, dan 86, Ketua MKDKI Ketua MKDKI menerbitkan Keputusan MKDKI untuk setiap keputusan yang dibacakan, dan KKI menerbitkan Surat Keputusan untuk melaksanakan Keputusan MKDKI
d. Dengan demikian patut dipahami bahwa MKDKI maupun KKI memiliki independensi masing-masing dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Atas dasar independensi ini maka keputusan yang ditetapkan oleh MKDKI juga diatur bersifat final dan memiliki implikasi logis untuk mengikat dokter, dokter gigi, dan KKI. Keputusan MKDKI yang mengikat KKI ini tentu bukanlah suatu keadaan yang mendudukkan KKI berada dibawah MKDKI karena pengaturan demikian diberikan oleh pembentuk undang-undang dalam rangka menjaga independensi MKDKI yang melaksanakan tugas dan fungsi penegakkan dispilin dokter dan dokter gigi. Dengan pengaturan demikian tetap memberikan kedudukan KKI sebagai otoritas diatas MKDKI yang diberi kewenangan untuk melaksanakan Keputusan MKDKI melalui Keputusan KKI. Dalam kaitannya dengan kasus Para Pemohon, sanksi pencabutan sementara STR Para Pemohon merupakan rekomendasi yang ditetapkan dalam Keputusan MKDKI untuk segera dilaksanakan dalam suatu Keputusan KKI.
e. Bahwa Mahkamah Konstitusi juga menyatakan bahwa MKDKI sebagai lembaga yang otonom yang independen dari KKI tidak dapat dipengaruhi oleh siapapun atau lembaga lainnya dalam menjalankan tugas dan wewenangnya. Hal ini sebagaimana terdapat dalam pertimbangan hukum [3.11.1] dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 119/PUU-XXI/2022 menyatakan:
[3.11.1] “Bahwa MKDKI merupakan sebuah lembaga otonom yang independen dari KKI dan bertanggung jawab kepada KKI yang dibentuk dengan tujuan untuk menegakkan disiplin profesi dokter dan dokter gigi di Indonesia [vide Pasal 55 dan Pasal 56 UU 29/2004]. MKDKI dibentuk untuk melaksanakan salah satu tugas dari KKI yaitu melakukan proses pembinaan dan penegakan disiplin dokter dan dokter gigi, memastikan apakah standar profesi yang telah dibuat oleh KKI telah dilaksanakan dengan benar, termasuk mengadili pelanggaran disiplin yang dilakukan oleh dokter dan dokter gigi hingga menentukan sanksi terhadap pelanggaran tersebut [vide Pasal 1 angka 14 UU 29/2004].
Dengan demikian, domain atau yurisdiksi MKDKI adalah penegakan disiplin profesi yakni penegakan atas aturan-aturan dan/atau ketentuan penerapan keilmuan dalam pelaksanaan pelayanan yang harus diikuti oleh dokter dan dokter gigi [vide Penjelasan Pasal 55 ayat (1) UU 29/2004]. Penegakan disiplin profesi dokter dan dokter gigi yang dilakukan oleh MKDKI diawali dengan melakukan pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran disiplin profesi dokter dan dokter gigi. Pemeriksaan tersebut bertujuan untuk mencari kebenaran mengenai ada atau tidaknya pelanggaran disiplin profesi dokter atau dokter gigi berdasarkan bukti-bukti yang diajukan oleh pengadu [vide Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 20 Tahun 2014].
Penegakan disiplin dokter dan dokter gigi yang dilakukan oleh MKDKI bertujuan untuk melindungi masyarakat (pasien), menjaga dan meningkatkan mutu pelayanan kesehatan serta menjaga kehormatan profesi kedokteran dan kedokteran gigi. Walaupun MKDKI bertanggung jawab kepada KKI, namun agar dapat memberikan perlindungan kepada masyarakat sebagai penerima layanan, dokter dan dokter gigi sebagai pemberi pelayanan, MKDKI dalam menjalankan tugas dan wewenangnya tidak dapat dipengaruhi oleh siapapun atau lembaga lainnya [vide Penjelasan Pasal 55 ayat (3) UU 29/2004]. Pengaturan demikian dimaksudkan untuk menjaga indepedensi MKDKI.”
f. Bahwa apabila Keputusan MKDKI tidak langsung mengikat KKI dan terdapat upaya keberatan atas Keputusan MKDKI yang diajukan kepada KKI maka berpotensi menghilangkan sifat independensi MKDKI yang dalam menjalankan tugas dan wewenangnya tidak dapat dipengaruhi oleh siapapun atau lembaga lainnya. Dengan demikian keberadaan Pasal 69 ayat (1) UU Praktik Kedokteran telah memberikan kepastian hukum yang adil bagi semua pihak dan telah sejalan dengan amanat Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28G ayat (1) UUD NRI Tahun 1945.
3. Bahwa Para Pemohon menyatakan bahwa ketentuan Pasal 69 ayat (1) UU Praktik Kedokteran menyebabkan Para Pemohon sebagai pihak teradu tidak mempunyai kesempatan untuk dapat melakukan keberatan/banding/evaluasi terhadap Keputusan MKDKI karena keputusannya langsung mengikat pihak teradu dan KKI (vide perbaikan permohonan hlm. 24). Terhadap dalil Para Pemohon tersebut DPR RI berpandangan sebagai berikut:
a. Bahwa MKDKI merupakan lembaga yang berwenang untuk menentukan ada tidaknya kesalahan yang dilakukan dokter dan dokter gigi dalam penerapan disiplin ilmu kedokteran dan kedokteran gigi dan menetapkan sanksi. MKDKI memiliki tugas menerima pengaduan, memeriksa, dan memutuskan kasus pelanggaran disiplin dokter dan dokter gigi yang diajukan dan menyusun pedoman dan tata cara penanganan kasus pelanggaran disiplin dokter atau dokter gigi (vide Pasal 1 angka 14, Pasal 55 ayat (1), dan Pasal 64 UU Praktik Kedokteran).
b. Bahwa terhadap setiap orang yang mengetahui bahwa kepentingannya dirugikan atas tindakan dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokterannya dibuka ruang untuk memperjuangkan kepentingannya tersebut dengan membuat pengaduan tertulis kepada MKDKI untuk kemudian diperiksa dan diputuskan dalam suatu keputusan MKDKI yang mengikat dokter, dokter gigi, dan KKI.
c. Bahwa dalam menindaklanjuti pengaduan, melaksanakan pemeriksaan, serta persidangan pelanggaran disiplin, MKDKI telah memberikan kesempatan bagi pihak pengadu, teradu, saksi dan ahli dari kedua belah pihak untuk menyampaikan keterangan terkait dugaan pelanggaran disiplin yang dilakukan dokter atau dokter gigi yang diadukan. Hal ini sebagaimana diatur dalam Perkonsil 50/2017. Dengan demikian, kesempatan membela diri dengan memberikan keterangan atau sanggahan terhadap aduan yang diberikan sudah dibuka ruang oleh MKDKI. Keterangan atau sanggahan dan seluruh tahapan lain dalam proses pemeriksaan tersebut menjadi dasar pertimbangan MKDKI dalam memutuskan ada tidaknya pelanggaran disiplin yang diadukan.
d. Bahwa Perkonsil 50/2017 mengatur bahwa keputusan MKDKI diterbitkan oleh Ketua MKDKI untuk diserahkan kepada Ketua KKI paling lama 7 (tujuh) hari setelah sidang pembacaan Putusan yang dilakukan secara terbuka dihadapan seluruh pihak terkait, dan selanjutnya, KKI menerbitkan Surat Keputusan untuk melaksanakan Keputusan MKDKI paling lama 7 (tujuh) hari setelah menerima salinan Putusan. Hal ini merupakan ketentuan pelaksanaan yang diatur sesuai dengan pengaturan dalam Pasal a quo yang menyatakan bahwa Keputusan MKDKI mengikat dokter, dokter gigi, dan KKI. Dengan diaturnya keputusan yang langsung mengikat tersebut memberikan implikasi logis tidak terbukanya ruang untuk dilakukan upaya keberatan/banding/evaluasi terhadap Keputusan MKDKI oleh pihak terkait, dan oleh karenanya KKI wajib untuk melaksanakan Keputusan MKDKI melalui Keputusan KKI.
e. Bahwa pelaksanaan ketentuan Pasal 69 ayat (1) UU Praktik Kedokteran tidak menghilangkan kesempatan teradu untuk didengar dan dipertimbangkan dalam proses pemeriksaan pengaduan oleh MKDKI. Ketentuan Pasal a quo juga tentu berimplikasi logis pada tidak terbukanya ruang untuk diajukan keberatan/banding/evaluasi terhadap Keputusan MKDKI karena keputusannya langsung mengikat pihak teradu dan KKI. Disamping itu, tidak terdapat dasar hukum bagi KKI untuk membuka peluang dilakukan upaya keberatan/banding/evaluasi terhadap Keputusan MKDKI melalui KKI. Hal ini sesuai dengan pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 119/PUU-XXI/2022 yang menerangkan mengenai kedudukan MKDKI dan kedudukan KKI sebagaimana telah dikutip diatas.
f. Bahwa KKI memiliki tugas membuat regulasi yang berkaitan dengan standar profesi, sementara di sisi lain MKDKI bertugas memastikan standar profesi yang dibuat oleh KKI telah dilaksanakan dengan benar. Tidak hanya memastikan hal tersebut, MKDKI pun bertugas mengadili pelanggaran disiplin yang dilakukan oleh dokter atau dokter gigi. Adanya upaya keberatan/banding/evaluasi atas Keputusan MKDKI sebagaimana dikehendaki oleh Para Pemohon dapat mengakibatkan conflict of interest dan pelanggaran independensi MKDKI dalam memeriksa dan menegakkan disiplin kedokteran dan kedokteran gigi.
g. Berdasarkan penjelasan di atas maka dalil Para Pemohon merupakan suatu pandangan yang tidak berdasar karena permohonan Para Pemohon agar upaya keberatan/banding/evaluasi dapat dilakukan melalui KKI justru akan menimbulkan permasalahan hukum baru khususnya melanggar independensi dan efisiensi proses penegakan disiplin dokter dan dokter gigi.
4. Terhadap dalil Para Pemohon yang menyatakan bahwa proses pemeriksaan di MPD (Majelis Pemeriksa Disiplin) sangat tidak sesuai dengan prinsip “due process of law”, serta tidak mengedepankan Fair Trial dalam melakukan proses pemeriksaan, bahkan persidangan bersifat gelap dan berbisik-bisik (vide perbaikan permohonan hlm.29), DPR berpandangan sebagai berikut:
a. Bahwa menurut M. Friedman menegaskan bahwa, penerapan asas due process of law merupakan seperangkat prosedur yang mewajibkan hukum memiliki standar beracara yang berlaku bagi negara yang menjunjung tinggi hukum. Due process menitikberatkan pada perlindungan hak individu untuk diproses sesuai prosedur sebagaimana diatur dalam ketentuan hukum. Hal ini merupakan unsur Rule of Law sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945.
b. Bahwa dalam konteks penegakan disiplin yang dilakukan oleh dokter dan dokter gigi dalam melaksanakan profesinya, ketentuan UU Praktek Kedokteran telah memberikan kewenangan kepada MKDKI untuk melaksanakannya. Lebih lanjut di dalam ketentuan Pasal 70 UU Praktik Kedokteran menyatakan “Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan fungsi dan tugas Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia, tata cara penanganan kasus, tata cara pengaduan, dan tata cara pemeriksaan serta pemberian keputusan diatur dengan Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia, yang saat ini telah diwujudkan dengan Perkonsil 50/2017. Dengan adanya Perkonsil 50/2017 yang menjadi dasar hukum tata cara penanganan pengaduan disiplin dokter dan dokter gigi maka penanganan pengaduan pelanggaran dispilin dokter atau dokter gigi oleh MKDKI mulai dari menerima pengaduan, memeriksa, mendengar keterangan pihak pengadu, pihak teradu, saksi dan ahli, sampai dengan menetapkan sanksi dalam Keputusan MKDKI harus dilaksanakan sesuai dengan prosedur yang berlaku. Seluruh tahapan-tahapan pemeriksaan disiplin bagi dokter atau dokter gigi yang diatur dalam Perkonsil 50/2017 telah diatur sedemikian rupa untuk memberikan ruang bagi seluruh pihak terkait untuk didengar dan diperiksa keterangannya tanpa ada keberpihakan maupun intervensi dari pihak manapun.
c. Bahwa dalam proses penanganan dugaan pelanggaran disiplin, MKDKI dapat mengakomodasi kepentingan masing-masing pihak, terutama memberi kesempatan kepada dokter teradu atau yang diadukan untuk membuktikan apakah telah melanggar disiplin kedokteran atau sebaliknya. Sementara itu, mereka yang merasa dirugikan, in casu pasien, diberikan haknya untuk mengadu. Proses demikian akan menciptakan kepastian hukum yang adil antara keduanya dan memenuhi keadilan bagi para pihak.
d. Bahwa jika di dalam praktek proses pemeriksaan disiplin dokter dan dokter gigi oleh MKDKI dianggap Para Pemohon terdapat keberpihakan atau terdapat hal-hal yang tidak sesuai dengan due process, maka hal tersebut bukan permasalahan inkonstitusionalitas norma pasal a quo, dan Para Pemohon dapat melaporkan dugaan keberpihakan tersebut kepada forum tertinggi dalam Organisasi Profesinya yang memiliki tugas dan fungsi pembinaan serta pengawasan.
5. Bahwa terhadap petitum Para Pemohon yang menginginkan Keputusan MKDKI dimaknai sebagai suatu rekomendasi saja yang terhadapnya masih dapat diupayakan banding/keberatan/evaluasi, hal ini akan dapat menimbulkan norma baru yang bukan merupakan kewenangan Mahkamah Konstitusi. Disamping itu, pengaturan yang demikian membutuhkan adanya pengaturan lain lebih lanjut yang tidak ada dalam UU Praktik Kedokteran sehingga akan dapat menimbulkan permasalahan kekosongan hukum. Dengan demikian, seluruh penjelasan dalil Para Pemohon yang menyatakan keberlakuan Pasal 69 ayat (1) UU Praktik Kedokteran menimbulkan kerugian konstitusional adalah tidak berdasar.
21/PUU-XXI/2023
Pasal 69 ayat (1) UU Praktik Kedokteran
Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1) UUD NRI Tahun 1945
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430